Ketika Korban Memilih Diam...

June 17, 2014
Tragedi Mei

Ketika Korban Memilih Diam...

Rabu, 12 Mei 2010 | 13:29 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Perempuan etnis Tionghoa korban kekerasan seksual dan pemerkosaan massal pada Mei 1998 masih bungkam, seolah tak ingin diingatkan kembali pada peristiwa memilukan itu. Meski begitu, mereka mendambakan realisasi komitmen negara dan masyarakat untuk pemulihan hak mereka.

"Kondisi sekarang, banyak sekali perempuan korban tragedi Mei eksodus ke luar negeri. Itu yang keluarganya mampu. Banyak korban yang pindah dari Jakarta atau Indonesia, minta identitas baru, tidak mau kembali ke Indonesia," ujar Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Andy Yentriyani saat jumpa pers di Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (12/5/2010).
Rata-rata dari mereka tidak mau diingatkan dengan pemerkosaan dan kekerasan seksual yang mereka alami. Bahkan, menurut Andy, perempuan korban Mei tidak mau berhubungan lagi dengan pendampingnya karena dianggap mengingatkan mereka terhadap tragedi itu. Mereka juga memilih bungkam karena, menurut Andy, suara mereka sering kali tidak didengar. "Ketika banyak perempuan korban melakukan testimoni, banyak terjadi penolakan, orang banyak curiga, masa sih ada korban yang bisa menyatakan pangalamannya dengan tegar?" ujar Andy.

Kemudian, saat perempuan-perempuan itu kehilangan kemampuan berbicaranya, lanjut Andy, mereka malah disangka gila. "Saat korban kehilangan omongannya, kemampuan bahasa Indonesia-nya, enggak ada yang mau percaya karena dikira gila," ujarnya.

Bentuk-bentuk penolakan terhadap testimoni perempuan korban tragedi Mei 1998 itu, menurut Andy, masih berbekas di diri korban hingga saat ini. "Mereka enggak yakin kalau sekarang mereka bersaksi. Apalagi diskriminasi terhadap etnis Tionghoa itu pun berakar. Jadi sulit bagi kita mendesak atau mengharapkan korban bisa maju untuk bertestimoni," tuturnya.

Tragedi Mei 1998 membuat korban pemerkosaan dan kekerasan seksual kehilangan teman sosialnya sehingga merasa hidup sendiri. "Ada yang tidak mau diterima oleh suami dan anak-anaknya," kata Andy.

Bahkan, pendamping perempuan korban yang berasal dari aktivis masyarakat, guru, tetangga, atau teman korban itu pun, menurut Andy, ikut bungkam dan terasing dari pergaulan. "Banyak pendamping  kehilangan kepercayaan. Ada yang tidak mau terlibat lagi dalam aktivis sosial politik, ada yang tidak dapat berelasi baik dengan pasangan," ujar Andy.

Untuk itulah, Komnas Perempuan mendesak agar pemerintah mengungkap kebenaran yang memuat upaya pemulihan bagi perempuan korban dan proses peradilan bagi pelaku. "Menurut data tim gabungan pencari fakta, ada sekitar 85 perempuan korban kekerasan seksual dan pemerkosaan tragedi Mei," imbuh Andy.

Minimal, presiden memberikan pernyataan yang mengakui adanya kekerasan seksual dan pemerkosaan yang dialami perempuan dalam tragedi Mei 1998 dan meminta maaf atas kelalaian negara melindungi perempuan.

Komnas Perempuan memperingati Tragedi Mei 1998 yang mengoyak rasa kemanusiaan. Pada 13-15 Mei 1998, terjadi penjarahan dan pembakaran yang mengarah pada komunitas Tionghoa. Dalam tragedi yang akhirnya melengserkan rezim Soeharto itu juga terjadi pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap perempuan, terutama etnis Tionghoa.

Editor : wsn
 

Sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2010/05/12/13291652/Ketika.Korban.Memilih.Diam.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »