Insiden Pembakaran di Situbondo
Massa yang beringas karena vonis pelecehan agama dianggap terlalu rendah, membakar gereja, sekolah, dan pertokoan di Situbondo. Pemerintah dan NU amat menyesalkan aksi tersebut.SEJAK Senin pekan ini, karyawan Pengadilan Negeri Situbondo, Jawa Timur punya kantor darurat. Untuk sementara, rumah dinas hakim ketua dijadikan kantor. Soalnya, gedung PN Situbondo sudah musnah dibakar massa sejak Kamis pekan lalu. Bersama gedung PN ini hancur juga puluhan gedung gereja, sekolah, dan pertokoan di Situbondo, Panarukan, Besuki, dan Asembagus. “Jumlahnya 27 gedung,” ujar Pangdam Brawijaya Mayjen Imam Oetomo pada Abdul Manan dari D&R.
Peristiwa Kamis Kelabu yang disampaikan langsung oleh mensesneg Moerdiono ini amat disesalkan pemerintah. Insiden ini terjadi setelah adanya sidang pelecehan agama Islam oleh seorang penganut agama Islam juga bernama Saleh. Kemarahan massa yang berbau SARA ini menambah daftar pembakaran Gereja di Jawa Timur yang pernah terjadi di Surabaya dan Pare, Kediri, bulan Juni lalu. Kronologis kerusuhan tersebut sebagai berikut:
* 12 September 1996:
Sidang pengadilan Saleh, 28 tahun, yang dianggap menghina agama dan melanggar pasal 156 (a) KUHP dimulai di PN Situbondo. Saleh dilaporkan oleh KH Achmad Zaini, pimpinan pondok Nurul Hikam yang juga tetangga Saleh di Kecamatan Kapongan, Situbondo. Kepada KH Zaini, Saleh menyatakan Allah itu mahluk biasa dan KH As’ad Syamsul Arifin, pendiri pondok pesantren Salafiyah As’syafiiyah, Situbondo, dan ulama NU yang amat dihormati, meninggalnya tidak sempurna, atau dalam bahasa Madura disebut mate takacer.
* 3 Oktober 1996:
Dalam sidang keempat kasus ini, Saleh membantah tuduhan menodai agama Islam. “Saya datang hanya untuk musyawarah dan saya ingin tahu tanggapan Kyai Zaini apakah pendapat saya betul atau tidak,’ kata lulusan SMAN II Situbondo ini. Massa yang antara lain datang dari Besuki, Panarukan, dan Asembagus yang mencapai 1000 orang itu marah. Hadir dalam sidang itu Ny.Aisyah, putri Kyai As’ad yang duduk dengan kaki diangkat ke kursi. Aisyah yang biasa dipanggil Nisa ini tampak marah dan meremas-remas rokok Gudang Garam serta menyalakan korek api sampai habis satu kotak. Ia tak menggubris meskipun diperingati petugas.
Seusai sidang, teriakan “Bunuh Saleh” pun terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh, tapi diamankan puluhan petugas dengan memasukkannya dalam tahanan PN Situbondo. Massa yang sudah kalap kemudian merusak pintu dan jendela tahanan. Sekitar 10 orang membongkar genteng, menjebol plafon, dan berhasil menghajar Saleh dalam selnya. Tindakan ini bisa dihentikan dengan bantuan Ny.Aisyah. Tapi, massa yang ada di luar tahanan, tak mau beranjak. Mereka menuntut Saleh dihukum mati dan merekalah yang akan mengeksekusinya. Teriakan Kapolres Situbondo Letkol Endro Agung sudah tak didengar. Baru setelah Ny.Aisyah berteriak-teriak lewat megaphone mengajak pulang dalam bahasa Madura, massa pun bubar. Saleh diantar ke rutan dalam satu mobil bersama Ny.Aisyah. “Saya sudah tidak dendam pada Saleh,” kata Nisa pada D&R.
* 10 Oktober 1996:
Sidang Saleh yang dijaga oleh 100 orang aparat dari Kodim sudah sampai pada tuntutan jaksa. Ribuan pengunjung dari luar kotaa hadir. Mayoritas adalah Madura pendalungan (pendatang) yang beragama Islam dan jemaah NU. Kabar akan adanya sidang Saleh mereka dengar dari mulut ke mulut, tapi ada sumber yang menyebutkan bahwa KH Zaini yang telah memfotokopi undangan dari PN. Selama sidang, massa tetap tenang. Jaksa menuntut Saleh hukuman 5 tahun penjara sesuai pasal 156 A KUHP tentang penodaan agama.
Tindakan brutal baru terjadi seusai sidang. Sebagian massa yang tak puas dengan tuntutan jaksa dan ingin Saleh dihukum mati, mulai melempari gedung pengadilan dengan batu. Suasana jadi kacau. Seorang petugas Kodim terkena lemparan batu. Teriakan peringatan Komandan Kodim Letkol Imam Prawoto tidak digubris. Batu-batu terus berjatuhan setelah ada aparat yang membalas aksi massa ini. Karena terdesak, aparat masuk ke dalam gedung. Massa yang sudah kalap terus merangsek. Aparat dan para hakim, termasuk Erman Tanri, ketua PN Situbondo yang keningnya luka kena lemparan batu, melarikan diri lewat sungai di belakang gedung PN. Saleh pun diselamatkan ke arah belakang.
Entah siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat gedung PN. Isu bahwa hakim yang mengadili ada yang Krsiten pun merebak. “Padahal 3 hakim dan jaksa yang mengadili Saleh semua beragam Islam,” kata Erman Tanri.Massa yang marah kemudian membakar 3 mobil di depan gedung PN milik kejaksaan dan anggota Polres serta sebuah sepeda motor. Pesawat televisi pun dibakar. Akhirnya, gedung PN pun membara. Massa pun bergerak ke Gereja Bukit Sion. Berbekal bensin dari pom bensin di depan gereja dan dari kendaraan-kendaraan bermotor yang dihentikan, mereka membakar gereja setelah lebih dulu menguras isinya.
Ribuan massa yang puas dengan aksinya ini pun lalu mencari sasaran lainnya. Gereja GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) yang terletakd I sebelah Polres semula akan jadi sasaran berikutnya, tapi pembakaran gagal karena dicegah oleh petugas anti huru hara. Hanya pagar dan papan nama gereja saja yang sempat dirusak.
Karena diblokir, massa lalu bergerak ke Jalan WR Supratman. Mereka membakar bangunan SD dan SMP Katholik dan Gereja Maria Bintang Samudra. Gereja Krsiten Jawi Wetan (GKJW) dan gedung TK/SD/SMP Kristen Imanuel jadi sasaran berikutnya. “Untung, murid-murid sudah kami pulangkan. Kalau tidak, wah ngeri saya membayangkan,” kata seorang guru SMPK.
Massa bergerak lagi ke arah timur. Gereja Pantekosta dan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Jalan A.Yani jadi sasaran berikutnya. Tak hanya gereja dan bangunan sekolah Kristen saja yang diincar, rumah makan Malang dan pertokoan Tanjungsari pun tak luput dari perusakan.
Malapetaka terjadi pada sasaran berikutnya, yaitu rumah pendeta dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) “Bahtera Kasih”. Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ishak Kristian, 71 tahun, isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian, 23 tahun. Juga keponakannya Nova Samuel dan Rita Karyawati yang sedang magang pendeta di sana. Mereka tak berani keluar dan akhirnya terbakar di dalam rumah.
Menurut Sanidin, ketua RT 3/RW 3 Kampung Mimba’an, Desa Panji yang rumahnya bersebelahan dengan GPPS, ketika gereja itu dibakar masyarakat tidak ada yang bisa melakukan pertolongan. Bahkan, ketika Sanidin berusaha menyiram api yang hampir membakar rumahnya, ia dimarahi massa. Tapi, Sanidin berkilah bahwa ia menyirami rumahnya sendiri. Sebenarnya, ketika GPPS membara, ada 10 orang yang ada di dalam. Namun, dua pembantu bisa menyelamatkan diri dengan naik ke atas atap dan meluncur ke rumah tetangga lewat pipa. Walau salah satu lengan pembantu ini terbakar, tapi ia selamat. Sanidin menduga pendeta Ishak yang dikenal sebagai orang baik semasa hidupnya itu tidak bisa menyelamatkan diri karena berusaha melindungi isterinya yang lumpuh karena rematik.
Saat itu tak ada seorang petugas pun yang bisa mencegah kebrutalan massa. Massa malah ikut mengajak para pelajar SMEA yang letaknya di depan GPPS ini untuk membakar gereja. “Kalau kalian santri, ayo ikut bakar gereja,” begitu kata seorang massa. Tapi, para pelajar itu tak menurutinya.
Sanidin tidak tahu massa itu berasal dari mana. “Saya tak kenal mereka,” ujarnya. Setelah membakar gereja, sebagian massa naik 3 truk ke arah timur. Diduga menuju Asembagus. Lainnya menyebar ke Jalan Argopuro dan membakar salah satu rumah pendeta yang juga dijadikan gereja. Massa masih bergerak menuju pertokoan Mimba’an Baru di depan terminal Situbondo. Selain rumah bilyar, mereka juga merusak gedung bioskop.
Ketika merusak pertokoan inilah, satu kompi senapan Yonif 514 datang. Petugas yang langsung memukuli dan mengangkut orang yang dianggap sebagai biang kerusuhan membuat massa lari tunggang langgang.Sebagian lari ke Gang Karisma dan masih sempat-sempatnya membakar rumah anak yatim di bawah asuhan Yayasan Buah Hati. Sebagian massa lainnya lari ke Jalan Jakas Agung Suprapto dan di sana membakar TK Santa Theresia dan sebuah susteran. Tragedi Situbondo ini baru benar-benar berhenti pada pukul 15.00.
Namun, aksi massa menjalar ke daerah sekitarnya. Di Asembagus dan Besuki, yang jaraknya lebih dari 30 kilometer ke arah timur Situbondo, mereka membakar 3 gereja, sedang di Kecamatan Banyuputih ada 6 gereja dan sebuah rumah pendeta yang dibumi hanguskan. Massa juga bergerak ke arah barat. Sejak pukul 15.00 sampai magrib, massa beraksi di Panarukan -6 kilometer dari Situbondo- dan membakar 2 gereja. Dari sana, mereka bergerak ke Besuki yang jaraknya hampir 30 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja, sebuah klenteng, serta merusak sebuah toko di alun-alun. Aksi bakar hangus ini baru benar-benar reda pada pukul 23.00.
Aparat keamanan dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo menjelang magrib. Malam itu juga 120 orang ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang. Dari jumlah sekian, 11 diantaranya pelajar dari STM, SMA, dan SMEA Ibrahimi yang ketua yayasannya dipegang oleh KH Fawaid, salah satu putra KH As’ad. “Kami pengurus sekolah merasa malu pada masyarakat dan pengasuh pondok, tapi mereka hanya ikut-ikutan,” kata seorang guru pada D&R. Selain pelajar, juga ditahan sejumlah santri dari pondok Wali Songo, Mimba’an dan “anjal” alias anak jalanan, sebuah perkumpulan bekas preman yang dibina oleh KH Cholil, juga salah satu putra KH As’ad.
Malam itu diadakan pertemuan antara Kasdam Brawijaya Brigjen Muchdi, kapolwil Besuki, Danrem Malang, Muspida Situbondo, dan para ulama. Kasdam meminta ulama untuk menenangkan suasana. Pertemuan serupa diadakan oleh Pangdam Imam Oetomo esok harinya. “Semua pelaku akan diusut tuntas,’ tandas Pangdam.
Zed Abidien
D&R, Edisi 961019-010/Hal. 10 Rubrik Peristiwa & Analisa
Sumber:
http://jurnalis.wordpress.com/1996/10/19/insiden-pembakaran-di-situbondo-2/
* 12 September 1996:
Sidang pengadilan Saleh, 28 tahun, yang dianggap menghina agama dan melanggar pasal 156 (a) KUHP dimulai di PN Situbondo. Saleh dilaporkan oleh KH Achmad Zaini, pimpinan pondok Nurul Hikam yang juga tetangga Saleh di Kecamatan Kapongan, Situbondo. Kepada KH Zaini, Saleh menyatakan Allah itu mahluk biasa dan KH As’ad Syamsul Arifin, pendiri pondok pesantren Salafiyah As’syafiiyah, Situbondo, dan ulama NU yang amat dihormati, meninggalnya tidak sempurna, atau dalam bahasa Madura disebut mate takacer.
* 3 Oktober 1996:
Dalam sidang keempat kasus ini, Saleh membantah tuduhan menodai agama Islam. “Saya datang hanya untuk musyawarah dan saya ingin tahu tanggapan Kyai Zaini apakah pendapat saya betul atau tidak,’ kata lulusan SMAN II Situbondo ini. Massa yang antara lain datang dari Besuki, Panarukan, dan Asembagus yang mencapai 1000 orang itu marah. Hadir dalam sidang itu Ny.Aisyah, putri Kyai As’ad yang duduk dengan kaki diangkat ke kursi. Aisyah yang biasa dipanggil Nisa ini tampak marah dan meremas-remas rokok Gudang Garam serta menyalakan korek api sampai habis satu kotak. Ia tak menggubris meskipun diperingati petugas.
Seusai sidang, teriakan “Bunuh Saleh” pun terdengar. Massa berusaha mengeroyok Saleh, tapi diamankan puluhan petugas dengan memasukkannya dalam tahanan PN Situbondo. Massa yang sudah kalap kemudian merusak pintu dan jendela tahanan. Sekitar 10 orang membongkar genteng, menjebol plafon, dan berhasil menghajar Saleh dalam selnya. Tindakan ini bisa dihentikan dengan bantuan Ny.Aisyah. Tapi, massa yang ada di luar tahanan, tak mau beranjak. Mereka menuntut Saleh dihukum mati dan merekalah yang akan mengeksekusinya. Teriakan Kapolres Situbondo Letkol Endro Agung sudah tak didengar. Baru setelah Ny.Aisyah berteriak-teriak lewat megaphone mengajak pulang dalam bahasa Madura, massa pun bubar. Saleh diantar ke rutan dalam satu mobil bersama Ny.Aisyah. “Saya sudah tidak dendam pada Saleh,” kata Nisa pada D&R.
* 10 Oktober 1996:
Sidang Saleh yang dijaga oleh 100 orang aparat dari Kodim sudah sampai pada tuntutan jaksa. Ribuan pengunjung dari luar kotaa hadir. Mayoritas adalah Madura pendalungan (pendatang) yang beragama Islam dan jemaah NU. Kabar akan adanya sidang Saleh mereka dengar dari mulut ke mulut, tapi ada sumber yang menyebutkan bahwa KH Zaini yang telah memfotokopi undangan dari PN. Selama sidang, massa tetap tenang. Jaksa menuntut Saleh hukuman 5 tahun penjara sesuai pasal 156 A KUHP tentang penodaan agama.
Tindakan brutal baru terjadi seusai sidang. Sebagian massa yang tak puas dengan tuntutan jaksa dan ingin Saleh dihukum mati, mulai melempari gedung pengadilan dengan batu. Suasana jadi kacau. Seorang petugas Kodim terkena lemparan batu. Teriakan peringatan Komandan Kodim Letkol Imam Prawoto tidak digubris. Batu-batu terus berjatuhan setelah ada aparat yang membalas aksi massa ini. Karena terdesak, aparat masuk ke dalam gedung. Massa yang sudah kalap terus merangsek. Aparat dan para hakim, termasuk Erman Tanri, ketua PN Situbondo yang keningnya luka kena lemparan batu, melarikan diri lewat sungai di belakang gedung PN. Saleh pun diselamatkan ke arah belakang.
Entah siapa yang menyulut, ada massa yang berteriak bahwa Saleh dilarikan ke Gereja Bukit Sion yang terletak sekitar 200 meter sebelah barat gedung PN. Isu bahwa hakim yang mengadili ada yang Krsiten pun merebak. “Padahal 3 hakim dan jaksa yang mengadili Saleh semua beragam Islam,” kata Erman Tanri.Massa yang marah kemudian membakar 3 mobil di depan gedung PN milik kejaksaan dan anggota Polres serta sebuah sepeda motor. Pesawat televisi pun dibakar. Akhirnya, gedung PN pun membara. Massa pun bergerak ke Gereja Bukit Sion. Berbekal bensin dari pom bensin di depan gereja dan dari kendaraan-kendaraan bermotor yang dihentikan, mereka membakar gereja setelah lebih dulu menguras isinya.
Ribuan massa yang puas dengan aksinya ini pun lalu mencari sasaran lainnya. Gereja GPIB (Gereja Protestan Indonesia Barat) yang terletakd I sebelah Polres semula akan jadi sasaran berikutnya, tapi pembakaran gagal karena dicegah oleh petugas anti huru hara. Hanya pagar dan papan nama gereja saja yang sempat dirusak.
Karena diblokir, massa lalu bergerak ke Jalan WR Supratman. Mereka membakar bangunan SD dan SMP Katholik dan Gereja Maria Bintang Samudra. Gereja Krsiten Jawi Wetan (GKJW) dan gedung TK/SD/SMP Kristen Imanuel jadi sasaran berikutnya. “Untung, murid-murid sudah kami pulangkan. Kalau tidak, wah ngeri saya membayangkan,” kata seorang guru SMPK.
Massa bergerak lagi ke arah timur. Gereja Pantekosta dan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Jalan A.Yani jadi sasaran berikutnya. Tak hanya gereja dan bangunan sekolah Kristen saja yang diincar, rumah makan Malang dan pertokoan Tanjungsari pun tak luput dari perusakan.
Malapetaka terjadi pada sasaran berikutnya, yaitu rumah pendeta dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) “Bahtera Kasih”. Di dalam rumah itu tinggal pendeta Ishak Kristian, 71 tahun, isterinya Ribka Lena, 68 tahun, dan anaknya Elisabeth Kristian, 23 tahun. Juga keponakannya Nova Samuel dan Rita Karyawati yang sedang magang pendeta di sana. Mereka tak berani keluar dan akhirnya terbakar di dalam rumah.
Menurut Sanidin, ketua RT 3/RW 3 Kampung Mimba’an, Desa Panji yang rumahnya bersebelahan dengan GPPS, ketika gereja itu dibakar masyarakat tidak ada yang bisa melakukan pertolongan. Bahkan, ketika Sanidin berusaha menyiram api yang hampir membakar rumahnya, ia dimarahi massa. Tapi, Sanidin berkilah bahwa ia menyirami rumahnya sendiri. Sebenarnya, ketika GPPS membara, ada 10 orang yang ada di dalam. Namun, dua pembantu bisa menyelamatkan diri dengan naik ke atas atap dan meluncur ke rumah tetangga lewat pipa. Walau salah satu lengan pembantu ini terbakar, tapi ia selamat. Sanidin menduga pendeta Ishak yang dikenal sebagai orang baik semasa hidupnya itu tidak bisa menyelamatkan diri karena berusaha melindungi isterinya yang lumpuh karena rematik.
Saat itu tak ada seorang petugas pun yang bisa mencegah kebrutalan massa. Massa malah ikut mengajak para pelajar SMEA yang letaknya di depan GPPS ini untuk membakar gereja. “Kalau kalian santri, ayo ikut bakar gereja,” begitu kata seorang massa. Tapi, para pelajar itu tak menurutinya.
Sanidin tidak tahu massa itu berasal dari mana. “Saya tak kenal mereka,” ujarnya. Setelah membakar gereja, sebagian massa naik 3 truk ke arah timur. Diduga menuju Asembagus. Lainnya menyebar ke Jalan Argopuro dan membakar salah satu rumah pendeta yang juga dijadikan gereja. Massa masih bergerak menuju pertokoan Mimba’an Baru di depan terminal Situbondo. Selain rumah bilyar, mereka juga merusak gedung bioskop.
Ketika merusak pertokoan inilah, satu kompi senapan Yonif 514 datang. Petugas yang langsung memukuli dan mengangkut orang yang dianggap sebagai biang kerusuhan membuat massa lari tunggang langgang.Sebagian lari ke Gang Karisma dan masih sempat-sempatnya membakar rumah anak yatim di bawah asuhan Yayasan Buah Hati. Sebagian massa lainnya lari ke Jalan Jakas Agung Suprapto dan di sana membakar TK Santa Theresia dan sebuah susteran. Tragedi Situbondo ini baru benar-benar berhenti pada pukul 15.00.
Namun, aksi massa menjalar ke daerah sekitarnya. Di Asembagus dan Besuki, yang jaraknya lebih dari 30 kilometer ke arah timur Situbondo, mereka membakar 3 gereja, sedang di Kecamatan Banyuputih ada 6 gereja dan sebuah rumah pendeta yang dibumi hanguskan. Massa juga bergerak ke arah barat. Sejak pukul 15.00 sampai magrib, massa beraksi di Panarukan -6 kilometer dari Situbondo- dan membakar 2 gereja. Dari sana, mereka bergerak ke Besuki yang jaraknya hampir 30 kilometer dari Situbondo dan membakar 2 gereja, sebuah klenteng, serta merusak sebuah toko di alun-alun. Aksi bakar hangus ini baru benar-benar reda pada pukul 23.00.
Aparat keamanan dari lokasi seputar kerusuhan baru berdatangan ke Situbondo menjelang magrib. Malam itu juga 120 orang ditangkap dan diseleksi menjadi 46 orang. Dari jumlah sekian, 11 diantaranya pelajar dari STM, SMA, dan SMEA Ibrahimi yang ketua yayasannya dipegang oleh KH Fawaid, salah satu putra KH As’ad. “Kami pengurus sekolah merasa malu pada masyarakat dan pengasuh pondok, tapi mereka hanya ikut-ikutan,” kata seorang guru pada D&R. Selain pelajar, juga ditahan sejumlah santri dari pondok Wali Songo, Mimba’an dan “anjal” alias anak jalanan, sebuah perkumpulan bekas preman yang dibina oleh KH Cholil, juga salah satu putra KH As’ad.
Malam itu diadakan pertemuan antara Kasdam Brawijaya Brigjen Muchdi, kapolwil Besuki, Danrem Malang, Muspida Situbondo, dan para ulama. Kasdam meminta ulama untuk menenangkan suasana. Pertemuan serupa diadakan oleh Pangdam Imam Oetomo esok harinya. “Semua pelaku akan diusut tuntas,’ tandas Pangdam.
Zed Abidien
D&R, Edisi 961019-010/Hal. 10 Rubrik Peristiwa & Analisa
Sumber:
EmoticonEmoticon