IN: RPK - Di Balik Kerusuhan Tasikmalaya
From: apakabar@clark.netDate: Wed Jan 08 1997 - 06:22:00 EST
From: John MacDougall <apakabar@clark.net>
Received: (from apakabar@localhost) by explorer2.clark.net (8.8.4/8.7.1) id KAA07757 for reg.indonesia@conf.igc.apc.org; Wed, 8 Jan 1997 10:21:51 -0500 (EST)
Subject: IN: RPK - Di Balik Kerusuhan Tasikmalaya (1)
Forwarded message:
From owner-indonesia-p@igc.org Tue Jan 7 23:20:56 1997
X-Authentication-Warning: igc7.igc.org: Processed from queue /var/spool/mqueue-maj
Content-Transfer-Encoding: 8bit
Content-Type: text/plain; charset=ISO-8859-1
Date: Tue, 7 Jan 1997 21:17:20 -0500 (EST)
From: indonesia-p@igc.apc.org
MIME-Version: 1.0
Message-Id: <199701080217.VAA28495@clark.net>
Subject: IN: RPK - Di Balik Kerusuhan Tasikmalaya (1)
To: apakabar@clark.net
X-Mailer: ELM [version 2.4 PL24alpha3]
Sender: owner-indonesia-p@igc.apc.org
Precedence: bulk
INDONESIA-P
[Republika Online] [Image]
[Image]
Selasa, 7 Januari 1997
Di Balik Kerusuhan Tasikmalaya (1): Menimbun Sekam di atas Bara
Nama Tasikmalaya tiba-tiba saja menjadi terkenal. Kota yang punya 925
pesantren dan dikenal adem ayem itu 26 Desember 1996 bergolak -- bermula
dari penganiayaan terhadap seorang ustadz dan dua muridnya oleh empat
oknum polisi di Mapolres. Pertanyaan pun muncul: mengapa Tasikmalaya
bergolak? Mengapa Tasikmalaya? Siapa pemicu kerusuhan? Wartawan Republika
Priyantono Oemar, Djoko Suceno, Irfan Junaidi, dan Burhan Sholihin
berusaha menelusuri lebih jauh soal itu. Berikut tulisan pertama dari dua
tulisan.
Banyak orang kaget di Tasikmalaya meletus kerusuhan yang membuat geger
nasional. Maklumlah, potret kota Tasikmalaya -- seperti yang diyakini
banyak orang -- adalah kota yang aman dan jauh dari hingar-bingar politik
dan kerawanan. Tapi, kenyataan berbicara sebaliknya. Kerusuhan Tasikmalaya
adalah salah satu buktinya.
Sebenarnya anggapan banyak orang bahwa Tasikmalaya adalah kota yang tenang
cukup beralasan. Selama ini tak pernah ada kerusuhan massal di kota yang
pernah terkenal karena letusan Gunung Galunggung 1982.
Selain itu, Tasikmalaya memang bak 'anak baik-baik' -- meski usianya sudah
185 tahun. Kota yang memiliki 64.233 santri dan 1.413 kiai di 925
pesantren itu telah 11 tahun berturut-turut menempati urutan pertama di
Jabar dalam hal pengumpulan zakat fitrah. Daerah yang dikenal sebagai
basis tukang kredit di seluruh Indonesia itu juga telah empat kali
menyabet penghargaan Adipura. Selangkah lagi, Tasikmalaya akan meraih
Adipura Kencana -- lambang supremasi tertinggi dalam kebersihan kota.
Soal kerukunan beragama pun Tasikmalaya tak pernah menyimpan masalah --
meski jumlah muslim di Tasik, mencapai 99,07 persen, atau 1.809.434 orang.
Sementara pemeluk non-Islam meliputi: Katolik 2.821 orang, Protestan 4.355
orang, pemeluk Hindu 143 orang, penganut Budha 3.736 orang. "Selama ini
memang tak ada masalah," ujar mantan Ketua Badan Musyawarah Antargereja
(BAMAG) Tasik, Pendeta Cornelius Eddy.
Secara ekonomi Tasikmalaya pun berkembang wajar. Walaupun laju pertumbuhan
ekonomi tak setinggi angka pertumbuhan nasional -- cuma 6,06 persen per
tahun -- Tasikmalaya mulai menggeliat. Indikator yang gampang dilihat
adalah menjamurnya bank di jalan-jalan protokol seperti Jl. H.Z. Mustofa
-- tempat kerusakan terparah. Hingga kerusuhan 26 Desember 1996 ada 61
bank di antaranya adalah 18 cabang bank umum. Selain itu ada delapan
cabang perusahaan asuransi yang menyerbu Tasikmalaya. Sejumlah departement
store terkemuka juga ikut berebut kue bisnis di Tasikmalaya. Contohnya
Yogya, Matahari, Ramayana.
"Pertumbuhan ekonomi kita masih rendah, karena itu secara bertahap Tasik
harus mengembangkan industri," ujar Bupati Tasikmalaya Suljana Wirata H.
"Kita tak bisa lagi mengandalkan pertanian." Tasikmalaya -- seperti halnya
kota Pekalongan, Kudus -- yang dikenal sebagai pusat saudagar santri pun
terus tumbuh dan berubah.
Perkembangan Tasikmalaya -- dengan segala kelebihan dan kekurangannya --
ini tak memuaskan semua kalangan. Selama tahun 1996 saja, tanpa disadari
banyak pihak, ada tiga masalah sebagai 'bara dalam sekam' bagi kota yang
memiliki penganggur terdaftar di Depnaker sebanyak 7.479 orang itu.
Tiga masalah itu, menurut catatan Republika meliputi relokasi Pasar Baru,
sengketa tanah dan bangunan Hotel Priangan antara pribumi dan non-pri, dan
berlarut-larutnya masalah pencemaran limbah pabrik sabun.
Dalam relokasi Pasar Baru ini, masyarakat -- terutama para pedagang --
menilai pihak Pemda setempat lebih memihak kepada kelompok nonpri. Mengapa
demikian? Para pedagang pribumi umumnya kecewa soal penempatan mereka di
lokasi baru.
Kios-kios strategis ternyata banyak dihuni kelompok nonpri. Sedangkan
kelompok pribumi mendapat kios yang kurang baik. Mereka menuduh telah
terjadi kolusi pejabat Pemda Tasikmalaya dengan pengusaha nonpri. Para
pedagang telah beberapa kali menyampaikan keluhan tersebut. Namun
tanggapan yang diterima tidak memuaskan. Bahkan mereka sempat mendatangi
DPRD Tk I Jabar untuk mengungkapkan keluhannya.
Kasus kedua yaitu soal sengketa tanah dan bangunan Hotel Priangan. Kasus
yang melibatkan pengusaha pribumi dan nonpri ini bahkan harus sampai ke
meja hijau, dengan keputusan hakim yang memenangkan pengusaha nonpri. Para
mahasiswa dan pemuda Tasikmalaya ternyata cukup solider menanggapi kasus
ini. Setiap kali kasus ini disidangkan di pengadilan, ratusan mahasiswa
dan pemuda menggelar aksi unjuk rasa.
Kasus ketiga tentang pencemaran limbah pabrik sabun Palem. Pencemaran ini
sempat diprotes masyarakat setempat beberapa kali. Namun protes tersebut
tetap tidak membuahkan hasil dan pencemaran terus berlangsung. Dalam
masalah ini kembali pihak Pemda Tasikmalaya tidak bersikap tegas. Tindakan
Pemda terkesan memihak pengusaha sehingga timbul ketidakpercayaan
masyarakat terhadap aparat.
Pelan-pelan para pendatang pun semakin banyak yang menanamkan modal di
Tasikmalaya. Kehadiran pendatang itu, langsung maupun tak langsung, lambat
laun meminggirkan penduduk asli. Hanya, kehadiran mereka tak membuat risau
Bupati Tasik Suljana Wirata. "Siapa yang memiliki mutu terbaik ia akan
muncul. Kita tak membedakan ia pendatang atau bukan. Kualitas sumberdaya
manusialah yang menjadi sasaran. Kalau kita lihat dari aspek ideologi,
kita tak menganut perbedaan ras. Dalam hidup ini kenyataannya adalah
persaingan. Bukan soal suku bangsa dan perbedaan agama," tutur Suljana
kepada Republika.
Maka, ada kaitannya atau tidak, Pangdam III Siliwangi Mayjen Tayo Tarmadi
menilai, kerusuhan beberapa waktu lalu telah dimanfaatkan oleh orang-orang
yang tidak puas terhadap kebijakan publik yang diambil Pemda Tasik. Itu
membuat kerusuhan makin melebar -- jauh dari persoalan kemarahan terhadap
oknum polisi.
Munculnya ketimpangan sosial dan kebijakan publik yang menciptakan
kelompok masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil, menurut Tayo,
"Dapat diibaratkan sebagai tunas dari berbagai kemungkinan timbulnya
kerusuhan atau chaos. Apalagi jika Pemda tak melakukan pembenahan
kebijakan." "Hendaknya, kita camkan bahwa keberhasilan pembangunan itu
seyogyanya tidak menimbulkan kesenjangan terlalu jauh antara berbagai
kelompok masyarakat. Kebijakan publik, hendaknya juga jangan menciptakan
terbentuknya kelompok masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil,"
ujar Tayo.
Penilaian senada datang dari Komnas HAM. Menurut Komnas HAM, kerusuhan itu
ada kaitannya dengan kesenjangan sosial dan ketimpangan dalam pengambilan
kebijakan publik yang dilakukan Pemda setempat. "Kerusuhan itu terjadi
antara lain karena adanya kesenjangan sosial. Masyarakat sebagian besar
merasa ada sebagian kecil masyarakat yang ekonominya lebih baik, dan di
antara mereka kurang diadakan interaksi," ujar salah seorang anggota
Komnas HAM Albert Hasibuan.
Indikasi itu diperkuat dengan data para pelaku kerusuhan. "Sudah jelas
bahwa kebanyakan para pelaku kerusuhan ini adalah para pengangguran dan
garong," kata Tayo. Baik Pangdam III/Siliwangi maupun Gubernur Jabar
Nuriana menolak keterlibatan para santri dalam kerusuhan ini.
Berdasarkan data yang dimiliki Tayo, dari 173 pelaku yang ditangkap,
sebanyak 128 orang adalah pengangguran dan garong. "Mereka mempunyai waktu
dan melihat ada kesempatan untuk mengambil keuntungan sembari melakukan
perusakan," jelas Tayo. Maka, di keramaian massa yang mengamuk Kamis itu,
128 orang itu ditangkap ketika sedang memunguti barang-barang di toko yang
mereka hancurkan.
Tapi mungkinkah, kalangan pengangguran itu mampu menggerakkan massa --yang
menurut perhitungan petugas mencapai sekitar 20 ribu? "Siapa pun mereka,
mereka memahami psikologi massa," ujar Tayo. Menurut jenderal yang hobi
bertani itu para pelaku kerusuhan juga memakai taktik hit and run. "Setiap
kali didesak aparat keamanan mereka mundur dan muncul lagi di tempat yang
lain. Kita masih mencari siapa yang menjadi penggerak massa ini," jelas
Tayo.
Dandim 0612 Tasikmalaya Letkol Uyun M. Yunus mengakui, banyak titik rawan
di wilayahnya. Selanjutnya ia menuduh, "Kota Tasik termasuk daerah rawan
gerakan politik garis keras." Sebagai bukti ia menyebut potensi sisa-sisa
gerakan pada masa lalu, yang hingga kini menjadi bahaya laten di wilayah
Priangan Timur --Tasikmalaya, Garut, Ciamis. Apakah yang ia maksud wilayah
itu merupakan bekas basis Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo? Apa yang ia
maksud dengan gerakan politik garis keras?
Pihak Kodim, menurut Yunus terus melakukan pembinaan, dengan melibatkan
para ulama. Untuk meredam potensi kerawanan itu, pihak keamanan maupun
aparat pemerintah terus melakukan pembinaan ke daerah-daerah. "Kami selalu
melakukan kunjungan ke setiap pesantren setiap hari Jumat," kata Suljana.
Pihak Kodim pun melakukan hal serupa. "Setiap hari Jumat, kami selalu
memberikan ceramah di pesantren," ujar Uyun.
Namun menurut Tayo, fakta-fakta yang dikumpulkan petugas belum menunjukkan
adanya keterlibatan 'gerakan kelompok radikal' itu. "Belum ada tanda-tanda
ke arah itu. Penyelidikan pun belum diarahkan ke situ. Tapi kita akan
terus menggali. Kita berupaya terus menganalisisnya," urai Tayo.
Jadi adakah sebenarnya penggerak massa itu? Kalau ada, siapakah mereka?
Apakah bukan tidak mungkin hal ini hasil karya kelompok lain yang tidak
puas dengan kondisi politik saat ini? Atau karena semata-mata tekanan
sosial yang menumpuk dan meledak secara massal ketika muncul kesempatan?
Sumber:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/01/08/0009.html
EmoticonEmoticon