Tragedi Kemanusiaan Bulan Mei 1998

June 17, 2014

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei - 15 Mei 1998, 
khususnya di ibu kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. 
Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia 
dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak 
dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.

Peristiwa 13-15 Mei 1998
Puncak Kekerasan Anti Tionghoa di Indonesia
(Disampaikan dalam Seminar Memperingati Tragedi Mei 1998 yang diselenggarakan ICAA di Los Angeles, 13 Mei 2006 dan ICA Net di San Francisco, 14 Mei 2006)

 
Oleh : Benny G. Setiono
 
Pada 27 Juli 1996,kantor DPP PDI di jalan Diponegoro diserbu gerombolan yang mengaku pendukung PDI Kongres Medan dibawah pimpinan Buttu Hutapea cs. Aksi tersebut telah menyebabkan terjadinya kerusuhan yang mengakibatkan puluhan bangunan perkantoran, toko dan kendaraan bermotor sepanjang jalan Salemba dan Kramat Raya habis dirusak atau dibakar massa yang mengamuk. Sudah tentu kembali etnis Tionghoa yang menjadi korban. Setelah terjadinya krisis moneter berbagai kerusuhan dan aksi-aksi rasialis anti Tionghoa masih terjadi antara lain di Makassar (15 September 1997) dan setelah lengsernya Presiden Soeharto di Kebumen (7 September 1998). Puncak aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa seperti telah disampaikan di halaman pertama makalah ini adalah Peristiwa 13-15 Mei 1998.
Satu-satunya aksi anarkis yang meminta korban tokot-roko milik Tionghoa di era reformasi adalah pada saat Sidang Umum MPR hasil Pemilu 1999 (September 1999) memilih K.H. Abdurrachman Wahid menjadi Presiden. Pemilihan presiden baru untuk menggantikan Presiden B.J. Habibie mengalami berbagai rekayasa. Megawati sebagai calon presiden dari partai pemenang Pemilu mengalami hambatan dari partai-partai Islam, terutama dari koalisi Poros Tengah pimpinan Amien Rais dengan alasan gender, agama dan sebagainya. Para pengikut PDIP/ Megawati yang merasa dizalimi mengamuk dan melakukan aksi-aksi anarkis di Bali dan Solo. Ratusan toko milik orang Tionghoa hancur, malahan Pasar Besar Solo yang sangat terkenal dan menjadi salah satu icon kota Solo habis dibakar massa yang menjadi brutal dan sulit dikendalikan.

Masalah Tionghoa adalah bagian dari masalah nasional Setelah dengan jujur mempelajari sejarah , maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah Tionghoa adalah bagian dari masalah nasional yang diwarisi oleh penjajah Belanda. Kebijaksanaan politik segregasi penjajah Belanda, mengakibatkan bangsa Indonesia terkotak-kotak. Ingat apa yang dilakukan oleh Van Mook dan KMB yang menghasilkan negara federal ciptaan mereka yang ingin memecah-belah bangsa Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Kebiasaan dan kebijaksanaan raja-raja Jawa yang diteruskan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk memelihara segelintir orang Tionghoa yang dijadikan kroninya untuk memeras rakyat ternyata ditiru dan diterapkan oleh rezim Orde Baru yang juga memelihara segelintir oknum Tionghoa untuk dijadikan kaki-tangannya dalam menumpuk kekayaan. Hal ini dilakukan mulai dari pemegang puncak kekuasaan bersama keluarganya sampai ke tingkat paling bawah, lurah dan Rt/Rw. Sistim upeti yang menjadi tradisi raja-raja Jawa diterapkan, sehingga gaji pegawai negeri tidak pernah dicukupi dan mereka diberi kesempatan

untuk melakukan korupsi asal memberikan upeti kepada atasannya. Berbagai kemudahan, HPH, Perbankan dsb.nya diberikan kepada segelintir konglomerat Tionghoa, malahan sampai detik terakhir kekuasaannya mereka diberikan kesempatan untuk merampok negara dengan mengucurkan ratusan trilyun dana BLBI.
Rangkaian aksi-aksi kekerasan anti Tionghoa yang dimulai dari zaman VOC/Hindia-Belanda sampai mencapai puncaknya dengan terjadinya tragedi 13-15 Mei 1998 adalah warisan sejarah yang harus diselesaikan bukan saja oleh etnis Tionghoa, tetapi juga oleh seluruh komponen bangsa, termasuk seluruh kekuatan politik yang ada di Indonesia. Baik yang berada di eksekutif, legislatif maupun yudikatif dengan seluruh aparat dan birokrasinya dari pusat sampai ke tingkat Rt/Rw.  Kita tidak bisa berilusi bahwa etnis Tionghoa bisa berjuang dan menyelesaikan masalah Tionghoa sendirian tanpa menceburkan diri ke dalam mainstream bangsa dan bersama-sama komponen bangsa lainnya ikut menciptakan masyarakat baru Indonesia seperti yang kita cita-citakan. Untuk menjadi bangsa yang modern dan berperadaban tinggi kita harus membangun negara kita menjadi negara yang demokratis, egaliter, menjunjung tinggi hukum dan hak azasi manusia serta bersih dari segala bentuk KKN dan diskriminasi. Seluruh warga negara tanpa memandang asal-usul ras, etnis, agama, kepercayaan, gender, fisik dsb.nya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Untuk itu baik UUD maupun seluruh Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah dsb.nya harus bersih dari unsur-unsur diskriminasi.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana kita harus bersikap? Apakah kita akan menerima saja keadaan yang penuh ketidak-pastian bagi hari depan anak cucu kita atau kita menginginkan perubahan? Jawabannya ada di dalam lubuk hati masing-masing.


Sumber:

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »