Allah yang Tak Bersuara dan Allah yang Bersuara
08Apr 2013
Namanya Livia Pavita Soelistio. Usianya 20 tahun. Dia mahasiswa Universitas Bina Nusantara. Di angkot, dia mengalami peristiwa yang tak seorang pun ingin mengalaminya. Sekelompok pria memperkosanya dengan sadis (Asril 2011). Begitu keras dia berteriak malam itu, tetapi tak ada orang yang mendengar termasuk para pemerkosanya. Berulang kali dia memohon belas kasihan, namun hati nurani para pelaku sudah dingin dan beku. Akhirnya Livia membisu. Dia tidak lagi bersuara. Dia tidak bisa lagi berteriak kecuali membiarkan dirinya terbuang ke selokan di daerah Cisauk, Tangerang. Livia tidak bisa lagi membela dirinya. Livia tak punya kesempatan untuk bersuara. Dia hanya diam. Dia tak lagi bersuara.
Kisah Livia bukan yang pertama dan terakhir di Indonesia maupun dunia. Beberapa hari terakhir media massa kita menyuguhkan juga kisah perkosaan massal terhadap seorang gadis berinisial ESR yang dilakukan oleh sekelompok pria. Saya menduga kisah itu hanya sebagian kecil dari begitu banyak kisah perkosaan massal yang terjadi pada diri perempuan. Mengapa hanya sedikit yang diberitakan? Mengapa begitu kecilnya jumlah kasus perkosaan diperkarakan?
Saya ingat tragedi Mei 1998. Begitu banyaknya korban perkosaan massal atas diri para perempuan etnis China. Namun kisah itu larut begitu saja. Bahkan pemerintah awalnya mengatakan tidak ada korban yang melaporkan kekerasan seksual atas diri mereka. Jadi berita itu hanyalah berita omong kosong. Masalahnya adalah minimnya laporan kekerasan seksual atas perempuan terjadi karena para korbandan keluarga tidak bersuara. Mereka tak bersuara bukan karena mereka tidak mau bersuara, melainkan mereka tidak mampu bersuara. Penderitaan, rasa malu, kehilangan harga diri, putus asa menjadi bagian dari hidup mereka. Dalam tulisannya yang berjudul “Clara,” Seno Gumira Ajidarma melukiskan beban penderitaan sang korban(Ajidarma 2007):
Dia bercerita dengan bahasa yang tidak mungkin dimengerti. Bukan karena bahasa Indonesianya kurang bagus, karena bahasa itu sangat dikuasainya, tapi karena apa yang dialami dan dirasakannya seolah-olah tidak terkalimatkan. Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin yang tak terbayangkan. Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. Tidak pernah bisa kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan seberat itu justru karena dia lahir sebagai manusia. Ceritanya terpatah-patah. Kalimatnya tidak nyambung.Kebisuan para korban dan keluarga bukan hanya disebabkan karena beban penderitaan, tetapi masyarakat kita pun kadang ikut mempersalahkan mereka. Ungkapan-ungkapan seperti “si korban terlalu genit; dandan berlebihan; memakai pakaian yang seksi dan seronok” memperlihatkan proses pembungkaman terhadap kebenaran. Bukannya membela dan berjuang melawan kekerasan, masyarakat datang menjadi hakim bagi para korban dan pembela bagi para pelaku. Tidak heran lingkaran kekerasan sulit diputuskan dalam kehidupan kita.
Dalam Alkitab tercatat pula peristiwa kejam, perkosaan massal, terhadap seorang perempuan tanpa nama. Hakim-hakim 19: 1 – 30 menjadi kisah keji dan sadis. Seorang gundik dari seorang Lewi diperkosa beramai-ramai oleh sekelompok orang dari suku Benyamin di Gibea. Kebisuan muncul dalam kisah ini. Sang gundik tidak mampu bersuara karena dirinya akhirnya tidak lagi bernyawa. Dia tidak punya kesempatan untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Kalaupun hidup, sebagai perempuan yang hidup dalam dunia patriakhal dan statusnya sebagai gundik, dia tidak berhak untuk bersuara. Dia harus menerima kekerasan yang dialaminya tanpa pembelaan.
Kebisuan juga menjadi milik sang suami. Bahkan kebisuan sang suami, yang berasal dari suku para pemuka agama Yahudi, sebenarnya telah menjadikannya sebagai pelaku kekerasan. Pertama, sang suami yang sengaja menyerahkan si perempuan kepada para penjahat demi menyelamatkan dirinya sendiri (ay. 25). Kedua, sang suami sengaja memutilasi tubuh isterinya agar mendapatkan pembelaan dari saudara sebangsanya (ay. 29). Ketiga, si suami menutupi kebenaran bahwa dirinya terlibat dalam kasus kekerasan terhadap isterinya. Dia hanya melaporkan kejahatan para pemerkosa, sedangkan dia sendiri tidak bercerita bahwa dia menyerahkan isterinya untuk diperkosa (Hakim 20: 5).
Sarah Jobe menafsir teks ini sebagai teks yang tidak mudah untuk dikhotbahkan. Masalahnya teks ini memperlihatkan Allah yang absen dalam peristiwa kejam ini. Allah tidak muncul dalam kasus ini. Tidak seperti biasanya, Allah tidak diceritakan hadir membela si perempuan dan menghukum para pelaku maupun suaminya. Allah seolah membiarkan peristiwa ini terjadi. Allah tak bersuara (Jobe 2010).
Kita harus mengakui bahwa kadang kita dibingungkan dengan berbagai peristiwa pahit yang terjadi di sekitar kita. Pertanyaan “Di mana Allah saat peristiwa itu terjadi?” “Mengapa Allah membiarkan kekejaman ini harus teralami oleh para korban perkosaan massal?” barangkali muncul dalam benak kita bahkan mengganggu iman kita untuk mempercayai Allah yang peduli pada derita manusia.
Choan Seng Song, teolog Taiwan, menggambarkan Allah sebagai Allah yang diam dalam konteks penderitaan seorang misionaris yang teraniaya saat memberitakan Injil ke Jepang. Song memakai kata “Sabui” untuk menjelaskan konsep Allah yang diam dalam konteks Asia. “Sabui” menggambarkan Allah yang menangis dalam penderitaan bersama para korban. Saat Allah diam karena menangis, inilah kekuatan bagi para korban untuk melewati penderitaannya (Song 1991). Allah yang tak bersuara bukan Allah yang absen. Dalam bahasa Song, Allah yang tak bersuara adalah Allah yang ada bersama para korban.
Satu catatan akhir yang menarik dari kisah kekerasan di Gibea dalam Hakim-hakim 19 terletak di ayat 30. Ketika orang-orang Israel melihat tulang-tulang si perempuan yang dipotong dan dikirim kepada seluruh daerah orang Israel, ada komentar yang sangat penting. Pada bagian akhir komentar tercatat: “Perhatikanlah itu, pertimbangkanlah, lalu berbicaralah!” Kalimat-kalimat ini begitu menggugah. Peristiwa kekerasan di Gibea tidak begitu saja hilang karena kebisuan para pelaku maupun sang suami. Penduduk Israel bersuara dan bertindak sebagai bentuk kepedulian terhadap korban. Peristiwa ini melukai pula nurani penduduk Israel sebagai saudara sebangsa si korban.
Mutiara Andalas dalam tulisannya yang berjudul “Clara: Aku Bukan Asu” menggambarkan Allah yang hadir dalam diri korban adalah Allah yang kehidupan yang bersuara. Allah yang bersuara ini mengajak kita untuk hadir dalam jejaring perjumpaan dengan para korban kekerasan dan bersuara untuk membela mereka (Andalas 2008):
Allah menjumpai Clara, representasi pribadi dan komunitas yang mengalami ancaman kematian dini, sebagai Allah kehidupan. Ia mengundang kita untuk menyediakan tempat peristirahatan sementara bagi warga Indonesia etnis Cina yang hidup dalam ketakutan pasca-tragedi. Allah juga memanggil kita untuk mengunjungi para korban perkosaan massal dan membela kasus mereka demi keadilan. Ia mengundang kita untuk menamai illah-illah anti-kehidupan di Indonesia yang menyerang kehidupan pribadi atau komunitas yang tak bersalah. Kita harus menolak illah diskriminasi rasial yang menggagahi kemanusiaan warga Indonesia etnis Cina dalam tragedi Mei 1998.Dari berbagai peristiwa kekerasan terhadap perempuan yang kita jumpai sehari-hari, apa yang sesungguhnya ingin kita katakan tentang Allah? Refleksi ini dengan jelas mau menggambarkan Allah tidak absen dalam derita para perempuan, korban kekerasan. Saat Allah tak bersuara, Dia hadir bersama dengan para korban dan keluarga yang menangis di tengah penderitaannya. Allah juga menangis. Allah sedang menyusuti air mata mereka.
Pada saat bersamaan, Allah juga sedang bersuara. Dia menggerakkan kita menjumpai para korban untuk berjuang menyuarakan kebenaran dan keadilan. Inilah panggilan kita sebagai pengikut Kristus. Kita dipanggil bukan sebagai “sang penyaksi”dalam bahasa Elie Wiesel [i]. Tetapi kita dipanggil sebagai pembela dan pejuang kebenaran dan ketidakadilan melawan kekerasan terhadap perempuan. Mari kita bersuara!
[i] Joas Adiprasetya menceritakan kisah dalam buku Elie Wiesel yang berjudul “The Town Beyond The Wall.” Joas menuliskan: “Tokohnovel ini bernama Michael, seorang survivor tragedi Holocaust, yang melakukan perjalanan berbahaya ke kota asalnya di Hungaria. Apa yang hendak dicarinya, setelah pengalaman mengerikan di Holocaust itu? Wiesel menulis, Michael, dengan cara yang aneh, memahami kebrutalan para penyiksa dan penjaga penjara, namun apa yang menghantuinya dan apa yang sungguh-sungguh membuat ingin kembali ke kota asalnya adalah sesuatu yang tak dapat dipahaminya. Ada seorang pria yang tinggal di seberang jalan di depan Sinagogenya. Pria ini mengintip lewat tirai jendelanya, hari demi hari, sementara ribuan orang Yahudi diarak ke dalam gerbong kereta maut. Ia menampilkan wajah tanpa belas kasihan, tanpa rasa senang, tanpa kejutan, dan bahkan kemarahan atau minat. Impassive, dingin, impersonal…. Menjadi orang yang tak acuh, untuk alasan apa pun, berarti menolak keabsahan keberadaan kita, namun juga keindahannya. Berkhianatlah dan engkau tetap seorang manusia, siksalah sesamamu, engkau masih seorang manusia. Kejahatan adalah manusiawi. Kelemahan adalah manusiawi. Ketidakacuhan samasekali tak manusiawi” (Adiprasetya 2007).
BIBLIOGRAFI:
Adiprasetya, Joas. Gereja Kristen Indonesia Pondok Indah. 27 November 2007.http://gkipi.org/tujuh-dosa-yang-mematikan-seven-deadly-sins/ (diakses April 10, 2013).
Ajidarma, Seno Gumira. Dunia Sukab. 14 April 2007.http://duniasukab.com/2007/04/14/clara-atawa-wanita-yang-diperkosa/ (diakses April 10, 2013).
Andalas, Mutiara. Teologi Kemanusiaan Kontemporer Indonesia. 28 Februari 2008.http://theologianatcalvary.blogspot.com/search/label/Teologi%20Kemanusiaan (diakses April 10, 2013).
Asril, Sabrina. Livia Ternyata Diperkosa Bergilir. Disunting oleh Glori K. Wadrianto. PT. Kompas Gramedia. Jakarta, 5 September 2011.
Jobe, Sarah. WorkingPreacher.org. 12July 2010.http://www.workingpreacher.org/texts.aspx?article_id=366 (diakses April 10, 2013).
Song, Choan Seng. Third-Eye Theology. New York: Orbis Book, 1991.
Sumber:
http://sinodegki.org/allah-yang-tak-bersuara-dan-allah-yang-bersuara/
EmoticonEmoticon