Wawancara Asmara Nababan: "Jika Pemerintah Lalai, Konflik Sanggau Ledo Bisa Terjadi Lagi"

June 16, 2014
Edisi 04/02 - 29/Mar/1997
Nasional

Wawancara Asmara Nababan:
"Jika Pemerintah Lalai, Konflik Sanggau Ledo Bisa Terjadi Lagi"


Asmara NababanKERUSUHAN di Kalimantan Barat, yang dikenal dengan sebutan kasus Sanggau Ledo, membuat Komnas HAM berpikir keras. Rapat-rapat maraton terus dilakukan, khusus membahas kerusuhan yang mereka kategorikan sebagai sangat unik itu. Menurut Asmara Nababan, anggota sub komisi pemantauan pelaksanaan HAM di Komnas HAM, terdapat sejumlah faktor kesulitan untuk memastikan jumlah korban akibat kerusuhan massal antara etnis Dayak dan Madura itu. Untuk mendapatkan keterangan lebih detail serta penemuan baru dari Komnas HAM mengenai kerusuhan di Sanggau Ledo, maka Iwan Setiawan dari TEMPO Interaktif melakukan wawancara khusus dengan Asmara Nababan yang melakukan kunjungan dan observasi langsung ke lapangan, pada Januari 97 lalu. Berikut petikan wawancara telepon yang berlangsung Rabu, 26 Maret 97 malam:

Berapa sesungguhnya jumlah korban kerusuhan di Kalimantan Barat?
Kami masih menunggu sampai pemerintah mengumumkan jumlah korban versi mereka, baik yang meninggal, hilang dan lain sebagainya. Ada perkiraan sementara yang berkisar antara 300 hingga 2000 orang, dan seterusnya. Ya, saat ini kami memang mengharapkan pernyataan final dari pemerintah terlebih dulu mengenai berapa jumlah korban sebenarnya. Paling tidak angka itu mendekati kebenaran.
Bagaimana jika jumlah korban menurut versi pemerintah nantinya sangat berbeda dengan hasil temuan Komnas HAM?
Kami akan melakukan verifikasi atau pemeriksaan lebih jauh terhadap laporan tersebut. Itu dilakukan tanpa prasangka buruk. Makanya kami masih menunggu. Karena kesulitan di lapangan, maka siapapun, institusi manapun tentu akan mengalami kesulitan untuk menghitung jumlah korban secara cermat. Termasuk juga ABRI dan pemda setempat.
Apa sebenarnya akar masalah kerusuhan tersebut menurut Komnas HAM?
Begini, Komnas HAM berpesan kepada pemerintah atau mengeluarkan semacam rekomendasi supaya ada usaha untuk lebih sungguh-sungguh mencari akar masalah dari konflik tersebut. Kan, sekarang ada semacam peluang untuk berusaha mencari akar masalah tersebut. Maksud saya begini, sampai minggu lalu barangkali hal itu tidak mungkin karena konflik masih berlangsung. Tapi sekarang ada semacam momentum yang memungkinkan untuk mencari akar masalah sebenarnya. Kami mengingatkan ini karena jika pemerintah lalai, tidak menutup kemungkinan konflik semacam itu akan terjadi dikemudian hari. Sama seperti masalah-masalah sebelumnya, hal itu tidak cukup hanya dengan akta perdamaian.
Ada beberapa hal yang butuh penelitian lebih lanjut, umpamanya semakin sempitnya resources (sumber daya alam) yang ada di Kalimantan Barat untuk rakyat, karena kebanyakan dikuasai oleh transmigran, HPH, PIR dan lain sebagainya. Sisa alokasi resources yang kecil kemudian diperebutkan oleh kedua kelompok ini (Dayak dan Madura), yang keduanya mempunyai temperamen dan budaya berbeda satu sama lain.
Jadi, masyarakat asli merasa tersingkir oleh pendatang yang lebih berhasil ?
Perasaan semacam itu jelas diungkapkan oleh tokoh-tokoh Dayak. Tetapi kembali ke persoalan pertama bahwa masyarakat adat lokal cenderung kalah bersaing. Itu tidak hanya di Kalbar, tapi juga, misalnya, di Maluku, Irian dan Tim-Tim. Ini perlu suatu pengelolaan yang lebih adil. Pendatang memang berhak, tetapi masyarakat lokal tetap harus dihormati.
Bagaimana dengan tindakan aparat militer yang menggunakan cara kekerasan senjata?
Pada kerusuhan gelombang pertama (akhir Desember- awal Januari 97) banyak kritik dari tokoh-tokoh Madura terhadap ABRI, bahwa mereka bertindak lamban sehingga kerusakan dan kerugian besar. Tetapi pada kerusuhan gelombang kedua (akhi Januari-Februari 97) kritik terhadap ABRI justru muncul dari tokoh-tokoh Dayak. Mereka bilang bahwa tindakan ABRI terlampau keras terhadap mereka. Tetapi Komnas HAM dalam pertemuan bulan Januari dan Februari ini juga mengingatkan aparat mengenai prosedur yang digunakan haruslah tetap menghormati hak-hak azasi manusia dan mereka sebenarnya juga menunjukkan komitmen terhadap itu.
Benarkah kabar yang menyebutkan bahwa ada 100 orang Dayak meninggal akibat penembakan oleh ABRI dalam kerusuhan itu?
Ada beberapa insiden yang membuat pasukan ABRI bertindak keras. Yakni, disaat adanya serangan yang berbahaya terhadap mereka (dengan digunakannya senapan lantak). Mereka juga ditembak. Dalam keadaan seperti ini aparat mempunyai alasan bertindak untuk membela diri dan menghentikan penyerbuan itu. Namun apakah kekerasan yang digunakan melampaui batas atau tidak, tentu harus dilihat indikasi-indikasi kearah itu.
Betulkah pihak militer mengadakan penguburan massal terhadap mayat korban akibat penembakan tersebut ?
Saat ini informasi tentang hal itu masih simpang siur. Yang penting bagaimana upaya kita, sehingga tidak muncul balas dendam dari suku Dayak. Karena walau telah didamaikan tetapi rasa sakit hati akibat peristiwa itu butuh waktu yang lama untuk memulihkannya. Karena luka itu dalam, jangan pada saat kita melakukan investigasi akan ditafsirkan secara berat sebelah oleh salah satu pihak.
Pada saat rapat berkali-kali, Komnas HAM melihat bahwa ini adalah masalah yang unik, dan beresiko tinggi memunculkan pelanggaran. Berbeda misalnya dengan kasus Timika. Tak mungkin ABRI mau pun pemerintah bisa menanganinya secara cepat karena jumlah mereka yang terlibat besar. Mungkin sekitar 5000 atau 10.000 orang di Kalimantan Barat hilang. Terlebih yang didalam hutan. Habis, siapa yang sanggup menjaga hutan-hutan, sungai dan bukit yang ada disana.
Jika benar terjadi penguburan massal. Berarti, selain menghilangkan nyawa seseorang, sekaligus menghilangkan bukti kejadian?
Ya betul, karena anggota keluarga korban berhak untuk mengetahui nasib si korban. Itulah yang kita harapkan dari pengumuman versi pemerintah terhadap korban yang hilang. Karena anggota keluarganya berhak tahu keadaan koban dan jika meninggal dunia, dimana kuburannya.
Jika memang nantinya ditemukan adanya pelanggaran HAM oleh aparat, apa tindakan Komnas HAM ?
Kasus di Kalbar ini memang tergolong unik, dalam pengertian kedua kelompok menjadi korban tetapi sekaligus pelaku pelanggaran HAM. Dalam keadaan seperti ini perspektif Komnas HAM tidak ditekankan kepada investigasinya, tetapi turut memberikan kontribusi untuk menyelesaikan masalah secara damai lewat dialog dengan kedua belah pihak. Juga dengan pemerintah. Ini yang akan dilakukan secara intensif.
Apakah fungsi Komnas HAM kali ini lebih sebagai mediator antara pemerintah dengan kelompok masyarakat yang terlibat untuk mencari solusi bagi penyelesaian masalah ?
Ya, karena bagaimanapun juga dan apapun alasan-alasan yang sah dari suku Dayak atau Madura, tindakan yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia tidak dapat dibenarkan. Dengan rendah hati kita akan mengatakan "Sorry, sebaik apapun klaim Anda, tetapi jika harus menghilangkan nyawa orang, maka Anda sudah melakukan pelanggaran."
Apa saja yang dilakukan oleh Komnas Ham selama observasi ke Kalimantan Barat?
Kami melakukan dialog dan pada awal Januari dan saya sendiri sampai di Sanggau Ledo, Singkawang, Salamantan untuk menjumpai tokoh-tokoh Dayak. Jadi dari mulai tingkat lokal dan kabupaten pada waktu itu, kami menampung keluhan mereka dan mencoba bertukar pikiran dengan mereka. Saya juga bertemu dengan ratusan pengungsi Madura yang masih ada di pangkalan udara Sanggau Ledo. Mereka mengeluh tentang penderitaan mereka.
Dalam menangani kasus ini apakah Komnas HAM mendapat pesan khusus atau tekanan dari pemerintah?
Tidak.
Kapan kira-kira pemerintah ataupun Komnas HAM akan mengumumkan hasil penemuan kasus Sanggau Ledo ?
Belum ada kepastian, mungkin tanggal 1 April nanti kami masih akan rapat pleno untuk membicarakan lagi kasus ini.
Bagaimana jika masukan-masukan dari Komnas HAM kepada pemerintah tidak dilaksanakan ?
Kami akan selalu berulang-ulang mengingatkan hal tersebut. Karena memang hanya sampai disitulah tugas Komnas HAM dan setelah itu biasanya rekomendasi tadi akan kami umumkan kepada masyarakat lewat konperensi pers, misalnya. Sebenarnya rekomendasi itu hanya milik Komnas HAM, atau menjadi milik masyarakat setelah diumumkan. Jika masyarakat menilai rekomendasi tersebut sesuai dengan aspirasi mereka, mestinya mereka juga menggugat pemerintah, lewat anggota DPR kita.


Sumber:
http://tempo.co.id/ang/min/02/04/nas2.htm

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »