Megawati Soekarnoputri
Dulu Ia Adalah Simbol Perlawanan, Ibu Bagi Semua Orang
INDONESIA2014 - Tak semua tokoh perempuan Indonesia mendapat predikat Ibu dari masyakarat. Sandangan itu sendiri lebih terkait dengan sosok yang mewakili kegundahan dan perlawanan di zamannya. Tak ada urusan dengan usia. R.A. Kartini contohnya; ia meninggal di usia muda, 25 tahun. Ia anak seorang bangsawan.Ia menyerukan gagasan besar yang menentang arus pada zamannya, tentang anti kolonialisme, tentang surat kabar sebagai corong perjuangan pribumi dan tentang pendidikan yang tidak hanya untuk kalangan priyayi laki-laki, tapi untuk semua orang. Pun gagasannya bukan hanya mengenai orang di sekitar Jepara-Rembang, tapi ia menyebut Hindia Belanda dalam surat-suratnya. Saat itu nama Indonesia memang belum dikenal.
Meski secara kebudayaan ia terkungkung budaya feodal dan patriarki, juga secara fisik –ia bepergian jauh naik kereta api hanya sekali dalam hidupnya- tapi tidak dengan kecintaannya pada pembebasan manusia. Itulah mengapa Kartini kemudian menjadi simbol perjuangan nasional, seorang Ibu bagi cikal bakal sebuah bangsa.
Di era Indonesia modern, kita kembali mendapati sosok yang kemudian mendapat sandangan Ibu di depan namanya; Megawati Soekarnoputri, putri mendiang presiden pertama RI.
Mega, demikian ia disapa, tumbuh di lingkungan Istana, ia hobi menari, terutama jika ayahnya, Soekarno, sedang kedatangan tamu terhormat. Namun, ketika ayahnya dipaksa turun oleh Soeharto dalam suatu drama politik berdarah, praktis merekapun disingkirkan dari gelanggang politik. Dan ia memang menjadi ibu rumah tangga, hingga kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Ikon Partai Jadi Simbol Nasional
Tahun 1986, Mega mulai dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil Ketua DPC PDI Jakarta Pusat. Setahun kemudian, ia sudah menjadi Ketua DPC PDI Jakarta Pusat. Ia memulai karir politiknya dari bawah. Meski cenderung pendiam, tak seperti ayahnya yang merupakan orator ulung, ia cepat populer di kalangan massa. Tak bisa dipungkiri, kebesaran nama Soekarno masih melekat kuat pada dirinya.
Desember 1993, PDI menggelar kongres di bawah campur tangan Rezim Orde Baru. Kongres ini bertujuan untuk membatasi ruang gerak politik Mega yang saat itu makin populer di mata rakyat. Konflik di tubuh partai banteng ini memuncak pada Kongres Luar Biasa di Medan 1996, di bawah arahan pemerintah untuk memenangkan Suryadi, yang bisa dikontrol oleh rezim.
Kubu Mega menolak. Ia mendapat dukungan dari kader-kader di bawah. Kantor DPP PDI dikuasai oleh mereka yang menamakan dirinya PDI Pro Mega. Saat itu, Mega menjadi ikon perlawanan partai wong cilik ini. Hingga meletuslah peristiwa penyerbuan ke DPP PDI, Diponegoro Jakarta, 27 Juli 1996, oleh sekelompok orang berambut cepak berbadan tegap. Kejadian tersebut dikenang sebagai Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli).
Meski hanya Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang resmi dijadikan sasaran tembak, namun dalam prakteknya semua organisasi perlawanan digebuk. Mega harus beberapa kali diperiksa polisi atas kasus tersebut. Aktivis yang luput dari sasaran penangkapan dan pemenjaraan berkumpul kembali, sembari mengharap Mega mampu menyatukan kekuatan yang berserak paska 27 Juli. Maka, tahun 1997 massa bangkit kembali melawan. Pada momentum ini, Megawati tak sekedar tampil sebagai ikon partai yang dibelanya, tapi ia telah menjadi sosok Ibu bagi gerakan perlawanan.
Fenomena koalisi akar rumput Mega-Bintang antara pendukung PPP dan PDI muncul pertama kalinya di Jakarta. Para aktivis Mega-Bintang ini menjadi ancaman serius bagi Golkar pada Pemilu 1997, karena mereka menjadi representasi suara arus bawah. Kloter pertama penculikan aktivis terjadi pada kelompok ini.
Lalu pada awal tahun 1998, Rejim Orde Baru kembali melakukan penculikan aktivis kloter kedua. Penangkapan dan penculikan dilakukan agar tidak menggangu Sidang Umum MPR Maret 1998, yang mengagendakan pemilihan Soeharto sebagai presiden untuk ke-7 kalinya. Selain aktivis PRD, SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi), STN (Serikat Tani Nasional), (PPBI) Pusat Perjuangan Buruh Indonesia, (Jaker) Jaringan Kerja Kesenian Rakyat,(SRI) Serikat Rakyat Indonesia, mereka yang menjadi korban penculikan periode ini adalah Pius Lustrilanang, Desmond Mahesa, dan Haryanto Taslam.
Pius adalah aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), yang juga aktif di Solidaritas untuk Amin dan Mega (SIAGA), sebuah jaringan untuk mendukung Amin Rais dan Megawati menjadi calon presiden untuk menantang Soeharto. Desmond Junaedi Mahesa adalah aktivis LBH Nusantara Bandung. Sedangkan Haryanto Taslam adalah Sekjen DPD PDI DKI Jakarta, yang punya hubungan dan pengaruh kuat dengan basis massa dan gerakan prodemokrasi di Jakarta. Taslam dianggap berbahaya karena punya kemampuan memobilisasi massa dalam jumah besar.
Koalisi Mega-Bintang dan Solidaritas Amien-Mega, melambungkan nama Megawati Soekarnoputri sebagai pemersatu kekuatan anti status quo. Ia telah menjadi fenomena tersendiri. Simbol perlawanan nasional, sosok Ibu yang menjadi harapan bangsa terhadap perubahan.
Jika harapan Kartini untuk membuka sekolah dan menulis buku kandas di tengah jalan, berbeda dengan nasib Megawati, yang kemudian merasakan empuknya kursi kepresidenan. Suatu posisi yang tak pernah di cita-citakan oleh R.A. Kartini.
Di Tampuk Kekuasaan
Tak lama setelah era Soeharto dan kroninya, Habibie turun, Pemilu 1999 digelar. Pemilu demokratis pertama semenjak Pemilu 1955. PDI Perjuangan muncul sebagai partai baru pemenang pemilu dengan mendulang 34% suara pemilih, meninggalkan jauh perolehan lawan-lawannya, termasuk PDI. Namun, karena kesalahan perhitungan politik dalam pemilihan di parlemen, Megawati hanya tampil sebagai wakil, mendampingi Presiden terpilih, Abdurrahman Wahid.
Gus Dur, demikian sapaan akrabnya, adalah presiden yang penuh kontroversi. Ia misalnya mengusulkan pencabutan TAP MPRS XXIX/MPR/1966 tentang pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme, meminta maaf kepada korban 1965, dan melegalkan kembali agama dan kebudayaan yang dilarang sepanjang Orde Baru berkuasa. Gus Dur juga mengupayakan pembukaan hubungan dagang dengan Israel, menuduh menteri-menterinya melakukan korupsi, berkali-kali merombak kabinet, dianggap bertanggung jawab terhadap skandal Buloggate dan Bruneigate, dan tentu saja mengancam membubarkan parlemen. Hubungan Gus Dur dengan parpol pendukungnya dan sejumlah kalangan semakin memburuk.
Sejumlah tokoh bersepakat menentang Gus Dur, Megawati dan Amien Rais berada di barisan tersebut. Gus Dur akhirnya lengser, dan Mega tampil sebagai Presiden RI ke-5. Peristiwa ini memicu sebagian kemarahan aktivis dan massa di bawah.
Mega yang cenderung diam, tak komunikatif itu, tatkala menjadi Presdien kerap dikecam banyak pihak karena langkahnya yang tak populis; mencabut subsidi BBM, menaikkan TDL (Tarif Dasar Listrik), menjual aset-aset penting nasional (Indosat dan Telkomsel), memilih kepala daerah yang tak disukai arus bawah (Sutiyoso sebagai Gubernur DKI, Eka Wiryastuti sebagai Bupati Tabanan, Bali), dan sebagainya. Ketidakpercayaan massa pun memuncak ketika Mega bergeming untuk melakukan pengusutan Persitiwa Kudatuli maupun kasus penculikan aktivis 1997-1998, martir yang menjadi garda utama pendukungnya.
Rentetan ketidakpuasan tersebut tak hanya memunculkan faksi-faksi di tubuh PDIP. Lebih dari itu, mereka keluar, dan lahirlah partai-partai baru seperti Partai Nasional Banteng Kerakyatan pimpinan Erros Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan pimpinan Laksamana Sukardi dan Roy BB Janis, dan Partai Pelopor pimpinan Rachmawati Soekarnoputri yang menampung kader-kader PDIP yang kecewa. Pemandangan pengembalian kartu tanda anggota (KTA) PDIP menjadi pemandangan yang jamak, seperti disebut oleh Mochtar Pabottingi dalam salah satu wawancara dengan Indonesia 2014.
Hal-hal inilah yang menyebabkan suara PDIP turun drastis pada Pemilu 2004. Perolehan PDI Perjuangan dalam pemilu 1999 yang mencapai 34%, pada 2004 turun 15%, menjadi 19%, dan terus merosot pada 2009 tinggal 14%. Belum lagi serangkaian kasus korupsi yang menimpa kader PDIP seperti kasus cek pelawat dan korupsi di daerah. Megawati yang tak memenangkan pemilihan di parlemen ketika partainya berkuasa, harus mengalami kekalahan beruntun pada Pilpres 2004 dan 2009. PDIP kehilangan banyak kader terbaiknya, termasuk kehilangan penyandang dana dan kepercayaan publik yang hebat.
Namun, semenjak memilih menjadi oposisi di parlemen, keadaan dianggap semakin membaik. PDIP memang dikenal konsisten sebagai penyalur suara arus bawah yang menolak kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) dan pencabutan subsidi BBM. Tapi PDIP sudah tak sesolid dulu lagi, suami Mega, Taufik Kiemas, dengan membawa sejumlah loyalisnya di PDIP memilih jalur berbeda dari dirinya, menjadi sekutu pemerintahan yang berkuasa.
Popularitas dan Elektabilitas Mega
Untuk pemilihan Presiden 2014, apakah Megawati akan maju kembali? Kalau dilihat rangkaian survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting ada sejumlah temuan yang memberikan gambaran positif sekaligus negatif tentang peluang Mega.
Hasil survei SMRC Juni 2012 menunjukkan bahwa dibandingkan rangkaian nama tokoh lain, Megawati nampak menonjol. Survei itu menunjukkan hampir 94 persen respon menyatakan mengenal nama Megawati. Ini di atas nama-nama lain. Jusuf Kalla hanya memperoleh 89%, Prabowo 79% dan Aburizal Bakrie 70%.
Hanya saja, keterkenalan Megawati ini tidak berjalan seiring dengan peluangnya untuk terpilih sebagai Presiden. Ketika responden diajukan pertanyaan, siapa yang akan mereka pilih sebagai presiden bila pemilu berlangsung saat survei dilakukan, perolehan suara Megawati relatif kecil.
Pada Juni 2011, yang memilih Megawati hanya 6%. Ketika survei dilakukan pada Juni 2012, angka itu menaik menjadi 8%. Namun pada Desember 2012, yang menyebut nama Megawati turun kembali menjadi 6%.
Angka serendah itu diperoleh ketika responden diminta menjawab spontan (top of mind), tanpa ada panduan nama kandidat presiden nama yang dipilih. Ketika peneliti SMRC menyajikan daftar nama kandidat untuk dipilih responden, penyebutan nama Megawati lebih besar. Namun kecenderungan penurunannya dari waktu ke waktu lebih buruk lagi. Pada Juni 2011, Megawati disebut 21% responden; Itu kemudian turun menjadi 17% pada Juni 2011 dan 15% pada Desember 2012.
Yang mungkin bisa membantu Megawati tidak terlalu kecil hati adalah kenyataan bahwa para kandidat lain pun suaranya tidak impresif. Saingan terdekat Megawati adalah Prabowo Subianto, Pada Juni 2011, dengan kuestioner berisikan panduan nama, nama sang jenderal hanya disebut 14% responden, pada Juni 2012 tetap di 14%, dan pada Desember 2012 itu naik menjadi 15%.
Dengan gambaran persaingan semacam itu sangat mungkin Megawati tetap tergerak untuk mencalonkan diri pada pemilihan Presiden 2014. Tingkat elektabilitasnya mungkin tak tinggi saat ini, namun pesaing-pesaingnya pun bernasib sama.
Tak Perlu Maju
Redaksi Indonesia 2014 sendiri tak bisa memperoleh jawaban langsung baik dari Megawati maupun para pengurus teras partai tersebut tentang rencana pengajuan dirinya. Menjawab permohonan wawancara yang dikirimkan redaksi, PDIP menyatakan bahwa karena kesibukannya, Megawati belum bisa diwawancarai. Upaya redaksi mengontak sejumlah ‘orang dalam’ PDI-P menemui nasib yang kurang lebih sama: karena satu dan lain hal mereka tak bisa bicara tentang sang ibu.
Redaksi hanya dapat mewawancarai para pengamat politik, baik yang dikenal kritis maupun yang dikenal dekat dengan Megawati. Nyatanya, hasilnya kurang lebih serupa. Menurut mereka akan sangat berat bagi Megawati untuk maju tahun depan.
Indria Samego, Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menegaskan bahwa Megawati tidak perlu lagi maju dalam putaran pilpres 2014. Indria melihat sosok Mega yang jauh lebih dibutuhkan sebagai semen perekat, pemersatu kader partai. “Mega cukup memimpin partai saja, membesarkan partai dan melakukan kaderisasi di partai,” pesannya.
Pesan yang sama juga diutarakan oleh Rizal Ramli: Megawati cukup sebagai king maker. Bagi Rizal, Mega harus menyadari, tidak mudah untuk maju sebagai capres, karena dua kali mencoba tidak berhasil. Sudah saatnya bagi Mega untuk memikirkan calon-calon lain, yang bisa membawa aspirasi kalangan nasionalis, terutama kalangan Soekarnois.
Sementara menurut Mochtar Pabottingi, kans Mega semakin kecil karena sudah lewat masanya. “Saya kira sudah terlambat. Sudah terlalu jauh dia menyimpang selama ini,” ungkapnya. Bagi pengamat politik LIPI ini, Megawati sudah pernah mendapatkan kesempatan, tapi tidak digunakan dengan baik.
Senada dengan pernyataan tersebut, Bima Fanggidae, mantan pengurus ranting PDIP di Jakarta tegas mengatakan Megawati sudah tidak layak lagi memimpin partai, apalagi memimpin negara. “Faktanya, suara PDI Perjuangan sejak 1999 terus menurun. Ini menunjukan ketidakmampuan Mega sebagai seorang pemimpin.”
Analisis kelemahan Megawati beragam diajukan. Menurut Indria Samego, sekurangnya ada lima kelemahan dalam sosok Megawati. Pertama, ia kurang sigap untuk menghadapi tantangan-tantangan bangsa selama menjabat sebagai Presiden RI. Kedua, pemilih dengan preferensi agama Islam kurang bisa menerima kepemimpinan Megawati. Ketiga, ia tidak punya visi. Keempat, secara pribadi Mega tidak memiliki karakter yang kuat dan keras. Dan kelima, Mega dinilainya kurang pecaya diri, selalu mengandalkan nama besar Soekarno.
Mochtar Pabottingi pun melihat kelemahan Megawati dari kacamata yang sama, yakni hanya memanfaatkan pesona Bung Karno. “Yang dijual kan pesonanya Bung Karno. Tetapi sebetulnya sikap dan kebijakan-kebijakannya bertolak belakang dengan Bung Karno. Misalnya menjual aset-aset tanah air.” Mochtar mencatat bahwa, selain Mega tidak punya prinsip, dan tidak punya ideologi, dari segi wawasan sang Ibu juga kurang.
Terhadap asumsi-asumsi tersebut, Rizal Ramli berpendapat berbeda. Dalam pandangan Rizal, kekalahan Megawati dalam dua kali putaran pilpres, bukanlah semata karena faktor Mega ataupun PDIP. Bagi Rizal kemenangan SBY yang sangat besar di 2009, tidak sepenuhnya merupakan hasil kompetisi yang fair.
Lewat kecurangan-kecurangan serupa, sebagaimana diungkap Rizal, kemungkinan bagi Mega kalah masih terbuka lebar. Padahal, menurut Rizal, jika dalam pilpres 2014 Mega kalah, suara PDIP juga akan merosot. Ini, menurutnya, tidak menguntungkan Indonesia karena negara ini membutuhkan butuh partai nasionalis yang kuat. Jadi, menurut Rizal pula, sebaiknya Megawati berkonsentrasi untuk memperkuat partai, demi kepentingan jangka panjang bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, yang akan menentukan nampaknya adalah keputusan Megawati sendiri. Sampai saat ini PDIP tidak pernah menyatakan sikap apa-apa, sementara Megawati pun nampak belum menemukan pilihan terbaik.
Apapun langkah yang ia ambil akan menentukan bagaimana Megawati dikenang di masa depan. Ia pernah dikagumi sebagai sosok ibu yang mewakili semua yang melawan. Itu yang merupakan pertaruhannya. (Joaquim Rohi)
Sumber:
http://www.indonesia-2014.com/read/2013/07/16/dulu-ia-adalah-simbol-perlawanan-ibu-bagi-semua-orang#.U54FlqJcC1s
EmoticonEmoticon