MENGUSUT KASUS KERUSUHAN MEI 98

June 17, 2014

MENGUSUT KASUS KERUSUHAN MEI 98


MERDEKA.COM. Kerusuhan Mei 1998 masih membekas dalam ingatan publik. Meski sudah 15 tahun berlalu, penyelesaian kasus ini tak kunjung selesai. Pemerintah tidak penah menindaklanjuti dengan proses hukum soal laporan investigasi disusun oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998.

Anggota TGPF Sandyawan Sumardi mengatakan kasus Mei 1998 adalah tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Dia memperkirakan kekacauan pada tanggal 13, 14, dan 15 itu menewaskan 1.880 orang. "Jumlah korban jiwa itu sangat besar dibandingkan Perang Diponegoro,” kata Sandyawan saat ditemui merdeka.com Senin lalu di kantornya di bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Pemerintah telah menyerahkan hasil penyelidikan TGPF Mei 1998 itu ke Kejaksaan Agung, namun sampai saat ini belum ditindaklanjuti hingga penyidikan. Dia menuding Kejaksaan Agung tidak berniat menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan itu dengan alasan menunggu terbentuknya Pengadilan Hak Asasi Ad Hoc.

Sandyawan menilai pemerintah sejatinya sejak awal tidak pernah menginginkan pembentukan TGPF. Tim ini terbentuk atas desakan negara-negara sahabat untuk mencari tahu penyebab kerusuhan dan penuntasannya. Komisi itu melibatkan semua departemen.

Sampai sekarang, kasus pembunuhan dan pemerkosaan massal itu sungguh sulit diungkap. “Kerusuhan Mei adalah operasi militer murni,” dia menegaskan. Temuan tim pencari fakta di beberapa kota, seperti Medan, Jakarta, Solo, Lampung, Palembang, dan Surabaya kian membuktikan keterlibatan militer. Dia menyebutkan kerusuhan di kota-kota itu selalu terjadi dengan sistematis, jumlah korban banyak, dan luas.

Sebagai salah satu anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998, Sandyawan Sumardi melihat pemerkosaan merupakan cara efektif untuk menimbulkan kepanikan sekaligus ketakutan di masyarakat.

Hingga saat ini, kasus pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 kian pudar dari ingatan publik. Bahkan, tidak sedikit kalangan meragukan kejadian itu. “Saya punya data lengkap sekitar 52 orang (korban pemerkosaan) pada Mei 1998 di beberapa tempat. Tapi ada etika, identitas korban tidak bisa disebarkan. Itu buat keselamatan dan nama baik korban,” kata Sandyawan saat ditemui merdeka.com Senin lalu di kantornya di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Dia mengakui perlu perjuangan berat untuk meminta pengakuan para korban. Namun setelah laporan tim pencari fakta selesai disusun, pemerintah malah menganulir temuan itu. Mereka bahkan menyebarkan foto-foto korban pemerkosaan. “Itulah cara-cara pemerintah mendiskreditkan tim pencari fakta dan menganggap pemerkosaan tidak ada,” ujarnya.
Sandyawan menilai propaganda pemerintah untuk membantah pemerkosaan massal dalam kekacauan 15 tahun lalu berhasil. Dia mengakui bakal sulit menuntaskan kasus ini lantaran pelaku dan penggerak kejadian masih menjabat.
Meski begitu, Sandyawan berharap kasus itu harus terus diangkat sehingga masyarakat tidak lupa dengan aib bangsa ini. Dia meminta teman-teman seperjuangannya pada Mei 1998, seperti Andi Arif, Budiman Sujatmiko, dan Pius Lustrilanang kini masuk dalam pemerintahan terus mendorong penyelesaian kasus itu.

Sandyawan masih menekuni kegiatannya mendampingi warga miskin di bantaran Sungai Ciliwung dari kawasan Pasar Minggu sampai Kampung Pulo lewat lembaga Ciliwung Merdeka. “Saya tidak akan menilai pilihan kawan-kawan, tapi tolong jangan saling menyerang dan membalik fakta-fakta untuk kepentingan tertentu."


Komnas Perempuan: Kekerasan Seksual Pada Mei 98 Tak Boleh Disangkal
JAKARTA — Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andi Yentriyani, Rabu mengatakan pemerintah tidak boleh menyangkal adanya peristiwa kekerasan seksual yang terjadi dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998.

Pejabat pemerintahan maupun aparat penegak hukum kata Andi kerap meragukan dan menyangkal bahwa kekerasan seksual terhadap kebanyakan perempuan Tionghoa itu benar-benar terjadi. Alasannya karena para korban tidak pernah muncul ke publik, ujarnya.

Desakan agar para perempuan korban kekerasan seksual menampilkan diri secara publik sebagai pembuktian ada tidaknya pemerkosaan dan kekerasan seksual lainnya dalam kerusuhan Mei 1998, menurut Andi, adalah sikap yang justru menghalangi proses pemulihan korban dan mencrderai upaya menghadirkan keadilan bagi korban.

Menurut Andi, belum bersedianya para korban memunculkan diri karena mereka masih mengalami trauma berkepanjangan.

Selain itu, perjalanan sejarah kelompok Tionghoa sebagai sasaran tindak diskriminasi, kurangnya kredibilitas penegakan hukum Indonesia dan kepercayaan pada komitmen politik penyelenggara negara untuk menuntaskan kasus, serta adanya stigma yang dibebankan kepada perempuan korban kekerasan juga merupakan sejumlah alasan yang membuat mereka terus membungkam.

“Dengan tidak adanya korban yang bisa mereka temui, mereka menyatakan mana buktinya? Padahal dengan memaksa seperti itu mereka justru menyangkal terhadap peristiwa kekerasan seksual pada tragedi Mei. Komnas Perempuan kerap berdiskusi dengan pemerintah, kebanyakan dari mereka (bertanya) mana buktinya, korbannya mana pasti ini hanya bohong saja. Jadi penyangkalan juga terjadi dari berbagai pihak,” ujarnya.

Andi menambahkan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 98 padahal telah memverfikasi adanya 85 perempuan korban kekerasan seksual pada peristiwa Mei 1998, dengan rincian 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual dan sembilan orang korban pelecehan seksual.

TGPF Mei 1998 juga mengindentikasikan bahwa sebagian besar korban kekerasan seksual adalah berasal dari etnis Tionghoa, dan sebagaian besar kasus perkosaan adalah “gang rape”, atau pemerkosaan oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain, ujarnya.

Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Sylvana Maria Apituley menilai tidak adanya kemauan yang baik dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini. Hak atas kebenaran, keadilan serta pemulihan seharusnya diberikan untuk para korban, ujarnya.

“Hak korban atas pemulihan tidak mungkin dilepas dari hak korban atas kebenaran jadi pengungkapan kebenaran menjadi syarat dari keadilan dan pemulihan korban. Sehingga tidak mungkin ada keadilan dan pemulihan tanpa ada pengungkapan kebenaran. Jadi pengungkapan kebenaran tidak sama dengan kegaduhan baru yang bisa menimbulkan persoalan baru,” ujarnya.

Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan saat ini ia belum dapat memberikan komentar terkait hal tersebut.

“Saya harus konsultasikan dulu ini, bagaimana, kan tidak mungkin saya langsung menyampaikan pandangan saya. Tidak mungkin saya menyampaikan sesuatu yang tidak sama dengan beliau (presiden) kan,” ujarnya.

Pada Tragedi Mei 1998, sejumlah pelanggaran hak asasi manusia terjadi seperti kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa, penembakan mahasiswa Trisakti oleh aparat keamanan yang menewaskan empat mahasiswa dan pembakaran serta kasus kekerasan seksual.


http://www.voaindonesia.com/content/...l/1661256.html

Kesaksian kaskuser yg mengalami:



Sumber:
http://www.kaskus.co.id/thread/531da77dfeca17573d8b45cb/mengusut-kasus-kerusuhan-mei-98/

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »