Apa Yang Terjadi Pada Mei 1998 Serta Tanggapan Dunia?
Mike Portal | Pada 13 –16 Mei 1998 di Indonesia terjadi kerusuhan rasialis anti-Tionghoa yang menggemparkan dunia, yang kemudian disebut “Kerusuhan Kelam Mei”. Atas tekanan kuat opini dunia, pemerintah Indonesia pada 3 November 1998 mengumumkan laporan penyelidikan lembaga penyelidikan resmi “Tim Gabungan Pencari Fakta”, sebanyak 1.250 penduduk Tionghoa tewas, 24 luka-luka, 85 perempuan diperkosa, diperkosa bergilir atau mengalami pelecehan seksual.
Namun data tersebut telah diragukan oleh kalangan luas dan menurut perkiraan beberapa organisasi HAM, perempuan Tionghoa yang diperkosa diprediksi di atas seribu orang. Akan tetapi hingga kini, 14 tahun telah berlalu, para perusuh masih saja belum mendapatkan hukuman yang setimpal, seluruh fakta peristiwa pun masih belum terungkap semuanya.
Pemerintah dan rakyat berbagai negara dunia beramai-ramai telah melakukan protes serta mengutuk keras kepada pemerintah Indonesia kala itu. Namun pemerintah komunis RRT (Republik Rakyat Tiongkok) malah menyatakan, “Tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia”, bahkan melarang seluruh media di daratan Tiongkok memberitakan tentang peristiwa “anti Tionghoa” yang terjadi di Indonesia tersebut, juga melarang aksi protes dari mahasiswa yang dilakukan secara spontan.
Ada cendekiawan yang mengatakan, kesimpulan dari akar permasalahan terjadinya serentetan peristiwa anti Tionghoa di Indonesia, justru karena PKT (Pemerintah Komunis Tiongkok) mencampuri urusan dalam negeri negara asing serta mengekspor revolusi ke negara-negara di Asia Tenggara.
“Tujuan PKT adalah melalui kegiatan subversi mendorong pemerintah setempat rela melaksanakan politik yang dikehendakinya. Sebuah perubahan strateginya yang mencolok ialah menghentikan jalur propaganda yang peduli terhadap kepentingan keturunan etnis Tionghoa dan dengan terang-terangan mencampakkan kepentingan mereka demi meringankan kekhawatiran pemerintah setempat terhadap tujuan PKT.”
Kerusuhan rasialis bangkitkan amarah dunia
The New York Times, AS melansir sebuah laporan dari Organisasi HAM dan Bantuan Untuk Perempuan, secara terperinci telah melaporkan kejadian kerusuhan di Indonesia serta menyampaikan kecaman keras terhadap kejadian tersebut, sehingga tersebar luas dan menimbulkan badai di seluruh dunia.
Setelah kerusuhan anti Tionghoa tersebut terungkap, pemerintah ROC, Taiwan, menyampaikan protes keras kepada pemerintah Indonesia, bersamaan itu mengirim pesawat penumpang mengangkuti para korban kerusuhan. Pemerintah Singapura juga menyatakan Bandara Internasional Changi terbuka 24 jam dan sewaktu-waktu siap menerima kedatangan korban kerusuhan.
Pemerintah AS memastikan kerusuhan anti-Tionghoa adalah diskriminasi rasial, dengan tekanan ancaman militer memaksa pemerintah Indonesia menghentikan perbuatan keji menganiaya orang Tionghoa. Pemerintah AS mengizinkan “permohonan perlindungan” para korban keturunan Tionghoa, bersamaan itu mengirim kapal perangnya ke Indonesia mengangkut sejumlah besar korban kerusuhan.
Pada Juli 1998, di Bangkok, Kuala Lumpur, Hongkong serta New York dan lain-lain daerah terjadi demonstrasi memprotes kerusuhan terhadap orang Tionghoa, mendukung penuh korban kerusuhan, Sekretaris Partai Aksi Malaysia merangkap anggota DPR Malaysia, Lin Juxiang, meminta Komite HAM PBB menyelidiki peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan bergilir ditengah kerusuhan yang dialami oleh kaum perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia, serta menyerahkan hasil penyelidikan kepada Pengadilan Kejahatan Internasional untuk diadili.
Pemerintah PKT acuh tak acuh
Pemerintah komunis RRT menyatakan, “Tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.” Pemerintah komunis RRT mengambil sikap tidak melaporkan, tidak mengecam dan tidak mencampuri, bahkan bantuan pinjaman sebesar 400 juta Yuan kepada pemerintah Indonesia tetap diberikan sesuai jadwal yang telah ditentukan, hal ini membuat Pemerintahan Soeharto kala itu yang sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat.
Ling Feng, pakar sejarah PKT, komentator politik tersohor pernah menulis sebuah artikel mengungkap perilaku PKT dalam kerusuhan anti-Tionghoa di Indonesia. Persis menjelang para perusuh melakukan pembunuhan dan pembakaran secara besar-besaran pada 13 Mei 1998, Tang Jiaxuan, menlu RRT pada saat itu mengatakan, orang Tionghoa di Indonesia telah menjadi WN Indonesia, maka apa yang terjadi di Indonesia adalah urusan dalam negeri Indonesia, sehingga telah memberi lampu hijau kepada para perusuh rasialis dan menghilangkan keraguan terakhir mereka. Dua bulan kemudian, tindakan kekerasan para perusuh yang terorganisir terhadap perempuan keturunan Tionghoa semakin terungkap jelas, Tang Guoqiang, jubir kementerian luar negeri waktu itu baru menyatakan, “prihatin dan iba”.
Menurut laporan, ketika terjadi kerusuhan situasi sangat mencekam, tidak ada tempat untuk melapor kejadian, sejumlah etnis Tionghoa pernah mencoba mengadu ke Kedubes RRT, atas dasar perikemanusiaan memohon bantuan mengadu kepada pemerintah Indonesia mengenai peristiwa “anti-Tionghoa” tersebut, minta pihak berwajib segera mencegah kerusuhan berkembang lebih lanjut, namun ditolak mentah-mentah oleh kedubes RRT dengan alasan yang melapor bukan warganegara RRT.
Namun data tersebut telah diragukan oleh kalangan luas dan menurut perkiraan beberapa organisasi HAM, perempuan Tionghoa yang diperkosa diprediksi di atas seribu orang. Akan tetapi hingga kini, 14 tahun telah berlalu, para perusuh masih saja belum mendapatkan hukuman yang setimpal, seluruh fakta peristiwa pun masih belum terungkap semuanya.
Pemerintah dan rakyat berbagai negara dunia beramai-ramai telah melakukan protes serta mengutuk keras kepada pemerintah Indonesia kala itu. Namun pemerintah komunis RRT (Republik Rakyat Tiongkok) malah menyatakan, “Tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia”, bahkan melarang seluruh media di daratan Tiongkok memberitakan tentang peristiwa “anti Tionghoa” yang terjadi di Indonesia tersebut, juga melarang aksi protes dari mahasiswa yang dilakukan secara spontan.
Ada cendekiawan yang mengatakan, kesimpulan dari akar permasalahan terjadinya serentetan peristiwa anti Tionghoa di Indonesia, justru karena PKT (Pemerintah Komunis Tiongkok) mencampuri urusan dalam negeri negara asing serta mengekspor revolusi ke negara-negara di Asia Tenggara.
“Tujuan PKT adalah melalui kegiatan subversi mendorong pemerintah setempat rela melaksanakan politik yang dikehendakinya. Sebuah perubahan strateginya yang mencolok ialah menghentikan jalur propaganda yang peduli terhadap kepentingan keturunan etnis Tionghoa dan dengan terang-terangan mencampakkan kepentingan mereka demi meringankan kekhawatiran pemerintah setempat terhadap tujuan PKT.”
Kerusuhan rasialis bangkitkan amarah dunia
The New York Times, AS melansir sebuah laporan dari Organisasi HAM dan Bantuan Untuk Perempuan, secara terperinci telah melaporkan kejadian kerusuhan di Indonesia serta menyampaikan kecaman keras terhadap kejadian tersebut, sehingga tersebar luas dan menimbulkan badai di seluruh dunia.
Setelah kerusuhan anti Tionghoa tersebut terungkap, pemerintah ROC, Taiwan, menyampaikan protes keras kepada pemerintah Indonesia, bersamaan itu mengirim pesawat penumpang mengangkuti para korban kerusuhan. Pemerintah Singapura juga menyatakan Bandara Internasional Changi terbuka 24 jam dan sewaktu-waktu siap menerima kedatangan korban kerusuhan.
Pemerintah AS memastikan kerusuhan anti-Tionghoa adalah diskriminasi rasial, dengan tekanan ancaman militer memaksa pemerintah Indonesia menghentikan perbuatan keji menganiaya orang Tionghoa. Pemerintah AS mengizinkan “permohonan perlindungan” para korban keturunan Tionghoa, bersamaan itu mengirim kapal perangnya ke Indonesia mengangkut sejumlah besar korban kerusuhan.
Pada Juli 1998, di Bangkok, Kuala Lumpur, Hongkong serta New York dan lain-lain daerah terjadi demonstrasi memprotes kerusuhan terhadap orang Tionghoa, mendukung penuh korban kerusuhan, Sekretaris Partai Aksi Malaysia merangkap anggota DPR Malaysia, Lin Juxiang, meminta Komite HAM PBB menyelidiki peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan bergilir ditengah kerusuhan yang dialami oleh kaum perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia, serta menyerahkan hasil penyelidikan kepada Pengadilan Kejahatan Internasional untuk diadili.
Pemerintah PKT acuh tak acuh
Pemerintah komunis RRT menyatakan, “Tidak mencampuri urusan dalam negeri Indonesia.” Pemerintah komunis RRT mengambil sikap tidak melaporkan, tidak mengecam dan tidak mencampuri, bahkan bantuan pinjaman sebesar 400 juta Yuan kepada pemerintah Indonesia tetap diberikan sesuai jadwal yang telah ditentukan, hal ini membuat Pemerintahan Soeharto kala itu yang sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat.
Ling Feng, pakar sejarah PKT, komentator politik tersohor pernah menulis sebuah artikel mengungkap perilaku PKT dalam kerusuhan anti-Tionghoa di Indonesia. Persis menjelang para perusuh melakukan pembunuhan dan pembakaran secara besar-besaran pada 13 Mei 1998, Tang Jiaxuan, menlu RRT pada saat itu mengatakan, orang Tionghoa di Indonesia telah menjadi WN Indonesia, maka apa yang terjadi di Indonesia adalah urusan dalam negeri Indonesia, sehingga telah memberi lampu hijau kepada para perusuh rasialis dan menghilangkan keraguan terakhir mereka. Dua bulan kemudian, tindakan kekerasan para perusuh yang terorganisir terhadap perempuan keturunan Tionghoa semakin terungkap jelas, Tang Guoqiang, jubir kementerian luar negeri waktu itu baru menyatakan, “prihatin dan iba”.
Menurut laporan, ketika terjadi kerusuhan situasi sangat mencekam, tidak ada tempat untuk melapor kejadian, sejumlah etnis Tionghoa pernah mencoba mengadu ke Kedubes RRT, atas dasar perikemanusiaan memohon bantuan mengadu kepada pemerintah Indonesia mengenai peristiwa “anti-Tionghoa” tersebut, minta pihak berwajib segera mencegah kerusuhan berkembang lebih lanjut, namun ditolak mentah-mentah oleh kedubes RRT dengan alasan yang melapor bukan warganegara RRT.
Seorang perempuan etnik Tionghoa korban tewas kerusuhan Mei 1998. |
Pada 3 November di gedung Departemen Kehakiman, setelah ratusan wartawan menunggu selama 5 jam, di bawah situasi 6 orang pejabat setingkat menteri dari departemen bersangkutan tak seorang pun yang hadir, ketua panitia pencari fakta Marjuki Darusman baru mengumumkan seluruh hasil penyelidikan.
Laporan membuktikan, kerusuhan Mei benar-benar adalah kerusuhan yang terorganirsir dan terencana secara rapi, pada masa kerusuhan dan pasca kerusuhan dengan sasaran penyerangan utama adalah orang Tionghoa, jelas-jelas telah terjadi peristiwa perkosaan secara massal terhadap para perempuan Tionghoa yang mengejutkan itu. Laporan menunjukkan, pada masa kerusuhan 13 - 15 Mei, di Jakarta telah terjadi kasus 52 perempuan diperkosa, 14 perempuan diperkosa dan dianiaya, 10 perempuan mengalami serangan seksual dan penganiayaan, 9 perempuan mengalami pelecehan seksual; kasus pemerkosaan hampir bersamaan terjadi di daerah yang berlainan, lagi pula sebagian besar adalah kasus perkosaan massal, dan hampir semua penderita adalah keturunan Tionghoa.
Laporan penyelidikan tersebut secara umum diragukan kebenarannya, karena hasil temuan serta kesimpulan pada dasarnya telah dilaporkan dalam pemberitaan media sebelumnya, lagi pula di dalam laporan terdapat tanda-tanda “penghambaran” dan “menutup-nutupi”yang sangat mencolok, angka yang diumumkan berbeda sangat jauh dengan yang diperkirakan.
Dalam peringatan 10 tahun “Kerusuhan Mei” pada 15 Mei 2008, Komite Hak Asasi Perempuan Indonesia dalam laporannya menyebutkan, sejumlah besar perempuan etnis Tionghoa di dalam kerusuhan Mei 1998 telah mengalami kekerasan adalah realita yang tak terbantahkan. Ia mengatakan, sebagian besar korban diperkosa massal, bahkan ada yang mengalami perusakan anggota vital seksual, selain itu terdapat pula banyak sekali pelecehan seksual dan angka korban jauh melebihi 85 kasus yang dilaporkan oleh tim gabungan pencari fakta.
Namun, pemerintah RI kala itu menanggapi hasil laporan tim gabungan pencari fakta dengan mengkritik, atau menyangkal, atau bungkam, bahkan ada yang meragukan kebenarannya. Seorang Romo dalam wawancara dengan reporter AFP saat peringatan 10 tahun “Kerusuhan Mei” pada 2008 menyampaikan ketidak-puasannya terhadap sebagian pejabat yang meragukan kebenaran laporan tersebut, “sejumlah aktivis dan korban kerusuhan mendapat ancaman untuk tutup mulut.” Ia menyampaikan: “Kami ingin membuktikan kepada masyarakat internasional, kerusuhan anti-Tionghoa 1998 bukan akibat dari perselisihan antara penduduk etnis Tionghoa dengan rakyat setempat, ini adalah “gerakan terencana oleh kalangan penguasa waktu itu”.
Gerakan alihkan kontradiksi
Latar belakang peristiwa kerusuhan anti Tionghoa 5 Mei 1998 di Indonesia: Krisis Ekonomi Asia 1997 melanda Indonesia. Kesenjangan sosial yang sangat parah, setelah badai moneter berlalu nampak semakin gamblang, politik dalam negeri diliputi keresahan dalam jangka waktu lama. Banyak analis berpendapat, perancang kerusuhan kali ini erat hubungannya dengan pertarungan internal para elit politik Indonesia, terutama presiden Indonesia saat itu, Soeharto, berusaha mengalihkan tekanan krisis moneter dan meringankan tekanan dari dalam negeri, melalui upaya memecah belah kaum muslim tradisional dengan non-tradisional, kaum muslim dengan kristiani, bahkan orang Tionghoa dengan pribumi, untuk mencapai tujuan “mengikis kekuatan oposisi”, maka melalui lembaga intel militer dengan sengaja merancang, menghasut serta mengendalikan pertentangan SARA (suku, agama, ras, antar-golongan).
Kerusuhan bersamaan terjadi di berbagi daerah dengan terancang dan terorganisir; pada saat kerusuh-an terjadi selama 30 jam, polisi dan tentara menghilang di sejumlah daerah, bahkan terjadi penarikan polisi dan pasukan militer beberapa jam sebelum kerusuhan terjadi, membuat panglima ABRI waktu itu Jenderal Wiranto dalam posisi sulit, juga menjadi alasan Soeharto mengambil langkah penindasan terhadap kaum pembangkang.
Catatan tim gabungan pencari fakta dalam keterangan yang disampaikan Gubernur DKI dan Panglima Kodam DKI saat itu mengenai peristiwa kerusuhan Mei, Gubernur mengakui kerusuhan dilakukan secara terorganisir dan ada yang menghasut; sedangkan mantan panglima kodam DKI mengakui sejumlah perusuh datang dari luar Jakarta, namun catatan keterangan tersebut belakangan dihilangkan.
Kerusuhan anti Tionghoa Mei 1998 di Indonesia telah berlalu 14 tahun lamanya. Hingga saat ini, para perusuh masih belum mendapat hukuman yang setimpal, juga tidak terdapat laporan penyelidikan yang menyeluruh dan terpercaya dari pihak pemerintah yang mengungkap seluruh fakta peristiwa kejadian.
Sumber:
http://mikeportal.blogspot.com/2012/10/apa-yang-terjadi-pada-mei-1998-serta-tanggapan-dunia-2.html
EmoticonEmoticon