Senin, 25 Oktober 2010 , 17:10:00 WIB
Laporan:
Menurut rilis yang diterima Rakyat Merdeka Online, penolakan tersebut didasarkan kepada sejumlah pertimbangan.
Pertama, selama berkuasa lebih kurang 32 tahun Suharto tercatat sebagai salah satu penguasa nomor wahid yang paling banyak memiliki catatan pelanggaran HAM di dunia.
Beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang menjadi tanggung jawab Soeharto, antara lain, Tragedi Politik 65, yang memakan jutaan korban tak berdosa, tragedi kebijakan pembangunan dengan penggusuran rakyat (misalnya Kedungombo), politik pengekangan kebebasan mahasiswa, peristiwa Timor Timur, Talangsari, Penembakan
Misterius (Petrus), Tanjung Priok, DOM di Aceh, Intervensi dan Konflik
Gereja HKBP, sampai dengan Tragedi Mei 1998.
Berbagai praktik pelanggaran HAM tersebut, sampai akhir hayatnya, tidak pernah
dipertanggungjawabkan Suharto baik secara politik maupun secara hukum.
Itu artinya masyarakat korban politik Suharto sampai saat ini tidak pernah mendapatkan kebenaran, pemulihan, dan keadilan. Dengan kata lain, Soeharto tidak memiliki prasyarat dasar sebagai Pahlawan, yakni pemimpin yang bersih dan bertanggung jawab. Sebaliknya, Soeharto adalah pemimpin politik yang tangannya penuh lumuran darah rakyat yang ditindasnya. Kalaupun Soeharto disebut memiliki sejumlah jasa kepada republik ini, jasa-jasa tersebut tidak bisa menghapus
dosa-dosa politik yang dibuatnya.
Kedua, Ketetapan MPR RI No.XI/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN, masih berlaku, dan pasal 4 berbunyi:
Upaya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan presiden Soeharto.
Oleh karena itu upaya menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional
bertentangan dengan ketetapan MPR.
Ketiga, kebijakan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan prioritas politik saat ini dan ke masa yang akan datang. Kebijkan politik dan hukum prioritas yang dibutuhkan saat ini dari Rezim SBY-Boediono adalah meluruskan sejarah tragedi politik 65, mengungkap kebenaran, serta mewujudkan keadilan dengan memulihkan
hak-hak sipil politik dan hak ekonomi sosial budaya para korban politik Soeharto.
Sebagai catatan, di Sumut ratusan ribu korban langsung dan tidak langsung tragedi politik 65 yang sampai saat ini kehidupannya sungguh mengenaskan dan memprihatinkan karena hak-haknya sebagai warga negara tidak pernah dipulihkan oleh negara.
Upaya rekonsiliasi yang dilakukan sekelompok orang, dengan mengatasnamakan
keluarga Pahlawan Revolusi dan keluarga Soeharto menurut kami adalah
rekonsiliasi semu yang menghianati jutaan korban 65 lainnya.
Keempat, Suharto tercatat sebagai pemimpin politik nomor satu paling
korup di Dunia (Global Stolen Asset Recovery Initiative, United
Nations, 2005), sama dengan peringkat hasil penelitian Transparency
International, tahun 2004.
Oleh sebab itu, pemberian gelar kepahlawanan kepada Jenderal Soeharto,
seorang diktator dan pemimpin politik paling korup akan menjadi cacat
sejarah bagi pemerintahan SBY/Budiono. Partai politik, yang sedang
berkuasaa saat ini, akan ditagih oleh generasi mendatang.
Cacat dan luka terberat justru dialami oleh rakyat Indonesia sebab rakyat
akhirnya termanipulasi oleh para penguasa culas dengan pemberian gelar
kepahlwanan kepada sang diktator dan pemimpin paling korup di dunia.
Sebelumnya, Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan di
Kementerian Sosial telah menetapkan sepuluh calon penerima gelar
Pahlawan Nasional pada awal Oktober 2010. Salah satunya adalah mantan
penguasa rezim otoriter Orde Baru, Soeharto. Kesepuluh nama itu telah
diserahkan ke Dewan Gelar, Tanda Kehormatan dan Tanda Jasa sebelum
akhirnya diserahkan ke Presiden. [arp]
Sumber:
http://www.rmol.co/read/2010/10/25/7535/Inilah-Empat-Alasan-Soeharto-Tak-Layak-Jadi-Pahlawan-Nasional!-
EmoticonEmoticon