6 TUNTUTAN REFORMASI 1998

June 17, 2014

6 TUNTUTAN REFORMASI 1998

1. PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM
Salah satu agenda yang diusung oleh gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa adalah tuntutan adanya penegakan supremasi hukum.Pada masa orde baru hukum hanya menjadi instrumen bagi penguasa untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan serta melindungi birokrasi dan eksekutif yang sangat korup. Ketika itu lembaga-lembaga penegak hukum telah dikebiri dan sepenuhnya dibawah kontrol kekuasaan eksekutif sehingga mereka tidak memiliki kemerdekaan dan independensi, serta tak lepas dari intervensi elit penguasa.

Secara umum belum terlihat adanya perubahan yang cukup signifikan ke arah penegakan supremasi hukum.


Pelaku KKN masih banyak yang tidak dapat dijerat hukum sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan. Fungsi prevensi umum (deterence) dan prevensi khusus melalui penerapan kebijakan penal (sanksi pidana) menjadi nihil, bahkan perilaku KKN ditengara makin meningkat. Jika di masa Orde Baru perilaku KKN hanya merupakan bentuk “perselingkuhan” antara Eksekutif dan Judikatif, kini tengah berkembang menjadi bentuk “cinta segi tiga” antara Eksekutif, Judikatif dan Legislatif.

Kondisi itu sangat mungkin karena reformasi hukum yang telah dilakukan selama ini agaknya masih terbatas pada reformasi di bidang substansi hukum yaitu dengan hanya memperbaharui berbagai UU baru. Pada hal pembentukan UU baru tidak serta merta akan menciptakan penegakan hukum yang baik. Undang-undang yang baik belum tentu menjelma dalam bentuk penegakan hukum yang baik tanpa ada penegak/pelaksana hukum yang baik. Menurut Blumberg (1970 : 5) , the rule of law is not executing. It is tralated in to reality by man in institution. Dan pembuatan peraturan perundangan tidak otomatis menciptakan kepastian hukum kecuali hanya kepastian undang-undang !

Harus diingat bahwa bekerjanya sistem hukum (penegakan hukum) tidak dapat lepas dari tiga komponen yaitu komponen substansi, komponen struktur, dan komponen kultur (Friedman, 1968 : 1003-1004). Dua komponen terakhir ini yang tampaknya masih belum banyak direformasi sehingga penegakan supremasi hukum masih mengecewakan.

Secara teoritis, supremasi hukum menuntut adanya unsur-unsur yang mencakup : a) pendekatan sistemik, menjauhi hal-hal yang bersifat ad hoc (fragmentaris); b) mengutamakan kebenaran dan keadilan; c) senantiasa melakukan promosi dan perlindungan HAM; d) menjaga keseimbangan moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil; e) hukum tidak mengabdi pada kekuasaan politik; f) kepemimpinan nasional di semua lini yang mempunyai komitmen kuat terhadap supremasi hukum; g) kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa yang bersifat top down dan perasaan hukum masyarakat yang bersifat bottom up; h) proses pembuatan peraturan perundang-undangan (law making process), proses penegakan hukum (law enforcement) dan proses pembudayaan hukum (legal awareness process) yang aspiratif baik dalam kaitannya dengan aspirasi suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan aspirasi internasional; i ) penegakan hukum yang bermuara pada penyelesaian konflik, perpaduan antara tindakan represif dan tindakan preventif; dan j) perpaduan antara proses litigasi dan non litigasi (Muladi, 2000 : 6). 

SUMBER:http://mohjamin.blogspot.com/2008/04/penegakan-supremasi-hukum-di-era.html


2. PEMBERANTASAN KKN
Sudah menjadi tontonan rutin di media elektronik dan menjadi bacaan wajib di media cetak oleh seluruh anak bangsa yang terjangkau media. Bahwa para pejabat dan mantan pejabat kita tersandung masalah korupsi dan atau penyalahgunaan kekuasaan dan keuangan negara. Tetapi anehnya mereka-mereka yang notabenenya para petinggi negara yang terhormat, panutan rakyat, harapan dan tumpuan rakyat di negeri ini sedikitpun tidak merasa malu bahkan kadang-kadang malah sebaliknya. Tidak kalah hebatnya DPR yang merupakan lembaga tertinggi negara justru menjadi sarang tikus-tikus rakus yang menggerogoti uang negara dengan berbagai alasan yang dibuat-buat dan dicari pembenarannya. Rakyat yang merasa dirinya didholimi akhirnya ikut-ikutan dengan caranya masing-masing sesuai dengan strata dan jabatannya. Itulah realitas kehidupan di negeri ini, negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi, namun masih tergolong negara miskin, negara dengan setumpuk hutang, tetapi pejabatnya kaya raya, boros, hura-hura. Negara yang mulai pejabat sampai rakyatnya sudah terbelit pada sebuah sistem yang korup.

Penyalahgunaan kekuasaan, penyuapan, pungli, korupsi, manipulasi, kolusi, nepotisme dan sejenisnya yang biasa disebut KKN sudah bukan hal langkah yang dapat kita jumpai di mana-mana dan kapan saja. Berikut ini beberapa contoh kejadian-kejadian yang sudah lazim terjadi di masyarakat bahkan sampai di birokrasi pemerintah :

-Seorang petani sawah jika ingin mendapat gilir air sawahnya lancar dia harus mau memberi tips kepada Jogoboyo//cuwowo (pamong desa/orang yang ditunjuk untuk mengatur perairan sawah).
-Seorang pedagang asongan penjual kipas dan minuman ringan di kereta eksekutifdengan dua atau tiga pak rokok Dji Sam Soe untuk petugas teknisi kereta agar bersedia mematikan sementara waktu AC gerbong agar dagangannya laku keras.


-Seorang distributor pupuk bersubsidi menimbun pupuk di gudang ratusan ton untuk memperkaya diri, sementara para petani harus merugi jutaan rupiah karena tidak mendapatkan pupuk untuk sawahnya.


-Seorang kepala sekolah negeri melakukan berbagai macam pungutan kepada siswanya dengan dalih peningkatan kualitas, padahal sudah memperoleh aneka jenis bantuan pemerintah (BOS, BOM, BKSM, dan lain sebagainya), bahkan sampai mencekik leher para orang tua murid yang jika diteliti secara seksama ujung-ujungnya adalah untuk memperkaya diri sendiri dan sangat bertentangan dengan niatan baik pemerintah yang ingin membebaskan sekurang-kurangnya meringankan biaya pendidikan bagi masyarakat (tidak salah kalau masyarakat berkata :”lebih enak ketika jamannya Pak Harto, buku sekolah tidak beli/paket, sekolah negeri tidak bayar, padahal dahulu tidak ada BOS, BKSM, BOM, dll”).


-Di mana-mana gedung sekolah roboh karena kualitas bangunan tidak sesuai dengan standart yang ada karena dari hulu sampai hilir telah terjadi penyunatan-penyunatan.
-Para caleg/cabub/cagub dan calon-calon lain rela mengeluarkan ratusan juta rupiah untuk menyuap calon pemilihnya, bahkan ada yang dengan menggunakan uang palsu.


-Anggota dewan mau mengesahkan Anggaran, peraturan dan sebagainya kalau ada uang gedognya.
-Dan lain sebagainya yang tidak cukup ditulis pada tulisan ini, sejuta cara penghuni negeri ini melakukan KKN dan sudah pasti kita dapat menjumpai di setiap tempat di negeri ini di kantor, di pasar, di jalan raya, di sawah, bahkan di hutan dan di tengah laut sekalipun.


Sebagai bagian dari masyarakat negeri ini yang amat sangat mungkin juga termasuk salah satu pelaku didalamnya, merasa prihatin dan terpanggil untuk memberikan sumbangan saran dan pemikiran kepada pemerintah dan siapa saja yang berkenan untuk bersama-sama meminimalisir terjadinya KKN di negeri ini, agar negeri kita tercinta ini menjadi negeri yang baldatun toyyibatun warobbun ghofuurun seperti yang dicita-citakan para pendiri republik ini.

Gambaran diatas memang paradoks dengan kondisi penduduk negeri ini yang terkenal agamis bahkan merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, semua pejabat, calon pejabat, rakyat menggembar-gemborkan pemberantasan KKN yang katanya warisan dari orde baru namun kenyataan mungkin sekarang lebih parah dari yang terjadi pada masa orde baru ( contoh kecil , di masa orde baru tidak ada sekolah negeri yang membayar bahkan buku pelajaran pun dipinjami/tidak beli ). Sebuah pekerjaan besar yang harus kita selesaikan bersama dengan pemerintah terutama presidennya yang punya kemauan keras untuk memberantas KKN di negeri ini.


Ada beberapa hal menurut penulis yang menjadi penyebab kenapa pemberantasan KKN sulit untuk dilaksanakan, diantaranya :
a.Hukum dan para penegak hukumnya di negeri ini masih dapat dibeli.


b.Hukum Negara dimana saja pasti memiliki kelemahan dan kekurangan ( contoh orang mencuri, baru dikatakan pencuri kalau ketahuan dan ada saksinya, seseorang akan aman dari tuduhan korupsi kalau dapat menunjukkan bukti-bukti pembelanjaan walaupun itu direkayasa ).
c.Banyaknya pelaku pelanggaran yang jika semua harus ditindak pasti penjara tidak akan muat dan bisa dikatakan pasti kantor-kantor pemerintah akan sepi ditinggal penghuni masuk bui, sekolah-sekolah akan tanpa kendali karena kepala sekolah masih diadili, sehingga dengan dalih penanganan diprioritaskan pada kasus yang besar dahulu padahal itu tidak lain karena penanganan KKN yang masih setengah hati.
d.segi finansial maupun terjadinya perubahan kearah positif.
e.Perlakuan hukuman yang tidak setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan sehingga tidak dapat menimbulkan efek jera, baik bagi si pelaku atau orang yang akan melakukan.
f.Semakin lemahnya hukum adat yang berlaku di masyarakat, kalau dahulu orang tidak banyak yang memahami hukum tetapi hukum adat dan norma yang berlaku di masyarakat itu sendiri dapat dijadikan pijakan hukum mereka bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (contoh ada cerita yang berkembang di masyarakat pelaku rentenir yang ketika meninggal dunia makamnya tidak muat dan lain sebagainya padahal itu tidak kejadian sebenarnya melainkan betapa jeleknya di mata masyarakat seseorang yang melanggar hukum).

g.Pejabat pemerintah baik eksekutif maupun legislatif tidak memberikan contoh yang baik terhadap pelaksanaan hukum, mereka sendiri yang membuat mereka pula yang melanggarnya.
h.Hilangnya rasa kasih sayang, rasa senasib seperjuangan, sebangsa dan setanah air yang dikarenakan rendahnya rasa nasionalisme. Kalau dahulu orang berpikir apa yang dapat kusumbangkan buat negeri ini, sekarang orang banyak yang berpikir apa yang aku dapatkan dari negeri ini, bahkan yang lebih parah lagi orang-orang sekarang merasa paling berjasa paling memikirkan negeri ini padahal mereka tidak segan-segannya merusak negeri yang direbut dari tangan penjajah dengan cucuran keringat, air mata dan darah dengan mengorbankan harta benda dan nyawa.


i.Rakus, gila dunia dan lupa akhirat, sehingga menghalalkan segala cara hal ini disebabkan rendahnya kadar keimanan seseorang. Tidak sedikit dari mereka mempunyai semboyan ”Wal Kedual , mbuh Watu mbuh Ungkal, mbuh Keloso mbuh Bantal, mbuh Sepatu mbuh Sandal, mbuh Celono mbuh Suwal, mbuh Ulo mbuh Kadal, mbuh Beton mbuh Aspal, mbuh Perahu mbuh Kapal, mbuh Nuklir mbuh Rudal, mbuh Haram mbuh halal, pokok kontal yo diuntal”. Jika kita mau jujur rakus dan gila dunia inilah yang merupakan sumber terjadinya segala macam penyimpangan dan pelanggaran yang pada akhirnya menjadi sumber malapetaka di muka bumi ini.

j.Hukum halal dan haram semakin dibikin rancau dan tidak jelas. Sudah jelas-jelas menyuap dibilangnya hadiah; sudah jelas-jelas korupsi dikatakan laba proyek; jelas-jelas tidak tahu dari mana asalnya uang, ulama’ pun mau menerimanya.
k.Urusan pemberantasan KKN masih hanya dibebankan pada Negara, kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam upaya menghilangkan KKN setidaknya mengurangi belum nampak kelihatan bahkan kecenderungan menyepakati.

Ada beberapa alternatif yang mungkin dapat diambil sebagai solusi disamping cara-cara yang sudah dilakukan pemerintah selama ini agar negeri ini terbebas atau sekurang-kurangnya mengurangi terjadinya pelanggaran KKN, adapun cara yang dapat ditempuh diataranya :
a. Melalui Pendekatan Kekuasaan.
b.Mencanangkan dan membuat tahun gerakan sadar nasional atau tobat nasional dari KKN atau sejenisnya yang melibatkan seluruh komponen bangsa.
c.Membuat gerakan taubat nasional, hal ini dilandasi oleh :
-Sadar atau tidak, sedikit atau banyak kita seluruh bangsa ini pernah melakukan KKN baik langsung maupun tidak langsung/menikmati hasil KKN yang dilakukan oleh orang lain.
-Sadar atau tidak, kita seluruh bangsa ini pernah tidak suka/membenci pada orang-orang yang telah berbuat KKN sehingga seperti Hadits Rasulullah yang artinya lebih kurang : “Tidak akan mati seseorang sebelum mengikuti perilaku orang-orang yang dibenci”.
-Jika kondisi KKN di negeri ini yang sulit di beratas merupakan Adzab Allah, maka salah satu jalan adalah bertaubat kepada-Nya.


3. MENGADILI SOEHARTO DAN KRONINYA
Pengusutan anak dan kroni Suharto

4. AMANDEMAN KONSTITUSI
Tujuan amandemen UUD 1945 menurut Husnie, adalah pertama, untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kekuatan rakyat, kedua, memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi, ketiga menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak agar sesuai dengan perkembangan HAM dan peradaban umat manusia yang menjadi syarat negara hukum, keempat menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasan secara tegas sistem check and balances yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan jaman, kelima menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara memwujudkan kesejahteraan sosial mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika dan moral serta solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan, keenam, melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, dan ketujuh, menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi kebutuhan dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang. MPR melalui alat kelengkapannya yaitu Badan Pekerja Majelis menurut Husnie, telah berhasil melakukan empat kali perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama diputuskan pada sidang Umum MPR 1999 yang terdiri dari sembilan pasal yaitu pasal 5, 7, 9,13, 14, 17, 20 dan 21 yang mengatur tentang kekuasaan pemerintahan negara dan pembatasan masa jabatan presiden serta pemberdayaan lembaga legeslatif yaitu DPR.

Tiga hal yang melandasi perubahan UUD 45 menurut Akbar adalah pertama, para founding fathers menyadari bahwa UUD 45 merupakan konstitusi kilat. “Bung Karno dan Bung Hatta menyadari suatu hari generasi penerus akan menyempurnakan UUD 45,” kata Akbar.

Kedua, pada prakteknya UUD 45 dijadikan alat penguasa untuk melanggengkan pemerintahan yang pada akhirnya cenderung sentralistik. “Pemerintah menggunakan untuk memperkuat kekuasaan kalau tidak mau dibilang otoritarian,” lanjutnya.
Ketiga, tuntutan yang kuat dari rakyat kebanyakan yang pada akhirnya sepakat untuk melakukan amandemen konstitusi.

Meski telah empat kali diamandemen, Akbar menegaskan bahwa yang berubah hanyalah batang tubuh UUD 45, bukan Pembukaan UUD 45. “Pembukaan tidak boleh diubah karena disana termaktub pernyataan bentuk, ideologi dan tujuan berbangsa bernegara,” tegasnya. Menurut Akbar, Pembukaan UUD 45 adalah fundamental karena memuat prinsip dasar negara yang telah disepakati bersama.
1.Hak mengeluarkan pendapat
2.Hak Angket : hak untuk menyelidiki kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
3.Hak Interpelasi : hak untuk meminta penjelasan pemerintah terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan

Selain ketiga hak di atas, anggota dewan juga memiliki beberapa hak seperti hak budget, hak imunitas, hak protokoler, hak legacy, dan hak-hak lainnya.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana yang dimaksud ayat (2). DPR mempunyai hak:
a.meminta keterangan kepada Presiden;
b.mengadakan penyelidikan;
c.mengadakan perubahan alas rancangan undang‑undang;
d.mengajukan pernyataan pendapat;
e.mengajukan rancangan undang‑undang:
f.mengajukan/menganjurkan seseorang untuk jabatan tertentu jika ditentukan oleh suatu peraturan perundang‑undangan;
g.menentukan anggaran DPR.
Selain hak-hak DPR sebagaimana yang dimaksud ayat (3), yang pada hakekatnyamerupakan hak-hak anggota, Anggota DPR juga mempunyai hak:
a.mengajukan pertanyaan;
b.protokoler;
c.keuangan/administrasi.

Hak Inisiatif adalah hak untuk mengajukan usul Rancangan Undang-Undang atau Peraturan daerah (Raperda), merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh anggota DPR/D untuk melaksanakan fungsinya di bidang legislasi.
Hak amandemen, hampir sama dengan hak inisiatif, adalah hak untuk mengajukan Perubahan Undang-Undang atau Peraturan daerah (Raperda).

Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau situasi dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket atau terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
SUMBER : http://dwiambarrini.wordpress.com/2011/05/11/tujuan-amandemen-konstitusi-indonesia/
 
5. PENCABUTAN DWIFUNGSI TNI/POLRI
Ia adalah perwujudan dari sebuah sistem penghisapan, dominasi, hegemoni, dan represi dari militer terhadap rakyat Indonesia. Dwifungsi TNI/Polri sebenarnya membuat sebuah negara di dalam negara, dengan mendirikan struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Struktur ini membuat militer dapat mengontrol kegiatan politik rakyat. Sebagai contoh, aksi buruh dipastikan akan diintimidasi dengan aparat kodim terdekat. Aksi petani pastilah akan diteror oleh koramil dan babinsa di wilayah tersebut. Begitu juga dengan kaum miskin kota serta elemen-elemen rakyat lainnya.

Bahkan dalam UU Darurat/UU PKB terlihat jelas sebenarnya peranan dari struktur ini. Struktur ini akan menjalankan fungsi-fungsi negara selama keadaan darurat mulai dari fungsi hukum sampai fungsi administrasi masyarakat. Dan dalam kenyataannya sehari-hari, tanpa harus menyatakan keadaan darurat, militer sudah mengatur segala fungsi-fungsi negara. Struktur birokrasi pemerintahan sampai struktur organisasi masyarakat RT/RW sudah disusupi oleh perwira-perwira militer. Mulai dari Mendagri, Jaksa Agung, Gubernur, Bupati, Lurah, Camat, sampai ketua RT/RW bahkan juga direktur-direktur BUMN. Bahkan masuknya militer ke kekuasaan legislatif (DPRD/DPR/MPR) sebenarnya tidak terlepas dari pola mereka masuk ke struktur birokrasi tadi. Untuk mengontrol rakyat Indonesia. Kontrol inilah yang kemudian menghambat proses demokratisasi. Rakyat menjadi hidup didalam satu nuansa represi dan intimidasi.

Dimensi pertama dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri adalah pembubaran struktur Kodam-Korem-Kodim-Koramil-Babinsa. Dimensi ini bertujuan untuk membebaskan rakyat dari satu represi dan intimidasi yang kemudian akan memacu partisipasi dan kesadaran demokratik rakyat. Argumentasi yang diberikan oleh militer bahwa strukturt ini dibutuhkan untuk menjaga keamanan teritori jelas lemah karena secara riil pembentukkan struktur ini justru untuk menyempurnakan alat-alat kekuasaan mereka. Apa yang harus dilakukan untuk mengamankan teritori negara adalah pembentukan milisi-milisi bela negara yang berbasis pada pengorganisasian perlawanan massa-rakyat. Apabila TNI tetap bersikukuh pada pendiriannya dengan tetap mempertahankan Dwi Fungsi TNI, maka keniscayaan pendelegitimasian TNI adalah hukum sejarah. Akan tetapi, bila TNI menyerahkan fungsi dan peran sosial politiknya kepada sipil sepenuh-penuhnya, dan berfungsi sebagai alat pertahanan semata, maka pembentukan milisi bela negara adalah jalan yang terbaik.

Dimensi Kedua, Pembersihan lembaga-lembaga ekstrayudisial seperti BIA, BAKIN atau BAIS dsb. Lembaga yang berada di luar jangkauan kekuasaan kehakiman dan peradilan. Lembaga tersebut memiliki wewenang yang sangat luar biasa. Ia dapat menangkap seseorang tanpa ada kejelasan hukum. Bahkan tindakan-tindakan lembaga tersebut sering kali berbau kriminal seperti penculikan dan pembunuhan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Lembaga ini berfungsi melakukan teror dan penginterogasian terhadap orang-orang yang memperjuangkan demokrasi dan hak-hak rakyat. Oleh karenanya, pembubaran lembaga-lembaga ekstrajudisial menjadi dimensi kedua dari pencabutan Dwi Fungsi TNI/Polri. Hal ini penting untuk mengembalikan prinsip trias politika yang tegas dan penegakkan hukum yang konsisten.

Dimensi Ketiga adalah pembersihan militer dari politik. Harus dipahami bahawa TNI/Polri adalah fungsi keamanan (TNI) dan ketertiban (polisi) sehingga ia tidak perlu untuk masuk dalam percaturan politik. Pentingnya Militer dibersihkan dari lapangan politik adalah untuk tetap menjaga netralitas militer agar tidak kemudian berpihak pada kekuatan politik lain selain kekuatan politik rakyat. Posisi militer yang menjadi tiang penyangga pada masa Rejim Orde Baru yang berlumuran darah tampaknya cukup menjadi contoh tentang pentingnya militer keluar dari gelanggang politik.

Dimensi Keeempat adalah penghentian dan penyitaan aset-aset ekonomi militer. Seperti dijelaskan diatas, penguasaan militer atas aset-aset ekonomi (dalam bahasa kasarnya :militer berbisnis) akhirnya mendorong miter untuk masuk dalam kekuasaan karena penguasaan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Penyitaan aset-aset ekonomi ini kemudian diserahkan pada negara untuk dikelola. Penyitaan dan penghentian praktek bisnis militer ini tentunya harus dengan prasyarat bahwa ada jaminan kesejahteraan minimum bagi para prajurit (yang kemudian menahan keinginan militer untuk berbisnis) dan anggaran militer yang cukup oleh negara.

Dimensi terakhir adalah Penegakan hukum dan HAM bagi para perwira militer pelanggarnya. Seperti diungkapkan dimuka bahwa demokrasi memiliki aturan-aturan prinsipil dalam pembangunannya yang salah satunya adalah penegakkan Hak Asasi Manusia, maka penegakkan hukum merupakan unsur penting bagi pembangunan demokrasi. Tidak dapat disangkal lagi bahwa militer Indonesia memiliki peran yang cukup besar atas penindasan yang diterima oleh rakyat Indonesia selama puluhan tahun. Pertanggungjawaban secara hukum, politik dan sejarah adalah satu-satunya jalan bagi militer untuk dapat diterima kembali di masyarakat.

Prinsip dari pencabutan Dwi fungsi TNI/Polri adalah menempatkan posisi militer sebagai militer yang profesional dan sekaligus sebagai militer rakyat yang artinya militer yang patuh pada prinsip-prinsip demokarsi kerakyatan.

SUMBER : http://gogoleak.wordpress.com/2010/07/21/dwi-fungsi-abri/

6. PEMBERIAN OTONOMI DAERAH SELUAS-LUASNYA
Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah. Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan semakin kuat.

Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut:
1.Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
2.Pengembangan kehidupan demokrasi.
3.Keadilan.
4.Pemerataan.
5.Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6.Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7.Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

SUMBER : http://asefts63.wordpress.com/materi-pelajaran/pkn-kls-9/pelaksanaan-otonomi-daerah/


http://myrocketstar.wordpress.com/2012/09/24/6-tuntutan-reformasi-1998/

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »