Petisi Menolak Soeharto Menjadi Pahlawan Nasional

June 18, 2014

Petisi
Menolak Soeharto Menjadi Pahlawan Nasional


Bahwa Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum dengan kedaulatan sepenuhnya di tangan rakyat” 

Bahwa UUD 1945 memberikan jaminan kepada warga negara Indonesia atas penghormatan, pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

Bahwa Tap MPR RI No XI/MPR/1998, menyatakan upaya pemberantasan KKN dilaksanakan secara tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk Presiden Soeharto.

Bahwa Penyelenggaraan Negara, dibawah kepemimpinan Soeharto telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan hukum sedemikian rupa. Praktek otoriter, represif, korup, militeristik dan pelanggaran HAM terjadi pada masa kepemimpinan Soeharto. 

Bahwa penyimpangan dan penyelewengan kekuasaan yang dilakukan rejim Soeharto di masa lampau, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sampai dengan saat ini. 

Bahwa kematian Soeharto hanya mengugurkan kewajibannya untuk mempertanggung jawabkan secara hukum. Namun tidak menggugurkan kewajiban Negara untuk melakukan proses hukum terhadap praktek-praktek korupsi dan pelanggaran HAM di masa lalu. 

Bahwa Pemberian gelar pahlawan bukan hanya persoalan prosedural, tetapi menyangkut hajat kepentingan rakyat dan masa depan bangsa. Dan Gelar pahlawan hanya layak disandangkan kepada orang yang memiliki integritas, bersih dari korupsi, kekerasan dan berbagai tindak penyelewengan. 

Bahwa berdasarkan hal-hal diatas, kami menyatakan;
Pertama, Menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dan berbagai upaya pembersihan nama Soeharto di luar proses hukum.

Kedua, Memberikan gelar Pahlawan kepada Soeharto adalah penghianatan terhadap cita-cita dan perjuangan reformasi, mencederai rasa keadilan dan menghina akal sehat.
Ketiga, Mendesak kepada pemerintah menghentikan upaya-upaya pemberian Gelar Pahlawan kepada Soeharto dan memperhatikan secara cermat fakta dan implikasi sosial dan politik dari praktek rezim Soeharto. 

Keempat, Mendesak pemerintah segera melakukan tindakan hukum yang layak atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi dimasa lalu.

Kelima, Menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk kritis terhadap upaya-upaya kembali-nya kekuatan Orde Baru dan kebijakan-kebijakan sosial politik yang jauh dari semangat dan cita-cita Reformasi. 

Keenam, Menyerukan kepada warga bangsa untuk tidak memberikan dukungan atau keterlibatan lewat partai politik atau sarana sosial lainnya kepada semua orang yang pernah terlibat dalam praktek kekerasan di masa rezim Soeharto.


Jakarta, 4 November 2010
Gerakan Tolak Soeharto Menjadi Pahlawan


Sumber:
http://kontras.org/index.php?hal=petisi4






Daftar Kejahatan HAM Soeharto

1.      Kasus Pulau Buru 1965-1966
Dalam kasus Pulau Buru 1965-1966, alm. Soeharto dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan di Pulau Buru sebagai panglima Komando operasi pemulihan kemanan dan ketertiban yang disingkat Ko Ops Pemulihan Kam/Tib. Melalui keputusan Presiden No. 179/KOTI/65, secara resmi berdiri Komando Operasi Pemulihan Kemanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB). Sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban telah menyebabkan ribuan orang menjadi korban pembunuhan, penangkapan, penahanan massal dan pembuangan ke pulau Buru (Laporan Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Suharto,Komnas HAM 2003).

    2. Penembakan misterius 1981-1985
Pembunuhan tanpa melalui pengadilan terhadap residivis, bromocorah, gali, preman yang dikenal sebagai “penembakan misterius” pada tahun 1981-1985. Kebijakan Soeharto atas persoalan ini, terlihat jelas dalam pidato rutin kenegaraan pada Agustus 1981, ia mengungkapkan bahwa pelaku kriminal harus dihukum dengan cara yang sama saat ia memperlakukan korbannya. Operasi tersebut juga bagian dari  shock terapy sebagaimana diakuinya dalam oto biografinya yang berjudul Pikiran, Ucapan, dan tindakan saya (Ramadhan KH, hal 389,1989). Amnesty Internasional dalam laporannya mencatat korban jiwa karena kebijakan tersebut mencapai kurang lebih sekitar 5000 orang, tersebar di wilayah
Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bandung  (Amnesty Internasional, 31 Oktober 1983; Indonesia-Extrajudicial Executions of Suspected Criminals)
.
    3. Tanjung Priok 1984-1987
Dalam peristiwa Tanjung Priok 1984-1987 Soeharto menggunakan KOPKAMTIB sebagai instrumen penting mendukung dan melindungi kebijakan politiknya. Selain itu alm. Soeharto juga selaku panglima tertinggi telah mengeluarkan sikap, pernyataan dan kebijakan yang bersifat represif untuk mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakan Asas Tunggal yang dikeluarkan Orde Baru. alam menangani persoalan ini, Soeharto kerap membuat pernyataan dan kebijakan yang “membolehkan” dilakukannya kekerasan dalam mengendalikan respon rakyat atas kebijakan penguasa pada saat itu. diantaranya di depan Rapat Pimpinan (RAPIM) ABRI di Riau, 27 Maret 1980, Soeharto sebagai Presiden dan penanggungjawab seluluh kegiatan KOPKAMTIB mewajibakn ABRI mengambil tindakan represif berupa perang (menggunakan senjata) untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam yang dianggap olehnya sebagai golongan ekstrem lainnya yang harus dicegah kegiatannya dan ditumpas sisa-sisanya sama seperti penanganan G 30 S (PKI). Akibat dari kebijakan ini, di antaranya dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekitar lebih 24 orang meninggal, 36 terluka berat, 19 luka ringan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)

    4. Talangsari 1984-1987
Kebijakan represif yang diambil Soeharto terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ekstrem juga mengakibatkan meletusnya peristiwa Talangsari 1984-1987 mengakibatkan korban 130 orang meninggal, 77 orang mengalami Pengusiran atau Pemindahan Penduduk Secara Paksa, 53 orang orang Terampas Kemerdekaanya, 45 orang mengalami Penyiksaan, dan 229 orang mengalami Penganiayaan (Laporan Ringkasan Tim ad hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Talangsari 1989, Komnas HAM, 2008)


    5. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998)
Pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh (1989-1998). Pemberlakukan Operasi ini adalah kebijakan yang diputuskan secara internaloleh ABRI setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soeharto (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003). Operasi militer ini telah melahirkan penderitaan yang berkepanjangan bagi masyarakat Aceh, khususnya perempuan dan anak-anak. Berdasarkan hasil investigasi Komnas HAM, dalam kurun waktu sepuluh tahun berlangsungnya operasimiliter telah menyebabkan sedikitnya 781 orang tewas, 163 orang hilang, 368 orang mengalami penyiksaan/penganiayaan dan 102 perempuan mengalami perkosaan. Sementara itu Forum Peduli Hak Asasi Manusia Aceh (FP HAM) mendokumentasikan sebanyak 1.321 korban pembunuhan, 1.958 orang hilang, 3.430 orang mengalami penyiksaan dan 128 orang perempuan mengalami perkosaan. Operasi tersebut juga telah berdampak sangat buruk kepada kehidupan sosial budaya dan juga kehidupan beribadah rakyat Aceh,yang sudah dijalani dan dipraktikkan dengan baik selama bertahun-tahun sebelumnya (Komponen Masyarakat Sipil Aceh, dalam Surat yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Oktober2010).

    6. DOM Papua (1963-2003)
Pemberlakuan, dimaksudkan untuk mematahkan perlawanan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kebijakan ini mengakibatkan terjadinya berbagai peristiwa seperti Teminabun 1966-1967, sekitar 500 orang ditahan dan kemudian dinyatakan hilang, Peristiwa Kebar 1965, 23 orang terbunuh, Peristiwa Manokwari 1965, 64 orang dieksekusi mati, dan operasi militer sejak tahun 1965-1969; Peristiwa Sentani, 20 orang menjadi korban penghilangan paksa, Enatorali 1969-1970, 634 orang terbunuh, Peristiwa Jayawijaya dan Wamena Barat, melalui Operasi Tumpas pada ktun waktu 1970-1985 terjadi pembantaian di 17 desa, di Kabupaten Jayawijaya, korban jatuh sampai dengan 2000 orang, termasuk wanita anak-anak dan orang tua, dalam peristiwa Wamena 1977, 14 warga terbunuh, dan sejumlah kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya yang belum disebutkan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian
Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)

   7. Peristiwa 27 Juli (1996)
Dalam Peristiwa 27 Juli (1996, alm Soeharto memandang Megawati sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik Orde Baru. Soeharto hanya menerima Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI pimpinan Suryadi yang menjadi lawan politik PDI pimpinan Megawati. Aksi kekerasan berupa pembunuhan, penangkapan dan penahanan dilakukan terhadap para simpatisan PDI pimpinan Megawati; peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama peristiwa 27 Juli. Dalam peristiwa ini, 11 orang meninggal, 149 luka-luka, 23 orang hilang, 124 orang ditahan Berdasarkan analisa Komnas HAM bahwa peristiwa tersebut sebagai kejahatan kemanusiaan (Laporan 5 Sub Tim Kajian, Tim Pengkajian Pelanggaran HAM Soeharto, Komnas HAM, 2003)

8. Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998
Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa 1997–1998, peristiwa ini terjadi tidak terlepas dari konteks politik peristiwa 27 Juli, yakni menjelang Pemilihan Umum (PEMILU) 1997 dan Sidang Umum (SU) MPR 1998. di masa ini wacana pergantian Soeharto kerap disuarakan. Setidaknya 23 aktivis pro demokrasi dan masyarakat yang dianggap akan bergerak melakukan penurunan Soeharto menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa. Komando Pasukan Khusus, (KOPASSUS) menjadi eksekutor lapangan, dengan nama operasi “Tim Mawar” 9 orang dikembalikan, 1 orang meninggal dunia dan 13 orang masih hilang (Laporan Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Peristiwa Penghilangan Paksa, 2006)
9. Trisakti 1998
Peristiwa Trisakti 1998, terjadi pada 12 Mei 1998, masih bersambung dengan dengan latar belakang tuntutan aktivis dan mahasiswa pro demokrasi, untuk mendorong reformasi total dan turunnya Seohatro dari jabatannya karena krisis ekonomi dan maraknya korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pemerintahan Soeharto. Tindakan represif penguasa melalui kaki tangan aparatur negara; ABRI dan Polisi menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan luka-luka, empat orang mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak peluru aparat keamanan, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto dan Hendriawan, Hasil penyelidikan Komnas HAM menyatakan bahwa dalam peristiwa ini telah terjadi dugaan pelanggaran HAM berat.  10. 13–15 Mei 1998 Peristiwa 13–15 Mei 1998, merupakan rangkaian dari kekerasan yang terjadi dalam peristiwa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa. Ketidakberdayaan pemerintahan Soeharto mengendalikan tuntutan mahasiswa dan masyarakat, direspon dengan sebuah “Penciptaan dan pembiaran” kekerasan dan kerusuhan pada 13-15 Mei 1998. dalam peristiwa ini terjadi pembunuhan, penganiayaan, perusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan paksa, perkosaan, serta penyerangan terhadap etnis tertentu, pengusiran paksa yang terjadi diseluruh wilayah DKI Jakarta dan di beberapa daerah di Indonesia oleh kelompok massa dalam jumlah besar, namun tidak dilakukan upaya baik itu pencegahan, pengendalian maupun penghentian oleh aparat keamanan dibawah tanggungjawab alm Soeharto (laporan penyeleidikanKomnas HAM).

Korban Pelanggaran HAM Soeharto
No  Kasus                                        Tahun         Jumlah Korban
1.    Pembantaian massal 1965    1965-1970         -+1.500.000
2.    Penembakkan misterius
       “Petrus”                                1981-1985                      500
3.    Kasus di Timor Timur          1974-1999                100.000
4.    DOM di Aceh                       1976-1989                    1.958
5.    DOM di Papua                      1967-1998                       906
6.    Kasus Dukun Santet
       Banyuwangi                              1998                      Ratusan
7.    Kasus Marsinah                         1995                                1
8.    Talangsari Lampung                  1989                            803
9.     Kasus Trisakti                           1998                           685
10.   Mei 1998                                  1998                         1.308
11.   Kasus Semanggi I                      1998                           127
13.   Penculikan Aktivis               1997-1998                        23
14.   Tanjung Priok                           1984                             79
15.   27 Juli 1996                              1996                           311


O
Korban terdiri dari kategori pelanggaran HAM berat meliputi: meninggal, hilang, luka-luka, ditahan secara
sewenang-wenang, disiksa dan kekerasan seksual. Data diolah oleh KontraS dari berbagai sumber


Sumber:
http://kontras.org/pers/teks/daftar/kejahatan/soeharto-1.pdf



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »