15 Tahun Menunda, Tapi Tidak Lupa (Mei 1998)

June 17, 2014

15 Tahun Menunda, Tapi Tidak Lupa (Mei 1998)

15 tahun yang lalu hari ini, sebuah tragedi melumpuhkan nalar dan hati kita di Jakarta. Hari-hari yang paling menakutkan dalam sejarah hidup saya sebagai seorang perempuan Tionghoa di Indonesia, di mana naluri saya terasa terjambak untuk kemudian bertanya secara kritis apa makna menjadi seorang "Indonesia". 

Sejujurnya, saya bukan seorang perempuan yang mudah takut. Sebagai seorang siswi di sebuah SMP Katolik di daerah Pecinan, saya sudah terbiasa "tawuran" dan berkelahi dengan lawan jenis yang secara fisik lebih besar dari saya. Tapi 15 tahun lalu, saya mengenal rasa takut yang begitu melumpuhkan.

15 tahun sudah lewat, 15 tahun saya menunda-nunda menulis tentang kejadian saat itu dan tentang timbunan amarah, kesedihan, rasa syukur dan harapan sepanjang 15 tahun ini yang menjadikan saya seperti apa adanya sekarang - dari perempuan Katolik kelas menengah Tionghoa yg memilih menjadi peneliti di thinktank dengan sejarah kontroversial demi Indonesia yg lebih baik. 

Paling tidak 6 tahun sudah lewat di mana saya sedang berjuang menyelesaikan studi di Tiongkok, sebuah negara di mana kerusuhan Mei 98 merupakan "label populer" bagi Indonesia - Indonesia yang "bengis", Indonesia yang "kejam", Indonesia yang "kotor dan menjijikan", Indonesia yang "anti-Cina". Sepanjang 6 tahun tersebut, hampir setiap kali orang Tiongkok mengetahui saya adalah Tionghoa Indonesia, mereka selalu merasa "kasihan" pada saya karena saya (Tionghoa) selalu diperlakukan seperti kotoran di negara saya sendiri. 

Saya selalu mencari cara untuk mengikis stigma "Mei 98" itu dalam rangka memperkuat Kemitraan Strategis antara Indonesia dan Tiongkok. Bukan hal yang mudah dilakukan. Berkali-kali saya katakan kepada mereka, "Indonesia sekarang sudah berbeda dengan Indonesia di Mei 98. Situasi Tionghoa sudah berubah, kalian jangan lagi benci atau takut pada Indonesia." Dari jawaban mereka, "O ya? Benarkah? Aman sekarang?" dll dll, entah mereka benar percaya ucapan saya atau tidak. 

Mungkin mereka lebih percaya omongan saya sebagai seorang keturunan Tionghoa daripada koran yang mereka baca, atau ucapan pejabat pemerintah Indonesia yang mereka temui, atau justru masih tidak terlalu percaya. 

Dengan penyesalan yang sebesar-besarnya, untuk sekarang ini, saya masih belum bisa menulis tentang apa yang terjadi 15 tahun lalu di rumah saya. Jangan tanya kenapa. Tapi yang jelas, saya dan keluarga masih terhitung "beruntung" dibandingkan keluarga-keluarga yang lain saat itu. Saya ingin menulis tentang itu, menulis sesuatu yang berarti, tapi belum bisa rasanya. 

Saya pernah membuat sebuah tulisan singkat saat awal membuat blog ini, yang hanya menyebut secara sepintas tentang kejadian saat itu. Tapi blog itu hanya berupa nostalgia, tanpa agenda, tanpa misi... Hanya sejumput paragraf pembuka untuk menjadi seorang blogger yang sedang bermimpi. Tidak cukup berarti rasanya.

Saat ini, saya hanya bisa meng-copy-paste status Mbak Dewi yang mengajak kita semua untuk TIDAK LUPA, tidak lupa pada perempuan Tionghoa yang menjadi korban perkosaan, pada komunitas Tionghoa, pada korban kerusuhan terlepas dari latar belakang etnis atau agama atau lainnya, pada para pelaku kejahatan, terutama para anjing-anjing politik elit yang saat ini merasa di atas angin dan merasa dirinya berpeluang menjadi pimpinan tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia terlepas dari peran mereka dalam kejadian 15 tahun yang lalu. 

Catatan rekaman peristiwa 15 tahun yang lalu ini ditulis oleh seorang sahabat perempuan yang berjiwa besar dan berhati bersih, Dewi Tjakrawinata. Saya mendapat kehormatan dan kesukacitaan mengenal perempuan hebat ini dari pengalaman membantu advokasi RUU kewarganegaraan beberapa saat sebelum kemudian menjadi UU di tahun 2006. 

Tindakan Mbak Dewi untuk memberikan tiketnya kepada seorang perempuan Tionghoa dan ibunya yang ketakutan mengingatkan saya pada seorang ibu tua yang menjadikan dirinya tameng bagi keluarga saya saat rumah kami diserang.

Mereka bukan Tionghoa, tapi mereka perempuan.

Sesama perempuan yang tergerak hatinya untuk memberikan perlindungan kepada kaumnya.

Kehadiran perempuan-perempuan macam Mbak Dewi, ibu tua yang saya tidak pernah tahu namanya, dan perempuan-perempuan lain yang berjuang untuk tidak lupa dan memberikan penghiburan dan juga keadilan bagi para korban itulah bagian dari esensi kebajikan Indonesia sejati yang mengawal keyakinan saya kalau Indonesia akan menjadi lebih baik, suatu saat nanti.

Maaf jika masih harus menunda menulis pengalaman 15 tahun lalu, tapi saya tidak lupa, dan saya berterima kasih pada Mbak Dewi yang sudah mengingatkan saya.

Berikut uraian status Facebook beliau:

"15 tahun lalu di sebuah hotel di Singapura, aku terduduk memandang dengan tidak percaya siaran televisi Indonesia: amuk massa, chaos. Itu Negara ku, itu kotaku, itu bangsaku, bedil itu.... . Aku menyuruh Kevin yang saat itu berumur 5 tahun untuk pergi ke tempat temannya yang menginap di hotel yang sama. Aku tidak mau ia punya kenangan buruk tentang negara ibunya. Morgan dalam kandungan ku. Kami dipaksa mengungsi dari Jakarta karena perusahaan di mana Pol bekerja saat itu tidak berani ambil resiko dan tidak bisa menjamin keselamatan keluarga expatriate yang ada di Indonesia. Sampai saat ini aku masih ingat situasi ketika kami berangkat beberapa hari sebelumnya. Sebelumnya kami semua di tempatkan di sebuah hotel yang dijaga sangat ketat dengan tank dan tentara yang siap tembak dengan senjata laras panjang. Pada hari keberangkatan kami di bawa dengan 3-4 bus besar yang dikawal panser. Sepanjang jalan Semanggi menuju bandara kami melihat asap dan api di mana2; ruko-ruko yang dijarah kemudian dibakar tapi juga sepi yang menghujam: ini kota kelahiranku? Ponsel tidak berfungsi, sebelum berangkat aku hanya sempat bicara dengan ibuku untuk saling menguatkan dan mendoakan. Di bus kami itu hanya aku dan sopir yang orang Indonesia. Sesak dada dan kehabisan kata untuk menjawab pertanyaan keluarga lain. Aku juga tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Adakah teman yang tahu saat itu juga apa yang terjadi ? Di bandara ke chaos an menjadi luar biasa. Ini bukan bandara tapi tempat pengungsian ratusan ribu orang sepertinya tumplek di sana. Tidak ada yang percaya setiap kali aku ceritakan kemudian, bahwa pegawai penerima uang fiscal sampai terjepit di antara tumpukan rupiah yang menggunung. Pada saat terakhir GM perusahaan di mana Pol bekerja memintanya untuk tinggal dan meneruskan membantu proses pengungsian, karena ia satu2nya expat yang lancar berbahasa Indonesia. Aku sempat menawarkan tiketku dan Kevin ke seorang perempuan muda keturunan Tionghoa dan ibunya yang menangis terus hampir histeris. Saking chaosnya bahkan tiket kami pun tidak ada namanya. Kami sudah meneyerahkan tiket kami ketika tiba-tiba si perempuan tersadar dan hampir terjatuh, mengatakan : terima kasih mba, tapi kami tidak bisa berangkat ibu saya tidak punya paspor. Si ibu menggelosor dan menyuruh anaknya saja yang berangkat sambil melolong. Saya bahkan tidak sempat menanyakan apa-apa lagi karena panitia pengungsian kemudian mendorong saya untuk masuk ke ruang tunggu. Lama sesudahnya dan sampai sekarang setiap kali tragedi Mei diangkat saya ingat wajah perempuan muda itu dan ibunya. Di manakah mereka ? #menolak lupa dengan apa yang terjadi dengan perempuan keturunan Tionghoa"

Jangan lupa akan Mei 1998, jangan lupa akan semua tindak pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi dalam sejarah tanah air kita.

Jangan lupa. 


Sumber:
http://cstjhin.blogspot.com/2013/05/15-tahun-menunda-tapi-tidak-lupa.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »