(Studi Sejarah Politik Indonesia)
Oleh: MD Kartaprawira
Serie 5
KEMELUT PDI DAN TRAGEDI 27 JULI
atau
TRAGEDI DEMOKRASI DI INDONESIA
### Mengapa Megawati mesti harus digulingkan ###
Pemerintahan Orde Baru dimana berkuasa para militer dan kaum birokrat telah
tidak populer di kalangan rakyat. Sebab kebijaksanaannya dalam lapangan
politik, sosial dan ekonomi tidaklah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi
dan cita-cita Pancasila. Bahkan pembangunan yang dibangga-banggakan pada
kenyataannya malah menimbulkan kesenjangan yang makin melebar antara sikaya
dan simiskin.
Terpilihnya Megawati Sukarnoputri sebagai Ketua PDI dalam Munas PDI pada
tahun 1993 adalah suatu peristiwa bersejarah dalam kehidupan kepartaian di
Indonesia di masa Orde Baru. Sebab hal ini merupakan bukti bahwa aspirasi
arus bawah (rakyat) yang selama ini selalu dibungkam dan ditekan oleh
penguasa, telah berhasil menjebol kontrol penguasa atas kehidupan intern
partai dan membuka jalan ke demokrasi di Indonesia.
Sementara itu kepopuleran, kepercayaan dan dukungan rakyat (terutama massa
PDI) terhadap Megawati Sukarnoputri berkembang begitu cepat. Bahkan
selanjutnya timbul isu tentang pencalonan dia sebagai presiden Republik
Indonesia ke-tiga, yang mendapat tanggapan positip dari rakyat. Hal-hal
tersebut diatas kiranya merupakan suatu signal yang membahayakan bagi
kelangsungan kekuasan Orde baru. Maka logislah kalau ada usaha-usaha dari
penguasa untuk menggoyang kedudukan Megawati dari kepemimpinannya sebagai
Ketua PDI. Salah satu pelaksanaan usaha-usaha tersebut dimulai dengan
timbulnya kasus DPD Kembar dalam PDI Jawa Timur. Gubernur Jawa Timur Basofi
Sudirman, sebagai pembina parpol, selama dua tahun tidak mau mengakui DPD
dibawah Sucipto, yang diakui sah oleh pimpinan pusat PDI (Megawati). Jadi
Gubernur Basofi telah dengan sengaja mencampuri urusan intern PDI dengan
mengabaikan keputusan-keputusan organisasinya. Bagaimanapun juga, putusan
terakhir haruslah di tangan Megawati, sebagai Ketua Umum PDI. Bukannya
Basofi, orang luaran PDI, apapun fungsinya.
Puncak campur tangan penguasa dalam urusan intern PDI ini terjadi dalam
kasus DPP PDI Tandingsn dibawah pimpinan Suryadi, sebagai hasil Kongres
Medan (22 Juni 1996). Tentang keabsahan Kongres Medan ini dan semua
keputusannya sangat diragukan. Sebab Kongres Medan dilaksanakan tanpa
mengikut sertakan Megawati sebagai Ketua Umum PDI resmi dan 10 orang anggota
Dewan Pimpinan Pusat PDI lainnya. Bukankah ini merupakan suatu coup d'etat
partai? Kalau dikatakan bahwa penguasa secara kasar mengadakan campur tangan
adalah sukar untuk dibantah. Sebab kongres tersebut berjalan berkat biaya,
fasilitas dan bantuan-bantuan lainnya dari pemerintah. Apalagi dengan
pernyataan pemerintah (Mendagri) yang hanya mengakui DPP PDI pimpinan
Suryadi sebagai yang sah dan menyatakan DPP Megawati Sukarnoputri sebagai
illegal, telah membuktikan dengan jelas campur tangan penguasa untuk
menyingkirkan Megawati dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia.
Tindakan pemerintah tersebut diatas oleh masyarakat luas dianggap tindakan
sewenang-wenang yang bertentangan dengan etika-moral politik,
prinsip-prinsip demokrasi dan Pancasila. Maka mengalirlah solidaritas dan
dukungan kepada Megawati dari berbagai organisasi: PNI Baru, YKPK, Masymi
Baru, NU, PRD, PUDI, ALDERA, LSM-LSM dan organisasi-organisai
pemuda-mahasiswa lainnya. Maka adalah suatu hal yang logis kalau gerakan
solidaritas membela PDI Megawati ini berobah berkembang menjadi gerakan
perjoangan pro-Demokrasi di Indonesia. Disini tokoh Megawati Sukarnoputri
sudah merupakan simbul perjuangan untuk demokrasi. Maka kiranya tidak ada
alternatif lain bagi penguasa, kecuali harus membantu Suryadi sekuat tenaga
untuk merealisir kepemimpinannya dalam Partai demokrasi Indonesia.
### Mengapa timbul Tragedi 27 JUli ###
Sejak timbulnya DPP PDI Tandingan dibawah pimpinan Suryadi, gedung kantor
DPP PDI Megawati di jl. Diponegoro 58 setiap hari dan malam dijaga oleh
ratusan pendukung-pendukungnya dengan tujuan supaya kantor tersebut tidak
direbut dengan kekerasan oleh pendukung-pendukung Suryadi. Disamping itu di
gedung tersebut setiap hari digelar 'Mimbar Bebas', dimana para orator
mengemukan pendapatnya secara terbuka tentang demokrasi di Indonesia dan
nasib bangsa Indonesia dewasa ini dan kemudian hari. Dengan demikian kantor
DPP PDI di jalan Diponegoro ini telah menjadi pusat pendidikan dan informasi
politik bagi pemuda-pemuda yang berdatangan tidak hanya dari Jakarta, tetapi
dari berbagai-bagai kota di Indonesia. Kegiatan-kegiatan inilah yang lebih
menakutkan lagi bagi penguasa. Untuk mencegah berlangsungnya kegiatan
tersebut penguasa memerintahkan agar Mimbar Bebas dihentikan, dengan alasan
bahwa massa hadirin yang berlimpah-limpah menyebabkan gangguan lalulintas.
Karena alasan tersebut tidak menghasilkan apa-apa, maka keluarlah alasan
yang bersifat repressif: bahwa Mimbar Bebas tersebut diatas telah merupakan
gerakan yang menjurus kepada makar terhadap pemerintah. Dengan demikian
jelaslah langkah apa selanjutnya yang akan dilakukan penguasa untuk
membungkam Mimbar Bebas tersebut: yaitu kantor DPP PDI harus direbut dari
pendukung-pendukung Megawati.
Pada kira-kira jam 6.30 Sabtu 27 Juli, setelah jalan-jalan yang menuju
kantor DPP PDI diblokir oleh polisi dan tentara, kira-kira 800 pemuda yang
sudah disiapkan sebelumnya,dengan ganas menyerang pendukung-pendukung
Megawati (kira-kira 200 orang) yang menjaga gedung tersebut. Para saksi-mata
menyatakan bahwa para penyerang yang beruniform 'pendukung PDI Kongres
Medan' adalah orang-orang sewaan dan tentara. Beberapa jam setelah kantor
DPP berhasil direbut oleh penyerbu, maka medan pergolakan beralih
ditempat-tempat lain (jl. Salemba, jl. Cikini dsb.) dimana ribuan pendukung
Megawati yang sangat marah berdatangan telah campuh dengan tentara dan
polisi.Maka timbulnya ekses menjadi tidak terelakkan lagi. Suatu sumber
tidak resmi mengabarkan tentang akibat pergolakan tersebut adalah: meninggal
dunia 40-50 orang (menurut siaran pemerintah hanya 2 orang), kira-kira 140
orang tidak diketahui keberadaannya, 20 buah gedung mengalami kerusakan, 91
buah mobil dan bus dibakar. Suatu ekses yang sangat menyedihkan.
### Bisakah Tragedi 27 Juli dihindarkan? ###
Sejak timbulnya PDI Tandingan di bawah pimpinan Suryadi yang diakui
legalitasnya oleh pemerintah, Megawati Sukarnoputri telah berusaha menempuh
penyelesaian dengan jalan damai, bukannya jalan kekerasan. Karena Republik
Indonesia adalah negara hukum, maka penyelesaian semua masalah yang
bersangkutan dengan kemelut PDI tersebut oleh Megawati diserahkan kepada
pengadilan.
Seandainya pemerintah mengambil kebijaksanaan yang arif sesuai dengsn
prinsip musyawarah yang demokratis dan aktif mengusahakan pendekatan kedua
belah pihak yang bersengketa selama belum ada penyelesaian dari jalur hukum,
tragedi tersebut diatas akan bisa dihindarkan. Memang untuk itu harus ada
modus vivendi, harus ada take and give. Tapi ternyata pemerintah telah
menghapus rolnya sebagai 'pembina partai politik' yang arif dan bijaksana
dan yang berdiri diatas semua pihak. Penguasa telah memilih cara
penyelesaian kemelut PDI dengan cara pendekatan kekuatan dan kekerasan, yang
merupakan kesalahan fatal dan tak terhormat di mata rakyat. Adalah sukar
bagi siapapun untuk meyakinkan rakyat, bahwa pemerintah bukan sutradara dari
tragedi tersebut. Tragedi 27 Juli 1996 (bersama prolog dan epilognya) telah
membuktikan kepada rakyat Indonesia dan internasional bahwa penguasa
Indonesia dewasa ini adalah penguasa yang non-demokratik, yang mengutamakan
pendekatan kekerasan, yang mengakibatkan terinjak-injaknya demokrasi dan
hak-hak azasi manusia.
Akhirulkalam, dari uraian tersebut diatas dapatlah dikatakan bahwa 'Tragedi
27 Juli' adalah suatu mata rantai dari realitas sistim kekuasaan yang
menggunakan nama indah 'Demokrasi Pancasila'.
Sumber:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/08/05/0081.html
EmoticonEmoticon