Solo, Portai besi dan malam paling Sunyi
(Kerusuhan Mei 1998 di Solo)
Ditulis oleh Mei 24, 2009
pada Tulisan ini bukan bermaksud memperingatkan kembali sejarah kelam sebelas tahun yang lalu, hanya saja saya tidak rela catatan sejarah ini seolah hilang dan hanya akan menjadi kenangan semata dan tanpa makna, tentang 14-15 mei 1998, hari dimana kabar bercerita bahwa Solo hancur saat itu, tentang malam paling sepi diantara semua malam di kota ini selama hampir 2 bulan.
Saya bukan orang yang bersaksi atas kejadian ini, tetapi saya merasa perlu untuk mempelajari sejarah ini, berusaha mengumpulkan opini-opini dari beberapa saksi, mencari referensi dari beberapa sumber, dan berusaha memilah informasi mana yang dapat dipercaya, mengumpulkan fakta yang dilontarkan dari tim pencari fakta, dan mencoba menyajikannya secara berimbang dan tidak memihak pihak manapun, dan dengan penuh kesadaran bahwa topik ini sangat sensitif, dan penulis berharap bagi siapapun pembacanya diharap mampu secara kritis dan obyektif dalam menyikapi tulisan saya ini, silahkan kirimkan opini dan testimonial anda pada form pengiriman komentar dibawah artikel ini.
Tulisan ini disajikan dari tulisan dari berbagai sumber secara acak, saya berusaha mengurutkannya berdasarkan situasi dan kronologi, beberapa diantaranya saya salin utuh karena penulisannya yang sudah cukup layak, kepemilikan tulisan yang disalin tetap pada penulis masing-masing, dan untuk artikel gabungan ini Hak Cipta tetap pada penulis.
Awal Cerita
Berdasarkan catatan Solopos, bentrokan mahasiswa dengan aparat keamanan kali pertama terjadi di UNS Solo, 17 Maret 1998, kemudian merembet ke Ibukota dan kota-kota lain. Awalnya dipicu kematian Mozes Gatutkaca—aktivis mahasiswa Yogyakarta 8 Mei karena tindakan kekerasan aparat keamanan. Disusul Tragedi Trisakti yang menewaskan enam orang, 12 Mei. Sejak itu, unjuk rasa pun mengalami eskalasi luar biasa.
Kamis, 14 Mei 1998 (dari http://pomponk.multiply.com/journal/item/377)
Ribuan mahasiswa UMS menggelar demo keprihatinan atas tewasnya Mozes dan Tragedi Trisakti. Kekacauan terjadi setelah ada batu melayang ke arah demonstran, disusul terjadi hujan batu. Ribuan demonstran akhirnya berlari mundur ke Kampus UMS. Sementara, lainnya membalas lontaran gas air mata aparat dengan batu.
Dua mahasiswa anggota tim negosiasi yang tak ikut lari ke kampus, tertinggal. Tak pelak, keduanya jadi bulan-bulanan oleh sejumlah oknum aparat keamanan. Puncak kemarahan massa terjadi saat insiden aparat menginjak-injak seorang demonstran yang tergeletak tak berdaya di tengah jalan. Massa berteriak mengecam tindakan itu. Itulah awal kerusuhan Mei Kelabu yang menghanguskan sekaligus menghancurkan Kota Bengawan.
“aku mrinding kalo inget mei 98 itu di solo bul….Gerakan Massa
bar ditembaki nang kampus (UMS), merasakan panasnya gas air mata, menyaksikan temen2 berjatuhan, masih inget di gedung rektorat dan auditorium UMS hampir mencapai seribu orang yang terkapar baik tertembak maupun pingsan kena gas air mata, di luar kampus masa sudah mulai bakar-bakaran. waktu itu aku keliling solo sama temen kost pake motor, seluruh solo tak ubengi dari kleco, kerten, purwosari, manahan, tirtonadi, kenthingan, beteng, ngidul nyang solo baru, trus singosaren, jongke, jam 2 awan sampe jam 9 bengi ora kepikir mangan, pokoke ngerti kabeh pas mulai bakar2-an hla wong motor sing tak tumpaki (king) dijaluki wong dinggo mbakar ono ping 10-an bensin full tekan omah entek resik…..
mbayangno meneh ngeriiiiiiiiiii!……..kaya dudu wong kabeh sing mbakar karo sing nonton….nek ono omah utawa mobil sing berhasil dibakar malah do tepuk tangan kaya tontonan sirkus ae….”
(dari sebuah testimonial no 26 http://www.colonelseven.com/?p=15)
Review penulis : penulis belum menemukan fakta yang menuliskan ada mahasiswa UMS yang tertembak (mati) dalam tragedi ini.
Review penulis : mungkin yang dimaksud bakar-bakaran dalam tulisan diatas adalah tindakan membakar ban, karena dari saksi lain menyebutkan kejadian pembakaran pertama terjadi di Gladag.
Massa berjalan ke timur. Sesampai di depan showroom dan diler resmi mobil Timor, tiba-tiba terdengar teriakan, ”hancurkan”. Seketika, massa melempari dengan batu hingga seluruh kaca showroom yang tak terlihat ada mobilnya itu berantakan.
Massa kembali bergerak. Kali ini, showroom Bimantara di timur diler Timor jadi sasaran. Pelemparan batu meningkat setelah massa lepas dari Perempatan Gendengan. Restoran Akuarius, Kentucky Fried Chicken adalah sasaran pertama pelemparan. Sembari bergerak, massa terus melempari hampir semua pertokoan maupun gedung perkantoran di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Namun, sejauh itu, belum ada pembakaran.
Insiden pembakaran meletus kali pertama saat pergerakan massa sampai di Kantor BCA, Gladak. Sebuah mobil yang diparkir di halaman, dibakar massa. Setelah itu, giliran mobil di Bank Danamon, dan di Bank Indonesia. Massa sempat menyerbu Kantor PT Telkom dan Balaikota, tapi urung menyusul kedatangan sepasukan Kostrad. Ketika ribuan orang hendak menyerbu Balaikota. massa mulai terpecah, sebagian menuju kompleks pertokoan Matahari Beteng.
Sementara, massa di depan Balaikota yang telah menyemut hingga puluhan ribu orang itu menuju Jalan Urip Sumoharjo. Massa menyasar Bank Bumi Artha, Bank Buana, bekas Bank Bali.
Dua mobil di depan Losmen Trio, turut pula diamuk dan dibakar. Berbarengan dengan itu, di sejumlah kawasan Solo lainnya seperti di Nusukan, Gading, Tipes, Jebres, serta hampir seluruh penjuru kota juga meletus aksi serupa.
Kerusuhan kian meluas. Massa di hampir seantero kota turun ke jalan melakukan pelemparan dan pembakaran bangunan maupun mobil dan motor. Bahkan juga penjarahan.
Asap mengepul di mana-mana. Di Jalan Slamet Riyadi yang semula hanya terjadi pelemparan, berganti pembakaran. Di antaranya Wisma Lippo Bank dan Toko Sami Luwes. Supermarket Matahari Super Ekonomi (SE), serta Cabang Pembantu (Capem) Bank BCA di Purwosari, yang semula hanya dilempari, akhirnya dibakar. Di Solo bagian utara, massa membakar Terminal Bus Tirtonadi. Tak kurang dari empat bus ikut dibakar. Di Solo bagian barat, amuk massa juga menerjang Kantor Samsat, Jajar.
“malam itu tiba2 langit jadi merah, dan orang2 kampung jadi panik. dipertigaan kabangan itu ndak cuma mobil, motor, dan ban yang dibakar, tapi juga rumah teman tk-ku. dan seorang pemuda beringas setengah mabuk yang tewas terkena kelewang …. kebetulan rumahku kampung dibelakangnya (kampung batik laweyan). mbah utiku sudah tak ungsikan ke rumahku. palang-palang sudah dipalangkan. jalan masuk kampung ditulisi kampung pdi perjuangan …..Selain itu, Plasa Singosaren berlantai tiga turut pula dihanguskan. Monza Dept Store di sebelahnya, diremuk, juga toko sepatu Bata dan beberapa toko lain. Peristiwa kerusuhan juga terjadi di kawasan Gading dan sekitarnya.
kebetulan sang pacar aku (waktu itu) tinggi kurus, putih, dan sipit persis cina. segera kutelpon, ndak usah ke solo dulu!!!”
(Dari testimonial no.3 http://www.colonelseven.com/?p=15)
Aksi masih berlanjut
Kerusuhan tak hanya di Solo. Massa di barat Kampus UMS bergerak ke barat dan melakukan kerusuhan di Kartasura. Mereka membakar Kantor Bank BCA, Lippo, Danamon serta ATM BII, di samping pertokoan serta sebuah supermarket di Jalan Raya Kartasura, Sukoharjo, Toserba Mitra. Diler Suzuki, salon, toko kain, toko elektronik serta toko mebel dibakar.
Pada Jumat 15 Mei, aksi perusakan dan pembakaran masih berlanjut. Sekitar pukul 07.00 WIB masyarakat dikejutkan oleh asap hitam tebal yang membubung ke angkasa dari kawasan Gladak. Ternyata, Plasa Beteng telah dibakar massa.
Setelah itu berturut-turut sejumlah tempat yang semula luput dari amukan massa pada hari sebelumnya, akhirnya disasar juga. Toserba Ratu Luwes, Luwes Gading, pabrik plastik di Sumber serta puluhan tempat lain dibakar dan dijarah massa. Begitu juga pembakaran terhadap kendaraan roda dua dan empat masih terjadi di beberapa jalan di Kota Bengawan.
Menurut saksi mata, amuk massa di Solo, 14-15 Mei itu, ada yang memprovokasi. Dua saksi, seorang guru dan seorang alumnus sebuah PTS menyatakan pelaku kerusuhan adalah sekelompok orang dengan dandanan khas. ”Mereka berkelompok 10 sampai 20 orang, menutup muka dengan sapu tangan dan melakukan provokasi sepanjang jalan agar warga ikut merusak.” Kedua orang itu menyatakan kesaksian mereka dalam dialog kerusuhan yang diadakan SMPT UMS, 12 Juni.
Ketika asap kebakaran mulai sirna dan emosi massa mulai menurun, baru diketahui bahwa kerusuhan selama dua hari itu ternyata telah menelan korban jiwa 33 orang. Mayat mereka yang telah dalam keadaan hangus diketahui setelah dilakukan bersih-bersih atas puing-puing amuk massa.
Dari 33 mayat itu, 14 di antaranya ditemukan terpanggang di dalam bangunan Toserba Ratu Luwes Pasar Legi. Sedangkan 19 lainnya terpanggang di Toko Sepatu Bata kawasan Coyudan. Di sisi lain, akibat banyaknya toko, swalayan, dan tempat usaha lain (lebih dari 500 buah) dirusak massa, mengakibatkan sekitar 50.000 hingga 70.000 tenaga kerja (Naker) Solo menganggur.
Menurut catatan Akuntan Publik Drs Rachmad Wahyudi Ak MBA, yang juga Managing Partner KAP Djaka Surarsa & Rekan Solo, kerugian fisik usaha yang ada di plasa dan supermarket mencapai sekitar Rp 189 miliar. Sementara, nilai total kerugian di Solo total Rp 457,5 miliar. – Sumber : Litbang SOLOPOS
Catatan Saksi Mahasiswa UNS (http://griyarezi.blogspot.com/)
Pada bulan Mei 1998 saya masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum UNS Solo semester II. Gelombang demonstrasi menuntut Soeharto turun selain di Jakarta dan kota lain juga berkobar di Boulevard UNS. Salah satu orang yang sering berorasi saat demo yang saya ingat adalah Ulin Ni’am Yusron.
Mulai sekitar jam 10 hingga sore demo terus berlangsung tiada henti, bahkan pada saat hari Jumat pun sebagian teman-teman solat Jumat di Boulevard dengan anjuran ber tayamum karena memang tidak ada kran air di sekitar Boulevard, kemudian melanjutkan demo lagi.
Pada saat itu opininya adalah kampus adalah mimbar demokrasi sehingga tabu dimasuki oleh polisi. Namun suatu hari demo aparat polisi pernah menyerang mahasiswa kedalam kampus, sehingga para mahasiswa berlarian kocar-kacir, termasuk saya setelah lari kira-kira 50m dibantu oleh teman yang tidak saya kenal menawarkan untuk segera naik motornya karena polisi sudah sangat dekat.
Sepulang Dari Jogja
Pada siang hari tanggal 14 Mei 1998, saya (yang dari Jogja) pulang ke Solo dengan tetap menggunakan Prameks. Dalam perjalanan ada keanehan yang saya rasakan. Kereta penuh sesak, orang berjubel dan sampai susah untuk berjalan. Di sepanjang jalan sisi rel banyak orang bergerombol, duduk dengan raut muka tegang. Memasuki kota Solo sebelum sampai stasiun sudah banyak bangunan yang terbakar. Saya masih belum tahu apa yang terjadi.
Tiba di stasiun Balapan Solo ternyata sudah banyak orang mengantri berdesakan persis di sisi rel untuk naik kereta yang akan menuju Jogja kembali. Ini keanehan kedua yang saya ketahui. Setelah turun dan berada di gerbang stasiun seperti biasa saya menunggu bis yang lewat untuk melanjutkan perjalanan menuju kampus UNS di Kentingan.
Setelah lama menunggu tidak ada satu pun bis yang lewat, bahkan sempat Pak Becak emosi karena saya tidak mau naik becaknya padahal dia sudah berulang kali mengatakan bis tidak ada yang berani jalan karena ada kerusuhan.
Saya tidak langsung percaya, hingga akhirnya memutuskan berjalan kaki dari stasiun Balapan sampai perempatan (bang-jo) dekat SD Margoyudan. Karena tidak ada bis yang lewat saya memutuskan naik becak sampai perempatan Panggung. Sebelum tanggul sudah ada rumah makan yang terbakar. Di perempatan Panggung ada tentara dan tank yang siaga penuh, terpasang juga kawat berduri yang panjang, gedung disekitar Panggung sudah hangus, sisa-sisa ban yang terbakar dan ada yang belum padam.
Setelah sampai Panggung saya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga tiba di kos dekat kampus UNS. Beberapa gedung pertokoan di sepanjang jalan Kol Sutarto dan Ir Sutami juga bayak yang terbakar. Setelah sampai di kos ternyata ada teman saya sempat menjarah satu karung gula dari toko yang diserbu massa.
Saya memang tidak menyaksikan langsung proses penjarahan, gerakan massa dan pembakaran gedung karena siang hari tanggal 14 Mei peristiwa tersebut memang sudah selesai.
Keesokan harinya saya berkeliling kota, banyak toko-toko besar yang hangus terbakar seperti Pasar Singosaren, SE Purwosari hingga rumah Harmoko dan bioskop di Solo Baru juga tidak luput dari bidikan massa.
10 Hal Yang Saya Ingat, Hari Ini 10 (11) Tahun LaluKonflik politis melebar ke Rasialis
1. ” BCA Purwosari diobong, sak purwosari kobong kabeh. Entek (BCA Purwosari dibakar, satu daerah purwosari terbakar semua. Habis)” Kata pak tikno, tukang becak yang biasa mangkal diujung jalan dekat rumah.
2. ” Ambil..ambil..wes ndak papa ambilen. Asal jangan dibakar ” begitu kata engkoh cina didepan toko helmnya, dipertokoan jongke sambil duduk menangis.
3. ” Cino diobong..Cino diobong..Cino diobong (cina dibakar)” teriak massa yang hendak membakar bengkel motor, milik keturunan, di Gemblegan. Untung bisa dicegah warga setempat.
4. “Pribumi Jawa Milik Haji ABC” begitu tulisan yang ditulis dengan cat pilox digerbang bioskop Galaxy. Pada waktu itu poster filmnya, film syur china, aktrisnya Peng Than.
5. Aparat berbaju loreng, bersenapan, menembak ke atas langit di Jalan Slamet Riyadi. Membuat para penjarah di pertokoan Purwosari tunggang langgang.
6. Dipertigaan kabangan, didepan kecamatan Laweyan. Mobil, motor, ban-ban dibakar. Dan banyak orang mabuk berwajah tegang duduk-duduk diseberangnya.
7. Kadipolo ditutup, Ndalem Kalitan ditutup, Rumah Harmoko di Solo Baru ludes terbakar, Pertokoan habis dibakar tak peduli pribumi atau keturunan.
8. Malam yang paling sunyi yang pernah terjadi di kota ini. Dan ada jam malam.
9. Pak ‘di, tukang becak yang tinggal dibelakang masjid punya televisi baru 21”. Hasil jarahan.
10. Inalillahi wa inna illaihi rojiun. Arif Nugroho. Kawan bermain saya dirumah. Dia meninggal didalam Matahari Dept Store Singosaren, dia masuk ke dalam saat api belum besar, entah apa niatnya. Saya yakin dia meninggal didalam situ. Dia tidak pernah mengambil kembali sepeda federal tanpa standart yang dititipkannya kepada saya sore itu, yang terus menunggunya diluar. Dia tidak pernah kembali pada ibunya yang menjadi penulis kain batik. Dia tidak pernah kembali ke sekolah. Tidak ada tenda upacara kematian. Mata ibunya membengkak menangis semalam, anaknya tak pernah kembali. Mewajahkan rupa mu kembali, 10 tahun lalu di bulan mei, seperti sembilu mengiris hati, dan didalam ayat-ayat suci berjanji menjaga mu agar abadi.
(diambil dari http://www.colonelseven.com/?p=15)
Gema Kerusuhan di Solo memicu kerusuhan rasial, perusuh-perusuh itu menyerang pertokoan yang kebanyakan milik keturunan Cina, tergambar dengan hampir semua toko di eks Karesidenan Surakarta (Solo Raya) tertulis ‘Milik Pribumi’, sekalipun tulisan itu bukan cara ampuh untuk menghindari perusakan, penjarahan hingga pembakaran.
Lam Tjoeng Goen, 43 tahun, Direktur Utama Grup Sampoerna Photo. Jaringan toko foto itu memiliki enam toko di Solo, dan akibat kerusuhan, Lam mengaku menderita kerugian sekitar Rp 800 juta. Toh, ia terpaksa memberhentikan 19 dari 300 karyawannya. “Kalau terlalu banyak melakukan pemutusan hubungan kerja, dampaknya bisa negatif,” katanya, “bisnis sekarang itu tidak mungkin secara murni, tapi condongnya ke sosial.”
review penulis : target kerusuhan utamanya bangunan-bangunan besar, dan mayoritas bangunan-bangunan besar itu milik Etnis Cina, tak pelak Etnis Cinalah yang paling dirugikan dengan posisi seperti ini.
Provokasi (dari harian Joglosemar 13 Mei 2009)Tragedi Mei ‘98 meninggalkan trauma yang dalam bagi warga Solo. Begitu juga di dalam benak Edy Asa, seorang warga solo yang menjadi saksi mata kejadian kerusuhan, secara detail dia menuturkan apa yang ia lihat dan apa yang ia rasakan saat lensa kamera fotonya memotret setiap momentum, yang ternyata saat ini menjadi bagian sejarah kelam bangsa Indonesia menjelang pergantian rezim Soeharto.
sebulan setelah ia mencuci hasil jepretan kameranya, Ia baru menyadari, ternyata di setiap lokasi kerusuhan, mulai dari Matahari Singosaren, Pasar Gede dan pasar Klewer, terdapat satu orang yang sama dan terekam di dalam foto. “Orang itu pakai helm, mengenakan kaos biru putih, rambutnya cepak dan postur tubuhnya seperti aparat, tapi ada tatonya” ujarnya.
2 Bulan Malam Paling Sunyi (Dari Tempo Edisi 20/03 -18/Juli/1998)
“Malam yang paling sunyi yang pernah terjadi di kota ini. Dan ada jam malam.”Dua bulan setelah kerusuhan lewat, Solo dimalam hari masih seperti kota mati, seperti di hari-hari dekat setelah kerusuhan. “Jam delapan malam di Slamet Riyadi sudah jarang yang lewat, paling-paling sebiji sepeda motor, kemudian sepi,” kata seorang karyawan sebuah perusahaan pers yang pekan lalu pulang ke kampungnya di Solo.
Memang, di sepanjang jalan protokol itu, Jalan Slamet Riyadi, sumber keramaian belum lagi dibangun. Toko-toko, juga kantor bank, masih poranda dan sebagian atau seluruhnya hangus bekas dibakar–Toko Serba-ada Super Ekonomi, Bank Central Asia, Bank Bill, warung Pizza Hut, Pasar Swalayan Gelael, Toko Serba-ada Sami Luwes, Toko Elektronik Idola, dan sejumlah toko kecil.
Tapi, sumber kesunyian terutama tampaknya bukan karena pusat keramaian belum dibangun lagi. Teror pertengahan Mei itu tampaknya begitu mempengaruhi seluruh kota, seluruh warga. Ada kesan, kini tak mudah bertemu dengan warga keturunan Cina di jalan-jalan. Orang menduga, bila mereka tak mengurung diri di dalam rumah, ya, pergi ke luar kota. Portal Kampung dan Bangunan Tertutup
kelingan bar obong2an ra ono wong dodol. golek opo2 susah. rasakno…le..Pascatragedi 14 Mei 2008 di Kota Solo, berbagai wajah bangunan dan pertokoan di beberapa wilayah Kota Solo, tampak mengalami perubahan. Perubahan itu bisa ditandai dengan berubahnya wajah bangunan itu menjadi bangunan yang lebih rapat, tertutup dan dihiasi oleh terali-terali besi. Bangunan yang secara arsitektur dulunya terbuka dan berwarna transparan tersebut, kini seolah-olah menutup dan “melindungi diri” dari sesuatu yang mengancam dari luar.
sakdurunge obong2an, nek lungo mlebu kampung2 penak katon ramah kabeh. sakbare obong2an, nek mlebu kampunge wong, mripate podho curiga thok isine. wis ra nyaman tenan.
wis, ojo dipindho meneh.
neng saiki solo mulai ketoto,cah. nek ndek biyen tepuk tangan mergono ono sing diobong, suk tepuk tangan mergono solo akeh prestasine.
(dari tertimonial no.27 http://www.colonelseven.com/?p=15)
Wajah lain yang tampak adalah mulai banyak hadirnya pintu dan portal di mulut gang-gang kampung. Dalam literatur studi perkotaan, yang disebut kampung adalah permukiman di belakang jalan raya dan bangunan-bangunan besar (Guinness, 1980).
Kampung juga menjadi simbol permukiman ”pribumi” (dalam konteks post colonial), namun juga kampung sering disebut sebagai hantu, sebagai wilayah yang ”menakutkan” dan dianggap ”mengganggu” pemandangan kota (Abidin Kusno, 2000).
Munculnya pintu dan portal di kampung-kampung ini juga menunjukkan bahwa seolah-olah ada sesuatu yang ”mengancam” dari luar, yang akan menyerang kampung itu.
Pintu dan portal itu kebanyakan terbuat dari besi, dan di beberapa tempat dilengkapi oleh pos jaga/pos satpam, dan pada jam-jam tertentu bahkan ditutup rapat-rapat, sehingga tak memungkinkan orang bebas keluar masuk. Tak hanya perumahan elite tampaknya, namun kampung pun seolah perlu dijaga. Jika ada yang masuk dan keluar, semuanya bisa terpantau, terawasi dan terkontrol.
Kota Sumbu Pendek
Menurut Humas Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) Sumartono Hadinoto dampak kerusuhan itu belum bisa dipulihkan dengan benar hingga sekarang. PMS adalah organisasi warga etnis Tionghoa di Solo. “Mungkin hingga tahun ini baru sekitar 30 persen capaian di sektor ekonomi yang bisa dipulihkan. Apalagi setelah itu masih disusul dua kerusuhan lagi. Hal itu menjadi pertimbangan besar dari investor untuk masuk ke Solo,” paparnya.
Beberapa bulan usai kerusuhan Mei, di penghujung tahun 1998, Kota Solo kembali menderita kerusakan meski tidak begitu parah. Pos-pos polisi dan rambu-rambu jalan dirusak dan dibakar anak-anak muda yang marah karena ditertibkan polisi saat balapan liar di jalan umum. Kerusuhan kembali terjadi pada Oktober 1999 seiring gagalnya Megawati memenangi pemilihan presiden dalam SU MPR. Balaikota, kantor pembantu gubernur, sejumlah kantor bank, serta fasilitas-fasilitas publik lainnya rata dengan tanah setelah dibakar massa pada hari itu juga. Julukan kota sumbu pendek semakin melekat bagi Solo. Sejarawan Solo Sudarmono, mencatat sejak 1965 hingga 1999 telah terjadi 8 kali kerusuhan berskala kecil maupun besar di kota pusat kebudayaan Jawa tersebut. (sumber matabumi.com)
Temuan Tim Pencari Fakta (RINGKASAN EKSEKUTIF 23 OKTOBER 1998)
Pola Umum Kerusuhan
Kerusuhan mempunyai pola umum yang dimulai dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang (tak dikenal), kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya. Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain. Di beberapa lokasi ditemukan juga variasi, di mana kelompok provokator secara langsung melakukan perusakan, baru kemudian mengajak massa untuk ikut merusak lebih lanjut.
Para pelaku kerusuhan 13-15 Mei 1998 terdiri dari dua golongan yakni, pertama, masa pasif (massa pendatang) yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, dan kedua, provokator. Provokator umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.
Dari sudut urutan peristiwa, TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) menemukan bahwa titik picu paling awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998. Sementara pada tanggal 14 Mei 1998, kerusuhan meluas dengan awalan titik waktu hampir bersamaan, yakni rentang antara pukul 08.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB. Dengan demikian untuk kasus Jakarta, jika semata-mata dilihat dari urutan waktu, ada semacam aksi serentak. TGPF mendapatkan, bahwa faktor pemicu (triggering factor) terutama untuk kasus Jakarta ialah tertembak matinya mahasiswa Trisakti pada sore hari tanggal 12 Mei 1998.
Dalam derajat yang lebih rendah, tertembaknnya mahasiswa Trisakti tersebut juga menjadi faktor pemicu kerusuhan di lima daerah yang dipilih TGPF, terkecuali kerusuhan Medan dan sekitarnya yang telah terjadi sebelumnya. Sasaran kerusuhan adalah pertokoan, fasilitas umum (pompa bensin, tanda-tanda lalulintas dan lain-lain), kantor pemerintah (termasuk kantor polisi) yang menimbulkan kerusakan berat termasuk pembakaran gedung, rumah dan toko, serta kendaraan bermotor umum dan pribadi. Sasaran kerusuhan kebanyakan etnis Cina.
Opini dan Fakta dari penulis sendiri
Isu rasial terhadap etnis Cina yang terdengar gencar sebenarnya adalah provokasi belaka, beberapa penduduk pribumi mayoritas justru membantu orang-orang Cina yang sedang diserang.
Masyarakat Solo sudah mulai melupakan ‘Ingin melupakan’ peristiwa tragedi itu.
Serangan bukan hanya pada toko-toko dan bangunan Cina tetapi juga bangunan milik Pribumi.
Sumber basis massa berasal dari 2 titik, arah barat dari Pabelan (UMS), dan dari arah timur berasal dari Jurug (UNS).
Kerusuhan disebabkan dari provokasi kecil yang melebar.
Pembakaran pertama terjadi di Gladag.
Peristiwa terbesar terjadi tanggal 14 mei 1998.
Korban meninggal dunia akibat tragedi ini 33 jiwa.
Kasus perkosaan sulit diungkap, dan penulis hanya dapat mengetahui lewat desas desus saja.
Tragedi ini merubah arsitektur bangunan pasca reformasi menjadi lebih tertutup.
Tidak ada monumen tentang tragedi ini di Solo.Terimakasih kepada :Tempo.co.id, colonelseven.com, pomponk, detiknews.com, Kompas Cyber media, Rezi, Matabumi.com, Mas B.L.O.N.T.H.A.N.K.P.O.E.R, Mas Gan, Solopos edisi cetak.
Sumber:
http://tiyoe.wordpress.com/2009/05/24/solo-portai-besi-dan-malam-paling-sunyi-kerusuhan-mei-1998-di-solo/
EmoticonEmoticon