LAPORAN TIM RELAWAN SOAL PERKOSAAN DAN KERUSUHAN (3/3)

June 17, 2014

SiaR---LAPORAN TIM RELAWAN SOAL PERKOSAAN DAN KERUSUHAN (3/3)



LAPORAN TIM RELAWAN SOAL PERKOSAAN DAN KERUSUHAN (3/3)

3. Kematian dan Kebangkitan Hidup Bersama

Setiap teror dan ancaman terhadap usaha membantu para korban adalah bentuk
membenarkan perkosaan sebagai cara absah untuk mengejar kepentingan politik
dalarn hidup bersama kita. Maka teror dan ancaman itu adaiah usaha
membenarkan apa yang 'tidak-baik' sebagai 'baik', dan apa yang 'biadab'
sebagai 'beradab'. Dengan demikian terjadilah penghancuran terhadap
perbedaan antara apa yang 'baik' dan 'tidak-baik', antara apa yang 'biadab'
dan 'beradab', dalam hidup bersama. Kalau ambisi dan kepentingan politik di
negeri ini telah membenarkan kekaburan perbedaan antara 'biadab' dan
'beradab', maka harus lugas dikatakan bahwa 'politik', sebagaimana
dipraktekkan di negeri ini, merupakan kegiatan yang pafing rendah dan
hewani. Kekaburan antara apa yang 'biadab' dan 'beradab' itu juga sudah
begitu cepat merasuk ke dalam hidup seharian kita:

"Beberapa hari sesudah kerusuhan itu, saya pulang ke rumh naik Bajaj.
Biasanya saya membayar Rp. 3,000,- Waktu itu sopir nicmaksa saya menibayar
Rp. 10,000,- K~ saya menawar, sopir itu mengancam saya: "Mau lu gue perkosa
dulu..11!" (Saksi korban perkosaan, Mei 1998).

Jalan pertama seperti apa yang harus kita tempuh untuk memperbaiki
"kerusakan total hidup bersama" kita itu? Sementara bantuan kepada para
korban dan penghentian teror ancaman diusahakan seluas mungkin, satu
usaha-bersama yang luas harus dilakukan membongkar jaringan perencana dan
pelaku perkosaan dan pelecehan seksual mesa itu.

4. Argumen Contra 'Kambing Hitam'

Pembongkaran jaringan perkosaan dan pelecehan seksual menjadi kunci bagi
perbaikan hidup bersama kita justru karena dalam jaringan perkosaan yang
sistematis dan teroganisir itu terietak penghancuran hidup bersama yang
sama. Kita bisa berdebat dengan mulut berbusabusa tentang akar dari ratusan
perkosaan dan pelecehan seksual yang telah terjadi. Dan dengan argumen yang
kedengaran cerdas mengusulkan agar solusi diarahkan pada akarnya. Misalnya,
seluruh tindakan biadab itu dianggap berakar pada kemiskinan yang luas.
Argumen kausalitas ' itu menderita sedikitnya 3 titik lemah logika.

Pertama, kalau kemiskinan menjadi akar gejala perkosaan, maka masyarakat-
masyarakat yang mengalami kemiskinan akan ditandai oleh rentetan panjang
peristiwa perkosaan (entah masyarakat itu disebut satuan masyarakat Jerman,
Nigeria, Turki, India, Jepang, Filipina, ataupun Peru), karena semua
masyarakat itu juga mempunyai kelompok-kelompok miskin seperti di Indonesia.
Bahwa hidup masyarakat dalam contoh di atas tidak ditandai oleh peristiwa
perkosaan massal seperti yang terjadi di Indonesia menunjukkan tiadanya
hubungan kausalitas antara 'kemiskinan' dan 'perkosaan'.

Kedua, kalau kemiskinan memang menjadi akar gejala perkosaan, apalagi dalam
skala massal, maka argumen in silentio (diam-diam) menunjuk pada keniscayaan
kelompokkelompok orang miskin sebagai pelaku perkosaan dan pelecehan
seksual. Selain absurd, argumen ini berisi arogansi superioritas moral kaum
non-miskin terhadap kaum miskin. Dalam argumen in silentio itu terletak
arah ideologi berikut: kaum miskin sebagai kambing hitam. Bukti yang
terkumpul sampai hari ini persis menunjukkan gejala berikut: banyak korban
perkosaan atau calon korban bisa lolos justru karena diselamatkan oleh para
warga setempat yang adalah kaum miskin.

Ketiga, argumen "kemiskinan sebagai akar dari gejala perkosaan" juga
merupakan argumen escapist (pelarian diri): mencari sebab sebuah kejadian
dengan cara mengasalkan pada gejala yang terlalu besar dan jauh. Argumen
escapist seperti itu kedengaran masuk akal dalam acara debat di layar TV
atau meja seminar, tetapi sama sekali tidak cerdas sebagai cara-pandang bagi
sebuah urgensi perkara seperti tragedi perkosaan massal yang sudah terjadi.
Dengan 3 argumen kontra itu samasekali tidak mau dikatakan bahwa
'kemiskinan' bukanlah perkara besar di negeri ini. Kemiskinan luas adalah
masalah besar kita. Tetapi menunjuk 'kemiskinan' luas sebagai akar dari
tindakan biadab perkosaan massal adalah cara lari dari kemendesakan
menyelesaikan perkara. Lebih mendesak daripada debat tentang hubungan
kemiskinan dan perkosaan, langkah segera yang mesti kita buat bersama adalah
membongkarjaringan perencana dan pelaku perkosaan massal itu sendiri.

5. Sketsa Hubungan Langsung antara Kerusuhan dan Perkosaan

Seperti nampak dari berbagai modus operandi yang tersaji di Tabel 3 (hlm.
7-8), jaringan perencana dan pelaku perkosaan massal itu tidak bisa
dipisahkan dari jaringan perencana dan pelaku pengrusakan-pembakaran yang
terjadi di pertengahan Mei 1998. Peristiwa pengrusakan, perkosaan dan
pembakaran hanyalah unsur-unsur berbeda dari satuan tindakan yang dilakukan
secara sistematis dan terorganisir. Karena itu, sebagaimana sangat jelas
dari Tabel 3, modus operandi perkosaan massal itu tak terpisah dari modus
operandi kerusuhan-pengrusakanpembakaran. Dalam arti ketat, pengenalan
tentang modus operandi perkosaan massal justru menjadi kunci untuk
mengetahui dengan lebih jelas modus operandi pengrusakan-pembakaran, dan
sebaliknya. Selangkah lebih maju, pembongkaran jaringan perencana dan pelaku
perkosaan merupakaii kunci pembongkaran jaringan perencana dan pelaku
kerusuhan, dan sebaliknya.

Hubungan tak terpisah antara jaringan perencana dan pelaku 'kerusuhan' serta
'perkosaan' itu bukanlah hasil rekaan, melainkan nyata dari sekian banyak
bukti. Istilah 'jaringan perencana' juga bukan hasil fantasi, melainkan
nyata dari begitu banyak bukti tentang bagaimana rencana dan operasi
'kerusuhan' serta 'perkosaan' dilakukan secara sistematis, berpola dan
terorganisir.

"... Saya ini bukan intel, tetapi saya salah seorang komandan yang
menggerakkan kerusuhan. Saya merekrut 60 orang dari berbagai angkatan. Saya
bisa perkosa perempuan-perempuan ini (sambil menunjuk pada 3 gadis
Tionghoa). Membunuh Anda itu perkara mudah..!!" (Perkataan seorang hadirin
tak dikenal dalam sebuah pertemuan 'Tim Relawan' di Jakarta Pusat, Juni 1998)

Rencana sistematis dan teroganisir itu juga sudah lebih dulu menjadi bagian
dari perilaku beberapa kelompok khusus dalam masyarakat:

"Jauh sebelam kerusuhan suatu hari saya dan teman saya membeli teh botol
dihargai Rp. 5000,- Saya mulanya keberatan membayar dengan harga itu. Saya
merasa diperas. Namun tiba-tiba beberapa laki-laki yang sejak tadi hanya
duduk di sekitar pedagang itu berdiri dan mengancam: "Mau apa kamu, sebentar
lagi mau habis dibantai." Karena takut, saya terpaksa membayar..."
(Kesaksian korban, Mei 1998).

Atau,

"...Sebelum terjadi kerusuhan kami didatangi seorang laki-laki berbadan
tegap dan kekar. Laki-laki itu juga mendatangi lokasi pemukiman miskin tak
jauh dari Pantai Indah Kapuk. Mulanya ia hanya berkenalan dengan para
pemuda setempat sembari ngobrol. Kemudian laki-laki tak dikenal itu
mentraktir para pemuda untuk makan, minum dan rokok, hingga terjalin
hubungan akrab dengan pemuda-pemuda itu. Laki-laki itu kemudian bilang:
"Kalau lu mau, sebentar lagi lu dapat barang- barang mewah bisa ngentotin
(menggauli seksual) amoy-amoy yang selama ini lu kagak bisa jamah!"
(Kesaksian beberapa saksi mata, Juni 1998).

Atau,

"Jauh sebelum terjadi kerusuhan, suatu kali saya naik taksi. Ketika saya
bayar, sopir taksi menolak. Katanya: "Nggak usah bayar, kamu Cina sebentar
lagi akan habis dibantai dan diperkosa." (Kesaksian korban, Juni 1998).

Jauh sesudah peristiwa kerusuhan Mei 1998, perilaku kolektif yang mirip
dengan perilaku kolektif beberapa kelompok khusus sebelum dan ketika
berlangsung kerusuhan dan perkosaan massal itu juga telah menjadi gejala
perilaku sekelompok orang.

"Pada tanggal 25 Juni 1998, serombongan mahasiswi perempuan naik mobil
pribadi dari HI (Hotel Indonesia) menuju Plaza Senayan. Dalam rombongan itu
ada seorang perempuan Tionghoa. Mereka bertemu dengan sekelompok tentara,
dan orang-orang dari kelompok itu tersenyum-senyum sambil memberi isyarat
seksual khusus tertuju ke mahasiswi yang Tionghoa itu." (Laporan saksi rmta,
Juni 1998).

Dari 'jaringan rencana dan para perencana', kita beralih ke 'jaringan
operasi dan para pelaku'. Tak terpisahnya jaringan operasi 'kerusuhan' dan
'perkosaan' itu dapat dilihat dengan sangat jelas pada Tabel 3 di atas. Apa
yang membedakan hanyalah pola bahwa tindakan perkosaan-pelecehan seksual
massal secara jelas diarahkan pada para perempuan Tionghoa dengan
konsentrasi kawasan-kawasan huni atau kerja warga Tionghoa (Lihat Tabel I &
Diagram). Seleksi wilayah dan sasaran korban perkosaan massal secara
spesifik ini justru makin membuktikan betapa tindakan perkosaan massal
tersebut melibatkan jaringan rencana dan operasi yang sistematis dan
terorganisir.

6. Urgensi Pembongkaran: Fakta Peristiwa

Rencana dan modus operandi kerusuhan serta perkosaan massal itu dengan
sangat jelas melibatkan jaringan yang sistematis dan terorganisir.
Sebagaimana terjadinya kerusuhan-pengrusakan bukanlah disebabkan oleh faktor
'kebetulan', begitu juga terjadinya perkosaan massal bukanlah peristiwa
'kebetulan'. Tabel 6 di bawah ini menunjukkan paralel, persamaan dan tak
terpisahkan modus operandi kerusuhan dan perkosaan massal.

Tabel 6

Perbandingan Modus Operandi Kerusuhan dan Perkosaan Massal

No/Kerusuhan/Perkosaan Massal/

1/Usaha pengkondisianmassa untuk berkumpul di lokasi yang akan menjadi
sasaran perusakan, penjarahan dan pembakaran melalui penyebaran isu-isu
tentang adanya aksi perusakan, penjarahan dan pembakaran di lokasi yang akan
menjadi sasaran/ Usaha 'indokrinasi' dan pengkondisian massa untuk
menjadikan perempuan-perempuan Tionghoa sebagai target 'perusakan' dan
'pembantaian' melalui penyebaran isu tentang adanya aksi kerusuhan,
pembantaian dan perkosaan terhadap warga Tionghoa.

2/Isu disebarkan lewat telepon, sopir-sopir angkutan dan orang per orang/
Isu disebarkan lewat telepon, sopir-sopir (taksi, bajaj, angkot),
pedagang-pedagang kecil dan orang per orang

3/Ada orang atau sekelompok orang yang berperan sebagai pengajak dan atau
sekaligus pemimpin-peengarah massa agar melakukan pengrusakan, penjarahan
dan pembakaran./Ada orang atau sekelompok orang yang memberi komando atau
mengarahkan langkah dan tindakan perkosaan.

4/Pelaku tidak dikenali oleh warga setempat dan didatangkan dari tempat yang
tidak diketahui warga/Pelaku tidak dikenali oleh warga setempat dan
didatangkan dari tempat yang tidak diketahui warga.

5/Pengajak atau pemimpin-pengarah massa meneriakkan yel-yel 'anti Cina'/
Komandan dan atau pemimpin-pengarahmassa meneriakan yel-yel 'anti Cina.'

6/Selama dan setelah kerusuhan, dilancarkan aksi teror, dengan disertai
pemerasan. Teror dilancarkan dalam bentuk penyebaran isu-isu tentang akan
terjadinya kerusuhan atau serangan massa. Isu ini masih beredar hingga
dokumen ini dituliskan Selama dan setelah kerusuhan dilancarkan aksi teror
dan pemerasan./Teror dilancarkan dalam bentuk: penyebaran isu-isu tentang
akan terjadinya kerusuhan, penyebaran foto-foto yang berisi kejadian dan
korban perkosaan massa, aksi penculikan dan perkosaan perempuan-perempuan
Tionghoa. Dan aksi ini masih terus berlangsung hingga dokumen ini dituliskan.

7/Sasaran teror setelah kerusuhan: pemilik toko, ruko, pabrik, usaha-usaha
bisnis lainnya dan para warga perumahan dan pemukiman/Sasaran teror setelah
perkosaan massal adalah warga Tionghoa.

Sumber: Dokumentasi 'Tim Relawan untuk Kemanusiaan,' dan kesaksian para
korban, keluarga dan teman korban, serta saksi mata, Mei-Juli 1998

Tabel 6 menunjukkan secara lugas betapa 'faktor kebetulan' samasekali
bukanlah penjelas dari terjadinya peristiwa kerusuhan dan perkosaan massal
itu, baik dari dataran data maupun dari tataran logika yang pabg ketat (Cf.
'Dokumentasi Awal No.1', hlm. 4-5; No. 2, hlm. 4):
1) Kalau perkosaan massal (dan kerusuhan) itu merupakan peristiwa
'kebetulan', bagaimana gejala itu bisa dijelaskan oleh fakta keluasan
lingkup kejadian dan besarnya jumlah korban?

2) Kalau perkosaan massal (dan kerusuhan) itu merupakan peristiwa
'kebetulan', bagaimana gejala itu bisa dijelaskan oleh fakta kesamaan waktu
(simulacrum) dari sebagian besar peristiwa tersebut?

