Kekerasan Kepada Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia: Studi Kasus, Korban Kerusuhan 13-14 Mei 1998
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masyarakat yang dipersatukan dalam konsep Negara Indonesia ini memiliki heterogenitas yang apabila dikatakan oleh Koentjaraningrat termasuk kedalam tingkat masyarakat yang sangat heterogen. Bagaimana tidak, Indonesia memiliki kurang lebih 322 suku yang tersebar di kurang lebih 17.504 pulau yang ada di gugusan Kepulauan Nusantara. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2010, penduduk Indonesia yang berjumlah 237,641,326 jiwa terbagi kedalam komposisi beragam suku yang memiliki persentase adalah sekitar 41,6% Suku Jawa, 15,4% Suku Sunda, 3,4% Suku Melayu, 3,3% Suku Madura, 3% Suku Batak, 2,7% Suku Minangkabau Dan Suku lainnya yang persentasenya mencapai 1%. Berbagai macam suku tersebut menganut berbagai kepercayaan, mulai dari yang diakui oleh negara sebagai agama resmi, hingga yang masih menganut kepercayaan tradisional. Heterogenitas masyarakat tidak berhenti disana, masyarakat Indonesia juga terbagi kembali kedalam kelas-kelas ekonomi yang bermacam-macam. Belum lagi Indonesia memiliki latar belakang kolonialisasi yang panjang, hal ini tentu memiliki pengaruh demografi, salah satunya adalah komposisi suku di Indonesia yang juga dimasuki oleh orang-orang yang berasal dari Asia Selatan dan Timur serta berbagai negara di Eropa.
Bukan merupakan sebuah rahasia apabila heterogenitas yang terbentuk baik secara struktural atau horizontal ini memberikan efek yang cukup berbahaya bagi integrasi nasional dan sosial Indonesia. Konflik-konflik yang berkaitan dengan perbedaan dan keberagaman bukanlah suatu yang asing lagi terdengar di telinga. Apabila kita membuka arsip sejarah yang berkaitan dengan konflik struktural ataupun horizontal yang terkait dengan heterogenitas demografis, hal tersebut tentu saja memiliki porsi sendiri dan selalu diperbincangkan sebagai catatan kelam sejarah Indonesia. Salah satu kejadian yang mungkin dapat dikatakan sebagai bagian paling gelap dari sejarah Indonesia terkait dengan isu diskriminasi etnis dan selalu menimbulkan pertanyaan serta kebingungan mengapa hal tersebut dapat terjadi adalah peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kejadian yang sekaligus menjadi tonggak perubahan pada hampir seluruh aspek sosial-politik di Indonesia ini, bukan rahasia lagi, meninggalkan suatu fakta bahwa terdapat suatu friksi dalam masyarakat Indonesia yang terkait dengan heterogenitas.
Sudah sejak lama diketahui bahwa terdapat suatu sentimen negatif dari masyarakat yang mengaku asli Indonesia terhadap etnis pendatang dari Cina, etnis Tionghoa. Sejak era kolonialisasi Belanda yang melampaui 300 tahun, etnis pendatang ini seakan diberikan posisi yang lebih tinggi derajatnya ketimbang inderland sendiri. Bahkan para imperialis ini memberi istilah pribumi dan non-pribumi. Setelah merdeka, masyarakat pun masih terkontaminasi pemikiran tersebut, pemerintah Soekarno yang dikenal anti-Cina pun masih meninggalkan pemikiran yang ditanamkan oleh mantan pemegang kekuasaan. Sentimen ini pun disinyalir semakin menguat di masa orde baru, karena etnis Tionghoa kebanyakan menduduki posisi yang dapat dikatakan kelas ekonomi atas. Letupan dari sentimen ini secara masif pun akhirnya tercermin pada kerusuhan Mei 1998, dimana terjadi suatu kejahatan yang dilakukan oleh massa yang brutal terhadap etnis Tionghoa. Korban utamanya adalah mereka dan yang paling menderita adalah perempuan.
Data Berbicara, Kejadian Ini Mengerikan
Berdasarkan data yang dihimpun dari Lembar Fakta dan Temuan dari Tim Gabungan Pencari Fakta 13-15 Mei 1998 yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia pimpinan presiden B.J. Habibie, dipastikan bahwa terdapat 85 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual yang berlangsung dalam rangkaian kerusuhan Mei 1998. Dengan rincian 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 orang korban pelecehan seksual. Tim juga menemukan fakta bahwa sebagian besar dari korban adalah perempuan yang memiliki etnis Tionghoa, dan hampir semuanya adalah korban dari gang rape, dimana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian dalam waktu yang bersamaan. Bahkan kebanyakan kasus juga dilakukan didepan orang lain. Tim juga mengakui bahwa terdapat keterbatasan dalam pencatatan dan verifikasi keseluruhan korban ini karena adanya pendekatan hukum positif yang mengisyaratkan harus ada laporan dan tanda-tanda kekerasan yang dialami.
Menurut sumber yang secara langsung diwawancarai oleh jurnalis dari media Tempo, Ita F. Nadia selaku Koordinator Divisi Pendampingan Korban Perempuan dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan dapat memastikan bahwa keseluruhan dari para korban perempuan yang melaporkan pengalaman mengerikan ini berasal dari etnis Tionghoa. Ia mengatakan bahwa temuan yang ia dapatkan di lapangan dapat dipastikan lebih mengerikan, karena ia mengaku bahwa berdasarkan pengalaman para korban yang sungguh menderita akibat kekerasan seksual yang mereka alami banyak yang mengalami shock dan trauma berkepanjangan, bahkan banyak yang memilih untuk meninggalkan Indonesia. Lebih miris lagi, ia mengatakan bahwa beberapa memilih untuk langsung mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri setelah mendapatkan perlakuan yang begitu keji tersebut.
Menurut pemahaman dari Psikolog, Universitas Gajah mada, Prof. Dr. Djamaludin Ancok, ia mengatakan bahwa kejadian yang begitu mengerikan ini sebenarnya dapat terjadi karena ada sebuah sistem, yang meskipun samar dimata para awam tapi cukup dapat dibuktikan oleh para ahli sosial politik. Meskipun fenomena amuk masa memang bukan tidak mungkin dapat menimbulkan sikap brutal, yang biasanya tidak muncul ketika individu sendiri, tapi pihak yang dijadikan sasaran disini jelas terkait dengan suatu etnis dan ciri tertentu. Ia menilai bahwa ini adalah sebuah proses ketika memang masyarakat yang sedari dulu dikenalkan dengan kebijakan pribumi-non-pribumi oleh pemerintah yang merupakan warisan dari Belanda, sentimennya meletus dikarenakan berbagai hal yang mungkin terjadi seperti kecemburuan ekonomi atau dendam-dendam yang tidak logis karena ditanamkan sejak kecil.
Berdasarkan temuan data lain yang dihimpun oleh tim investigasi Komnas HAM pada masa itu, Charles Himawan yang tergabung dalam tim tersebut mengatakan kepada jurnalis Tempo bahwa kekerasan yang menimpa satu golongan etnis yaitu Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 ini sudah jelas diprovokasi dan awalnya diinisiasi oleh suatu golongan yang terorganisir. Berdasarkan pengakuan berbagai saksi, para pelaku tidak pernah sebelumnya terlihat di area tempat kejadian kerusuhan atau kekerasan. Beberapa dari mereka berpakaian sekolah, namun perawakannya sudah begitu tua dengan badan yang begitu tegap seperti layaknya preman-preman bayaran.
Komnas Perempuan yang terbentuk karena kejadian mengerikan ini juga membuat sebuah laporan sepuluh tahun dari kejadian ini. Mereka mengatakan bahwa korban-korban yang berasal dari etnis Tionghoa ini, sampai sekarang masih mengalami trauma. Banyak dari mereka yang sampai sekarang tidak ingin mengakui adanya kejadian tersebut, meninggalkan Indonesia, ataupun menghilang dari masyarakat sama sekali. Ancaman yang sempat diterima mereka apabila melapor, tidak adanya inisiatif dan pengabaian dari sistem peradilan pidana untuk menyelesaikan kasus ini, serta tekanan dari industri media pada saat dan setelah kejadian mengerikan itu, seakan-akan menjadi sebuah reviktimisasi bagi para korban ataupun keluarga korban yang memiliki pengalaman yang sangat menyakitkan terkait posisi mereka yang sangat rentan pada saat itu. Terlebih lagi, mereka seakan dijadikan sebagai kompensasi dari adanya reformasi yang selalu diagung-agungkan dan dijadikan cita-cita luhur para kalangan revolusioner saat itu.
Mengapa Tionghoa dan Mengapa Perempuan?
Apabila menilik sejarah dari hubungan antara masyarakat yang mengaku asli Indonesia dan didefinisikan serta mendefinisikan diri sebagai pribumi dengan masyarakat pendatang yang berasal dari negeri Cina, maka dapat dikatakan bahwa sentimen yang muncul diakibatkan oleh adanya pengklasifikasian struktur sosial oleh kolonial Belanda pada waktu itu. Bangsa Cina yang datang ke Indonesia kebanyakan bertujuan untuk berdagang, mereka melakukan perdagangan dengan Indonesia yang terkenal dengan rempah-rempah dan tembakau yang menjadi komoditas mahal di dunia. Setelah beberapa lama, banyak yang memutuskan untuk tinggal dan menetap di Indonesia dan menikah dengan masyarakat asli. Pada masa peralihan kekuasaan, Belanda menjadikan para pedagang Cina ini sebagai kelas yang memungut pajak, mengambil insentif dari warga, dan perantara perdagangan. Imbalan yang mereka terima antara lain adalah hak mereka untuk tetap berdagang dan memperjualbelikan kuli pribumi ke negara Cina (Lasker, 1946: 162). Hal ini disinyalir memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia bahwa orang-orang Cina-lah yang merepresentasikan penindasan kepada mereka sehngga muncul suatu stigmatisasi dan sentimen negatif.
Pada masa setelah kemerdekaan dapat dikatakan hubungan antara pribumi dan etnis Tionghoa juga terus berlanjut dengan rasa saling curiga. Kedudukan warga Tionghoa menjadi kelompok yang disisihkan dan selalu dicurigai sebagai bagian dari rezim Soekarno yang pro-komunisme (Coppel, 1983). Puncak dari segala sentimen ini dapat terlihat pada tragedi berdarah 1998 tersebut. Weeraratne (2009:19) dalam jurnalnya mengatakan bahwa terdapat kemungkinan besar terjadi kecemburuan ekonomi dan faktor keyakinan dan rasial dalam kasus ini. Konsep scapegoating atau pengkambinghitaman juga dapat diterapkan dalam kasus pemerkosaan dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada Mei 1998 ini. Dalam situasi dimana ada krisis nasional, masyarakat secara otomatis akan mencari kelompok yang dapat mereka salahkan dan menjadikannya tempat amukan atau kemarahan, hal ini dipahami sebagai pengkambinghitaman atau scapegoating (Berkowitz, 1959). Berdasarkan pendapat mayoritas masyarakat, etnis Tionghoa yang secara ekonomi sukses dan menduduki posisi ekonomi strategis, dilain pihak mereka telah distigmatisasi secara negatif dan kebanyakan memiliki keyakinan berbeda, secara tidak beruntung dijadikan sebagai ‘dislike minority’ (Weeraratne, 2009:21). Hal ini lah yang menjadikan mereka sebagai target utama dari kerusuhan tersebut, terlepas dari kerusuhan itu diorganisasikan oleh pihak tertentu atau tidak.
Perempuan yang berasal dari etnis Tionghoa mengalami hal yang lebih mengerikan pada saat terjadinya kerusuhan ini. Mereka menjadi korban utama karena dianggap paling rentan dan paling mudah dijadikan sasaran amukan masa. Secara tidak langsung, berdasarkan konstruksi masyarakat Indonesia yang ada perempuan yang berasal dari etnis Tionghoa dapat dikatakan termasuk kedalam golongan yang didefinisikan sebagai double minority (Nur Mutia Muas, Witanto, 2005:35).
Perempuan Tionghoa secara demografis tentu adalah minoritas karena pada waktu itu etnis Tionghoa jumlahnya tidak mencapai 2% dari seluruh penduduk di Indonesia, dan mereka yang merupakan perempuan adalah bagian dari kelompok minoritas perempuan Indonesia. Bahkan menurut pemahaman dari Ita F. Nadia (1998), perempuan etnis Tionghoa dapat dikatakan sebagai golongan ‘triple minority’ karena mereka perempuan, berasal dari etnis Tionghoa yang minoritas, dan beragama non-Muslim sehingga mereka paling tepat dijadikan korban dalam kerusuhan berbasis politik tersebut, karena mereka pasti akan sulit membela diri.
Konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang terbentuk seperti itu memang dipengaruhi oleh sosialisasi dan internalisasi dari masyarakat yang tidak mampu menghargai posisi perempuan dan minoritas dan eksistensinya di masyarakat. Stigma-stigma yang terus muncul dalam masyarakat, membuat perempuan menjadi sulit untuk mendapatkan tempat di ruang publik. Terlebih lagi, dalam masyarakat orde baru saat itu, internalisasi yang ditanamkan adalah perempuan yang baik itu perempuan yang mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik, mendidik anak-anaknya, dan patuh terhadap suaminya (Nur Mutia Muas, Witanto, 2005). Tanpa menghiraukan peran aktif perempuan, stigmatisasi ini terus saja terjadi dan terinternalisasi sehingga menjadi konstruksi sosial dalam masyarakat.
Terkait dengan tindakan kejahatan yang dilakukan terhadap perempuan yang merupakan etnis Tionghoa yang digolongkan sebagai minoritas, hal ini dapat disesuaikan dengan konsep hate crime yang didefinisikan sebagai kekerasan berdasarkan kebencian dan tipe penyerangan yang personal terhadap suatu ras, etnis, agama, disabilitas, ataupun orientasi seksual (Hutton, 2009:2). Hate crime juga merupakan fenomena sosial yang tidak berhubungan dengan kebiasaan menyimpang tertentu (Perry, 2003). Motivasi dari adanya tindakan hate crime lebih kepada manifestasi dari suatu kejadian yang dianggap sebagai masalah sosial oleh para pelaku terhadap golongan tertentu (Hutton, 2009).
Menurut Iganski (2008: 118), terdapat tiga poin-poin utama yang menyebabkan seseorang atau kelompok menginisiasi hate crime. Pertama, korban seringkali didefinisikan sebagai musuh bersama melalui struktur sosial. Kedua, pelaku dari hate crime seringkali dilihat sebagai korban dari ketidakberuntungan sosial dan ekonomi, dan yang terakhir, adalah tesis mengenai adanya ekstremisme dalam pemikiran yang melandasi perilaku dari pelaku hate crime. Dalam kasus kekerasan yang diterima oleh perempuan etnis Tionghoa pada kerusuhan 1998, poin pertama dan kedua mungkin dapat dikatakan mewakili penyebab adanya tindakan brutal dari massa. Etnis Tionghoa yang secara tidak beruntung menguasai berbagai sektor ekonomi, dijadikan kambing hitam atas kekesalan masyarakat terhadap sistem pemerintahan.
Hal lain yang juga mengerikan dan dialami oleh para korban, perempuan etnis Tionghoa adalah ketidakhadiran sistem peradilan pidana untuk membela mereka. Dalam relasi dengan diskriminasi yang ada dalam masyarakat, praduga rasis juga hadir di dalam sistem peradilan pidana dan hal ini kontradiktif dengan kewajiban mereka (Walker, Spohn, DeLonge, 2007). Dalam hal ini, mungkin memang kenyataannya adalah hingga sekarang, pihak-pihak yang bertanggungjawab dan menjadi aktor intelektual dari kerusuhan yang tentu saja paling merugikan etnis minoritas dan perempuan etnis Tionghoa ini sampai sekarang belum ditangkap. Mirisnya, Indonesia sebenarnya telah meratifikasi CEDAW melalui UU RI No. 7 Tahun 1984 dan nampaknya implementasinya masih belum terlihat sampai sekarang. Meskipun fakta-fakta yang ada dari kejadian mengerikan yang menimpa perempuan etnis Tionghoa ini telah mendorong pemerintah untuk setidaknya merespon dengan pembentukan tim pencari fakta dan komisi nasional perlindungan perempuan di tahun 1998 sebagai upaya maksimal yang bias dilakukan.
Sebuah Kesimpulan
Kerusuhan Mei 1998, bukanlah merupakan lembaran sejarah yang baik bagi negara Indonesia. Akan tetapi, tidak mungkin juga hal tersebut dilupakan begitu saja, terlebih lagi banyak diluar sana korban yang berasal dari etnis Tionghoa masih belum mendapatkan keadilan yang semestinya mereka dapatkan. Meskipun secara pemahaman teori ataupun faktual, kasus ini merupakan kasus yang sangat kompleks dan penuh dengan konspirasi, seharusnya negara dan masyarakat sendiri dapat sadar dan menjadikan ini sebagai pelajaran yang berarti.
Keberagaman yang memang selalu muncul, pro dan kontra, rasa curiga dan ketidakadilan memang kerap kali menjadi permasalahan yang dapat memercikan konflik kecil yang dipendam dan menjadi besar sehingga meletus dengan sangat mengerikan. Akan tetapi, hal itu sebenarnya dapat ditanggulangi dengan nilai-nilai yang mungkin sudah dilupakan saat ini seperti toleransi dan tenggang rasa.
Meskipun nampaknya hal tersebut hanya sebatas internalisasi dari era orde baru, setidaknya dapat diambil pemaknaan yang terbaik bahwa memang nilai-nilai tersebut perlu kita sadari dan kita tanamkan sedari awal. Kedewasaan dalam menyikapi perbedaan dan keadilan tanpa membeda-bedakan satu nilai-nilai pun yang ada di dalam masyarakat.
Apabila masyarakat dapat melakukan hal tersebut, perlu juga ditunggu apakah lembaga-lembaga struktural pemerintah dapat pula melakukan hal demikian. Tanpa adanya celah dan prasangka terhadap golongan tertentu dan perbedaan tertentu. Alangkah lebih baik jika pemerintah yang telah melakukan beragam ratifikasi internasional tentang keadilan mampu mengimplementasikan kualitas kerja sejalan dengan kuantitas ratifikasi tersebut. Dengan begitu, ketika konflik mulai terjadi, pemerintah dapat menjadi pihak yang paling bijak dalam menyikapinya, bukan justru diam dan duduk manis menonton dengan urusan-urusan birokratis mereka.
—————————————————————————————————————————————————-
Daftar Pustaka
Buku:Iganski, Paul. 2008. ‘Hate Crime’ and The City. Bristol: The Policy Press.
Burke, Roger Hopkins. 2009. An Introduction to Criminological Theory. Devon: Willan Publishing.
Hillyard, Paddy, Christina Pantazis, Steve Tombs. 2004. Beyond Criminology Taking Harms Seriously. London: Pluto Press.
Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Cetakan Kedua. Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah PSH. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Jurnal Ilmiah:
Weeraratne, Suranjan. 2009. Degrees of Scapegoatability: Accesing Spatial Variations in Collective Violence against the Ethnic Chinese in Indonesia. Montreal. McGill University. (Diakses dari Proquest pada 29 Mei 2012, pukul 19:33).
Nur Mutia Muas, R. Tuty, Eddy Prabowo Witanto. 2005. Aktualisasi Peran Sosial Wanita Cina di Jabodetabek. Depok. Universitas Indonesia. Jurnal Makara, Sosial Humaniora, vol 9, 2, 2005: 34-45. (Diakses dari Proquest pada 29 Mei 2012, pukul 18.47).
Hutton, Erica. 2009. Bias Motivation in Crime: A Theoretical Examination. Internet Journal of Criminology, 2009.
Lasker, Bruno. 1946. The Role of The Chinese in The Netherland Indies. The Far Eastern Quarterly Journal, 1946: 162. (Diakses dari Proquest pada 29 Mei 2012, pukul 19.53).
Dokumen:
Komnas Perempuan. 2008. 10 tahun Tragedi Mei 1998, Saatnya Meneguhkan Rasa Aman. Jakarta.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998. 2011. Lembar Fakta TGPF Mei 1998. Jakarta.
Laman Daring:
www.komnasperempuan.or.id, www.bps.go.id, www.tempo.co, www.tempointeraktif.com, www.majalah.tempointeraktif.com
Sumber:
http://tubagusramadhan.wordpress.com/2013/05/14/kekerasan-kepada-perempuan-etnis-tionghoa-di-indonesia-studi-kasus-korban-kerusuhan-13-14-mei-1998/