Kenangan Seorang Istri Korban Kerusuhan Mei 1998

June 17, 2014

Kenangan Seorang Istri Korban Kerusuhan Mei 1998

nunur
nunur

Nunur (35) tak pernah menyangka bahwa bakal ada satu hari yang paling kelam dalam hidupnya. Hari dimana, suaminya, Heri (saat kerusuhan terjadi usianya 30 tahun) menjadi korban kerusuhan dan ditemukan hanya sebentuk potongan tubuh yang gosong tanpa kepala dan tanpa kaki!


Kepada saya, Nunur menceritakan kenangannya saat kerusuhan itu berlangsung dan kronologis kejadian. “Kalo ngga salah kejadiannya hari Kamis siang, tanggal 13 Mei 1998,” ia memulai kisah.
Suaminya, Heri, yang sehari-hari bekerja sebagai pramuniaga di sebuah toko meubel kecil di samping Mall Jogja, di bilangan Klender, pulang ke rumah mereka, di kawasan Duren Sawit, sekira pukul 12 siang.

“Dia pulang, terus mandi. Saya lalu keluar sambil nyuapin anak saya yang bungsu,” kisah Ibu dari Hendrik dan Rara. Pada saat itu anaknya yang besar kelas 2 SD, dan Rara, yang kecil baru berusia 2 tahun.
“Selesai nyuapin Rara saya masuk lagi. Anak saya yang paling gede lagi nonton TV, terus saya Tanya ‘A, bapa kemana?’ dia jawab ‘Ngga tahu, Ma, tadi keluar’,” kata Nunur menirukan dialognya kala itu.

Pada saat itu, pikirannya hanya berkata bahwa Heri sedang berjualan obat-obatan CNI, pekerjaan sambilan yang selama ini dilakoninya.
Tanpa curiga apa-apa, Nunur pun menjalani aktifitasnya kembali. Hingga ia ketiduran pada pukul 10 malam. “Pada saat tidur itulah saya bermimpi suami saya mendatangi saya dengan pakaian robek-robek dan ada bercak noda darah di bajunya,” kenang Nunur.

Nunur terbangun sekira pukul 1 tengah malam. Saat itu, ia menyadari bahwa suaminya belum kunjung pulang. Kecemasan mulai menyergap hati Nunur, karena sebelumnya belum pernah Heri pulang selarut ini. Meski demikian, Nunur tak bisa berbuat apa-apa karena malam telah merambat dini hari yang sepi.

Barulah keesokan harinya, kecemasan Nunur semakin menjadi karena sang suami belum kunjung pulang. Akan tetapi, ia belum tahu jua soal kerusuhan yang terjadi di Mall Jogja yang telah terjadi sejak Kamis siang. Bahkan, ia tidak tahu bahwa api masih berkobar hebat di lantai dua dan lantai tiga pusat pebelanjaan itu hingga pukul tiga dini hari.

Pukul delapan, seorang tetangga melintas di depan rumah Nunur. Ia lalu menanyakan keberadaan Heri, saat tahu bahwa Heri belum pulang dari kemarin siang, tetangga itulah yang kemudian memberi tahu Nunur bahwa bahwa di Mall Jogja telah terjadi kerusuhan hebat, “Coba liat disana Nur, ada banyak mayat, ratusan.” Kata Nunur menirukan ucapan si tetangga.

Namun, Nunur tak mau mentah-mentah menelan informasi itu. Ia punya keyakinan bahwa suaminya pergi meninggalkaan rumah bukan hendak ke tempat pekerjaannya di dekat Mall Jogja melainkan jualan CNI. Lagipula dalam benak Nunur, suaminya yang mendatangi ia dengan pakaian robek dan noda darah itu adalah karena jatuh dari sepeda. “Maklum dia punya kebiasaaan pergi dengan sepeda kemana-mana,” kata Nunur.

Meski demikian, kecemasan terus menyergap Nunur. Pukul 10 pagi, suaminya tak kunjung tiba, Nunur mulai resah. Lalu ia mulai mencari ke beberapa rumah sakit seperti RS Pondok Kopi dan RS Persahabatan.
“Waktu keukeuh ngga mau cari ke Mall Jogja. Biarpun tetanggga-teatangga menganjurkan kesana. Saya ngga punya firasat apa-apa bakal ditinggal suami waktu itu,” kata Nunur.

Lelah mencari di RS yang tak kunjung berhasil, Nunur akhirnya menyerah. Maka ditemani kakaknya ia pun pergi ke kawasan Klender tempat suaminya bekerja di dekat Mall Jogja. Disana ia dikejutkan dengan melihat sepeda suaminya. “Saya kaget. Dan mulai ada keyakinan bahwa suami saya kesini. Lalu, saya ditemani kakak mendatangi orang pinter. Orang pinter itu juga ngasih petunjuk kalo suami saya memang ada di sekitar tempat keruushan waktu peristiwa itu terjadi,” kata Nunur.

Meski begitu, orang pinter yang didatangi Nunur masih memberi harapan. “Mudah-mudahan aja suami ibu pulang dengan selamat,” begitu katanya.

Nunur pun pulang dengan membawa sebongkah harapan itu. Namun, sampai sore suami yang dinanti ternyata tak kunjung tiba. Maka pada jam 7 malam, dengan ditemani oleh salah seorang kerabatnya, Nunur lalu pergi ke RSCM.

“Soalnya dapet info jam segitu mayat-mayat udah pada di bawa ke Cipto,” katanya. Sepanjang jalan menuju rumah sakit Nunur melihat bayangan bentuk suaminya yang gosong. “Ada bayangan yang ngikutin, bentuknya ya ngga karuan, ancur dan gosong,” kenang Nunur pahit.

Sepanjang jalan menuju RSCM ia juga disuguhi pemandangan yang tidak mengenakan. Mobil ketabrak, mobil terguling, mobil bekas dibakar, semuanya bertebaran di sepanjang jalan. “Saya bener-bener merinding. Sempat ngebatin juga, mengapa Tuhan ciptakan kehidupan yang seperti ini,” katanya.
Sampai di RSCM, Nunur segera memburu kamar mayat tempat para korban kerusuhan. Namun, diakuinya, ia tak sampai mengalami ‘ngobrak-ngabrik’ potongan-potongan tubuh manusia yang telah menjadi mayat itu. “Barangkali karena sepanjang jalan itu bayangan potongan tubuh suami saya ngikutin terus,” katanya.

Setelah ditujuki satu persatu, pada potongan tubuh hangus ke-3, Nunur yakin itulah jasad suaminya. “Waktu dia keluar rumah, dan saya lagi nyuapin anak saya yang kedua, saya ngga tahu dia pakai baju apa. Tapi begitu melihat potongan tubuh pake kaos putih dan ada logo CNI-nya saya yakin itu suami saya,” katanya.

Lagipula, bayangan potongan tubuh manusia yang membayanginya sepanjang perjalanan ke RSCM memamng persis dengan potongan tubuh yang ketiga yang ia jumpai di RSCM.

“Barangkali suami saya kirim pertanda atau apa,” katanya sendu. Hal lain yang membuatnya tambah yakin adalah celana dalam yang kenakan suaminya berwarna hijau dan sangat dikenalinya. Waktu itu ia menemukan mayat suaminya hanya berupa potongan tubuh dari leher, kemudian sebelah lengan dan tangan yang gosong, perut paha, hingga dengkul (tanpa bagian kepala dan kaki).

Perempuan berjilbab dan berkacamata ini nampak tegar saat menuturkan kenangannya kehilangan suaminya sepuluh tahun yang lalu. Namun, emosinya nampak membuncah tak tertahankan saat saya bertanya reaksi anak tertuanya, Hendrik.

“Saat mayat almarhum di bawa, anak saya yang tertua jejeritan, semuanya pada menangis, dan anak saya yang paling histeris,” sampai di bagian ini air mata Nunur menitik, matanya memerah dan sembab. “Hanya anak saya, Rara, yang waktu itu umurnya 2 tahun biasa aja, dia ngga ngerti apa-apa,” pungkas Nunur sendu. Saat ini, anaknya yang tertua duduk di kelas 3 STM, sedangkan anak bungsunya, saat ini kelas 6 SD.

(Mei 08)


Sumber:
http://itsmeitet.wordpress.com/2008/06/30/kenangan-seorang-istri-korban-kerusuhan-mei-1998/

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »