DESAIN PERPECAHAN UNTUK TOKOH ALTERNATIF

June 15, 2014
INDEPENDEN NO.10 - 10 Januari 1995


       DESAIN PERPECAHAN UNTUK TOKOH ALTERNATIF
            ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
  Abu Hasan dan NU tandingannya dimunculkan bukan untuk kudeta,
tetapi umpan rekayasa perpecahan NU, agar ada dasar menggusur Gus
            Dur, dan menggantinya dengan tokoh lain.



     Kemelut yang melanda NU dan PDI kelihatannya diarahkan ke
akhir yang sama: pembentukan pengurus baru, yang bukan "ketua
bertahan," bukan juga penantangnya. Ya: tokoh alternatif, atau
kuda hitam, atau orang ketiga.


     Munculnya tokoh alternatif yang "bisa diterima pihak,"
memang selalu menjadi hasil klasik dari suatu perpecahan yang
direkayasa faktor luar, dalam hal ini kekuasaan. Kita ingat
bagaimana munculnya Buya Metareum, atau Naro di PPP, dan Suryadi
di PDI.


     Rekayasa itu dijalankan karena, seperti dikatakan Sri
Bintang Pamungkas kepada Independen di Bandung beberapa waktu
lalu, "pemerintah berkepentingan untuk memperlemah lembaga
kerakyatan sehingga kedaulatan rakyat dan tuntutan terhadap
demokratisasi bisa direduksi." Tahap tahap munculnya tokoh
alterntif itu biasanya begini. Mula-mula suatu ormas/orpol
membangun kemandirian, berusaha lepas dari kooptasi kekuasaan.
Ini kan jadi potensi kerakyatan yang membahayakan kekuasaan.
Lalu direkayasa suatu perpecahan. Pemerintah memanas-manasi
sejumlah tokoh yang tidak puas dalam tubuh organisasi itu.
 

Seterusnya, potensi konflik ini diberi fasilitas tak terbatas.
Kemudian pertentangan menajam hingga seperti tak akan bisa
dipecahkan. Maka pemerintah "diminta turun tangan. Dipilihlah
tokoh alternatif, di luar yang berseteru. Dan tentu saja, tokoh
ini nantinya akan punya hutang budi pada pihak yang telah
menobatkannya. Maka organisasi itu terkooptasi, dan potensi
demokrasi pun bisa diatasi.


     Tetapi, ada kalanya, tokoh orbitan itu berkembang lain dari
yang diinginkan kekuasaan. Misalnya Naro, Ketua Umum PPP yang
secara kontroversial membuka babak baru demokrasi Indonesia
--terlepas suka atau tidak suka-- dengan menyatakan niat untuk
mencalonkan diri sebagai wakil presiden dalam Sidang Umum MPR
1988. Malah Naro sampai menyatakan siap untuk bertarung
--walaupun dari imbangan kekuatan dia sudah tahu akan kalah-- di
tingkat voting --sesuatu yang ditabukan Orde Baru. Tindakan Naro
ini kan bakal jadi preseden demokrasi, makanya harus ditumpas.
Maka Naro yang awalnya tokoh "piaraan" pemerintah ini pun digusur
habis --dengan memfasilitasi para penentangnya.


     Begitu pun yang terjadi pada Suryadi, tokoh orbitan
pemerintah yang ternyata berhasil membesarkan PDI menjadi partai
yang menarik minat kaum muda, karena potensi demokrasinya,
digusur --setelah Suryadi berkali-kali mengungkapkan ide
pembatasan masa jabatan presiden. Penggusuran Suryadi malah
sampai tingkat yang sangat vulgar: pemukulan dan segala pagar,
dan aksi kekerasan lain, dalam Kongres Medan, 1993, yang hasilnya
--Suryadi terpilih kembali sebagai Ketua PDI-- tak diakui
pemerintah. Pemerintah pun sejak awal menyatakan akan membiayai
Kongres Luar Biasa. Ketika Kongres Luar Biasa ternyata gagal
mengegolkan tokoh pemerintah, penguasa menjalankan rekayasa pasca
KLB. Yang antara lain menghasilkan dibentuknya DPP PDI tandingan
akhir tahun lalu.


     Begitupun NU. Gus Dur setadinya dianggap tokoh yang sesuai
dengan kepentingan pemerintah --Gus Dur adalah aktivis gerakan
"Kembali ke Khitah 1926," --yang akan membawa NU ke luar dari
PPP. Ternyata tafsiran Gus Dur pada khitah, adalah amar maruf
nahi munkar. Tidak berpolitik praktis, tapi menunjukkan sikap
politik yang jelas: demokrasi. Upaya menggusurnya melalui
Muktamar gagal. Maka terjadilah.


     Kemelut pasca Muktamar mulai mencuat pada pemilihan
pengurus, pada 13 Desember lalu, ketika salah seorang anggota
formatur asal Aceh, Tengku Azis menolak Pengurus Besar NU periode
1994-1999. itu lantaran usahanya memasukkan nama Abu Hasan
sebagai pengurus PBNU, ditolak.


     Disusul kemudian oleh pengunduran diri dr. Fahmi Saefuddin,
dari pengurus PBNU. Lalu berbagai kampanye yang dijalankan
melalui tokoh-tokoh oportunis NU yang mendapatkan "pertemuan
kepentingan" dengan kekuasaan. Media masa pro pemerintah pun
memainkan peran aktif, dari media cetak, radio, hingga TV.


Semuanya berorkestrasi menyulut perpecahan NU --Abu Hasan sendiri
yang menyatakan di depan wartawan, bahwa "RCTI banyak memberi
perhatian pada acara saya," katanya. Dan NU tandingan pun
dibentuk, 27 Desember 1994, dengan nama Koordinasi Pengurus Pusat
Nahdlatul Ulama (KPP-NU), diketuai Abu Hasan.


     Kini KPPNU bergerak terus, dengan arah yang makin jelas:
meminta campur tangan pemerintah untuk "menyelamatkan NU".
Pemerintah sendiri, melalui para pejabatnya, sejak awal bersikap
sok menunggu. Seakan-akan tidak akan campur tangan "kecuali
diminta." Itulah: "Ketika menyatakan "kecuali diminta,"
terkandung niat untuk diminta.


     Belakangan, pernyataan pejabat makin telanjang. Menteri
Agama Tarmizi Taher, misalnya, mulai menyebut kemungkinan
munculnya tokoh ketiga, yang netral "yang tidak mau kelompoknya
Gus Dur, tidak mau kelompoknya Abu Hasan."


     Maka begitulah rekayasa akan berjalan: NU akan kelihatan
makin ricuh, pemerintah "terpaksa" campur tangan "karena
diminta," lalu akan lahir ketua baru yang kelak akan berhutang
budi pada pihak yang mengorbitkannya. Gus Dur akan disingkirkan,
Abu Hasan akan jadi cuma kambing hitam, NU ditumpulkan sebagai
kekuatan kerakyatan, dan negara pun berjalan sebagai suaru
--dikatakan Dhaniel Dhakidae dalam acara syukuran untuk Gus Dur
alien state, sesuatu yang asing, yang tidak ramah, yang juga
sedang mengalami alienasi dari rakyatnya sendiri."
*GDS/RHS/GCK/LPC/TAT

____________________________

Sumber:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/01/19/0002.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »