ISU KERUSUHAN SENGAJA DILEMPAR APARAT KEAMANAN

June 16, 2014

SiaR---ISU KERUSUHAN SENGAJA DILEMPAR APARAT KEAMANAN



ISU KERUSUHAN SENGAJA DILEMPAR APARAT KEAMANAN

JAKARTA (SiaR, 14/8/98), Isu akan terjadinya kerusuhan menjelang perayaan
HUT Kemerdekaan RI ke-53 pada 17 Agustus 1998, merupakan produk "propaganda
hitam'" (black propaganda) aparat keamanan. Hal itu ditegaskan sejumlah
aktivis pro-demokrasi dan dibenarkan seorang pensiunan perwira tinggi yang
dihubungi SiaR di Jakarta, Jum'at (14/8) ini.

Seorang pensiunan perwira tinggi, yang kini aktif di YAPETA menegaskan,
bahwa berbagai pernyataan pejabat pemerintah akhir-akhir ini tentang adanya
isu akan terjadinya kerusuhan menjelang 17 Agustus 1998 merupakan bagian
dari upaya rejim untuk tetap melestarikan pentingnya "pendekatan keamanan",
yang justru secara sengaja dilemparkan aparat keamanan sendiri.

"Dalam operasi intelijen militer dikenal istilah 'black propaganda', yang
tujuannya memenangkan opini publik, sekaligus memojokkan musuh-musuh
potensialnya. Dalam konteks di sini, maka musuh-musuh itu adalah para
aktivis pro-demokrasi yang dianggap potensial menggoyahkan rejim Habibie,"
ujarnya.

Tentang adanya bantahan, juga dari para pejabat tentang isu kerusuhan itu,
pengurus YAPETA itu menilai, justru sebagai satu paket dengan pernyataan
adanya isu kerusuhan itu. "Nah, lihat saja, media massa tanpa disadari turut
menari dengan genderang yang ditabuh pejabat pemerintah kan. Jadi suasana
teror itu bahkan lebih terdramatisasi," katanya.

Menurutnya, dengan melempar isu, sekaligus membantahnya, akan adanya
kerusuhan, selain tujuan jangka panjangnya demi melestarikan pendekatan
keamanan, juga dalam jangka pendek menciptakan "shock therapy" di masyarakat.

"Masyarakat jadi beranggapan, aparat keamanan harus aktif melindungi
mereka dari ancaman kerusuhan. Itu artinya legitimasi pendekatan keamanan
diterima masyarakat, tanpa masyarakat menyadari kepentingan politik penguasa
di balik semua itu," lanjutnya.

Senada dengan dia, seorang aktivis Komite Pendukung Megawati (KPM) yang
ditemui seusai berdemo di Gedung Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Kamis
(13/8) kemarin, meminta masyarakat untuk mengkritisi setiap ucapan pejabat
pemerintah, termasuk aparat keamanan, mengenai ancaman kerusuhan. Menurut
dia, di balik ucapan-ucapan pejabat tersebut, ada upaya sistematis untuk
selalu menempatkan rakyat dalam posisi "tertuduh".

"Bahwa rakyat tak bisa diatur, selalu potensial membuat kerusuhan atau
makar. Pokoknya melecehkan kecerdasan rakyat dan merendahkan norma
keberadaban rakyat," tegasnya. Aktivis KPM itu lalu mencontohkan, peringatan
dua tahun Tragedi 27 Juli 1996 baru-baru ini yang berlangsung tertib dan
damai tanpa keributan, menunjukkan bukti bahwa rakyat dapat berdemokrasi
dengan baik dan benar.

"Para pejabat rejim Soeharto dan penerusnya, rejim Habibie, tampaknya
meng-under-estimate tingkat pemahaman rakyat dalam berdemokrasi, yang
sebenarnya jauh lebih berkualitas dibanding pejabatnya sendiri," tegasnya.

Ia lalu menunjukkan rangkaian kerusuhan selama ini, sejak tragedi 27 Juli
1996, Situbondo, Pasuruan, Tasikmalaya dan Rengasdengklok, hingga Jakarta
medio Mei 1998, selalu menghasilkan hipotesis, bahwa kerusuhan digerakkan
oleh kelompok-kelompok terorganisir yang "bermain" untuk kepentingan politik
golongan elite politik tertentu. Sebagai contoh, aktivis KPM yang juga
anggota Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) itu
menyebutkan, bahwa Buku Putih NU dan Laporan investigasi Tim Relawan
Kemanusiaan sebagai buktinya.

"Juga analisis pakar-pakar politik yang memperkuat hipotesis tersebut,"
katanya.

Beberapa bulan lalu menjelang kejatuhan Soeharto, isu-isu ditaruhnya bom di
berbagai gedung, mal, perkantoran, dan sejumlah bank di Jakarta sempat
merepotkan masyarakat. Tapi, menurut sejumlah pengelola gedung dan pejabat
bank-bank swasta yang diancam itu, datangnya aparat keamanan, tim gegana
Polri dan militer, untuk mengamankan lokasi biasanya disertai dengan "ucapan
terimakasih" dari pengelola gedung dan pejabat bank-bank tersebut, berupa
pemberian uang puluhan juta rupiah.

"Biasanya besarnya antara 15 juta hingga 30 juta rupiah," ucap seorang
pejabat Bank Bapindo di Jalan Gatot Subroto yang kantornya pernah diancam
pemboman, persis di sebelah Polda Metro Jaya. Banyak dari pengelola gedung
dan pejabat perbankan yang curiga, isu peledakan bom itu justru diproduksi
oleh aparat keamanan sendiri. "Sekali kayuh, satu dua pulau terlampaui,"
kata pejabat Bapindo itu lagi dengan sarkastis.*** 
 
 
Sumber:
http://www.minihub.org/siarlist/msg00564.html 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »