Mei Pecas Ndahe

June 17, 2014

Mei Pecas Ndahe

Mei 14, 2010 
Tentang pemerkosaan yang terjadi pada Mei 1998, ada begitu banyak cerita dan tak begitu banyak data. Ini bukan berarti bahwa orang dengan gampang dapat mengatakan bahwa semua laporan tentang brutalitas yang berlangsung dalam kerusuhan Mei lalu terhadap kalangan keturunan Cina, hanya teriakan kosong yang tidak menyenangkan.
Laporan-laporan tim independen, sejumlah LSM, menunjukkan bahwa kekerasan itu memang pernah terjadi. Sejumlah perempuan dipaksa sekelompok orang secara seksual. Dan mereka dijahanami karena mereka berasal dari ras tertentu. Mereka Tionghoa. 

Pada September 1998, majalah Tempo menurunkan laporan kesaksian seseorang perempuan yang bertemu dengan korban perkosaan. Berikut ini petikannya, sebagai sebuah pengingat, bahwa Indonesia pernah menorehkan lembaran paling hitam dalam sejarahnya. Ini semacam upaya melawan lupa. Berikut ini kisahnya … 



Fannie Gunadi — namanya sengaja disamarkan — memang bukan orang terkenal. Bukan pula seorang aktivis atau tergabung dalam tim sukarelawan. Ia hanya ibu rumah tangga biasa dengan sepasang anak yang tengah berangkat dewasa. Wanita mungil ini berada di tengah lokasi yang lagi rusuh-rusuhnya. 

Pada 13 Mei, saat senja hari, ia menyaksikan seorang gadis keturunan Tionghoa dilecehkan lima pria di depan matanya. “Itulah penghinaan yang tak dapat saya hadapi sebagai perempuan maupun manusia,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca. 

Fannie kemudian bertemu korban, membantu mereka, menyaksikan diri dekat pergolakan gadis-gadis muda korban pemerkosaan. Kemudian dia mengisahkannya kepada Tempo. Beginilah kisahnya….
Pertemuan pertama saya dengan Mona Johan (nama ini disamarkan) terjadi pada Sabtu, 16 Mei 1998. Saat itu, ia diantar kedua orang tuanya ke Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Graha Medika, Kebonjeruk, Jakarta Barat. Seluruh tubuhnya tertutup rapat dengan kerudung. Bentuk kerudungnya saja tak lazim, setembal seprai lebar bermotif kembang-kembang. 

Saya berusaha bicara dengan kedua orangtuanya, Bapak dan Ibu Johan. Percakapan berlangsung sangat kaku. Mereka memang menghindari komunikasi dengan siapa pun. Hanya Johan yang menjawab sepatah-dua kata. Sesekali, istrinya bicara kepada Johan dalam bahasa Mandarin. Saat itu, saya bersyukur bahwa saya menguasai bahasa Mandarin.
Saya dengar Bu Johan bertanya ke suaminya, “Ke mana kita harus pulang nanti?” 

Saya terhenyak. Keluarga ini rupanya telah kehilangan segala-galanya. Saya langsung berkata, juga dalam bahasa Mandarin, “Kalau sekadar tempat berteduh, saya dapat menawarkannya kepada kalian. Jangan curiga. Niat saya semata-mata menolong. Kita ini ibaratnya masih sesama saudara, sama-sama keturunan Cina.” 

Mereka setuju. Dari Graha Medika, saya mengantar mereka ke rumah saya di Kompleks Puspita Loka, Bumi Serpong Damai, Tangerang. 

Sembilan hari mereka tinggal di sana. Saya sempat mengantarkan dokter kenalan saya untuk memeriksa Mona. Selama masa itu, empat kali saya berkunjung. Rasa takut mereka sangat dalam. Bahkan saya sendiri, yang sudah mulai mereka percayai, diperlakukan seperti orang asing. Saya tak pernah melihat Mona. Mona yang malang selalu mengunci diri di kamar loteng.
Suatu hari, saya menawarkan mereka ke Australia. Pertimbangannya, saya punya rumah kosong di bilangan The Samson, di Perth. Mereka mau.

Kedutaan Australia sangat membantu ketika tahu Mona dan keluarganya adalah korban kerusuhan Mei. Padahal, saat itu bukan hal mudah memperoleh visa ke sana.
Pada Minggu, 24 Mei 1998, saya mengantar ketiganya ke Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Saya hanya bisa berdoa agar mereka selamat. 

Dua bulan berlalu tanpa kabar. Pada awal pekan ketiga Juli, sepucuk surat tiba ke rumah saya di Jakarta Barat. Itulah kontak pertama dari Mona. Keluarga itu ternyata berdiam di daerah Balcata, kawasan South of The River. 

Surat itu ditulis di atas selembar kertas kuarto polos, bertanggal 26 Juni 1998. Kemudian, disambung pada 28 dan 30 Juni. “….Encik Fannie yang baik. Kemarin Papa pergi ke Sydney. Papa kerja di sana, jadi tukang koran. Saya sedih sekali. Kenapa ini terjadi pada saya, Cik. Kenapa…?”
Selanjutnya, surat itu dipenuhi tulisan “kenapa” dan sorry dalam huruf besar. Penuh coretan. Pada akhir surat, ia mencantumkan nomor teleponnya. 

Seminggu setelah menerima surat, saya berangkat ke Perth. Tiga minggu saya tinggal di kota itu. Sebagian besar waktu saya gunakan untuk mengunjungi Mona dan Bu Johan. Mona ternyata belum melepaskan kerudungnya. Bahkan pada saat makan, ia lebih suka menyembunyikan makanan di dalam kerudung. 

Gaya bicaranya juga masih seperti pada awal kami berkenalan, yakni mengeluarkan kala-kata sembari mengatupkan erat bibirnya. Seperti bergumam panjang. Bu Johan pernah mengeluh kepada saya sembari menangis. “Selama sebulan lebih di sini, tak sekali pun ia bicara pada saya,” ujarnya.
Menjelang kepulangan saya ke Indonesia, saya dan Mona terlibat pertengkaran. Sejak dari Jakarta hingga ke Perth, Mona marah-marah dan amat kasar pada ibunya dan saya. Puncak kemarahan saya ialah ketika ia mendorong ibunya sampai jatuh. 

Pertengkaran itu ternyata menjadi awal harapan baru. Pada akhir ribut-ribut itu, Mona — entah dengan pertimbangan apa — melepaskan kerudungnya. Lalu ia potong rambut pada keesokan harinya. Juga minta ganti nama. “Agar sial ini tidak terjadi lagi,” ujarnya. 

Minggu, 16 Agustus, saya membaca iklan di The Sunday Times. Sepasang suami-istri berusia lanjut, Nick dan Mary Ann, mencari anak angkat gadis Asia. Saya langsung teringat Mona. Ketika iklan itu saya tunjukkan padanya, ia mengangguk setuju. Saya menelpon Nick dan membuat janji pertemuan untuk “keponakan” saya. 

Rabu, 19 Agustus, saya mengantar Mona menemui orangtua angkatnya. Perjalanan ke luar Perth itu makan waktu tiga jam. Kami mengobrol sekadarnya. Saya sudah bertekad tak akan menanyakan apa pun kepadanya. Saya hanya berharap ia kelak dapat menentukan kedamaian di rumahnya yang baru. Saya juga tak pernah berpikir Mona akan membuka mulut tentang peristiwa itu. 

Tapi ketika kami berhenti makan di sebuah pantai, Mona mulai bertutur. Suaranya dingin dan datar. Tanpa air mata. Bahkan tanpa tanda pergulatan emosi di wajahnya yang seputih susu. Cerita itulah yang membuka seluruh tabir rahasia perilaku Mona. 

Ia diperkosa — di antara kerusuhan 13-14 Mei — oleh lima laki-laki. Empat memegang kakinya. Laki-laki kelima menempelkan leher dan kepala Mona ke ujung tempat tidur. Lalu ia memaksa memasukkan alat kelaminnya ke dalam mulut Mona — sembari keempat pria itu bergantian memerkosanya di ujung sebelah. Bayangan itulah yang membuat ia tak kuasa membuka bibirnya sekian lama. 

Dan kerudung itu? Mona rupanya diperkosa di atas tempat tidur beralaskan seprai kembang-kembang. Selama kejadian itu ia berusaha mati-matian menyelamatkan diri dengan menggulung tubuh dengan seprai itu. Tapi, Mona gagal…. 


Sumber:
http://ndorokakung.com/2010/05/14/mei-pecas-ndahe/

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »