BONGKAR TERUS LATAR-BELAKANG KERUSUHAN MEI 1998

June 17, 2014
Catatan A. Umar Said
(perhatian: tulisan ini juga disajikan dalam website
http://perso.club-internet.fr/kontak/ )


BONGKAR TERUS LATAR-BELAKANG KERUSUHAN MEI 1998


Peristiwa kerusuhan bulan Mei tahun 1998 baru saja diperingati dengan
beraneka-ragam cara oleh berbagai kalangan di Indonesia. Memang, kejahatan
besar-besaran yang terjadi lima tahun yang lalu perlu kita peringati
bersama, sebagai renungan, sebagai pelajaran, dan juga sebagai gugatan.
Kenyataan bahwa terjadi serentetan kerusuhan, pembakaran, perusakan, dan
pembunuhan di berbagai kota pada waktu yang hampir bersamaan membuktikan
bahwa ada perencanaan atau pengorganisasian. Artinya, ada para penggeraknya
dan para pelakunya, dan, karenanya ada orang-orang yang harus dituntut
pertanggungan jawab mereka.

Sebab, oleh karena peristiwa-peristiwa itu ratusan ribu orang - secara
langsung, atau tidak langsung - menderita dalam berbagai kadar dan bentuk,
dan kehilangan harta benda milik pribadi. Kerugian dan kerusakan material
adalah besar sekali, sampai triliunan Rupiah. Sebab, ribuan gedung,
toko-toko, kantor dan rumah menjadi hancur, atau dibakar, atau dijarah
Namun, kerusakan di bidang mental adalah jauh lebih besar lagi. Ada masalah
trauma, ada masalah luka hati, dan ada masalah dendam yang masih terpendam.
Karena di samping adanya banyak penganiayaan dan penghinaan, terjadi juga
perkosaan terhadap sejumlah besar wanita keturunan etnis Tinghoa.

Peristiwa bulan Mei 1998 menunjukkan dengan jelas bahwa politik rezim
militer Orde Baru (yang intinya adalah Golkar dan TNI-AD) adalah sumber
utama dari kerusuhan besar-besaran ini. Oleh karena itu memperingati
peristiwa bulan Mei 1998 adalah berarti membongkar lebih jauh kejahatan dan
kesalahan Orde Baru. Tidak bisa lain. Hubungan antara peristiwa bulan Mei
1998 dan akibat politik Orde Baru adalah erat sekali.


SECARA SISTEMATIS DAN MELUAS

Menurut Suara Pembaruan tanggal 9 Mei 2003 “Dari keterangan para saksi yang
sudah diperiksa, Tim Ad Hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
mengambil kesimpulan sementara, ada indikasi kerusuhan pada 13-15 Mei 1998
dilakukan secara sistematis dan meluas. Itu berarti juga ada dugaan terjadi
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam kasus itu.

Hal itu dikatakan anggota Komnas HAM Enny Soeprapto kepada wartawan usai
menerima Komite Kerja Tragedi Mei 1998, di kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis
(8/5). Dia menjelaskan, indikasi kerusuhan itu dilakukan secara sistematis
dan meluas karena peristiwa itu terjadi di lima kota besar Indonesia pada
saat yang hampir bersamaan dengan pola yang sama.

Polanya, ada pengumpulan massa dan ada provokator yang mendorong massa
melakukan penjarahan. Kendati para provokator itu tidak melakukan
penjarahan. Selain itu, para provokator juga melakukan pembakaran terhadap
toko dan pusat-pusat perbelanjaan yang kemudian diikuti oleh massa.

Pada saat bersamaan, ketika massa melakukan penjarahan dan pembakaran
terhadap toko dan pusat-pusat perbelanjaan, aparat keamanan tidak satu pun
yang ada di lapangan untuk menghentikan kerusuhan itu. "Kalau saja ada
aparat keamanan waktu itu, mungkin kerusuhan itu tidak sampai meluas. Di
Jakarta saja ada 57 titik kerusuhan. Sejumlah 27 titik di antaranya terjadi
pada saat bersamaan," katanya.

Ketika ditanya soal rencana pemanggilan saksi dari pihak militer, Enny
menegaskan, Tim Ad Hoc Komnas HAM kasus kerusuhan Mei 1998 akan melayangkan
surat pemanggilan kepada beberapa jenderal dan mantan jenderal minggu depan
untuk dimintai keterangannya. Menurut dia, kehadiran para jenderal dan
mantan jenderal itu sangat penting bagi penegakan HAM di Indonesia. "Mayor
Jenderal Sjafrie Sjamsuddin salah satu yang akan dimintai keterangannya,"
katanya. (kutipan selesai)

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas Ham Salahuddin Wahid dalam tulisannya di
harian KOMPAS (14 Mei 2003) menyatakan antara lain : “Komitmen terhadap
kebenaran, keadilan, dan penghormatan terhadap harkat kemanusiaan, serta
dilandasi oleh keinginan agar kasus Mei 1998 tidak terulang, maka Komnas HAM
membentuk Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei 1998. Tim ini telah melakukan pemeriksaan
terhadap empat puluh enam saksi korban dan saksi mata. Berdasarkan
pemeriksaan itu, kesimpulan sementara menunjukkan, kerusuhan Mei 1998 terjadi secara meluas,
terencana, dan sistematis. Unsur meluas dan sistematis ini mengarah pada
dugaan keras bahwa telah terjadi pelanggaran berat HAM pada kerusuhan Mei
1998. Tim Ad Hoc selanjutnya akan melakukan penyelidikan projustisia
terhadap aparat keamanan, baik polisi maupun tentara yang bertanggung jawab
atas keamanan dan penegakan hukum saat itu, mulai dari struktur tertinggi
hingga yang terendah.”


TIM GABUNGAN PENCARI FAKTA

Peristiwa kerusuhan Mei 1995 tidak boleh dilupakan begitu saja. Mala-petaka
yang diciptakan oleh kejahatan besar-besaran ini perlu terus-menerus
diperingati. Tidak untuk menyebarkan perpecahan atau memupuk dendam, tetapi
untuk menjadi pelajaran bagi bangsa supaya jangan teruilang lagi. Untuk bisa
menjadi pelajaran, perlu ditegakkan hukum dan perasaan keadilan. Menegakkan
hukum berarti menghukum yang melakukan kesalahan, pelanggaran atau
kejahatan. Perasaan keadilan hanya dapat dibangun, kalau hukum benar-benar
dapat ditegakkan, dan ditrapkan secara tanpa pandang bulu dan dihormati
bersama.

Memang, dalam usaha untuk menyelidiki seluk-beluk kerusuhan besar-besaran
ini pernah dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta. TGPF ini dibentuk atas
keputusan Menteri Pertahanan/Pangab, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung,
dan terdiri dari unsur-unsur pemerintah, Komisi Nasional Hak-Hak Asasi
Manusia Indonesia (Komnas HAM), LSM, dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Sejak dibentuk dalam masa tiga bulan TGPF telah melaksanakan tugas-tugasnya
yang berakhir pada tanggal 23 Oktober 1998.

TGPF menghasilkan dokumen yang cukup tebal, yang mengandung bahan-bahan yang
menarik dan penting tentang latar-belakang kerusuhan bulan Mei, dan berbagai
aspek lainnya tentang peristiwa ini. Di antara bahan-bahan itu terdapat
rekomendasi TGPF kepada pemerintah tentang langkah-langkah yang oerlu
diambil, sebagai tindak lanjut (dokumen penting ini dapat disimak lewat
Internet dengan meng-akses
http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/kerusuhan.html)

Tetapi, seperti sama-sama kita saksikan sendiri, meskipun sudah berlangsung
bertahun-tahun, laporan TGPF ini tidak mendapat perhatian yang selayaknya
dari pemerintahan Habibi, Gus Dur dan Megawati-Hamzah. Seolah-olah dianggap
sepi saja juga oleh DPR. DPR berpendapat bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM
dalam kerusuhan Mei 1998. Bahwa DPR; sebagai badan lesgislatif tertinggi
yang mewakili kepentingan rakyat mempunyai sikap yang sedemikian negatif
adalah patut disayangkan dan bahkan pantas digugat.


KOMNAS HAM DAN SUARA MASYARAKAT

Akhir-akhir ini Komnas HAM memberi perhatian kepada persoalan kerusuhan Mei
1998 ini, dan Tim Ad Hoc Kerusuhan Mei juga sudah dibentuk. Selain itu
berbagai LSM juga aktif mengangkat lagi masalah pelanggaran berat terhadap
perikemanusiaan ini, antara lain : Team Relawan untuk Kemanusiaan,
Solidaritas Nusa Bangsa, Gandi, Simpatik, Kalyanamitra dan lain-lain.
Perkembangan yang demikian ini penting. Sebab, penyelesaian secara baik
masalah kerusuhan Mei 1998 akan mempunyai dampak yang amat positif bagi
kehidupan bangsa sebagai keseluruhan, baik bagi generasi sekarang maupun
generasi yang akan datang.

Sebab, penyelesaian kasus kerusuhan Mei bukan hanya persoalan korban jiwa
yang 1217 saja, atau perkosaan biadab terhadap ratusan wanita keturunan
etnis Tinghoa saja, dan bukan pula hanya persoalan penjarahan, pembakaran,
atau perusakan ribuan toko-tkoko dan rumah-rumah di Jakarta, Solo, Surabaia,
Medan, Lampung atau Palembang saja. Melalui penyelesaian kasus kerusuhan Mei
diharapkan bisa diberantas fikiran-fikiran keliru tentang masyarakat
keturunan etnis Tionghoa. Adalah penting untuk disadari bersama bahwa
masyarakat keturunan Tionghoa adalah bagian yang sah dari bangsa Indonesia,
yang berhak mendapat perlakuan yang berperikemanusiaan sebagai sesama
warganegara Republik Indonesia.

Kasus kerusuhan Mei adalah bukti bahwa politik rezim militer Orde Baru
selama 32 tahun di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, agama, dan
kesukuan adalah tidak sehat atau keliru sama sekali. Pada dasarnya, dalam
jangka yang lama sekali politik rezim militer adalah anti-Tionghoa dan
anti-RRT atau anti-komunis. Larangan bahasa/huruf dan larangan sekolah
Tionghoa (temasuk larangan barongsai) , atau “anjuran” ganti nama, adalah
bagian dari sikap politik yang negatif ini. Tetapi, di samping itu para
pembesar rezim militer menjalankan politik persekongkolan dengan para
“cukong” dengan tujuan untuk memperkaya diri lewat korupsi, pemerasan atau
suapan. Para “cukong” ini dijadikan sapi perahan oleh para pembesar rezim
Orde Baru. Oleh sebab itulah citra masyarakat keturunan Tionghoa menjadi
negatif karena peran yang dimainkan Liem Sioe Liong, Bob Hasan, Hendra
Raharja, Eddi Tanzil; atau Tommy Winata. Dalam jangka lama nama-nama seperti
Siauw Giok Tjan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, yang memberikan corak positif
dan pandangan terhormat bagi keturunan Tionghoa, seperti dilupakan banyak
orang saja, karena akibat politik Orde Baru.


PELANGGARAN HAM SECARA BESAR-BESARAN

Dari ini sudut ini pulalah kelihatan pentingnya mengangkat kembali kasus
kerusuhan Mei. Seperti yang dicantumkan dalam ringkasan laporan TGPF (Tim
Gabungan Pencari Fakta) dan ditegaskan kembali oleh Komnas Ham ada indikasi
yang berdasarkan bukti-bukti bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang berat
dalam kasus kerusuhan Mei 1998. Dalam hal ini, peran yang dimainkan militer
adalah besar sekali dan, karenanya, dituntut pertanggungan-jawab yang besar
pula. Masalah peran militer inilah yang harus selanjutnya diusut, diperiksa
atau dibongkar. Sebab, seperti sudah dibuktikan oleh pengalaman selama 32
tahun, kalangan militer tertentu telah tidak segan-segan melakukan
tindakan-tindakan yang biadab, termasuk menghasut sebagian kecil golongan
Islam, seperti yang terjadi dalam kerusuhan Mei.

Dalam rekomendasi TGPF kepada pemerintah antara lain dinyatakan :” 1.
Pemerintah perlu melakukan penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok
dan pelaku utama peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998, dan kemudian menyusun
serta mengumumkan buku putih mengenai peranan dan tanggung jawab serta
keterkaitan satu sama lain dari semua pihak yang bertalian dengan kerusuhan
tersebut. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan penyelidikan terhadap
pertemuan di Makostrad pada tanggal 14 Mei 1998 guna mengetahui dan
mengungkap serta memastikan peran Letjen. Prabowo dan pihak-pihak lainya,
dalam seluruh proses yang menimbulkan terjadinya kerusuhan.

2. Pemerintah perlu sesegera mungkin menindaklanjuti kasus-kasus yang
diperkirakan terkait dengan rangkaian tindakan kekerasan yang memuncak pada
kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang dapat diungkap secara yuridis baik terhadap
warga sipil maupun militer yang terlibat dengan seadil-adilnya, guna
menegakkan wibawa hukum, termasuk mempercepat proses Yudisial yang sedang
berjalan. Dalam rangkaian ini Pangkoops Jaya Mayjen Syafrie Syamsoeddin
perlu dimintakan pertanggung jawabannya. Dalam kasus penculikan Letjen
Prabowo dan semua pihak yang terlibat harus dibawa ke pengadilan militer.
Demikian juga dalam kasus Trisakti, perlu dilakukan berbagai tindakan
lanjutan yang sungguh-sungguh untuk mengungkapkan peristiwa penembakan
mahasiswa (kutipan sebagian dari rekomendasi TGPF selesai)

Mengingat pentingnya penyelesaian kasus kerusuhan Mei 1998 untuk penegakan
hukum dan perasaan keadilan, yang amat diperlukan dewasa ini bagi persatuan
bangsa dan pembangunan ekonomi, maka perlu sekali kita semua memberikan
dukungan sekuat-kuatnya kepada segala usaha; dari manapun datangnya, untuk
menuntaskan penyelesaiannya. Dalam hal ini, Komnas HAM perlu didorong
terus-menerus, supaya lebih berani dan lebih tegas dalam menjalankan
tugasnya. Dengan dukungan yang kuat dan sekaligus pengawasan yang ketat dari
opini publik, kita bisa berharap bahwa Komnas HAM akhirnya dapat membikin
trobosan-trobosan baru dalam kasus kerusuhan Mei.
Dukungan yang seluas-luasnya dan bantuan yang sekuat-kuatnya kepada Komnas
HAM adalah perlu sekali mengingat bahwa sisa-sisa kekuatan Orde Baru (dan
neo-Orde Baru) masih bisa melakukan sabotase terhadap jalannya reformasi.

Paris, 17 Mei 2003

* * *

Sumber:
https://groups.yahoo.com/neo/groups/Lantak/conversations/topics/1907

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »