Tragedi Kerusuhan Massal 13-14 Mei 1998: Sebuah Kesaksian Sejarah (1)
13 Mei 1998. Di manakah Anda berada? Saya berada di Pusat Kegiatan Mahasiswa Universitas Indonesia di kampus UI Depok, markas dari harian bergerak! yang saya pimpin. Harian bergerak! ini adalah legenda pers mahasiswa era reformasi, karena merupakan satu-satunya media pergerakan yang terbit harian. (Kami bahkan sempat diliput satu halaman penuh oleh harian Kompas, juga media dalam negeri lain serta masuk liputan Time, Newsweek, Asiaweek, BBC dan CNN. Sejumlah buku dan satu tesis yang juga telah dibukukan juga membahas mengenai peran media kami tersebut).
Sore hari sebelumnya, tanggal 12 Mei 1998, empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembus peluru aparat. Saya sendiri bersama sejumlah rekan sudah langsung meluncur ke R.S. Sumber Waras malam itu juga dan sempat pula berbincang pendek dengan Ketua SM Usakti Julianto Hendro Cahyono yang masih shock dan berbincang panjang dengan mas Kikiek (Dr. Hermawan Soelistyo). Bahkan alat perekam kami dipinjamnya dan hingga kini belum dikembalikan (hehe, sori diungkit dikit, Mas). Saya juga ada tepat di samping mobil Polisi Militer saat mahasiswa mengamuk dan memaki-maki anggota PM yang hadir bersama Danpomdam Jaya Kolonel TNI Hendarji.
Di tanggal 13 Mei 1998 ini, tadinya kami kira cuma akan terjadi sebuah kesedihan emosional saja, karena pemakaman empat korban penembakan itu akan dilaksanakan. Sejumlah tokoh datang ke kampus di jalan Kyai Tapa-Grogol tersebut. Upacara pemakaman ramai oleh massa. Karena saya harus stand-by di kantor redaksi mempersiapkan penerbitan, maka saya memilih tak hadir. Sejumlah reporter dan fotografer yang dedikasinya bak profesional telah ditugaskan meliput peristiwa itu. Salah satu yang saya ingat adalah Sarie Febriane -kini ia wartawati harian Kompas- yang waktu itu merupakan fotografer kami.
Sejak pagi, saya telah mengutus dua reporter bergerak! untuk bergerak ke Universitas Trisakti. Kalau saya tidak salah ingat, mereka adalah Hanggonoto Adikesuma yang akrab dipanggil Unay dan Arief Anggoro. Dari kedua orang inilah kemudian saya mendapatkan telepon (saat itu telepon genggam masih langka dan cukup mahal, namun alhamdulillah saya punya satu unit dengan membobol tabungan saya) bahwa keadaan mulai panas. Saat menjadi narasumber untuk film edukasi sejarah proyek dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang disutradari Ekky Imanjaya, saya menerangkan bahwa massa yang terkonsentrasi di depan Universitas Trisakti memulai aksinya dengan membakar sebuah truk di bawah jembatan layang Grogol yang memisahkan kampus itu dengan Mall Ciputra. Laporan itulah yang saya dapat dari dua orang reporter di lapangan tersebut. Anehnya, segera setelah itu, kerusuhan menjalar di segala pelosok Jakarta.
Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kerusuhan Massal 13-14 Mei 1998 kemudian memang menuturkan setiap aksi kerusuhan selalu dimulai oleh sekelompok provokator. Mereka berbadan tegap, berambut cepak dan menutupinya dengan topi atau ikat kepala. Warga lokal juga bersaksi bahwa mereka bukan orang sekitar, melainkan pendatang atau orang asing. Kelompok ini didrop di lokasi -yang tampaknya sudah ditandai dan dimasukkan daftar sasaran- dengan truk. Barulah setelah itu warga sekitar ikut menjarah, merusak dan membakar. Dan setelah massa terpancing, kelompok ini justru pergi dari lokasi, malah seringkali dengan membakar tempatnya lebih dulu. Sehingga sebagian massa yang masih asyik menjarah justru terjebak api dan tewas terpanggang hidup-hidup di dalam bangunan yang terbakar.
Saat menerima informasi terjadinya kerusuhan, kontan kami kaget. Dengan segera headline berita diubah menjadi bertopik tersebut. Namun, haluan kami adalah reformasi damai. Karena itu, editorial redaksi berupa himbauan agar mahasiswa tenang dan tidak terpancing ikut dalam aksi kerusuhan. Kalau saya tidak salah ingat, di hari yang sama selain di Universitas Trisakti, di kampus UI Salemba juga diadakan aksi solidaritas. Dengan segera mahasiswa menutup pintu gerbang kampus saat sekelompok massa mendekati dan mengajak mahasiswa keluar kampus untuk ikut dalam kerusuhan massal. Untunglah, mahasiswa peserta aksi tidak terpancing. Namun akibatnya, banyak mahasiswa terjebak tak bisa pulang. Selain karena kebijakan untuk ‘tidak keluar kampus’, juga kondisi di jalanan tidak aman karena kerusuhan merebak di mana-mana.
Saya dan tim juga sempat mengamankan seorang reporter kami, seorang mahasiswa FEUI yang berwajah mirip WNI keturunan China bernama Renata (posisi terakhir yang saya tahu ia mengajar sekaligus studi lanjutan di London). Ia kami amankan di sekertariat redaksi dan terpaksa menginap di kampus malam itu.
Repotnya, di tengah suasana tegang, kami harus memastikan harian bergerak! tetap terbit. Sementara, tempat photocopy Buring di jalan Margonda Depok yang biasa kami pergunakan malah tutup. Untunglah Mas Masruni sebagai General Manager masih ada di dalam kantor bersama stafnya, menjaga dari penjarah. Sehingga lewat jalan belakang, kami tetap bisa memperbanyak penerbitan kami. Di saat itu, keberanian Mas Masruni memperbanyak buletin kami sangat berani. Karena jelas tindakannya itu berarti ikut membantu menentang rezim berkuasa yang sangat berbahaya. Untunglah kami semua commited menjaga namanya sehingga sampai Soeharto lengser keprabon rezim tak mengetahui dimana kami memperbanyak “selebaran gelap tapi resmi” (itu istilah yang kalau tak salah disematkan oleh Kompas) kami itu. Akhirnya, di tengah suasana rusuh Jakarta, harian bergerak! tetap bisa terbit walau diedarkan secara terbatas.
(Kredit foto saya tak bisa temukan dari searching di internet, kemungkinan dari Kompas).
Tragedi Kerusuhan Massal 13-14 Mei 1998: Sebuah Kesaksian Sejarah (2)
Semalaman, hampir semua awak redaksi harian bergerak! kurang tidur. Saya sendiri lupa apakah sempat tidur atau tidak. Yang jelas, saya selaku Pemimpin Redaksi bersama Achmad Nurchoeri Soekarsono selaku Pemimpin Umum terus-menerus memantau situasi. Telepon genggam saya dan Achmad, telepon di sekertariat kami, hingga pager (ya, waktu itu masih zamannya pager) beberapa orang di antara kami terus-menerus menerima berita. Pager mengalami gangguan pelayanan serius karena para operator tak bisa masuk kantor dan listrik mati di banyak tempat. Telepon genggam saya lumayan karena operatornya memakai satelit milik negara asing, sehingga tetap berfungsi. Namun komunikasi yang paling sering berdering ya telepon PSTN di sekertariat kami. Telepon datang tidak hanya dari para reporter dan fotografer di lapangan, tapi juga dari para orangtua yang menanyakan kabar anak-anaknya. Telepon umum dan wartel di area kampus juga penuh dengan antrean mahasiswa yang melaporkan kondisinya kepada orangtua masing-masing. Malam tanggal 13 Mei 1998, kampus baik di Salemba maupun di Depok terdapat sejumlah mahasiswa aktivis yang terjebak tak bisa pulang. Malam itu, Rektor Prof. Dr. dr. Asman Budisantoso Ranakusumah, Sp.PD dan para pimpinan universitas berkeliling kampus untuk menenangkan mahasiswa yang masih berada di kantong-kantong gerakan. Kami juga tahu bahwa mereka semua ikut menginap di kampus.
Kembali ke masalah alat komunikasi, selain memiliki telepon genggam dan pager pribadi, saya dibantu dengan dua unit HT (Handy-Talky) yang keduanya pinjaman. Satu unit dipinjamkan oleh Ibu Dr. Multamia RMT Lauder (kalau tidak salah saat itu Pembantu Dekan I Fakultas Sastra UI), sementara satu unit lagi saya tidak tahu milik siapa, karena datang melalui seorang teman (yang saya juga lupa siapa). HT dari Ibu Mia disetel di frekuensi polisi, sementara HT satu lagi di frekuensi Kodam Jaya. Kalau tidak salah ingat, teman yang meminjamkan HT kedua ini mengatakan HT tersebut memang milik seorang anggota Kodam Jaya. Dari HT inilah saya dan tim bisa memantau situasi di lapangan.
Kami jadi tahu bahwa hari itu Jakarta terbakar lebih hebat dari hari sebelumnya. Kawasan Glodok yang dikenal sebagai kawasan pecinan luluh-lantak. Demikian juga wilayah lain di sekitarnya seperti Taman Sari, Mangga Besar, hingga yang jauh seperti Kemayoran, Slipi, Klender, Cileduk bahkan ke arah Cengkareng. Mirisnya, dari HT saya mendengar sendiri perintah agar aparat kepolisian mundur ke markas masing-masing. Sayang saya tidak merekam, namun saya ingat frekuensi Polda Metro Jaya sangat ramai. Polisi terdengar panik, apalagi setelah Pos Polisi Matraman berhasil dibakar massa. Aparat diperintahkan menjaga fasilitas masing-masing, termasuk markas dan perumahan. Sehingga, obyek vital publik kosong. Dari rekan di sekitar Cijantung, saya tahu di muka kompleks Kopassus –yang juga dihuni berbagai kesatuan lain- terlihat tank-tank dan panser-panser dikeluarkan untuk berjaga. Tentu saja termasuk para prajurit yang dilengkapi senjata otomatis siap tempur.
Berita televisi memang cukup membantu. Namun ingat, saat itu stasiun TV swasta baru ada RCTI, SCTV, TPI, ANTEVE dan Indosiar. TVRI dan TPI cenderung pro pada Soeharto, sehingga beritanya agak kurang aktual. Hanya TV swasta lain yang cukup lugas liputannya. Namun tak bisa dipungkiri, media andalan masyarakat ibukota adalah radio, terutama radio berita. Antara lain yang cukup bagus menyajikan liputan lapangan adalah Elshinta dan Trijaya. Dari berita inilah kemudian warga lokal berjaga-jaga mengadakan siskamling agar penjarah yang merupakan pendatang tidak merusak wilayahnya.
Kamis pagi, saya dan tim bertahan di Depok. Mencoba menganalisa situasi seraya mempersiapkan penerbitan. Achmad –mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UI yang saat itu sudah bekerja sebagai stringer majalah Asiaweek- mendapatkan update dari rekan-rekannya wartawan asing. Saya juga sudah bekerja di Tabloid Swadesi, sehingga berupaya juga mendapatkan berita dari rekan-rekan wartawan lain. Sutono Rendra Lysthano selaku Pemimpin Redaksi majalah Suara Mahasiswa UI dan editor bergerak! sibuk mempersiapkan penerbitan karena secara teknis ia menguasai lay-out. Tentu saja ia tidak sendirian melainkan dibantu tim antara lain M.Imron (kini bekerja di Tribun Kaltim). Nura’aini Vera Darmastuti selaku Redaktur Pelaksana majalah Suara Mahasiswa UI dan editor bergerak! menjadi ‘seksi sibuk’, mengurus aneka hal termasuk keperluan teman-teman yang menginap.
Namun, komunikasi dan bantuan terbaik datang dari Wien Muldian. Ia adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan UI (kini Koordinator Perpustakaan Depdiknas) yang sempat menjadi Pemimpin Redaksi kedua majalah Suara Mahasiswa UI (saya kemudian menjadi PU-Pemred kelima). Melalui kontaknya di Salemba, kami bisa memantau situasi di sana. Ia juga berjasa mencarikan donasi bagi harian bergerak! termasuk dari Suara Ibu Peduli. Namun yang paling penting, ia berhasil mencarikan kami sekertariat di Salemba melalui kemampuan lobby-nya.
Setelah seharian di Depok dalam ketegangan, dan seingat saya harian bergerak! edisi hari itu dicetak terbatas karena sulit diedarkan kepada pembaca, sekitar Maghrib kami memutuskan bergerak ke Salemba. Atas bantuan Wien, kami diterima dengan baik untuk menumpang di dua tempat, yaitu di sekertariat Media Aesculapius –surat kabar mahasiswa Fakultas Kedokteran UI- dan beberapa hari kemudian pindah ke sekertariat Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Program Ekstension Fakultas Ekonomi UI. Kemudian memang kami memutuskan memindahkan sekertariat ke Salemba dengan pertimbangan keamanan. Juga atas bantuan Wien, beberapa hari kemudian kami mendapatkan izin Rektor menggunakan Balai Mahasiswa UI yang kosong. Sebelum Kampus Baru UI Depok dibangun, tempat itu adalah sekertariat berbagai organisasi kemahasiswaan terutama Dewan Mahasiswa UI era sebelum NKK/BKK.
Setelah merancang rute teraman dengan mempertimbangkan situasi yang terpantau melalui berbagai alat komunikasi dan berita media, kami berangkat ke Kampus UI Salemba. Demi keamanan, mobil saya yang berwarna hijau militer dilengkapi “perlindungan” berlapis. Selain menggunakan lampu sirine, di bagian kap mobil dipasang bendera palang merah, dan di bagian belakang dikibarkan bendera almamater UI. Saya lupa siapa saja yang ikut, namun dua orang yang saya ingat adalah Wien dan Renata. Perjalanan sangat menegangkan. Di Lenteng Agung menjelang kampus IISIP, mobil saya sempat dilempar kayu oleh massa lokal yang berjaga. Untung hanya kena ban saja. Setelah itu, jalanan relatif aman karena kosong melompong hingga Lenteng Agung. Di depan gedung Antam, gardu tol yang rusak ditinggalkan penjaganya hingga kami bisa leluasa masuk jalan tol tanpa mengambil tiket dan membayar. Rute kami adalah masuk ke jalan tol lingkar luar Pondok Pinang-Kampung Rambutan untuk selanjutnya masuk ke jalan tol Jagorawi lantas jalan tol dalam kota Cawang-Tanjung Priok dan turun di Pramuka. Saat kami sampai di atas jembatan layang by-pass, barulah kengerian itu terlihat. Asap membumbung tinggi di mana-mana. Saya harus menyetir dengan berzig-zag di jalan karena banyak mobil dibakar massa di jalan. Untungnya, massa sendiri nyaris tak terlihat di jalan tol Cawang-Tanjung Priok itu. Mereka tampaknya terkonsentrasi untuk menjarah di kawasan Kota. Saat kami masuk jalan Pramuka, gedung-gedung relatif aman, hanya di jalanan ada sejumlah kendaraan dirusak atau dibakar. Di jalan layang Pramuka-Salemba, kami juga harus melewati sekitar lima mobil yang hangus terbakar di atasnya. Di jalan Matraman raya di bawah kami, sejumlah bangunan luluh-lantak dirusak massa. Termasuk Pos Polisi Matraman, Toko Buku Gramedia, Fuji Film dan sebuah showroom.
Setelah berjuang melewati jalanan yang mengerikan bak perang di Bosnia atau Lebanon, kami akhirnya sampai di kampus UI Salemba. Kami langsung menemui Pemred Media Aesculapius bernama Wiwiek dan beristirahat sebentar di sana seraya bertukar informasi. Dari Wiwiek inilah saya mendapatkan bendera palang merah untuk dipasang di mobil saya. Di kampus ini, masih banyak aktivis terutama dari Posko KBUI yang berafiliasi ke Forum Kota. Kami pun ngobrol-ngobrol dengan mereka membahas situasi dan strategi. Kontak juga terus dilakukan dengan rekan-rekan aktivis lain termasuk dengan Ketua SMUI Rama Pratama.
Saya dan beberapa rekan juga sempat menengok ke kamar jenazah RSCM, dimana para petugas paramedis dan dokter sibuk melayani ambulans yang datang silih-berganti membawa mayat-mayat yang hangus. Saya masih ingat, ada satu mayat hangus seorang pemuda yang tinggal setengah badan bagian atasnya saja. Ironisnya, ia mengenakan seragam suatu organisasi massa onderbouw Golkar yang justru sering dimintai bantuan menjaga keamanan. Dan di tangannya yang menghitam itu tergenggam satu tube pembersih wajah merek Biore. Kasihan sekali. Mati terbakar saat hendak menjarah Biore.
Menurut laporan TGPF, korban jiwa mencapai di ibukota mencapai 1.190 orang tewas dibakar atau terbakar, 27 orang tewas karean senjata atau sebab lain, 91 luka-luka. Sementara data kerugian material berupa bangunan dan kendaraan dari Pemda DKI Jakarta senilai Rp 2,5 trilyun. Ini meliputi kerusakan di 13 pasar, 2.476 ruko, 40 mall/plaza, 1.604 toko, 45 bengkel, 2 kantor kecamatan, 11 kantor polisi, 389 kantor swasta, 65 bank, 24 restoran, 12 hotel, 9 SPBU, 8 bus kota, 1.119 mobil, 821 motor, 1.026 rumah dan gereja, 486 rambu lalu lintas, 11 taman dan 18 pagar. Malam itu kami lalui dengan menegangkan dan miris menyaksikan kenyataan bahwa ibukota tengah terbakar…
{Duka kita semua untuk korban kerusuhan massal 13-14 Mei 1998. Semoga segera terungkap apa, siapa dan bagaimananya. Termasuk tentu saja aktor intelektual tertinggi yang harus bertanggung-jawab. Dan tentu saja teriring harap, semoga tak akan pernah terjadi lagi. Saya sendiri cuma “orang belakang”, masih banyak rekan aktivis lain yang bisa menceritakan pengalamannya dari sudut pandangnya untuk lebih menjernihkan sejarah.}
Sumber Foto:
Katalog Pameran Foto “Saksi Seputar Aksi ‘98”: Bidikan Aseli Mahasiswa Indonesia. Jakarta: Suara Mahasiswa Universitas Indonesia, 1998.
Katalog Pameran Foto “Kilas Balik Reformasi”: Pameran Karya Pewarta Foto Antara. Jakarta: Galeri Foto Jurnalistik Antara, 2008.
Sumber:
http://lifeschool.wordpress.com/2011/05/14/tragedi-kerusuhan-massal-13-14-mei-1998-sebuah-kesaksian-sejarah-2/
EmoticonEmoticon