Di Balik Kerusuhan Tasikmalaya

June 16, 2014

IN: RPK - Di Balik Kerusuhan Tasikmalaya

From: apakabar@clark.net
Date: Wed Jan 08 1997 - 06:22:00 EST

From: John MacDougall <apakabar@clark.net>
Received: (from apakabar@localhost) by explorer2.clark.net (8.8.4/8.7.1) id KAA07757 for reg.indonesia@conf.igc.apc.org; Wed, 8 Jan 1997 10:21:51 -0500 (EST)
Subject: IN: RPK - Di Balik Kerusuhan Tasikmalaya (1)

Forwarded message:
From owner-indonesia-p@igc.org Tue Jan 7 23:20:56 1997
X-Authentication-Warning: igc7.igc.org: Processed from queue /var/spool/mqueue-maj
Content-Transfer-Encoding: 8bit
Content-Type: text/plain; charset=ISO-8859-1
Date: Tue, 7 Jan 1997 21:17:20 -0500 (EST)
From: indonesia-p@igc.apc.org
MIME-Version: 1.0
Message-Id: <199701080217.VAA28495@clark.net>
Subject: IN: RPK - Di Balik Kerusuhan Tasikmalaya (1)
To: apakabar@clark.net
X-Mailer: ELM [version 2.4 PL24alpha3]
Sender: owner-indonesia-p@igc.apc.org
Precedence: bulk

INDONESIA-P
 [Republika Online] [Image]
                                  [Image]
                           Selasa, 7 Januari 1997


 Di Balik Kerusuhan Tasikmalaya (1): Menimbun Sekam di atas Bara
 Nama Tasikmalaya tiba-tiba saja menjadi terkenal. Kota yang punya 925
 pesantren dan dikenal adem ayem itu 26 Desember 1996 bergolak -- bermula
 dari penganiayaan terhadap seorang ustadz dan dua muridnya oleh empat
 oknum polisi di Mapolres. Pertanyaan pun muncul: mengapa Tasikmalaya
 bergolak? Mengapa Tasikmalaya? Siapa pemicu kerusuhan? Wartawan Republika
 Priyantono Oemar, Djoko Suceno, Irfan Junaidi, dan Burhan Sholihin
 berusaha menelusuri lebih jauh soal itu. Berikut tulisan pertama dari dua
 tulisan.



 Banyak orang kaget di Tasikmalaya meletus kerusuhan yang membuat geger
 nasional. Maklumlah, potret kota Tasikmalaya -- seperti yang diyakini
 banyak orang -- adalah kota yang aman dan jauh dari hingar-bingar politik
 dan kerawanan. Tapi, kenyataan berbicara sebaliknya. Kerusuhan Tasikmalaya
 adalah salah satu buktinya.



 Sebenarnya anggapan banyak orang bahwa Tasikmalaya adalah kota yang tenang
 cukup beralasan. Selama ini tak pernah ada kerusuhan massal di kota yang
 pernah terkenal karena letusan Gunung Galunggung 1982.



 Selain itu, Tasikmalaya memang bak 'anak baik-baik' -- meski usianya sudah
 185 tahun. Kota yang memiliki 64.233 santri dan 1.413 kiai di 925
 pesantren itu telah 11 tahun berturut-turut menempati urutan pertama di
 Jabar dalam hal pengumpulan zakat fitrah. Daerah yang dikenal sebagai
 basis tukang kredit di seluruh Indonesia itu juga telah empat kali
 menyabet penghargaan Adipura. Selangkah lagi, Tasikmalaya akan meraih
 Adipura Kencana -- lambang supremasi tertinggi dalam kebersihan kota.

 Soal kerukunan beragama pun Tasikmalaya tak pernah menyimpan masalah --
 meski jumlah muslim di Tasik, mencapai 99,07 persen, atau 1.809.434 orang.
 

Sementara pemeluk non-Islam meliputi: Katolik 2.821 orang, Protestan 4.355
 orang, pemeluk Hindu 143 orang, penganut Budha 3.736 orang. "Selama ini
 memang tak ada masalah," ujar mantan Ketua Badan Musyawarah Antargereja
 (BAMAG) Tasik, Pendeta Cornelius Eddy.



 Secara ekonomi Tasikmalaya pun berkembang wajar. Walaupun laju pertumbuhan
 ekonomi tak setinggi angka pertumbuhan nasional -- cuma 6,06 persen per
 tahun -- Tasikmalaya mulai menggeliat. Indikator yang gampang dilihat
 adalah menjamurnya bank di jalan-jalan protokol seperti Jl. H.Z. Mustofa
 -- tempat kerusakan terparah. Hingga kerusuhan 26 Desember 1996 ada 61
 bank di antaranya adalah 18 cabang bank umum. Selain itu ada delapan
 cabang perusahaan asuransi yang menyerbu Tasikmalaya. Sejumlah departement
 store terkemuka juga ikut berebut kue bisnis di Tasikmalaya. Contohnya
 Yogya, Matahari, Ramayana.



 "Pertumbuhan ekonomi kita masih rendah, karena itu secara bertahap Tasik
 harus mengembangkan industri," ujar Bupati Tasikmalaya Suljana Wirata H.
 "Kita tak bisa lagi mengandalkan pertanian." Tasikmalaya -- seperti halnya
 kota Pekalongan, Kudus -- yang dikenal sebagai pusat saudagar santri pun
 terus tumbuh dan berubah.



 Perkembangan Tasikmalaya -- dengan segala kelebihan dan kekurangannya --
 ini tak memuaskan semua kalangan. Selama tahun 1996 saja, tanpa disadari
 banyak pihak, ada tiga masalah sebagai 'bara dalam sekam' bagi kota yang
 memiliki penganggur terdaftar di Depnaker sebanyak 7.479 orang itu.

 Tiga masalah itu, menurut catatan Republika meliputi relokasi Pasar Baru,
 sengketa tanah dan bangunan Hotel Priangan antara pribumi dan non-pri, dan
 berlarut-larutnya masalah pencemaran limbah pabrik sabun.



 Dalam relokasi Pasar Baru ini, masyarakat -- terutama para pedagang --
 menilai pihak Pemda setempat lebih memihak kepada kelompok nonpri. Mengapa
 demikian? Para pedagang pribumi umumnya kecewa soal penempatan mereka di
 lokasi baru.



 Kios-kios strategis ternyata banyak dihuni kelompok nonpri. Sedangkan
 kelompok pribumi mendapat kios yang kurang baik. Mereka menuduh telah
 terjadi kolusi pejabat Pemda Tasikmalaya dengan pengusaha nonpri. Para
 pedagang telah beberapa kali menyampaikan keluhan tersebut. Namun
 tanggapan yang diterima tidak memuaskan. Bahkan mereka sempat mendatangi
 DPRD Tk I Jabar untuk mengungkapkan keluhannya.



 Kasus kedua yaitu soal sengketa tanah dan bangunan Hotel Priangan. Kasus
 yang melibatkan pengusaha pribumi dan nonpri ini bahkan harus sampai ke
 meja hijau, dengan keputusan hakim yang memenangkan pengusaha nonpri. Para
 mahasiswa dan pemuda Tasikmalaya ternyata cukup solider menanggapi kasus
 ini. Setiap kali kasus ini disidangkan di pengadilan, ratusan mahasiswa
 dan pemuda menggelar aksi unjuk rasa.

 
 Kasus ketiga tentang pencemaran limbah pabrik sabun Palem. Pencemaran ini
 sempat diprotes masyarakat setempat beberapa kali. Namun protes tersebut
 tetap tidak membuahkan hasil dan pencemaran terus berlangsung. Dalam
 masalah ini kembali pihak Pemda Tasikmalaya tidak bersikap tegas. Tindakan
 Pemda terkesan memihak pengusaha sehingga timbul ketidakpercayaan
 masyarakat terhadap aparat.



 Pelan-pelan para pendatang pun semakin banyak yang menanamkan modal di
 Tasikmalaya. Kehadiran pendatang itu, langsung maupun tak langsung, lambat
 laun meminggirkan penduduk asli. Hanya, kehadiran mereka tak membuat risau
 Bupati Tasik Suljana Wirata. "Siapa yang memiliki mutu terbaik ia akan
 muncul. Kita tak membedakan ia pendatang atau bukan. Kualitas sumberdaya
 manusialah yang menjadi sasaran. Kalau kita lihat dari aspek ideologi,
 kita tak menganut perbedaan ras. Dalam hidup ini kenyataannya adalah
 persaingan. Bukan soal suku bangsa dan perbedaan agama," tutur Suljana
 kepada Republika.



 Maka, ada kaitannya atau tidak, Pangdam III Siliwangi Mayjen Tayo Tarmadi
 menilai, kerusuhan beberapa waktu lalu telah dimanfaatkan oleh orang-orang
 yang tidak puas terhadap kebijakan publik yang diambil Pemda Tasik. Itu
 membuat kerusuhan makin melebar -- jauh dari persoalan kemarahan terhadap
 oknum polisi.



 Munculnya ketimpangan sosial dan kebijakan publik yang menciptakan
 kelompok masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil, menurut Tayo,
 "Dapat diibaratkan sebagai tunas dari berbagai kemungkinan timbulnya
 kerusuhan atau chaos. Apalagi jika Pemda tak melakukan pembenahan
 kebijakan." "Hendaknya, kita camkan bahwa keberhasilan pembangunan itu
 seyogyanya tidak menimbulkan kesenjangan terlalu jauh antara berbagai
 kelompok masyarakat. Kebijakan publik, hendaknya juga jangan menciptakan
 terbentuknya kelompok masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil,"
 ujar Tayo.



 Penilaian senada datang dari Komnas HAM. Menurut Komnas HAM, kerusuhan itu
 ada kaitannya dengan kesenjangan sosial dan ketimpangan dalam pengambilan
 kebijakan publik yang dilakukan Pemda setempat. "Kerusuhan itu terjadi
 antara lain karena adanya kesenjangan sosial. Masyarakat sebagian besar
 merasa ada sebagian kecil masyarakat yang ekonominya lebih baik, dan di
 antara mereka kurang diadakan interaksi," ujar salah seorang anggota
 Komnas HAM Albert Hasibuan.



 Indikasi itu diperkuat dengan data para pelaku kerusuhan. "Sudah jelas
 bahwa kebanyakan para pelaku kerusuhan ini adalah para pengangguran dan
 garong," kata Tayo. Baik Pangdam III/Siliwangi maupun Gubernur Jabar
 Nuriana menolak keterlibatan para santri dalam kerusuhan ini.

 Berdasarkan data yang dimiliki Tayo, dari 173 pelaku yang ditangkap,

 sebanyak 128 orang adalah pengangguran dan garong. "Mereka mempunyai waktu
 dan melihat ada kesempatan untuk mengambil keuntungan sembari melakukan
 perusakan," jelas Tayo. Maka, di keramaian massa yang mengamuk Kamis itu,
 128 orang itu ditangkap ketika sedang memunguti barang-barang di toko yang
 mereka hancurkan.



 Tapi mungkinkah, kalangan pengangguran itu mampu menggerakkan massa --yang
 menurut perhitungan petugas mencapai sekitar 20 ribu? "Siapa pun mereka,
 mereka memahami psikologi massa," ujar Tayo. Menurut jenderal yang hobi
 bertani itu para pelaku kerusuhan juga memakai taktik hit and run. "Setiap
 kali didesak aparat keamanan mereka mundur dan muncul lagi di tempat yang
 lain. Kita masih mencari siapa yang menjadi penggerak massa ini," jelas
 Tayo.



 Dandim 0612 Tasikmalaya Letkol Uyun M. Yunus mengakui, banyak titik rawan
 di wilayahnya. Selanjutnya ia menuduh, "Kota Tasik termasuk daerah rawan
 gerakan politik garis keras." Sebagai bukti ia menyebut potensi sisa-sisa
 gerakan pada masa lalu, yang hingga kini menjadi bahaya laten di wilayah
 Priangan Timur --Tasikmalaya, Garut, Ciamis. Apakah yang ia maksud wilayah
 itu merupakan bekas basis Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo? Apa yang ia
 maksud dengan gerakan politik garis keras?


 Pihak Kodim, menurut Yunus terus melakukan pembinaan, dengan melibatkan
 para ulama. Untuk meredam potensi kerawanan itu, pihak keamanan maupun
 aparat pemerintah terus melakukan pembinaan ke daerah-daerah. "Kami selalu
 melakukan kunjungan ke setiap pesantren setiap hari Jumat," kata Suljana.
 Pihak Kodim pun melakukan hal serupa. "Setiap hari Jumat, kami selalu
 memberikan ceramah di pesantren," ujar Uyun.



 Namun menurut Tayo, fakta-fakta yang dikumpulkan petugas belum menunjukkan
 adanya keterlibatan 'gerakan kelompok radikal' itu. "Belum ada tanda-tanda
 ke arah itu. Penyelidikan pun belum diarahkan ke situ. Tapi kita akan
 terus menggali. Kita berupaya terus menganalisisnya," urai Tayo.



 Jadi adakah sebenarnya penggerak massa itu? Kalau ada, siapakah mereka?
 Apakah bukan tidak mungkin hal ini hasil karya kelompok lain yang tidak
 puas dengan kondisi politik saat ini? Atau karena semata-mata tekanan
 sosial yang menumpuk dan meledak secara massal ketika muncul kesempatan?  



Sumber:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/01/08/0009.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »