Dialektika Oleh: sukmadewi | September 1, 2009
Suatu hari…….,”
Ayahandaku datang ke Yogya bersama Mas Suryadi,
dan mengajakku pergi ke Semarang
mengikuti Kongres PNI.
Entah kenapa, ketika memasuki ruang sidang,
Ayah segera menyembunyikanku di kolong meja.
Aku mendengar suara-suara derap sepatu lars
di dekat meja tempatku sembunyi, aku kaget
ketakutan setengah mati, tidak berani keluar dari kolong meja itu
Hingga sore, barulah seseorang membawaku keluar
dan menggendongku menemui ayahku.di kemudian hari
aku tahu bahwa telah terjadi intervensi terhadap Kongres PNI
dengan masuknya aparat tentara ke ruang sidang.
Peristiwa ini sangat membekas dalam diriku hingga kini,
dan menjadi pengetahuan awalku tentang politik.
Sejak hari itu, tumbuh keinginanku
untuk melarutkan dan melibatkan diri
di ruang-ruang politik negeri ini.
BAB II
SEJARAH PARTAI DALAM MEMORI SEORANG KADER
Jasmerah, demikian Soekarno memberikan tanda kepada kita bahwa perjalanan berabad-abad dalam memproses diri menjadi sebuah bangsa besar telah terlewati dengan tahapan-tahapan yang kerap menguji kemanusiaan kolektifitas kita. Keindonesiaan yang tersaji bukan hadiah instan dari para aristorat maupun kelas feodal lainnya, melainkan arah waktu yang menuju kepada kita sebagai pewaris utuh sejarah. Jasmerah, sekaligus sebagai peringatan kepada generasi muda untuk memproses diri menjadi manusia-manusia beradab yang berkemauan untuk belajar dan meneruskan setiap jejak perjalanan bangsa.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia bukan hasil sulapan dari sekelompok orang, melainkan hasil kerja dari seluruh masyarakat sebagai pelaku sejarah yang berhasil memformulasi bentuk kebangsaan. Dalam pandangan Soekarno, peranan lapisan masyarakat bawah menjadi sangat penting dalam mempengaruhi wajah ke-Indonesia-an. Dengan alat produksi yang dimilikinya, kaum Marhaen menentukan arah sejarah ke mana Indonesia menuju.
Dengan demikian, Indonesia adalah karya besar dari segenap lapisan sosial yang berkontribusi dalam kapasitas sosial-politiknya masing-masing. Pun demikian, dengan perjalanan sebuah partai politik. Terasah dan terbentuk, kemudian mengkristal menjadi sebuah rumah kokoh yang tak jarang jatuh-bangun, bahkan terbelah dan terkadang terhempas dalam pusaran sejarah.
Dalam konteks Indonesia, sejarah partai politik adalah sejarah hitam-putih kekuasaan. Setiap orde mempunyai catatan sejarah tersendiri yang menghantarkan sekaligus mencerabutkan partai politik ke/dari panggung politik. Sejarah multipartai yang mulai berkecambah pada masa kekuasaan Soekarno yang menunjukkan kematangannya dalam Pemilu 1955, digilas oleh sebuah Orde yang berhasil membalikkan tatatan kemanusiaan dan kekuasaan selama puluhan tahun. Orde Baru menjalankan konsep kekuasaan yang menempatkan partai politik hanya sebagai pesanding kekuasaan yang otoriter.
Adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai hasil dari leburan banyak partai yang beragam ideologi, diantaranya PNI, Parkindo, Partai Katolik , Murba dan IPKI dikerdilkan menjadi kekuatan semu dalam politik Orde Baru. Bersanding dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Golkar, PDI menjalankan roda partai dalam kontrol kuat kekuasaan Orde Baru. Intervensi nyata dalam ruang-ruang rapat internal partai dilakukan melalui berbagai manuver yang menghabiskan energi kader, sehingga pembesaran partai tidak dapat dijalankan secara maksimal.
Dalam berbagai kongres, tercatat keterlibatan pemerintah dalam setiap pengambilan keputusan politik yang strategis. Pemilihan ketua umum partai melalui forum kongres merupakan ajang yang tidak dibiarkan berlangsung tanpa skenario dan campur tangan pemerintah melalui aparatnya, secara nyata, maupun melalui orang-orang politiknya yang ditugaskan sebagai tukang bonsai yang pada akhirnya menggerogoti fondasi partai.
Kongres sebagai forum tertinggi partai yang menentukan wajah dan perjalanan partai ke depan tidak dibiarkan luput dari intervensi pemerintah. Dalam hal ini, Pemerintah Orba sangat menyadari, bahwa PDI sebagai partai leburan dari banyak partai yang secara ideologis teramat dekat dengan Soekarno selalu menjadi ancaman bagi keberlangsungan Orba. Secara ideologi terdapat perbedaan yang sangat tegas, di mana Orba memaknai dan menelikung Pancasila menjadi ideologi yang menakutkan dan jauh dari demokratis, sementara PDI tetap menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang harus dijaga dan dilaksanakan dalam setiap kebijakan sosial-politik negara. Menterjemahkan ideologi didalam pelaksanaanya adalah setiap anggota partai harus memegang memegang teguh Pancasila, UUD 45 dan NKRI, secara murni dan konsekwen Perbedaan ini, menyebabkan PDI dan Orba sebagai kekuatan yang memiliki arah sejarah yang berbeda.
Untuk itu, dalam menjaga keberlangsungan kekuasaannya, Orba melakukan politik kontrol terhadap PDI [1]. Pemilihan ketua umum partai menjadi panggung terbuka bagi pemerintah dalam melakukan politik kontrol dan pengelabuan demokrasi. Beberapa kali kongres PDI harus berakhir tanpa hasil dan bahkan dengan konflik berdarah. Pemerintah melalui ’orang-orangnya’ selalu menjaga agar PDI tidak menjadi kekuatan politik yang besar, dengan cara menjauhkan keluarga Soekarno dari kekuatan puncak partai. Pada awal tahun 80-an, tercatat rekayasa politik ala Orba yang memasang Suryadi sebagai ketua umum dengan terlebih dulu menyingkirkan calon lain yang vokal dan terlalu nasionalis, yang dianggap berbahaya bagi kemapanan kekuasaan.
Dalam konteks demokrasi yang memahami kekuatan rakyat sebagai kekuatan riil yang menentukan perjalanan bangsa, tersedia ruang gerak bagi kekuatan politik alternatif yang otonom. Akan tetapi, dalam koridor politik Orba, kekuatan alternatif selalu dianggap sebagai ancaman. Depolitisasi yang diterapkan, sangat menentukan warna panggung politik Indonesia. Kondisi ini menumbuhkan benih perlawanan rakyat. Pengabaian terhadap eksistensi rakyat membesarkan kekuatan yang mengendap selama puluhan tahun kekuasaan Orba. Intervensi politik yang dilakukan terhadap PDI justru berbuah pahit bagi pemerintah. Pengerdilan energi politik rakyat, justru memekarkan tradisi berpolitik melalui posko-posko rakyat yang didirikan di tempat-tempat strategis (termasuk di setiap kampung) sebagai jawaban sekaligus ekspresi kemarahan terhadap pemerintah.
Budaya posko mulai hadir di tengah-tengah rakyat, ketika ruang politik dikekang secara nyata oleh pemerintah. Budaya bisik-bisik sebenarnya selalu hadir di setiap kumpulan rakyat, seperti di warung makan dan kedai kopi. Dengan pemahamannya, rakyat berkisah tentang apa yang mereka rasakan dan inginkan. Sama halnya seperti Posko Rakyat yang didirikan oleh simpatisan dan kader PDI, merupakan jawaban atas kebutuhan rakyat terhadap panggung politik, sehingga mereka dapat berbicara dan berkeluh tentang apa yang dialami dan diimpikannya.
Ketika kantor DPP PDI di jalan Diponegoro, Jakarta, menjadi panggung terbuka bagi rakyat (mimbar demokrasi) yang berlangsung selama beberapa minggu, terjadi eskalasi massa yang memiliki kesamaan cita-cita untuk keluar dari kendali politik negara yang represif. Kehadiran posko-posko menunjukkan adanya kebutuhan rakyat yang tidak terakomodir, sehingga terjadi ekspetasi kesadaran dan keberanian untuk melawan. Pada akhirnya, PDI menjadi kekuatan yang tidak hanya merepresentasikan dirinya sebagai partai politik, melainkan juga sebagai bagian dari guliran sejarah yang menentukan wajah ke-Indonesian-an saat ini dan ke depan.
A. Kongres yang Selalu Diintervensi
I. Kongres 1986
Kongres yang berlangsung di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur, salah satunya untuk menggantikan Hardjanto Soemodisastro yang telah berakhir masa jabatannya sebagai ketua umum. Seperti biasa, menjelang kongres selalu terbentuk beberapa kubu yang hendak mengusung calonnya dalam bursa ketua umum. Harjanto, Gde Djaksa, Suryadi, dan Budi Harjono sebagai representasi generasi muda Angkatan 66 adalah nama-nama yang mencalonkan diri sebagai ketua umum, walau Hardjanto pada akhirnya mengundurkan diri.
Para pendukung calon ketua umum melakukan konsolidasi intensif, sebagaimana yang dilakukan oleh utusan kongres yang mendukung Gde Djaksa, seperti Fatimah Ahmad, Panangian Siregar, Steve Latuihamallo, Noto Soekardjo, Daryatmo (unsur GMNI), Parulian Silalahi (Parkindo), Purwanto DW (Partai Katolik), dan AP Batubara. Sebagai Hakim Agung, Gde Djaksa juga mendapat dukungan moral dari ketua Hakim Agung Mujono SH.
Sementara itu, Suryadi didukung oleh aktivis Angkatan 66 yaitu Akbar Tanjung, Fahmi Idris, dan Liem Bian Koen. Kekuatan pemerintah yang melibatkan opsus, intelijen dan Departemen Dalam Negeri, juga mendukung Suryadi. Bagi pemerintah, Gde Djaksa terlalu nasionalis dan dianggap anti Dwi Fungsi ABRI, bila terpilih sebagai ketua umum, dikhawatirkan akan mengganggu hubungan Indonesia dan Amerika yang sedang harmonis. Kebetulan pada saat yang bersamaan, pemerintah sedang kedatangan seorang pejabat penting Amerika Serikat.
Hari pertama kongres berjalan dengan lancar, pemandangan umum diikuti oleh seluruh peserta kongres. Dalam bursa pemilihan ketua umum, suara mayoritas menghendaki Gde Djaksa sebagai ketua umum. Dukungan datang dari Jawa, Yogyakarta, Bali, NTB, NTT, Sumatera lampung, Sulawesi, Maluku, dan Kalimantan. Dalam kongres sempat mencuat isu SARA. Seorang utusan dari Aceh, Thaib Ali memberikan pernyataan bahwa Gde Djaksa bukan seorang Muslim. Namun pernyataan tersebut tidak mempengaruhi suara mayoritas. Agenda pada hari kedua, seharusnya penentuan ketua umum, namun pemerintah mengundur dengan alasan adanya tamu negara.
Penundaan kongres mempengaruhi konstelasi pendukung kandidat ketua umum. Terjadi penurunan jumlah dukungan terhadap Gde Djaksa. Banyak utusan yang mendapat tekanan politik agar tidak memilih Gde DJaksa. Keterlibatan pemerintah melalui Benny Murdani sebagai Pangab dan Syarwan Hamid sebagai Menteri Dalam Negeri dengan menyatakan bahwa saatnya generasi muda dari Angkatan 66 memimpin PDI sembari memberikan dukungan kepada Suryadi.
Beberapa utusan yang semula mendukung Gde DJaksa, berbalik arah mendukung Suryadi. Mereka antara lain: Fatimah Ahmad, Panangian Siregar, dll Menguatnya intervensi pemerintah menyebabkan kongres pada hari terakhir berjalan tidak kondusif, dan akhirnya dead lock, tidak berrhasil mengambil keputusan apapun. Kemudian, peserta kongres memberikan mandat kepada pemerintah untuk memilih ketua umum dan menyusun kepengurusan periode tahun 1986-1993. Dengan hasil sebagai berikut:
Susunan Kepengurusan DPP PDI Periode 1986-1993
Ketua Umum | Suryadi | |
Sekjen | Nico Daryanto | |
Wakil Sekjen | Dimy Haryanto, Titie Yuliasih | |
Bendahara | Anwar Datuk | |
Wakil Bendahara | Marcus Wauran, Steve Patrice Nafuni, Benuhardjo | |
Ketua-ketua | Sukowaluyo Mintorahardjo, BN Marbun, Anjar Siswoyo, Noor Akhari, Yahya Nasution | |
Wakil Ketua | Fatimah Ahmad, Parulian Silalahi, Marcel Beding Djupri, Royani Haminullah, Duddy Singadilaga |
II. Kongres 1993
Kongres yang berlangsung di Wisma Haji Medan sarat dengan intrik dan teror, sebagai akibat dari munculnya dua kelompok yang berseberangan. Kelompok 17 sebagai pendukung Suryadi, dan Kelompok PDI Peralihan sebagai kelompok anti Suryadi. Pada saat itu, pemerintah sudah tidak menginginkan Suryadi untuk memimpin PDI. Namun kongres berhasil memutuskan Suryadi sebagai ketua umum kembali pada tgl 21 Agustus 1993.
Terpilihnya Suryadi tidak diakui oleh pemerintah. Akibatnya, situasi kongres berubah sangat panas. Pada saat genting, seharusnya Suryadi beserta para pendukungnya, bertahan dan siap mengambil resiko politik, bukannya meninggalkan arena kongres. Ternyata Suryadi bukan figur yang kuat berhadapan dengan situasi represif. Kondisi ini memudahkan pemerintah mengambil alih kongres dan membuat pers release mengumumkan bahwa Kongres Medan gagal. Pemerintah menganggap terpilihnya Suryadi tidak sah.
Selanjutnya, pemerintah memutuskan menyusun Caretaker DPP PDI pada tgl 27 Agustus 1993 yang ditetapkan di Surabaya di hadapan Gubernur Jawa Timur Basofi Sudirman, Dirjen Sospol Depdagri Sutoyo NK, dan 27 utusan DPD PDI seluruh Indonesia. Tugas caretaker adalah mempersiapkan Kongres Luar Biasa
Susunan Carateker DPP
Penasehat | Isnaeni, Ani Sunawar Sukowati, Imam Kadri |
Ketua umum caretaker | Latif Pujosakti (almarhum) |
Sekjen caretaker | Ismunandar |
Wakil Sekjen | TH Sitorus, A. Hairin Noor, Sardjito Darsuki, Yahya Theo, Alwi, Teuku Dahman |
Bendahara | Marcus Wauran |
Wakil Bendahara | Teuku Zainudin Ali, Neneng Asmasubrata, Gerry Mbatemoi |
Ketua-ketua | Budi Harjono, Soetardjo Suryoguritno, Kwik Kian Gie, Abdul Gani, Edwin Sunawar Sukowati, John Sara, Jurgen S, Moh Amin |
III. Kongres Luar Biasa
Kongres Luar Biasa (KLB) dilaksanakan di Wisma Haji Sukolilo Surabaya, Jawa Timur pada tgl 2-6 Desember 1993. Kongres berlangsung tidak kondusif, Latif Pujosakti sebagai tangan kanan Pemerintah Soeharto memaksakan kehendak. Mekanisme pemilihan ketua umum dilakukan tidak melalui floor, namun usulan tentang ketua formatur ditolak oleh seluruh utusan peserta KLB. Menteri Dalam Negeri ketika itu Yogi S. Memet menawarkan solusi pemilihan ketua umum dengan jalan musyawarah. Pemerintah sangat paham jika pemilihan umum dilakukan dengan pemungutan suara, Megawati akan terpilih. Namun, peserta kongres tidak menyetujui usulan Mendagri
.
Pemandangan umum yang dibacakan oleh Megawati di Sidang Pleno, menyentuh perasaan seluruh utusan KLB. Terlihat emosi para peserta yang menggelorakan yel-yel; Mega, Mega, Mega, yes! Dengan mengutip kalimat dari pujangga India, Swami Vivekananda, Megawati mengatakan: “ …Telah cukup lama kita menangis. Oleh karena itu, jangan menangis lagi, tegakkan muka Anda sebagai manusia sejati untuk menegakkan kebenaran…” Pidato menyentuh perasaan ini bagai petir yang menggelegar, memenuhi ruangan sidang dan memberikan spirit luar biasa bagi peserta KLB untuk terus berjuang menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993 – 1998.
Situasi semakin tidak menentu. Panitia pelaksana kongres carataker menghilang, dan pintu kongres digembok. Ada upaya menggagalkan kongres, sementara peserta kongres di dalam asrama haji semakin menguat dengan adanya dukungan dari para simpatisan dan anggota partai yang berada di luar arena yang hadir dengan membawa mobil dan menginap di luar halaman asrama atau di sekitar asrama haji. Menjelang malam batas penyelenggaraan kongres berakhir tgl 7 Desember 1993, Megawati berpidato di pelataran asrama haji dan pidatonya membuat rakyat menghela napas. Dengan nada berat Megawati Soekarnoputri berpidato:
”…. Saudara-saudara yang saya cintai dan saya hormati, secara de facto saya adalah ketua umum, de yure kita selesaikan di Jakarta. Untuk itu, saudara-saudara saya minta kembali ke daerah masing-masing dan menunggu instruksi lebih lanjut….”
Akan tetapi, utusan peserta KLB dari berbagai daerah tidak langsung pulang ke daerah masing-masing, mereka masih mengawal Megawati sampai terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI.
VI. Musyawarah Nasional 1993
Musyawarah Nasional yang diselenggarakan di Hotel Kemang Kebayoran Baru Jakarta diikuti oleh 27 DPD seluruh Indonesia, untuk melanjutkan KLB yang gagal memutuskan Ketua Umum PDI Periode 1993-1998. Beberapa kali dilakukan musyawarah antara pemerintah dengan Megawati Soekarnoputri. Dilakukan pertemuan Menteri Dalam Negeri dengan ketua DPD di seluruh Indonesia pada tgl 13 Desember 1993. Dalam pernyataannya, Mendagri menyatakan bahwa KLB tidak gagal, namun pemerintah melihat aspirasi yang berkembang bahwa kemungkinan Megawati akan terpilih sebagai Ketua Umum PDI Periode 1993-1998. Pernyataan ini didukung oleh Panglima Kodam V Daya, Mayjen TNI AM Hendropriyono pada tgl 15 Desember 1993 yang memastikan bahwa arus bawah menghendaki Megawati sebagai ketua umum DPP PDI. Akhirnya, pada tgl 22 Desember, Megawati ditetapkan menjadi ketua umum dengan struktur kepengurusan sebagai berikut:
Kepengurusan DPP PDI Periode 1993-1998
Ketua Umum | Megawati Soekarnoputri |
Sekjen | Alex Litaay |
Wakil Sekjen | Chairul Manggabarani, Syafei Ali Gumay, Haryanto Taslam, Ratna Ratih Purnami, Titi Yuliasih, Edi Djunaedi |
Bendahara | Laksamana Sukardi |
Wakil Bendahara | Mulyono Sutarmo, Neneng Amalia Dendawacana, Untung Sutomo, Noviantika Nasution, Fx Urip Sujud, Edwin Sukowati |
Ketua-ketua | Soetardjo Soeryoguritno, Ismunandar, Fatimah Ahmad, Kwiek Kian Gie, Gery Mbatemoi, KH Abdul Khalik Murad, Subagyo, Panangian Siregar, Slamet Mulyadi, H. Yahya Theo, Abdul Gani, I Gusti Ngurah Sara, Mangara Siahaan, Suparlan |
Antara Gambir dan Diponegoro
Pemerintah Soeharto semakin khawatir dengan posisi Megawati Soekarnoputri yang semakin populer di masyarakat, terlebih lagi beberapa anggota DPR yang dimotori Aberson Sihaloho dan Sophan Sopiaan melontarkan gagasan untuk mencalonkan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden, yang dibuktikan dengan pengumpulan tanda tangan pencalonan Megawati sebagai calon presiden yang diedarkan di Fraksi PDI DPR RI. Gayung bersambut, pengurus DPC PDI di daerah kemudian memberi dukungan untuk turut mencalonkan Ketua Umum PDI hasil Munas sebagai calon presiden bersaing dengan Soeharto yang sudah pasti dicalonkan oleh Golkar.
Dinamika perpolitikan nasional yang berpihak kepada Megawati dianggap mengganggu status quo. Untuk itu, disusun skenario untuk menghancurkan eksistensi Megawati dengan memecah belah soliditas partai, yang diawali dengan Yusuf Merukh dan Gerry Mbatemoi yang melontarkan isu bahwa DPP PDI dan DPC PDI di daerah seluruh Indonesia banyak disusupi oleh orang yang berhaluan Komunis. Mereka menuduh 300 orang jajaran pengurus PDI dari pusat dan daerah. Nama-nama tersebut diserahkan kepada Jenderal Faisal Tanjung dan Kasospol Mabes ABRI, Jenderal Hartono.
Syarwan Hamid sangat berperan dalam perpecahan di DPP PDI Hasil Munas, yang ditandai dengan membelotnya 16 pengurus: Fatimah Ahmad, Panangian Siregar, Ismunandar, Ratna Purnami, Abdul Khalik Murad, Titi Juliasih, Subagyo, Slamet Mulyadi, Mulyono Sutarmo, Edi Junaedi, Yahya Theo, Abdul Gani, Chaerul Manggabarani, Neneng Amalia Dendawacana, FX Urip Sujud, dan Untung Sutomo. Mereka inilah yang mulai mengatur strategi menggulingkan Megawati Sukarnoputri sebagai ketua umum.
Pengurus cabang di berbagai daerah diintimidasi oleh aparat keamanan agar mengirim surat ke DPP untuk meminta Kongres Luar Biasa. Namun setelah diteliti, surat tersebut ternyata banyak yang dipalsukan. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kekacauan dan kebingungan di daerah, Megawati menggelar rapat Pleno DPP pada tgl 3 Juni 1996. Rapat ini untuk memutuskan penolakan KLB, dikarenakan surat permintaan KLB tidak sah.
Namun, ternyata Fatimah Ahmad dan kelompoknya menyetujui diselenggarakannya KLB. Keesokan harinya, 16 Pengurus DPP PDI yang dimotori oleh Fatimah Ahmad, melakukan rapat tersendiri di tempat yang bukan kantor partai. Rapat tersebut memutuskan bahwa kongres akan diadakan di Medan, dan harus dilaksanakan paling lambat tgl 20-22 Juni 1996, sebelum batas akhir pengajuan daftar nama calon anggota Legislatif untuk Pemilu 1997. Fatimah Ahmad Cs mengklaim untuk melaksanakan KLB telah memperoleh dukungan dari 19 DPD dan 215 DPC PDI.
Dirjen Sospol, Sutoyo NK dan Menteri Dalam Negeri, Syarwad Hamid mengeluarkan ijin bagi terselenggaranya KLB di Medan. Bakin dan Pusat Penerangan ABRI mengundang para pemimpin redaksi media massa dengan arahan agar media massa mendukung Kongres Medan. Megawati dan pendukungnya tidak tinggal diam dan mengirimkan surat protes ke berbagai pihak, diantaranya kepada Menteri Dalam Negeri, Syarwan Hamid dan Kepala Kepolisian RI, Dibyo Widodo. Surat untuk Menteri Dalam Negeri berisikan pemberitahuan bahwa rencana terselenggaranya KLB di Medan adalah tidak sesuai dengan peraturan AD/ART Partai. Sementara, surat yang dikirimkan ke Polri meminta agar Kepolisian Republik Indonesia tidak memberikan ijin kongres dengan alasan bahwa kongres tersebut inkonstitusional. Namun, jawaban Kapolri justru mengatakan bahwa Kepolisian RI siap mengirimkan pasukan untuk melindungi kongres di manapun diadakan.
Dalam KLB, Suryadi terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum PDI. Situasi tersebut mempengaruhi soliditas Fraksi PDI. Suryadi Cs mencoba mengambil hati anggota Fraksi PDI periode 1992-1997 yang hampir berakhir masa jabatannya dengan mengirimkan formulir pencalonan legislatif.
Aku sendiri berkesempatan dikirim 2 kali formulir pencalonan agar aku bersedia dicalonkan kembali, dan aku diberikan keleluasaan untuk memilih daerah mana yang aku minati, namun sayang aku tidak berminat dan juga sebagian besar dari anggota DPR sejumlah 59 orang juga tidak berminat mengisi formulir. Suasana di fraksi sungguh tidak nyaman, intrik dan fitnah semakin sering dilakukan oleh mereka yang seakan akan ingin merecall kami semua, meski pada akhirnya aku menghargai bahwasanya recalling itu tidak pernah terjadi hingga masa sidang berakhir, apa yang kurasakan sungguh sedih dan terasa pahit, bagaimana tidak, sekian tahun kami bersama sama mencoba membangun nama baik partai tiba tiba dipenghujung ini kami dipecah belah berkeping keping hanya karena kepentingan politik pemerintah yang takut terhadap kehadiran mbak Mega, aku serasa tidak percaya bahwa mas Suryadi, mbak Fatimah Ahmad, pak Datuk, Marcell beding, Nico Daryanto, mbak Titik Yuliasih yang semula aku kagumi menjadi berseberangan denganku, aku semakin mengerti jika politik itu tidaklah hitam putih seperti pikiranku, betapapun kami berbeda dalam berpandangan politik namun aku tetap menghargai jika mereka memilih bergabung dalam kebijakan Pemerintah, aku percaya jika kebenaran tidak akan bisa dihalau dengan kepentingan sesaat, Aku bukan takut diancam oleh pendukung Suryadi, tapi aku ingat pesan ayahku, sekali berhianat pasti berlanjut dengan penghianatan serupa. Aku bukanlah siapa siapa, Aku hanya berpandangan tidak akan mencoreng perjuangan ayahku dan menjaga nama baik keluarga besarku di Bali.
Upaya Suryadi untuk mempengaruhi dan menyogok anggota partai dengan iming-iming menjadi calon legislatif merupakan indikasi bahwa Suryadi menyadari posisinya yang tidak mengakar di kalangan anggota partai. Untuk itu, dilakukannya ikatan politik dalam bentuk yang karikatif. Pola ini, biasa dilakukan oleh orang-orang yang oportunis, yang menggunakan semua cara agar bisa berkuasa. Tentu saja, upaya ini hanya dapat mempengaruhi anggota partai yang pragmatis sesaat, tidak ideologis, yang hanya mementingkan diri sendiri, tanpa memikirkan nasib partai dan rakyat pada umumnya.
Tekanan secara halus, juga dilakukan oleh orang-orang Suryadi. Dengan memberikan pemahaman bahwa melawan keinginan pemerintah justru akan merugikan diri sendiri, orang-orang Suryadi, mencoba meyakinkan anggota partai yang duduk di DPR RI untuk mengakui hasil KLB Medan. Karena hasil KLB Medan adalah yang disetujui oleh pemerintah.
Suatu hari aku dipanggil Mbak Fatimah Ahmad ( yang sesungguhnya sangat kusegani, karena selama ini beliaulah yang mendidikku sebagai kader perempuan PDI ) beliau memberitahuku jika ayahku sudah diblack list pemerintah dan jangan sampai aku sebagai putrinya mengalami hal yang sama. Aku mengucapkan terimakasih, dan mengatakan kepada mbak Fat, bahwa aku banyak belajar bagaimana cara berpolitik praktis yang elegan dari mbak , lebih takut lagi jika berbohong terhadap hati nurani dan aku tidak siap kehilangan keluargaku di Bali akibat penghianatanku terhadap mbak Mega “ , selanjutnya mbak Fat menyerahkan keputusan yang kuambil dan menghargainya, bahkan himbauan itu tidak hanya muncul dari mbak Fat tetapi juga dari sesepuh Perwanas yaitu Ibu Ratjih (ibunda Ginanjar Kartasasmita) dalam sebuah kesempatan, juga menasehati aku, agar jangan berani menabrak tembok besar yang ada di depanku. Agar aku tidak hancur sebelum waktunya, Aku hanya tersenyum dan mengatakan bahwa hari telah magrib dan sebentar lagi berganti malam. Aku menunggu datangnya hari esok yang lebih cerah.
Reaksi dari setiap anggota partai terhadap sogokan kelompok Suryadi berbeda-beda. Pada dasarnya, terjadi perubahan konstelasi dalam hal dukungan terhadap Suryadi maupun Megawati. Bagi anggota yang tetap mendukung Megawati, menyadari bahwa memiliki sikap politik yang berbeda dengan pemerintah yang otoriter akan memiliki konsekwensi pada karier/posisi secara ekonomi-politik. Hal ini lebih dapat diterima, daripada harus berhianat pada komitmen politik dan ideologi. Kesadaran ini semakin dikuatkan dengan realita sosial-politik bahwa mendukung Megawati bukan hanya mendukung keluarga Soekarno, melainkan lebih dari itu. Bahwa Megawati adalah representasi dari kesadaran dan harapan rakyat kecil akan kehidupan yang lebih baik dan demokratis.
Sejak itu, aku berjanji dalam hati tidak akan berhianat dengan Megawati Soekarnoputri. Aku dan keluarga besarku sangat menghormati dan menghargai Bung Karno. Kapan lagi aku bisa membalas jasa beliau ?, selain ada kesempatan memberikan kesetiaan kepada putrinya yang juga berjuang membebaskan bangsa yang merdeka dari rasa takut, aku akan berjuang bersamanya sekuat hati, dengan segala resiko yang harus ku tanggung. Aku tak pernah bisa dibeli dengan apapun dan kapanpun, aku menghirup kemerdekaan sebagai bangsa karena dedikasi dan Ayah Megawati.
Situasi di DPR semakin tidak menentu. Perpecahan semakin tidak dapat dihindarkan. Pendukung Megawati, disebut PDI ProMega (PDI ProMega) merencanakan unjuk rasa ke Departemen Dalam Negeri. Unjuk rasa ini dimotori oleh Sophan Sophiaan, SGB Tampubolon (alm), dan Djatikusumo yang diikuti oleh kader yang setia kepada DPP PDI Hasil Munas. Sukmawati Soekarnoputri juga mengikuti long march dari jalan Diponegoro ke jalan Merdeka Utara yang juga diikuti oleh ratusan masyarakat yang bersimpati kepada Megawati. Dalam kesempatan ini, Megawati berpesan agar tidak terjadi kerusuhan selama aksi berlangsung.
Aku bertugas mendrop air mineral di jalan-jalan yang dilalui unjuk rasa. Ketika berada di jalan Untung Suropati, mobil kijangku yang penuh berisi aqua dipepet oleh mobil patrol polisi, mobil kularikan dengan kencang dan bersembunyi di halaman parkir kantor PPP berharap mereka tidak menemukanku kembali. Rupanya mobil patroli tersebut menemukan jejak kami dan bersiap mengeluarkan pentungan kayu dari dalam mobil dan memukul kaca belakang mobilku hingga retak , aku bergegas melarikan lagi mobil kijangku dengan kencang kearah jalan Kimia membaur ditengah kerumunan massa yang simpati terhadap perjuangan kami, hingga berhasil bebas. Aku tidak pernah melupakan peristiwa itu, shock dan ketakutan. Membayangkan keganasan mereka dan Ketika melintas di jalan Merdeka Timur banyak kerumunan massa dan jeep merah yang ditinggalkan penumpangnya entah kemana mereka pergi..
Aksi damai berubah menjadi aksi berdarah. Terjadi pemukulan dan tindak kekerasan lainnya oleh aparat keamanan terhadap peserta aksi. Tank ABRI mondar-mandir berkeliaran, mengejar, dan menakuti orang-orang yang unjuk rasa. Suasana sangat gaduh dan berdarah. Peristiwa Gambir menjadi bagian yang menyatu dari percepatan suhu politik nasional. Setelah Gambir Berdarah, Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso mengeluarkan ancamam tidak akan membiarkan terjadinya aksi massa lagi.
Panggung Diponegoro semakin memperlihatkan existensinya. Kader dan simpatisan berbondong-bondong menghadiri Mimbar Demokrasi bagi siapa saja yang hendak berorasi. Aktivis LSM, pemerhati demokrasi, rekan-rekan wartawan, dan kader-kader partai, seperti: Sutardjo Suryoguritno, Sabam Sirait, Sophan Sopiaan, Aberson Sihaloho, Sukowaluyo, SGB Tampubolon, juga fungsionaris partai dari daerah-daerah selalu berkunjung ke Diponegoro untuk melakukan orasi politik dan memberikan dukungan dalam bentuk lain kepada kumpulan massa yang semakin massif. Begitu juga dengan Budiman Sujatmiko sebagai aktivis dan ketua PRD kala itu, Selalu hadir untuk menyemangati dan menggerakkan kekuatan massa. Kantor DPP PDI berubah menjadi lebih hidup, bagai kawah candradimuka yang diharapkan membawa perubahan bagi atmosfir demokrasi.
Pada tgl 25 Juli, aku pamit kepada Ibu Mega untuk melakukan kunjungan kerja ke Mataram NTB, aku berpikir lumayan juga jika aku pergi, uang jalanku dapat digunakan untuk perjuangan selanjutnya. Pada tgl 26 Juli pagi, kami kedatangan rombongan Reog dari Ponorogo kira kira berjumlah 50 orang . Aku mempersilahkan mereka untuk beristirahat dan makan siang seadanya di dapur perjuangan. Bu rapih, petugas di dapur mengatakan padaku jika bahan bahan makanan sudah semakin menipis dan aku meminta alm mas Tarto untuk mensuplai yang dibutuhkan, Selanjutnya Pk. 13.00 aku beranjak ke airport untuk perjalanan kerja ke NTB. Hari itu, pikiranku kacau dan tidak konsern, ingin segera pulang saja. Aku memikirkan gerangan apa yang terjadi selanjutnya. Apa akhir dari perjuangan ini, aku berharap mereka masih tegar bertahan.
Saat menjelang istirahat malam sebelum aku tertidur, tak lupa menitip pesan kepada room boy di hotel tempat aku menginap, untuk membangunkan aku kapan saja jika ada kabar dari Jakarta. Benar saja, jam 4 pagi aku dibangunkan oleh room boy yang mengatakan bahwa “temanku” satu fraksi katanya lompat-lompat kegirangan mengatakan kalau Kantor PDI Perjuangan di Jakarta diserbu massa.. Aku kaget setengah mati, kakiku serasa lemas dan jantungku hampir berhenti, aku bergegas pesan tiket pesawat untuk kembali ke jakarta, langsung pagi itu, aku pulang ke Jakarta dengan perasaan yang berkecamuk . Sampai di airport Cengkareng aku naik taksi menuju jalan Diponegoro, tapi ditutup. Aku masih ingat wajah beberapa orang dari ponorogo yang kuberikan saran agar menginap di kantor perjuangan ini, aku merasa sangat bersalah dan lesu, aku meronta ingin mencari rombongan Reog Ponorogo, namun keadaan sudah kacau balau…tubuhku didorong dengan keras oleh beberapa polisi yang megenakan penutup muka semacam helm, aku menangis sejadi jadinya, apa yang terjadi dengan mereka, dan kemana orang orang itu yang setia menunggu kantor, ? dengan lemas lunglai aku berjalan menyusuri sepanjang jalan diponegoro, meski suasana hiruk pikuk massa, aku merasakan ”feeling guilty”.
Asap hitam mengepul di udara, gedung-gedung terbakar dan orang-orang berlarian tak tentu arah. Kantor PDI yang semula semarak, tiba-tiba menjadi redup, berantakan, dan bau anyir. Darah berhamburan di mana-mana, ada pemadam kebakaran di halaman kantor dan jip merah yang teronggok menjadi saksi atas kebrutalan ’orang-orangnya’ Soeryadi dan perangkatnya penguasa. Mereka menyangka, cara-cara seperti itu dapat melemahkan semangat kader dan massa. Sebaliknya, hal itu adalah tantangan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung, demikian kata-kata magnet dari Soekarno yang disambut dan dibahasakan oleh Megawati; Pantare…Pantare…Pantare….!
Situasi politik semakin mencekam. Tidak berhenti pada penyerbuan kantor partai namun terjadi Teror terhadap fungsionaris partai di seluruh Indonesia. Haryanto Taslam dan Alex Litaay diculik. Tidak diketahui tempat dimana ditahan dan diperlakukan secara tidak manusiawi, termasuk Ribka Tjiptaning, harus berurusan dengan kantor polisi dan keluarganya mendapat teror secara fisik. Banyak aktivis mahasiswa yang ditangkap dan dipenjarakan, termasuk Budiman Sudjatmiko dan beberapa aktivis PRD lainnya. Pada kenyataannya, Peristiwa 27 Juli justru menjadi energi tersendiri bagi kader partai dan aktivis prodemokrasi lainnya dalam melanjutkan perjuangan partai menuju Indonesia yang demokratis.
Untuk melanjutkan perjuangan yang tak tahu kapan berhentinya, aku menjual rumahku di Cinere dengan harga 90 juta. Hasilnya, sebagian untuk membangun rumah kreditanku di Pondok Gede yang belum selesai, dan sebagian lagi untuk biaya perjuangan. Kendati aku tidak memiliki tabungan sesenpun, aku tak peduli. Demi idealisme, aku siap menjual apapun harta yang aku miliki . rumahku di pondok gede menjadi Posko perjuangan yang dihidupkan oleh ratusan massa yang melanjutkan perjuangan dengan membuat panggung dan mimbar bebas, puluhan aktivis dan mahasiswa dari UKI dan universitas lain menginap ditempat ini, kami bersyukur karena bantuan bahan makanan seperti roti, telur, air mineral dan nasi bungkus terus mengalir dari masyarakat. Orasi demi orasi diseling oleh nyanyian perjuangan dari gitar seadanya menyemarakkan suasana dengan yel yel seperti ini, …rakyat melawan tak bisa dikalahkan, rakyat melawan tak bisa dikalahkan !!! ada energi yang mengalir di Posko ini, …
B. Posko Rakyat dan Lenteng Agung
Ada pengalaman lucu sekaligus menjengkelkan. Suatu hari, Pk. 18. 00, ada intel yang datang ke rumahku dengan beberapa mobil patroli dan satu truk tentara. Salah satu dari mereka turun menanyakan apakah Megawati akan berorasi di Poskoini ? Kami menggelengkan kepala, dan mereka meminta maaf mengatakan jika salah informasi, ternyata Megawati bukan berada di Pondok Gede, tetapi di Pondok Indah. Kami semua tertawa geli, atas keamatirannya, intel kok bisa salah informasi. Namun, sebagian orang menganggap itu hanyalah alasan, sebenarnya mereka memang ingin mengetahui kegiatan Posko kami. Ah, masa bodohlah, yang penting mereka sudah pergi dan selamatlah kami dari serbuan “ kecoa” dan “lalat hijau” (kecoa= polisi, lalat hijau=tentara). Kadang aku sendiri heran atas semangat yang tak pernah habis habisnya itu, padahal satu mobil perjuangan kami milik para mahasiswa itu sudah diambil paksa oleh para aparat yang membuntuti mereka dan mencoba dihancurkan, meski sudah dirobah nomor plat mobilnya, namun mereka tetap mengetahui keberadaan mobil butut ini, pada akhirnya kami menemukan akal dengan meminjam ambulance rumah sakit untuk operasi selanjutnya, syukur setelah itu jejak kami tidak dapat dipantau lagi oleh aparat aparat itu, setiap malam bebas keluar masuk pondok gede – cawang . dalam rangka keperluan transportasi dan komunikasi dengan berbagai elemen dan kekuatan pro demokrasi, mempersiapkan simpul simpul perjuangan dan mengatur strategi selanjutnya, dll
Pada saat yang bersamaan, rakyat mengikuti kampanye Mega-Bintang yang merupakan koalisi rakyat, antara pendukung PDI dan PPP. Koalisi ini sebagai jawaban atas situasi politik yang semakin memanas. Rakyat butuh sandaran partai yang dianggap alternatif. Mega-Bintang adalah pilihan cerdas rakyat dalam mengartikulasikan kekuasaan politik yang sudah pada titik nadir, di mana rakyat tidak dapat lagi dikelabui dan dibungkam. Kekuasaan Suharto sudah berada di ujung tanduk. Kampanye Mega-Bintang di berbagai daerah diikuti dengan antusias oleh rakyat yang telah memiliki kesadaran bahwa sudah saatnya kekuasaan berganti.
Situasi politik semakin memanas, mahasiswa turun ke jalan menuntut Soeharto mundur. Para ibu aktivis PDI melakukan pencarian dana untuk membeli nasi bungkus, minuman, telur, atau roti yang akan diberikan kepada para mahasiswa yang sedang berdemontrasi di jalan-jalan. Namun, di tengah eskalasi perlawanan rakyat, terjadi amuk massa yang disertai penjarahan dan pembakaran beberapa gedung di Jakarta.
Dari inforamasi radio terdapat dua ratus lima puluh orang menjadi mayat yang hangus terbakar, siaran pers pemerintah menganggap bahwa yang meninggal hangus terbakar itu adalah perusuh dan penjarah yang terjebak kebakaran. Para ibu yang menangis mencari keluarganya, dan mereka mengatakan jika sanak keluarganya yang meninggal di Yogya Departemen Store bukanlah perusuh atau penjarah, melainkan sedang bekerja sebagai karyawan toko atau sedang berbelanja di tempat itu. Dari kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat di Jakarta, tim relawan mencatat 1.190 jiwa meninggal dunia dalam waktu 2 hari dari tgl 13 dan 14 Mei 1998. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah kian melemah. Dan tuntutan reformasi semakin menguasai kesadaran rakyat, bahwa saatnya untuk melakukan perubahan secara ekonomi, sosial, dan politik.
Fajar Baru di Lenteng Agung
Sebuah bangunan yang kokoh tapi tidak terawat, kotor dan rimbun dengan rumput dan ilalang yang telah menjalar ke mana-mana. Menurut Tarto Sudiro (alm) gedung ini yang akan dijadikan kantor DPP PDI yang baru. Kantor ini membawa harapan baru bagi seluruh kader partai.
Kami sangat antusias membersihkan kantor baru itu, kami membagi tugas siapa memperoleh tugas apa, yang mendesak adalah mengisi perabot kantor, mas Tarto (alm) membawa meja makan, komputer dan peralatan kantor lainnya, mbak Rita Hendro (alm) membawa bufet dan lemari penyimpanan arsip, juga sumbangan peralatan kantor dibawa oleh Sdr Noviantika Nasution ada sumbangan beberapa komputer dari simpatisan namun kursi masih sangat kurang. Aku kemudian membeli kursi plastik berwarna merah sebanyak 50 buah sesuai dengan kemampuanku. Pembiayaan operasional dilakukan dengan gotong royong. Mas Tarto sering memberikan dorongan dan harapan tentang kebangkitan PDI yang tidak akan lama lag. Beliau sangat percaya Fajar baru itu akan menyingsing. Kami harus menyingsingkan lengan baju, bekerja keras memenangkan dukungan rakyat dengan ideologi, bukan dengan uang dan janji manis..
Aktivitas partai dijalankan dalam suasana politik yang lebih memberi harapan. Turunnya Suharto memberi semangat tersendiri bagi pejuang demokrasi. Walau Orde Baru belum runtuh dalam makna berubahnya tatatan kekuasaan dan nilai-nilai politik, namun keberhasilan gerakan rakyat dalam menurunkan Suharto adalah kemenangan yang mampu memformulasi ulang konsepsi demokrasi dan orientasi kekuasaan dari partai politik.
Kegiatan partai seakan tidak pernah berhenti. Teman-teman dari media cetak dan elektronik dalam dan luar negeri sering hadir di kantor. Aktivis partai yang selalu hadir di kantor baru yang aku ingat adalah: Mas Tarto (alm), Mangara Siahaan Meilono, Mbak Hera, Rita Hendro (alm), Novi, Yongky, Herman, Cece, Jibeng, Dewita Hadi, Irmadi Lubis dll, pernah pada suatu pagi kami terkejut mendapatkan laporan dari Satgas, bahwa dinihari tadi kantor ini disatroni oleh beberapa orang yang naik melalui atap genteng dengan mengenakan seragam hitam hitam ala Ninja, untung para satgas sigap dan mengusir mereka yang kemudian hilang ditelan kegelapan malam, sejak hari itu jumlah Satgas yang menjaga kantor ditambah dengan personil dari DPD DKI,
PDI seperti gadis jelita yang siap dilamar banyak anggota baru yang ingin bergabung di Partai. Dibuatlah acara pelantikan 100 anggota baru secara simbolis dengan pemberian rompi yang disampaikan oleh Megawati. Mereka yang dilantik antara lain; Yakub Tobing, Postdam Hutasoit, Wijanarko Puspoyo, Tjahyo Kumolo, RK Sembiring Meliala, Sidharto, Alfian Husein. Selain itu, Kwiek Kian Gie juga merekrut anggota baru melalui Balitbang, diantaranya Heru Lelono Suko Sudarso, Prakosa, dan Pataniari Siahaan.
Kegiatan partai selanjutnya menghantarkan agenda yang paling penting yaitu membentuk kepanitiaan kongres yang disusun oleh DPP ProMega dengan jadwal pelaksanaannya tgl 8-10 Oktober 1998 di Grand Hotel Sanur Beach Denpasar Bali
C. Kongres Pascakekerasan Rezim Orba
I. Kongres 1998 di Bali
Aku ditugaskan sebagai Steering Comitee Panitia Kongres, merangkap sebagai protokoler khusus tamu Kedutaan Besar. Aku membeli buku khusus alamat pejabat korps diplomatik yang ada di Indonesia. Sungguh mengejutkan, banyak dari kedutaan yang bersedia hadir dalam Kongres PDI di Bali.
Bali sangat meriah bagai lautan merah, sejurus mata memandang yang ada hanyalah warna merah. Hadir di acara kongres ini sejumlah 35 Duta Besar. Untuk menjemput para duta besar telah disediakan mobil gratis bantuan masyarakat, dan sebagai driver adalah pemiliknya sendiri, diantaranya Adi Wiryatama yang sekarang sebagai Bupati Tabanan. Salah seorang Tim Kesehatan di kongres adalah Winasa, sekarang sebagai Bupati Jembrana. Puji syukur kami panjatkan kepada Sang Pencipta Hyang Widhi Wasa atas anugerah dan kemudahan yang diberikan.
Konggres Rakyat yang Fantastik
Belum ada satupun kongres yang dilaksanakan di Republik ini yang semeriah dan fantastis seperti suasana Kongres PDI ke V di pulau seribu Pura ini. Sejauh mata memandang hanyalah warna merah yang terhampar, sehingga Surat kabar mensinyalir bahwa perputaran uang di Kongres ini yang digunakan untuk kaos, spanduk, dan bendera mencapai kurang lebih 65 milyar, tentu bisa dibayangkan bangkitnya kekuatan pro demokrasi yang berharap terhadap perubahan politik Nasional, padahal hampir selama 30 tahun lebih, Bali merupakan basis Partai Golongan Karya. Sebelum Orde Baru berkuasa, Bali merupakan basis Partai Nasionalis dan Partai Komunis. Melihat antusiasme masyarakat mengelu-elukan Megawati, terbersit harapan, adakah saatnya untuk mengembalikan banteng ke kandangnya?
Dalam kongres ini, Megawati terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum, Sekjen adalah Alex Litaay. Bendahara: Meliono Suwondo, Noviantika Nasution. Ketua-ketua: Roy BB Yanis, John Sara, Mangara Siahaan, Haryanto Taslam, Tarto Sudiro. Keputusan Kongres menetapkan secara resmi Megawati Soekarnoputri sebagai calon Presiden RI Periode 1999-2004.
Seiring dengan perubahan situasi sosial-politik, maka pada tgl 14 Februari 1999, PDI mendeklarasikan diri menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang merubah logo Banteng dengan garis segilima menjadi Banteng bermulut putih di dalam lingkaran putih.
II. Kongres PDI Perjuangan ke I Tahun 2000
Hotel Patra Jasa Semarang menjadi saksi dari terlaksananya sebuah kongres yang berbeda dengan kongres sebelumnya, bersahaja dan biasa-biasa saja. Walaupun penjagaan aparat cukup ketat karena posisi Megawati sebagai Wakil Presiden. Dalam pencalonan ketua umum, tanpa diduga muncul kandidat baru yang bersaing dengan Megawati untuk menjadi calon ketua umum, yaitu Eros Jarot yang berpasangan dengan Haryanto Taslam sebagai calon Sekjen. Dalam hal ini, harus diakui, Eros memiliki keberanian mencalonkan diri, walaupun tahu, kesempatan Megawati masih sangat besar untuk dicalonkan oleh dewan pimpinan cabang seluruh Indonesia.
Megawati terpilih sebagai ketua umum dengan Sekjen Sucipto. Pendatang baru yang duduk menjadi pengurus DPP PDI Perjuangan adalah Pramono Anung dan Arifin Panigoro. Pramono Anung adalah mantan aktifis HMI dikampus ITB. Dan cucu dari seorang kakek pengikut setia bung Karno (PNI) Sementara Arifin Panigoro adalah figur pengusaha minyak yang sukses, juga kendati sulit menemukan benang merah dengan historis partai. Tentu saja, nama-nama baru ini mengemban tugas yang tidak ringan dalam membawa kejayaan partai.
Jujur setelah berlangsungnya konggres Partai, kami berkumpul bersama di Cilandak dirumah mas Tarto dan bersama sama prihatin karena Mas Tarto Sudiro tidak duduk dalam struktur kepengurusan DPP PDI Perjuangan. Mas Tarto Sudiro yang sangat kami hormati, sebagai sahabat dan senior aku banyak belajar tentang kehormatan dan kewibawaan partai menjaga ideologi nasionalisme kemajemukan dan Pancasilais, sekaligus kekhawatiran mas Tarto akan penghianatan dari dalam yang akan berulang tanpa dapat dideteksi sejak awal karena mas Tarto tidak lagi berada di DPP, hingga akhir hayatnya aku bersyukur bisa berada di sampingnya. Yang pasti, aku sangat kehilangan dengan kepergiannya…… selamat jalan mas Tarto, semangatmu menjadi semangat kami untuk melanjutkan perjuangan yang tidak akan pernah selesai, life must go on….
III. Kongres PDI Perjuangan ke II Tahun 2005
Kongres yang diselenggarakan di Bali Beach Denpasar Bali ini, sesungguhnya tidak serumit yang digambarkan di media cetak maupun elektronik, meskipun menjelang kongres suasana agak memanas, dengan manuver kader kader partai yang kurang puas dengan perjalanan partai di bawah DPP PDI Perjuangan hasil Kongres Semarang.
Terpilihnya Megawati sebagai ketua umum, menjadi jawaban atas kegelisahan pengurus partai sekaligus representasi dari mengakarnya kekuatan dan karisma Megawati sebagai pemimpin partai dan pemimpin nasional. Karisma ini menjadi semakin kokoh dengan ke-Soekarno-an yang melekat demikian kuat pada Megawati, termasuk bila dibandingkan dengan anak-anak Soekarno yang lain. Kekalahan di Pemilu 2004, tidak membuat citra Megawati jatuh di hadapan pemilih setianya, terutama di hadapan anggota dan pengurus partai. [2]
Suatu hari menjelang diselenggarakan Konggres PDI Perjuangan di Bali, aku memenuhi undangan deklarasi PDI Pembaharuan di hotel Sahid jalan Sudirman, sungguh aku ingin mengetahui secara jelas apa yang ingin mereka sampaikan dalam pertemuan itu, saat aku memasuki ruangan yang hiruk pikuk dengan banyaknya wartawan, aku melihat beberapa kawanku yang duduk di panggung. Diantaranya, Roy BB Yanis, Noviantika Nasution, Angelina Patiasina, Sukowaluyo mintorahardjo, Didi Supriyadi, Arifin Panigoro , Laksamana Sukardi, dll dengan moderator sdr Uni Lubis, kebetulan aku dalam posisi berdiri karena tidak memperoleh kursi untuk duduk, dari tempat aku berdiri melihat Laksamana Sukardi sedang orasi menyampaikan sesuatu yang terkait dengan PDI Pembaharuan, namun aku terkejut ternyata ucapannya hanya berisikan pendeskriditan terhadap Megawati Soekarnoputri, Ketua umumnya sendiri dihujat habis habisan didepan publik, bukan langsung didepan megawati, secara spontanitas aku menuding ke podium ditempat Laksamana berpidato, dengan kemarahan yang tak bisa lagi kubendung aku berteriak sejadi jadinya, sungguh tidak adil selama ini Laksamana bahkan mendapatkan kesempatan 2 kali diberi penugasan sebagai mentri dalam kabinet Gotong royong, dan aku tahu betul bagaimana kehidupan mereka yang berobah terkenal setelah bergabung dengan Megawati, betapa teganya mereka itu, secara khusus kukatakan dengan lantang kepada Laksamana. “ Bukankah anda yang harus bertanggung jawab terhadap penjualan aset ? secara tehnis anda yang membuat keputusan atas penjualan aset tsb ? padahal teman teman di DPR berusaha mencegah tetapi anda jalan terus ? kok sekarang mau cuci tangan, anda ini siapa ? .. dengar wartawan kalau seorang megawati saja bisa dilecehkan, oleh seorang Laksamana yang justru dibesarkan oleh Megawati ? lantas sebesar apakah sesungguhnya penghianatan itu…. ?” sepintas aku lihat Laksamana langsung kabur meninggalkan podium entah kemana, dan aku berlalu sambil geram dan tertawa geli, semula aku kira akan mendengar orasi paparan tentang apa dan bagaimana PDI Pembaharuan yang hendak dideklarasikan, ternyata isinya hanya caci maki dan ucapan yang sungguh tidak etis didengar keluar dari bibir orang orang terhormat yang mengaku kader partai, aku katakan terhormat karena sebagian besar mereka bukan anggota biasa namun mereka adalah anggota DPR dan pejabat eksekutive Partai, lantas ikatan apakah sesungguhnya yang mengumpulkan mereka bergabung menjadi satu membangun Partai baru ? sakit hatikah ? ahh sungguh sayang mereka tidak sabar, padahal Roy Yanis adalah sahabatku yang tak dapat aku lupakan semangatnya membangun partai, aku jadi ingat pada suatu hari mas Soeryadi membawa seseorang kepadaku, yang dikenalkan sebagai aktivis GMNI komisariat UI yang bernama Roy Bb Yanis, mas Sur memintaku untuk melibatkan Roy dalam setiap aktivitas politikku, ketika itu aku masih sebagai anggota Departemen Wanita DPP PDI, dan sejak saat itu aku selalu melibatkan Roy memberikan motivasi dan pengetahuan bagaimana berpolitik praktis, jika saja Roy mau bersabar… saat indah itu pasti akan datang waktunya. Pantang bagiku merusak apa yang sudah dibangun bersama sama, tidak hanya keringat, tapi juga air mata dan materi yang tak terhingga. Kurenungkan ucapan mas Tarto yang khawatir terhadap penghianatan dari dalam yang akan berulang, dan didepan mataku peristiwa itu terjadi, .
Sekalipun nama-nama seperti Abdul Madjid, Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, dan Roy Janis, telah meninggalkan Megawati dan PDI Perjuangan, Kongres Bali tetap berjalan seperti yang diagendakan dengan terpilihnya ketua umum, sekaligus sebagai formatur tunggal yang berwenang menentukan susunan kepengurusan dewan pimpinan pusat partai. Keputusan adanya formatur tunggal sempat dipertanyakan oleh peserta kongres, meskipun pada akhirnya konsep formatur tunggal diterima oleh seluruh peserta kongres. Pada tingkat pemilihan nama pengurus, hanya Bali yang meminta klarifikasi di luar forum resmi kongres atas dipilihnya Sukmadewi Djakse sebagai Wakil Bendahara DPP. Sukmadewi dianggap bukan sebagai representasi perwakilan Bali. Ke-Bali-annya dianggap telah hilang, karena bersuamikan laki-laki Batak dan beragama Kristen. Padahal PDI adalah partai nasionalis , tidak membedakan suku bangsa, agama, pekerjaan, status dan pendidikan, setiap orang memiliki kesempatan yang sama, pada akhirnya, perwakilan Bali dapat menerima keputusan tersebut.[3]
Di samping keputusan yang bersifat internal, beberapa keputusan eksternal juga dihasilkan. Salah satunya adalah keputusan politik sebagai partai oposisi terhadap pemerintahan SBY-Kalla. Keputusan ini diambil atas dasar pembacaan politik, bahwa keberadaan partai OPOSISI sudah saatnya dihadirkan secara nyata dalam ruang politik Indonesia, di samping sebagai pengontrol dan penanding kebijakan pemerintah, juga sebagai penegasan sikap politik PDI Perjuangan yang tidak akan memberikan dukungan kepada Pemerintah SBY-Kalla. [4]
Dalam kongres di Bali ini, Megawati kembali terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi untuk kembali memimpin DPP PDI Perjuangan perode tahun 2005-2010.
Kepengurusan DPP Periode 2005-2010
Ketua Umum | Megawati Soekarnoputri |
Sekjen | Pramono Anung |
Wakil Sekjen | Mangara Siahaan, Agnita Singadikane, Sutradara Ginting |
Bendahara | Philip Wijaya |
Wakil Bendahara | Daniel Setiawan, Ni Gusti Ayu Sukmadewi Djakse |
Ketua-ketua | Tjahyo Kumolo, Soewarno, Alexander Litaay, Murdaya Poo, Panda Nababan, Maruarar Sirait, Yacob Nuwawea, Guruh Soekarnoputra, Mindo Sianipar, Hamka Haq, Dudhie Murod, Daryatmo M, Sonny Keraf, Theo Syafei, Adang Ruchiatna, Emir Moeis, Sucipto, Firman Jaya Daely, Arif Budimanta |
[1] PPP sebagai representasi kekuatan Islam juga menjadi musuh bagi Orba, sehingga pola kontrol terhadap PDI juga berlaku bagi PPP. Bagi Orba, Islam adalah wajah lain dari kekuatan riil masyarakat yang harus dikontrol sekalipun dengan cara-cara kekerasan. [2] dikutip dari paper Sosiologi Politik Pascasarjana Sosiologi UI yang berjudul “PDI Perjuangan Menjelang Pemilu 2009, Kunjungan Megawati ke Daerah-daerah” yang disusun oleh penulis sendiri
[3] ibid
[4] ibid
Sumber:
http://sukmadewi.wordpress.com/2009/09/01/dialektika/
EmoticonEmoticon