3) Kalau perkosaan massal (dan kerusuhan) itu merupakan peristiwa
'kebetula', bagaimana gejala itu bisa dijelaskan oleh fakta kesamaan modus
operandi dari kejadian tersebut?

4) Kalau perkosaan massal (dan kerusuhan) itu merupakan peristiwa
'kebetulan', bagaimana gejala itu bisa dijelaskan oleh fakta konsentrasi dan
kesamaan sasaran dari tindakan tersebut (i.e. warga Tionghoa dalam peristiwa
perkosaan massal)?

Empat pertanyaan di atas sedemikian sentral bagi cara-pandang kita. Setiap
pernyataan yang mengatakan bahwa peristiwa itu hanyalah 'kebetulan'
samasekali tidak punya dasar bukti dan logika apapun. Sebab dan akibat
perkosaan massal dan kerusuhan merupakan hasil jaringan rencana dan operasi
yang berpola, sistematis dan terorganisir. Dan dengan demikian juga
melibatkan para perencana dan pelaku melalui jaringan yang sistematis dan
terorganisir.

Sesudah kejelasan cara-pandang dan kesimpulan lugas itu, langkah berikut
yang sangat mendesak adalah pembongkaran. Dan aspirasi serta tuntutan untuk
membongkar jaringan perencana dan pelaku perkosaan massal serta kerusuhan
ini sudah merupakan aspirasi dan tuntutan luas dari sedemikian banyak
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dari kelompok-kelompok pengusaha sampai
komunitas internasional, dari para petani, buruh sampai para professional
kota, dari para intelektual sampai aktivis, dari para pegawai negeri sampai
kaum miskin, dari anak-anak sampai para mahasiswa/i.

7. Fokus Pembongkaran: Jaringan Perencana dan Pelaku

Sesudah kejelasan pola dan bukti peristiwa, ada satu pertanyaan yang tak
mungkin diredam: apa yang mesti dilakukan terhadap jaringan rencana-operasi
serta perencana-pelaku perkosaan massal (dan kerusuhan) itu? Dilupakan,
dipeti-eskan, ataukah dibongkar bersama-sama?

'Dilupakan' sama dengan 'dipeti-eskan'. Tetapi bagaimana kita bisa
melupakan, kalau apa yang terjadi itu telah menjadi peristiwa yang tak
terhapus dari sejarah hidup para korban, keluarganya, kerabatnya, saksi
mata, dan kita semua? Bagaimana kita bisa melupakan, kalau peristiwa
perkosaan massal dan kerusuhan itu telah membentuk "Ingatan buruk" tentang
hidup bersarna kita: menjadi isi rasa takut dan trauma, depressi dan
kesepian, keputusasaan dan bahkan isi imaginasi yang paling hewani dari
sekelompok orang? Semua gejala itu sudah merupakan datum (yang terjadi) dan
factum (yang dilakukan) dalam hidup bersama kita. Hidup pribadi dan bersama
tidak hanya dibangun dari gaji tinggi atau angka GNP, melainkan juga dari
memory, apapun isi memory itu.

Dan kali ini, kita sedang berhadapan dengan "Ingatan buruk" tentang hidup
bersama kita yang berisi peristiwa 'perkosaan massal' dan pengrusakan-
pembakaran'. Pertama, kami bersaksi bahwa perkosaan massal dan
pengrusakan-pembakaran itu sungguh-sungguh terjadi.

Kedua, kami bersaksi bahwa ratusan korban perkosaan massal dan
pengrusakan-pembakaran yang dilakukan secara sistematis dan teroganisir itu
adalah bagian tak terhapus dari sejarah politik dan cara kita hidup bersama
di negeri ini. Ketiga, kami juga bersaksi bahwa perkosaan massal dan
pengrusakan-pembakaran itu samasekali telah mengaburkan (bahkan
menghancurkan) perbedaan antara apa yang 'baik' dan 'tidak-baik', 'beradab'
dan 'biadab', dalam kehidupan bersama kita. Dan itulah gejala yang telah
menjadi tanda tak terbantah dari kerusakan total kehidupan bangsa kita.

Kalau demikian, maka 'melupakan' atau 'mempeti-eskan' peristiwa bengis dan
massal itu adalah cara kita melarikan diri dari apa yang sudah terjadi.
Mirip dengan pati-rasa (pembiusan) yang kita lakukan bersama-sama. Sesudah
jangka pati-rasa habis, yang akan terjadi adalah rentetan peristiwa dan
tindakan kebiadaban lain. Begitu seterusnya, hidup bersama kita akan
dibelenggu dan disiksa oleh rantai kebengisan. Darah kembali tertumpah,
rentetan korban kembali diciptakan.

Karena itu, kami dan semakin banyak kelompok warga dalam masyarakat
menghendaki pembongkaran segera terhadap jaringan perencana dan pelaku
'perkosaan massal' serta 'pengrusakan-pembakaran' itu. Setiap politisi,
partai, kelompok, dan proses politik yang tidak melakukan agenda kemanusiaan
se-mendesak ini hanyalah para makelar kekuasaan yang tidak membawa aspirasi
dari semakin luas warga dalam masyarakat. Selain atas nama 'keadilan',
pembongkaran itu menjadi langkah kunci bagi pembentukan kembali perbedaan
antara apa yang 'baik' dan 'tidak-baik', 'beradab' dan 'biadab', dalam hidup
bersama kita. Namun dengan lugas harus dikatakan: tak ada 'kejahatan publik'
tanpa 'penjahat publik'. Maka secara khusus, pembongkaran itu harus
diarahkan pada:

1) Jaringan rencana perkosaan massal dan pengrusakan-pembakaran yang dengan
jelas punya ciri berpola, sistematis dan terorganisir.

2) Jaringan operasi perkosaan massal dan pengrusakan-pembakaran yang dengan
jelas punya ciri berpola, sistematis dan terorganisir.

3) Para perencana peristiwa perkosaan massal dan pengrusakan-pembakaran,
entah mereka itu berasal dari kalangan pemerintah, ABRI, sindikat khusus,
kelompok-kelompok preman, tukang pukul bayaran, maupun kelompok lain dalam
masyarakat.

4) Para pelaku peristiwa perkosaan massal dan pengrusakan-pembakaran, entah
mereka itu berasal dari kalangan pemerintah, ABRI, sindikat khusus,
kelompok-kelompok preman, tukang pukul bayaran, maupun kelompok lain dalam
masyarakat.

Sebuah 'kejahatan publik' yang sistematis-terorganisir hanya bisa dihadapi
dan diperbaiki dengan usaha 'anti-kejahatan publik' yang
sistematis-terorganisir juga. Maka pembongkaran ini hanya bisa dilakukan
dengan jaringan kerjasama berbagai pihak: para korban maupun saksi mata,
warga biasa maupun para petinggi, gabungan berbagai kelompok agama maupun
kelompok para relawan kemanusiaan, para ahli maupun awam, para buruh maupun
mahasiswa, kelompok asosiasi maupun instansi-instansi pemerintah.

Kepada para pejabat pemerintah, Anda semua punya kepentingan khusus dengan
tragedi massal yang sudah terjadi, persis karena Anda semua menganggap diri
sebagai manajer hidup bersarna di negara-bangsa ini. Khusus kepada para
perwira dalam jajaran intelijen dan ABRI, Anda semua punya kepentingan
khusus dengan tragedi massal yang sudah terjadi, persis karena Anda semua
menganggap diri sebagai manajer keamanan hidup-bersama di negara-bangsa ini.
Anda semua bisa memberikan bantuan yang berarti bagi pembongkaran peristiwa
'perkosaan massal' dan 'pengrusakan-pembakaran' ini.

Kami tahu bahwa Anda semua begitu fasih dan keras mengawasi, menyelidiki dan
mengintel-i apa dan siapa saja: dari hidup para buruh sampai asongan, dari
kegiatan para mahasiswa sampai para purnawirawan, dari kelompok diskusi
sampai para aktivis kemanusiaan, dari buku yang terbit sampai isi
pembicaraan di berbagai pertemuan. Demikian karena Anda sudah melakukannya
selama berpuluh tahun. Hampir tak satupun kegiatan di masyarakat yang lolos
dari layar pengawasan Anda. Maka jadilah sebuah pola yang sudah berlangsung
begitu lama: rentetan ijin bagi berbagai kegiatan, atau penangkapan terhadap
siapa saja yang tidak Anda inginkan.

Kalau keahlian dan kefasihan mengawasi setiap kegiatan dalam masyarakat
sudah terbukti selama ini, Anda dan jajaran teman-teman Anda tentu dengan
mudah dapat mengenali dan menemukan jaringan para perencana dan pelaku
perkosaan massal serta pengrusakan-pembakaran yang berskala seluas dan
sebesar pertengahan Mei 1998 itu. "Gajah di pelupuk mata tak tampak" mungkin
berlaku bagi satu atau dua orang di antara Anda. Itu biasa. Tetapi tentulah
tidak berlaku bagi ribuan petinggi dan perwira dari instansi-instansi
penjaga keamanan bangsa dan negara. Pastilah begitu banyak perwira dalam
jajaran Anda tahu persis jaringan perencana dan pelaku kerusuhan serta
perkosaan massal yang berskala seluas dan sebesar itu.

Selain muncul dari dan bagi keprihatinan yang mendalam, moga-moga
'Dokumentasi' ini juga berguna untuk Anda semua. Pola rencana, operasi dan
modus operandi peristiwa 'perkosaan massal' dan 'kerusuhan-pengrusakan' itu
begitu jelas, sistematis, terorganisir, serta melibatkan begitu banyak
perencana dan pelaku, sebagaimana terlihat dalam 'Dokumentasi' ini (Iihat
juga 'Dokumentasi Awal' No. I & 2).

Silakan memakai berbagai dokumen tersebut. Sementara ini kami berbagai
kelompok masyarakat juga berusaha sebaik mungkin membantu para korban. Untuk
itu, kami semakin banyak kelompok warga masyarakat menunggu bantuan besar
Anda serta berbagai instansi Anda bagi usaha pembongkaran jaringan perencana
dan pelaku 'perkosaan massal' serta 'pengrusakan-pembakaran' itu.

Kalau tidak, jangan salahkan jika semakin banyak warga dan kelompok
masyarakat berkeyakinan bahwa berbagai instansi 'pemerintah' dan 'penjaga
keamanan bangsa' adalah instansi kosong yang tak berfungsi. Atau,
instansi-instansi itu dihuni dan berfungsi tetapi para penghuninya telah
merestui atau bahkan melakukan kolusi dalam peristiwa 'perkosaan massal' dan
'pengrusakan-pembakaran' itu.

Epilog

Kami serahkan 'Dokumentasi' ini kepada semua rekan warga masyarakat,
pemerintah, ABRI, dan kepada anak-anak dari generasi yang akan tiba dalam
sejarah kita. Agar kita semua mulai belajar kembali tentang perbedaan antara
apa yang 'beradab' dan 'biadab'. Agar anak-anak kita mulai belajar kembali
tentang perbedaan antara apa yang 'baik' dan 'tidak-baik' bagi hidup bersama.

Jakarta, 13 Juli 1998.
Tim Relawan untuk Kemanusiaan

ttd.

Ita Fatia Nadia
Koord. Divisi Kekerasan Terhadap Perempuan

(HABIS)
 
 
Sumber:
http://www.minihub.org/siarlist/msg00443.html 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »