MEGAWATI "MENGGEBUG" ORDE BARU-NYA SUHARTO
DENGAN MEMBOIKOT PEMILU
Apapun yang akan terjadi, pergulatan moral ini sudah dimenangkan oleh Megawati.
Kita semua akan menyaksikan pergulatan-raksasa yang luarbiasa menariknya.
Mega-pergulatan yang bersejarah ini akan disaksikan oleh pemirsa secara
nasional dan internasional. Dapat diperhitungkan bahwa dampak peristiwa ini
akan menjangkau jauh bagi perkembangan situasi politik di Indonesia, dalam
jangka waktu dekat, dan terutama di kemudian hari. Dengan pesan hariannya
yang diumumkan pada tanggal 22 Mei 1997 Megawati telah mengeluarkan
tantangan kepada Presiden Suharto beserta Orde-Baru-nya. Dan tantangan itu
sekaligus merupakan "gebugan" yang nampaknya saja kecil, tetapi yang pada
hakekatnya adalah penjelmaan dari kekuatan yang besar, yang terpendam
selama ini.
Pesan harian Megawati itu dimulai dengan kalimat gagah :"Saya, Megawati
Sukarnoputri, selaku pribadi telah memutuskan untuk tidak menggunakan hak
politik untuk memilih di dalam pemungutan suara pada tanggal 29 Mei 1997",
dan menyebutkan seterusnya "Saya menyadari bahwa pemberian suara adalah
merupakan hak dari seseorang warga negara yang bersifat sangat hakiki dan
azasi, karena itu penggunaannya harus sesuai dengan hati nurani
masing-masing warganegara. Saya selaku Ketua Umum DPP PDI yang sah dan
konstitusional berpendapat, bahwa apa yang disebut 'PDI Hasil Kongres
Medan' adalah tidak sah dan tidak konstitusional, karena itu untuk
memilihnya pada tanggal 29 Mei 1997 juga tidak sah dan tidak konstitusional".
Mungkin, ada orang yang ber-tanya-tanya, apakah tepat penggunaan kata-kata
"pergulatan raksasa", "tantangan" dan "gebugan" seperti yang tercantum pada
permulaan tulisan ini ? Perkembangan dalam masa dekat ini akan menguji
benar-tidaknya. Tetapi, yang sudah pasti yalah bahwa pesan harian tanggal
22 Mei itu merupakan peristiwa yang penting pada dewasa ini, yang bisa
melahirkan perkembangan baru, dan yang bahkan selanjutnya bisa merupakan
"surprise" bagi kita semua.
Dengan "pesan harian"-nya itu, pada hakekatnya, Megawati sudah menyerukan
(secara cerdik) kepada seluruh anggota dan simpatisan PDI untuk memboikot
Pemilu yang akan datang. Secara tepat, ia telah menggunakan kasus Kongres
Medan sebagai salah satu senjata untuk menghantam Presiden Suharto, Orde
Baru beserta "oknum-oknum" tertentu dalam pemerintahan (Harap perhatikan :
penggunaan kata-kata "oknum" inipun sudah mempunyai arti yang luas).
Dengan mengangkat masalah Suryadi ini, sebenarnya Megawati sudah menampar
atau menggebug Presiden Suharto dan Orde Barunya, dengan pukulan yang
berat. "Penjelasan pesan harian", yang menyertai dokumen penting ini,
memberikan bahan-bahan pemikiran yang penting bagi kita semua, mengenai
taktik Megawati dalam pergulatan besar yang makin lama makin menarik ini.
Dalam pergulatan antara Presiden Suharto dan Megawati ini, kasus Suryadi
merupakan segi kelemahan yang serius bagi Presiden Suharto beserta para
pendukungnya. Secara moral, pertempuran sudah dimenangkan oleh Megawati.
Sebab, walaupun secara resminya, Megawati dapat didongkel (melalui rekayasa
yang terlalu kasar dan terang-terangan dari fihak pemerintah Orde Baru)
dari jabatannya sebagai ketua umum PDI, tetapi anggota dan simpatisan
Megawati sudah menunjukkan pilihan hati nurani mereka. Ini telah terbukti,
secara gamblang, sejak sebelum dilaksanakannya kongres, sampai
berlangsungnya kampanye Pemilu akhir-akhir ini.
Pemandangan yang menggambarkan Suryadi dikejar-kejar massa diberbagai
tempat, seperti maling kesiangan yang dikeroyok wargadesa, adalah sesuatu
yang merendahkan martabat Presiden Suharto. Bahwa Suryadi harus dikawal
ketat oleh aparat-aparat keamanan (bahkan oleh kendaraan lapis baja) ketika
mengadakan kampanye di depan umum, adalah juga tamparan bagi Presiden
Suharto beserta pejabat-pejabat. Sebab, bagi banyak orang, Suryadi adalah
pengejawantahan dari politik Presiden Suharto. Katika massa di berbagai
daerah mengusir Suryadi, atau memaki-makinya, atau meng"hajar"-nya
(termasuk melepaskan ular di panggung), sebenarnya sikap semacam itu
ditujukan, secara tidak langsung, kepada Presiden Suharto beserta
pejabat-pejabat utamanya. Kemarahan yang dilampiaskan kepada Suryadi adalah
kemarahan kepada Presiden Suharto, dan, kekalahan Suryadi adalah kekalahan
Presiden Suharto, se-tidak-tidaknya secara moral.
Dalam konteks ini, dapat dimengertilah bahwa berbagai orang akhir-akhir ini
telah menyatakan bahwa apapun yang terjadi, Megawati Sukarnoputri akan
keluar sebagai pemenang dalam pertempuran di bidang moral. Ia sudah, dan
akan, meraih kemenangan dalam kekalahannya melawan Presiden Suharto beserta
Orde Barunya kali ini. Sebab, bisa saja ia tetap tidak diakui oleh
pemerintah Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto sebagai ketua umum PDI,
tetapi ber-juta-juta orang tetap memandangnya sebagai pimpinan yang
disahkan oleh hati nurani rakyat, dan mendapat pengakuan oleh nalar yang
sehat, baik di dalamnegeri maupun di luarnegeri. Mungkin, ia akan mendapat
rekayasa-rekayasa yang lebih besar dari fihak pemerintah, tetapi itu semua
akan membikin Megawati muncul lebih besar lagi. Dalam pertempuran antara
yang hak dan yang bathil yang sedang melanda di tanah air, akhirnya ia akan
keluar sebagai lambang moralitas, yang menjadi aspirasi banyak orang.
Megawati telah menyatakan tidak akan ikut Pemilu yang akan datang, dengan
menjelaskan bahwa tindakannya itu didasarkan "untuk menjaga citra negara RI
sebagai negara hukum di mata dunia internasional meyongsong era globalisasi
yang ditandai dengan tuntutan atas adanya keterbukaan, tegaknya hukum,
demokratisasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia". Inilah
sinyal yang diberikan kepada anggota-anggota PDI dan simpatisan atau
khalayak ramai. Bahasanya memang tidak keras atau tidak kasar, tetapi, kita
semua tahu, bahwa isinya dalam. Ini kalau kita hubungkan dengan apa yang
sudah dipraktekkan oleh Orde Baru selama ber-puluh-puluh tahun, dan
terutama dua tahun terahir ini.
Pernyataannya untuk tidak ikut Pemilu, yang pasti akan diikuti oleh banyak
orang di Indonesia, merupakan "manifesto politik", yang secara intrinsik
telah memvonis Pemilu tanggal 29 sebagai sesuatu yang tidak sah dan tidak
konstitusional. Ini dapat dijabarkan dari kalimat dalam penjelasannya yang
berbunyi (nomor 11, ayat 3) : "Saya selaku Ketua Umum DPP PDI 1993-1998
yang sah dan konstitusional berpendapat, bahwa apa yang disebut 'PDI hasil
Kongres Medan' adalah tidak sah dan tidak konstitusional, karena itu untuk
memilihnya pada tanggal 29 Mei 1997 juga tidak sah dan tidak
konstitusional". Ini suatu tembakan terselubung yang isinya bisa diartikan
bahwa pemerintah telah menyelenggarakan Pemilu ini secara tidak sah !
Sudah jelaslah, kiranya, bahwa pesan harian Megawati ini telah dikeluarkan
setelah melalui banyak diskusi antara dia sendiri dan pembantu atau
penasehatnya yang terdekat. Di beberapa bagian dari pesan hariannya, yang
dilengkapi dengan penjelasan itu, kita bisa baca bagaimana dengan sinis ia
telah menyindir para pembesar Orde Baru dengan kalimat "Pesan ini juga
merupakan pertanggungan jawab saya, baik selaku Ketua Umum PDI 1993-1998
maupun sebagai pribadi, kepada sejarah, bangsa dan Rakyat Indonesia, dengan
berpegang teguh pada amanat para pendiri Republik Proklamasi 17 Agutus 1945
yang telah merancang Republik yang kita cintai ini sebagai Republik yang
demokratis yang mewajibkan kepada pemerintah dan lain-lain penyelenggara
negara untuk memelihara budi pekerti yang luhur dan memegang teguh moral
rakyat yang luhur".
Ketika membaca kalimat-kalimat tersebut di atas, tentunya banyak orang akan
mengartikannya sebagai kritik bahwa pemerintah dan banyak penyelenggara
negara dewasa ini tidak mempunyai budi pekerti yang luhur. Dalam hal ini,
Megawati benar. Memang, ia tidak menyebut-nyebut soal kekayaan keluarga
Cendana, dan tidak menyerang terang-terangan kerakusan kerabat terdekat
Presiden Suharto dalam memupuk harta-benda dengan cara-cara yang tidak
luhur. Ia juga tidak membongkar budi-pekerti yang tidak luhur dari para
penyelenggara negara yang telah menjalankan korupsi, kolusi, nepotisme,
penyalahgunaan kekuasaan, arogansi yang lewat batas. Sebab, masyarakat luas
sudah menyaksikannya sendiri, dan mengalaminya secara kongkrit
se-hari-hari.
Dalam pernyataannya, Megawati telah banyak mengangkat masalah pentingnya
membina prinsip-prinsip negara demokrasi, membela penegakan hukum dan
menjunjung tinggi moral. Secara baik telah dibongkarnya rekayasa yang kotor
dan tidak bermoral dalam penyelenggaraan kongres Medan. Mengenai soal ini
pernyataannya berbunyi :
4.* Bahwa diluar dugaan seluruh keluarga besar PDI, beberapa oknum di dalam
lingkungan lembaga negara yang terkait - pada bulan Juni 1996 telah
mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan prinsip negara demokrasi
yang berdasarkan Pancasila dengan cara merekayasa dan memberi dukungan
secara fisik, material dan moril, dan segala kemudahan yang diperlukan
untuk terselenggaranya apa yang kemudian disebut sebagai "Kongres Medan".
Tindakan yang melanggar prinsip demokrasi tadi terwujud dengan adanya intimidasi/
penekanan secara fisik dan psikologi kepada pemimpin/kader / warga PDI di
daerah-daerah baik berupa pemanggilan, pembuatan pernyataan secara paksa,
penahanan tanpa prosedur hukum yang benar, agar pimpinan /kader / warga PDI
mau mendukung penyelenggaraan "Kongres Medan" yang disponsori oleh para
oknum di dalam lingkungan lembaga negara yang terkait tersebut diatas.*
Tindakan para oknum di dalam lingkungan lembaga negara yang terkait
tersebut bukan saja melanggar prinsip-prinsip negara demokrasi, tetapi juga telah
melanggar ketentuan-ketentuan UU No.3 / 1985 yang menjamin bahwa kedaulatan
partai ada di tangan anggota, serta secara prinsip dan prosedural tindakan
tersebut bertentangan dengan AD/ART PDI.
5. Bahwa tindakan Pemerintah yang tidak demokratis dan bertentangan dengan
hukum merekayasa terselengaranya apa yang dinamakan "Kongres Medan"
tersebut telah menimbulkan berbagai gejolak memprihatinkan, yang implikasi
negatipnya terwujud dalam pengambil alihan secara paksa gedung Sekretariat DPP PDI di
Jl. Diponegoro No.58 Jakarta dan menimbulkan tragedi politik nasional yang
tersebar keseluruh dunia dan terkenal dengan sebutan "Peristiwa Berdarah 27
Juli 1996".
6. *Bahwa dengan langkah-langkah yang tidak demokratis dan bertentangan
dengan hukum tersebut, maka dukungan yang diberikan oleh para oknum di
dalam lingkungan lembaga negara yang terkait kepada kelompok Soerjadi, menjadi
faktor penentu terjadinya coup de parti/perebutan kekuasan secara paksa di
dalam tubuh PDI. Sedangkan di dalam peristiwa berdarah 27 Juli 1996 itu
sendiri oleh Komnas HAM ditemukan pelanggaran terhadap 6 hak asasi yaitu:
a. Pelanggaran terhadap asas kebebasan berkumpul dan berserikat:
b. Pelanggaran terhadap asas kebebasan dari perlakukan keji;
c. Pelanggaran terhadap asas kebebasan dari rasa takut;
d. Pelanggaran terhadap asas perlindungan jiwa manusia;
e. Pelanggaran terhadap asas perlindungan atas keamanan
pribadi;
f. Pelanggaran terhadap asas perlindungan atas harta benda.*
7. *Bahwa tindakan para oknum didalam lingkungan lembaga negara yang
terkait yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan bertentangan dengan
hukum serta perlakuan yang diskriminatip tersebut telah menyentuh hati
nurani dan sekaligus melahirkan rasa ketidakadilan dikalangan rakyat, yang
menuntut ditegakkannya kebenaran dan keadilan di dalam negara RI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 45 ini. (kutiban habis di sini)
Megawati telah menggunakan kasus kongres Medan sebagai tamengnya untuk
membela dirinya sendiri dan PDI, dan sekaligus juga sebagai peluru untuk
menembak lawan-lawannya. Sebab, justru kasus inilah yang merupakan sumber
kelemahan " para oknum di dalam lingkungan lembaga negara yang terkait"
(menurut bahasa Megawati) dalam menghadapi puteri Bung Karno ini. Bagi
yang memerlukan bahasa yang jelas, perlulah kiranya diterangkan bahwa yang
dimaksudkan oleh Megawati dengan perkataan "oknum" ini adalah, antara lain
: Presiden Suharto, Pangab Feisal Tanjung, Kasosopol Syarwan Hamid,
Mendagri Yogie SM, KSAD Hartono, Jaksa Agung Singgih, Kapolri, dan banyak
pembesar-pembesar militer dan sipil lainnya, yang tersangkut dalam
konspirasi besar-besaran untuk mendudukkan Suryadi dengan cara-cara kotor.
Kongres Medan adalah salah satu dari banyak sumber yang telah melahirkan
berbagai kerusuhan dan keruwetan yang timbul selama dua tahun terakhir ini.
Banyak gejolak telah timbul dalam masyarakat, karena banyak orang melihat
bahwa pemerintah sudah mengingkari norma-norma keadilan dan kejujuran dalam
kasus Medan itu. Banyak orang juga melihat bahwa pemerintah sudah melanggar
hukum karena mengatur penyerbuan terhadap gedung PDI Jalan Diponegoro.
Pendapat umum di dalamnegeri, dan juga luarnegeri, sudah menyaksikan betapa
amburadulnya persidangan aktivis-aktivis PRD di depan pengadilan.
Kasus kongres Medan adalah produk dari pemikiran yang tidak sehat dari
pimpinan negara dan pemerintahan (artinya disini : Presiden Suharto serta
pembesar-pembesar ABRI dan "sipil"). Skenarionya bertitik tolak dari
pandangan yang tidak mengindahkan norma-norma demokratis, dan
penyelenggaraannya dilakukan dengan berbagai rekayasa yang tidak luhur.
Singkatnya, kasus ini adalah projek politik yang berdasarkan perhitungan
yang salah dan berhaluan kebathilan. Dalam hal ini, peranan Presiden
Suharto tidak kecil. Dosanya juga tidak ringan. Sebab, akibatnya adalah
beraneka-ragam, dan, dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah
pemboikotan Megawati terhadap Pemilu yang akan datang ini.
Pemboikotan Megawati adalah tembakan moral dan politik yang tidak boleh
diremehkan oleh pemerintahan Orde Baru. "Message" yang mau disampaikan
kepada umum, di dalamnegeri maupun luarnegeri, adalah bahwa pemilu 1997
adalah tidak sah. Pemilu ini diselenggarakan oleh pemerintah yang sudah
makin kehilangan keabsahannya di mata banyak orang, dan lagi pula, dengan
cara-cara yang dicemari oleh kebathilan. Karenanya, produk, yang dilahirkan
dari segala yang berwajah buruk dan berbau busuk ini tidak bisa lain :
najis dan haram. Yaitu Pemerintahan Orde Baru, yang hakekatnya adalah yang
lama juga, dengan segala segi-segi negatif yang sudah kita kenal selama 30
tahun ini.
Sudah benarlah, karenanya, bahwa Megawati menjauhi barang kotor ini, yang
bernama Pemilu 1997.
Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya ? Mungkin, Presiden Suharto dan
pejabat-pejabat pemerintah akan mencak-mencak, dan melakukan
blunder-blunder (kesalahan besar, dalam bahasa Belanda) baru dalam
menghadapi Pemilu dan periode pasca-Pemilu. Tetapi, perkembangan situasi
di Indonesia, dan juga situasi internasional, sudah makin menjurus tidak
memihak Presiden Suharto beserta sistem pemerintahan Orde Barunya. Dalam
keadaan demikian, pertempuran moral dan politik ini, tentulah, pada
akhirnya, akan dimenangkan oleh Megawati beserta pendukung dan
sekutu-sekutunya. Pemboikotan terhadap Pemilu ini adalah "gebugan"
Megawati yang pertama. Dan tanggal 29 Mei tentu akan ada buntutnya. Kita
tunggu saja tangggal-tanggal mainnya.
Sumber:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/05/23/0024.html
EmoticonEmoticon