Suharto Dalang Pembunuhan Para Jenderal

June 18, 2014

Suharto Dalang Pembunuhan Para Jenderal



SELESAI bertugas dalam Operasi 17 Agustus, A. Yani diangkat menjadi Deputi Kasad, kemudian, ketika Menteri Pertama Ir. Juanda meninggal dan reshuffle kabinet pada pertengahan tahun 1963, A. Yani menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat. Dalam kabinet yang baru di-reshuffle itu, Dr. Subandrio, Chaerul Saleh, dan Dr. J. Leimena diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I, II, dan III. Jenderal A.H. Nasution diangkat menjadi Menteri Koordinator (Menko) bidang Pertahanan dan Keamanan. D.N. Aidit dari PKI juga diangkat sebagai Menko.

Dengan keadaan yang rupa-rupanya dirasakan oleh Bung Karno, dia menyampaikan amanah kepada Jenderal A. Yani: "...kalau sampai terjadi apa-apa pada diri saya, engkau, Yani, supaya menggantikan saya." Yani yang merasa belum siap menyarankan: "....apakah tidak sebaiknya diambil dari salah seorang Waperdam saja, Mas Ban, Mas Chaerul, atau Pak Leimena." Bung Karno menjawab: "Bandrio itu onbetrouwbaar (tidak dapat dipercaya), Chaerul masih suka ngoboy, Pak Leimena cocok kalau jadi dominee di gereja, yang tepat adalah Engkau." (Mashi, hal. 44, Ultimus 2010)

Pembicaraan antara Bung Karno dan Jenderal A. Yani ini, ternyata bukan hanya diketahui oleh mereka berdua, namun beberapa petinggi Militer juga dapat menciumnya. Dan terutama, sekali Jenderal Suharto, yang duduk sebagai Pangkostrad. Amanah Bung Karno kepada A.Yani ini membuat darah Jenderal Suharto menggelegak, dendamnya melonjak. Kenapa Yani, kenapa bukan dirinya yang dipilih, bukankah dia lebih senior dari A.Yani? Watak licik Suharto menguasai dirinya. Hatinya penuh dendam ketika A.Yani menamparnya begitu masalah penyelundupan terbongkar.

"Ketika Kolonel Suharto menjabat sebagai Panglima Diponegoro, ia dikenal sebagai sponsor penyelundupan dan berbagai tindak pelanggaran ekonomi lain dengan dalih untuk kesejahteraan anak buahnya. Suharto membentuk geng dengan sejumlah pengusaha seperti Lim Siu Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong, konon masih saudara tirinya. Dalam hubungan ini Kolonel Suharto dibantu oleh Letkol Munadi, Mayor Yoga Sugomo, dan Mayor Sujono Humardani. Komplotan bisnis ini telah bertindak jauh antara lain dengan menjual 200 truk AD selundupan kepada Tek Kiong.

Persoalannya dilaporkan kepada Letkol Pranoto Reksosamudro yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Staf Diponegoro, bawahan Suharto. Maka MBAD membentuk suatu tim pemeriksa yang diketuai Mayjen Suprapto dengan anggota S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo. Langkah ini diikuti oleh surat perintah Jenderal Nasution kepada Jaksa Agung Sutarjo dalam rangka pemberantasan korupsi untuk menjemput Kolonel Suharto agar dibawa ke Jakarta pada 1959. Ia akhirnya dicopot sebagai Panglima Diponegoto dan digantikan oleh Pranoto. "Menurut Dr. Soebandrio, Waperdam I, saat mengetahui ulah Soeharto, kontan A. Yani marah. Pada suatu kesempatan, Yani bahkan sampai menempeleng Soeharto, karenapenyelundupan itu dinilai memalukan korps". Kasus Suharto tersebut akhirnya dibekukan karena kebesaran hati Presiden Sukarno. (D&R, 3 Oktober 1998:18)

Nasution mengusulkan agar Suharto diseret ke pengadilan militer, tetapi tidak disetujui oleh Mayjen Gatot Subroto. Kemudian ia dikirim ke Seskoad di Bandung. Suharto sendiri dalam otobiografinya mencatat persoalan itu sebagai menolong rakyat Jawa Tengah dari kelaparan, maka ia mengambil prakarsa untuk melakukan barter gula dengan beras dari Singapura (Soeharto 1989:92). Ia tidak menyinggung sama sekali adanya tim penyelidik dari MBAD. Selanjutnya ketika Suharto hendak ditunjuk sebagai Ketua Senat Seskoad, hal itu ditentang keras oleh Brigjen Panjaitan dengan alasan moralitas (Detak, 5 Oktober 1998:5), artinya moral Suharto sebagai manusia, apalagi sebagai prajurit, tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Silang pendapat dengan Jenderal Yani lebih serius, hal itu bersangkutan dengan bagaimana seharusnya peranan Kostrad dengan merujuk sejarah Kostrad (Crouch 1999:104). Demikianlah sedikit banyak Suharto memiliki pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan dengan ke tujuh rekannya tersebut dalam perjalanan kariernya. Selama 32 tahun kekuasaannya para anggota geng Suharto mendapatkan tempat terhormat yang setimpal, sebaliknya dengan lawan-lawannya termasuk Jenderal Nasution setelah dicopot sebagai ketua MPRS dan juga dengan Mayjen Pranoto yang kemudian ditahan bertahun-tahun tanpa proses. Perkembangan sejarah menunjukkan bahwa Suharto benar-benar tidak "sebodoh" yang diperkirakan Jenderal Nasution, juga tidak sekedar koppig seperti yang disebut oleh Bung Karno". (HARSUTEJO: JEJAK HITAM SOEHARTO Rabu, 17 Mei 2006, 19:18:18 Berita Rakyat Merdeka-Baca juga Mashi hal. 28, terbitan Ultimus 2010)

Untuk membalas dendam dan sakit hati terhadap orang-orang yang "mencelakakannya" dalam peristiwa penyelundupannya itu, yaitu Jen. A.H.Nasution, A.Yani, Suprapto , S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dan D.I. Panjaitan, Suharto menggunakan tangan Letkol. Untung Samsuri yang ketika itu adalah Komandan Kesatuan Pengawalan Presiden Cakrabirawa. Suharto memulai dengan mencarikan jodoh buat Untung yang merupakan anak buahnya semenjak zaman Revolusi, menghadiri pernikahannya yang jauh dipelosok, hingga pada saatnya, melalui intel-intelnya menghembuskan isu "dewan jenderal". Dan ketika Untung yang fanatik kepada Bung Karno menyampaikan kepada Suharto bahwa dia akan menangkap para jenderal yang akan melakukan kudeta dan membawanya kepada Presiden Soekarno, dengan bersemangat Suharto menyambut dan merestuinya. Soeharto mengatakan sikap itu sudah benar. "Bagus kalau Kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu­ragu," demikian kata Soeharto menurut Letkol. Untung, seperti yang diceritakan kepada dan kemudian dikisahkan kembali oleh Subandrio, yang selama orba ditahan bersama Letkol. Untung. Malahan, menurut penjelasan Untung, Soeharto menawarkan bantuan pasukan. "Kalau perlu bantuan pasukan akan saya bantu. Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah."

Selaku Panglima Kostrad, Soeharto memberi perintah dengan telegram No. T.220/9 pada tanggal 15 September 1965 dan mengulanginya lagi dengan radiogram No. T.239/9 tanggal 21 September 1965 kepada Yon 530 Brawijaya Jawa Timur dan Yon 454 Banteng Raider Diponegoro Jawa Tengah (Batalyon dimana Untung pernah jadi Komandannya), untuk datang ke Jakarta dengan kelengkapan tempur penuh. Ketika datang ke Kostrad, diterima oleh Soeharto dan juga dilakukan inspeksi pasukan pada tanggal 29 September 1965. Sedangkan Yon 328 Siliwangi datang dengan tanpa peluru. Tanggal 30 September 1965 jam 17.00, Yon 454 diperintahkan ke Lubang Buaya untuk bergabung dengan pasukan lainnya guna melakukan gerakan pada malam harinya.

Suharto benar-benar telah mempersiapkan untuk melaksanakan apa yang perbah disampaikan Letkol. Untung kepadanya. Dalam pikirannya sudah terbayang akan "musuh­musuhnya" yang bakal tidak berdaya. Bahkan, ketika malam 30 September 1965 Kol. A. Latief mendatangi Suharto di RS PAD dan melaporkan bahwa "operasi" akan dilangsungkan beberapa jam lagi, Suharto ayem-ayem saja. Tiada bantahan tiada penolakan. Dalam kepalanya sudah tergambar "kemenangannya". Menurut seorang saksi, tulis Dr. Subandrio, segera sesudah itu Soeharto segera berangkat ke Kostrad untuk konsolidasi pasukan dan keliling kota melihat-lihat keadaan, lewat di depan RRI, kantor Telkom, dan TVRI.

Kedatangan-kedatangan Kolonel Latief pada tanggal 18 September, 28 September, 29 September, dan 30 September 1965 malam hari di RS PAD, yang melaporkan, membicarakan, dan mematangkan rencana gerakan penculikan para jenderal, tanpa ada pencegahan atau larangan dari Soeharto, ataupun melaporkannya kepada atasan maupun kepada Presiden, adalah merupakan bukti persetujuan dan keterlibatan Soeharto atas penculikan bahkan pembunuhan atas para Jenderal yaitu A.H. Nasution, A.Yani, Suprapto , S Parman, MT Haryono, Sutoyo dan D.I. Panjaitan.

Dan sesungguhnya, itulah yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965. Tidakkah Suharto adalah dalang dari pembunuhan para Jenderal AD yang merupakan rivalnya itu?
Untuk lebih jelasnya, silahkan ikuti artikel dibawah ini. Salam: Y. T. Taher, 5 Oktober 2013.
Soeharto Dalang Pembunuhan Ahmad Yani....?!
Posted by Jo
10 months ago

Kesaksian mantan Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama HARYA SUDIRJA bahwa Bung Karno menginginkan Menpangad Letjen Achmad Yani menjadi Presiden kedua bila kesehatan Proklamatoritu menurun, ternyata sudah lebih dahulu diketahui isteri dan putra-putri pahlawan revolusi tersebut.

"Bapak sendiri sudah cerita kepada kami (isteri dan putra-putri Yani) bahwa dia bakal menjadi Presiden.Waktu itu Bapak berpesan, jangan dulu bilang sama orang lain", ujar putra-putri Achmad Yani : Rully Yani, Elina Yani,Yuni Yani dan Edi Yani - Sebelumnya diberitakan dalam acara diskusi "Jakarta - Forum Live, Peristiwa G-30S/PKI, Upaya Mencari Kebenaran" terungkap kesaksian baru, yaitu beberapa hari sebelum peristiwa kelam dalam sejarah republik ini meletus, Bung Karno pernah meminta Menpangad Letjen Achmad Yani menggantikan dirinya menjadi presiden bila kesehatan proklamator itu menurun.

Kesaksian tersebut disampaikan salah satu peserta diskusi: Harya Sudirja. Menurut mantan Menteri Pengairan Dasar zaman Orde Lama ini, hal itu disampaikan oleh Letjen Achmad Yani secara pribadi pada dirinya dalam perjalanan menuju Istana Bogor tanggal 11 September 1965.

Putra-putri Achmad Yani kemudian menjelaskan, kabar baik itu sudah diketahui pihak keluarga 2 (dua) bulan sebelum meletusnya peristiwa berdarah G-30S/PKI. "Waktu itu ketika pulang dari rapat dengan Bung Karno beserta para petinggi negara, Bapak cerita sama ibu bahwa kelak bakal jadi presiden", kenang Yuni Yani, putri keenam Achmad Yani. 

"Setelah cerita sama ibu, esok harinya sepulang main golf, Bapak juga menceritakan itu kepada kami putra-putrinya. Sambil tertawa, kami bertanya, "Benar nih Pak?" Jawab Bapak ketika itu, "Ya", ucapnya. Menurut Yuni, berita baik itu juga mereka dengar dari ajudan Bapak yang mengatakan Bapak bakal jadi presiden. Makanya ajudan menyarankan supaya siap-siap pindah ke Istana.

Sedangkan menurut Elina Yani (putri keempat), saat kakaknya Amelia Yani menyusun buku tentang Bapak, mereka menemui Letjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai salah satu nara sumber. "Waktu itu, Pak Sarwo cerita bahwa Bapak dulu diminta Bung Karno menjadi presiden bila kesehatan Proklamator itu tidak juga membaik. Permintaan itu disampaikan Bung Karno dalam rapat petinggi negara. Di situ antara lain, ada Soebandrio, Chaerul Saleh dan AH Nasution", katanya. "Bung Karno bilang, Yani kalau kesehatan saya belum membaik kamu yang jadi Presiden", kata Sarwo Edhie seperti ditirukan Elina.

Pada prinsipnya, tambah Yuni pihak keluarga senang mendengar berita Bapak bakal jadi Presiden. Namun ibunya (Alm. Nyonya Yayuk Ruliah A.Yani) usai makan malam membuat ramalan bahwa kalau Bapak tidak jadi presiden, bisa dibunuh. "Ternyata ramalan ibu benar. Belum sempat menjadi presiden menggantikan Bung Karno, Bapak dibunuh secara kejam dengan disaksikan adik-adik kami. Untung dan Eddy. "Kalau Bapakmu tidak jadi presiden, ya nangendi (bahasa Jawa artinya: kemana) bisa dibunuh", kata Nyonya Yani seperti ditirukan Yuni. Lalu siapa pembunuhnya ?

Menurut Yuni, Ibu dulu mencurigai dalang pembunuhan ayahnya adalah petinggi militer yang membenci Achmad Yani. Dan yang dicurigai adalah Soeharto. Mengapa Soeharto membenci A. Yani ? Yuni mengatakan, sewaktu Soeharto menjual pentil dan ban yang menangkap adalah Bapaknya. "Bapak memang tidak suka militer berdagang. Tindakan Bapak ini tentunya menyinggung perasaan Soeharto".

"Selain itu, usia Bapak juga lebih muda, sedangkan jabatannya lebih tinggi dari Soeharto", katanya. Sedangkan Rully Yani (putri sulung) yakin pembunuh Bapaknya adalah prajurit yang disuruh oleh atasannya. "Siapa orangnya, ini yang perlu dicari", katanya. Mungkin juga, lanjutnya, orang-orang yang tidak suka terhadap sikap Bapak yang menentang upaya mempersenjatai buruh, nelayan dan petani. "Bapak dulu kan tidak suka rakyat dipersenjatai. Yang bisa dipersenjatai adalah militer saja", katanya. Menurut dia, penjelasan mantan tahanan politik G-30S/PKI Abdul Latief bahwa Soeharto dalang G-30S/PKI sudah bisa menjadi dasar untuk melakukan penelitian oleh pihak yang berwajib. "Ini penting demi lurusnya sejarah. Dan kamipun merasa puas kalau sudah tahu dalang pembunuhan ayah kami", katanya.

Dia berharap, kepada semua pelaku sejarah yang masih hidup bersaksilah supaya masalah itu bisa selesai dengan cepat dan tidak menjadi tanda tanya besar bagi generasi muda bangsa ini.

Kesaksian istri dan putra-putri A. Yani bahwa Bapaknyalah yang ditunjuk Bung Karno untuk jadi Presiden kedua menggantikan dirinya, dibenarkan oleh mantan Asisten Bidang Operasi KOTI (Komando Operasi Tertinggi), Marsekal Madya (Purn) Sri Mulyono Herlambang dan ajudan A. Yani, Kolonel (Purn) Subardi.

Apa yang diucapkan putra-putri Jenderal A. Yani itu benar. Di kalangan petinggi militer informasi tersebut sudah santer dibicarakan. Apalagi hubungan Bung Karno dan A. Yani sangat dekat, ujar Herlambang. Baik Herlambang maupun Subardi menyebutkan, walaupun tidak terdengar langsung pernyataan Bung Karno bahwa dia memilih A. Yani sebagai Presiden kedua jika ia sakit, namun keduanya percaya akan berita itu.

"Hubungan Bung Karno dengan A. Yani akrab dan Yani memang terkenal cerdas, hingga wajar jika kemudian ditunjuk presiden", kata Herlambang. "Hubungan saya dengan A. Yani sangat dekat, hingga saya tahu betapa dekatnya hubungan Bung Karno dengan A. Yani", ujar Herlambang yang saat ini sedang menyusun buku putih peristiwa G-30S/PKI.

Menyinggung tentang kecurigaan Yayuk Ruliah A. Yani (istri A. Yani), bahwa dalang pembunuh suaminya adalah Soeharto, Herlambang mengatakan bisa jadi seperti itu. Pasalnya 2 (dua) bulan sebelum peristiwa berdarah PKI, Bung Karno sudah menunjuk A. Yani sebagai penggantinya.

Tentu saja hal ini membuat iri orang yang berambisi jadi presiden. Waktu itu peran CIA memang dicurigai ada, apalagi AS tidak menyukai Bung Karno karena terlalu vokal. Sedangkan Yani merupakan orang dekat Bung Karno. Ditambahkan Herlambang, hubungan A. Yani dengan Soeharto saat itu kurang harmonis. Soeharto memang benci pada A. Yani. Ini gara-gara Yani menangkap Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban. Selain itu Soeharto juga merasa iri karena usia Yani lebih muda, sementara jabatannya lebih tinggi.

Terlebih saat A. Yani menjabat Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD), Bung Karno meningkatkan status KASAD menjadi Panglima Angkatan Darat. "Dan waktu itu A. Yani bisa melakukan apa saja atas petunjuk Panglima Tertinggi Soekarno, tentu saja hal ini membuat Soeharto iri pada A. Yani. Dijelaskan juga, sebenarnya mantan presiden Orde Baru itu tidak hanya membenci A. Yani,tapi semua Jenderal Pahlawan Revolusi. 

D.I. Panjaitan dibenci Soeharto gara-gara persoalan pengadaan barang dan juga berkaitan dengan penjualan pentil dan ban. Sedangkan kebenciannya terhadap MT. Haryono berkaitan dengan hasil sekolah di SESKOAD. Disitu Soeharto ingin dijagokan tapi MT.Haryono tidak setuju. Terhadap Sutoyo, gara-gara ia sebagai Oditur dipersiapkan untuk mengadili Soeharto dalam kasus penjualan pentil dan ban itu.

Menurut Subardi, ketahuan sekali dari raut wajah Soeharto kalau dia tidak menyukai A. Yani. Secara tidak langsung istri A. Yani mencurigai Soeharto. Dicontohkan, sebuah film Amerika yang ceritanya AD di suatu negara yang begitu dipercaya pemerintah, ternyata sebagai dalang kudeta terhadap pemerintahan itu. Caranya dengan meminjam tangan orang lain dan akhirnya pimpinan AD itulah yang   menjadi  presiden. "Peristiwa G-30S/PKI hampir sama dengan cerita film itu", kata Nyonya Yani seperti ditirukan Subardi.
Catatan   penulis:
Saya ambil artikel ini dari berbagai sumber dan milis-milis dengan harapan klarifikasi dari para pembaca yang budiman. Sampai saat ini masih menggelayut pertanyaan di setiap kepala rakyat Indonesia tentang bagaimana fakta yang sebenarnya dari peristiwa kelam ini. Masih ada tokoh­-tokoh dan narasumber dari kisah kelam sejarah masa lalu ini yang masih hidup.

Disinilah perlunya penuntasan 1000/o dan jawaban yang adil dan penyelidikan yang transparan bagi masalah yang menyangkut peristiwa G30S. Masih diperlukan penyelidikan lanjutan yang independen untuk menyingkap fakta-fakta seputar sejarah kelam ini.
JAS MEFtAH : Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah! demikian kata Bung Karno.

http://www.memobee.com/bulcti-terbaru-g30s-plci-soeharto-dalang-pembunuhan­ahmad-yani-7262-eii.html (POsted by JO )

Jakarta, Oktober 2013
ExLibris 1965 <exlibris1965@gmail.com>


Sumber:
http://www.sumbawanews.com/berita/suharto-dalang-pembunuhan-para-jenderal

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »