Peristiwa 1996
Jumat, 01 April 2011
Rengasdengklok, 70 kilometer arah Timur kota Jakarta, adalah kota bersejarah. Menjelang proklamasi kemerdekaan di tahun 1945, para pemuda menculik Soekarno dan Hatta dari Jakarta ke kota itu. Keduanya "dipaksa" menyusun naskah proklamasi.Sejak tahun 1996, Rengasdengklok adalah kota ketiga yang menjadi korban kerusuhan berbau SARA, setelah Situbondo dan Tasikmalaya.
di Rengasdengklok, pemicu urusan ini sebenarnya sepele, Yaitu: warga keturunan Cina menegur pemuda-pemuda yang bersemangat membangunkan warga untuk makan sahur.
Kamis dinihari itu, sekitar pukul 02.00, sejumlah pemuda Kampung Warungdoyong biasa memukul bedug untuk membangunkan warga. Kebetulan, bedug di Musala Miftahul Jannah berhadapan dengan rumah warga keturunan yang juga pengusaha setempat bernama Kim Tjai.
Sejak awal Ramadhan, Kim tak pernah protes. Tapi memasuki hari ke-21 puasa, Ramadhan, tiba-tiba Kim merasa keberatan dan terganggu atas suara bedug itu. Sedangkan isterinya, Encik Giok, dikabarkan memaki-maki pemuda musala itu dengan kata-kata kasar. Saat itu juga keberatan Kim dan keluarganya dapat diterima oleh sejumlah pemuda.
Kim terus melaporkan para pemuda ke polisi setempat. Atas pengaduan Kim, polisi datang untuk meminta keterangan para pemuda. Dan inilah awak ketegangan itu. Untung ada para sesepuh Warungdoyong yang mendamaikan.
Tiba-tiba, salah seorang putra Kim melempar batu ke arah para pemuda sehingga menimbulkan kemarahan dan akan memburu rumah Kim. Lagi-lagi para sesepuh kampung dan aparat kepolisian sibuk menenangkan pemuda. Hingga selesai salat Subuh, kemarahan pemuda masih dapat diredam.
Namun, pukul 06.00, tiba-tiba ribuan massa datang ke Kampung Warungdoyong menuju rumah Kim. Dengan beringas massa yang sudah tidak dapat dikendalikan, melakukan perusakan dan menghancurkan rumah Kim. Sementara, saat perusakan terjadi, pemilik rumah sudah tidak berada di tempat.
Ternyata, massa tidak puas hanya menghancurkan rumah Kim. Seiring dengan terangnya pagi, massa mulai bergerak melakukan perusakan sepanjang Jalan Rengasdengklok dengan menggulingkan beberapa kendaran bermotor dan membakar tiga gereja, serta sebuah vihara. Pagi itu juga kerusuhan meluas di berbagai tempat di kota kecamatan itu. Agar terhindar dari amukan massa, sebagian warga menuliskan rumah dan toko, serta kendaran mereka dengan kata-kata "Toko Muslim, Rumah Muslim, Milik Muslim, atau dengan Milik Negara" -- seperti yang terjadi di Tasikmalaya.
Akibat kerusuhan itu, tercatat 3 gereja rusak, 1 vihara, beberapa kendaran bermotor, 3 pabrik, puluhan toko hancur, serta 1 sekolah, yang umumnya milik warga keturunan Cina. Memang "belum" separah Tasikmalaya atau Situbondo (Lihat Tabel Korban di bawah ini). Korban jiwa tak jatuh dalam kerusuhan Rengas ini.
Kerusuhan baru dapat diredam setelah aparat keamanan yang berjumlah 200 personil Polres dan Kodim Rengasdengklok turun ke jalan-jalan. Mereka didukung Satuan Setingkat Kompi (SSK) dari Batalyon 305 dan dua SSK dari Armed 9 Pasopati, serta dari Brimob Polri. Begitu datang, aparat keamanan langsung masuk ke dalam kota dan memblokadenya, lalu menggiring massa kembali ke pemukimannya.
Siang harinya, Bupati Karawang, Dadang S Mochtar, bersama dengan Kapolda Jawa Barat, Mayen Pol Nana Permana, mengumpulkan alim-ulama dan tokoh-tokoh Islam Rengasdengklok. Dalam pertemuan tersebut disepakati, para alim-ulama bersama aparat pemerintah saling membantu untuk mendinginkan suasana. Di depan alim-ulama Dadang menegaskan, mengatakan bahwa kerusuhan yang terjadi adalah spontanitas masyarakat dan tak ada yang menunggangi kerusuhan tersebut.
Banyak yang menduga hubungan masyarakat Kampung Warungdoyong dengan Keluarga Kim, tidak bersahabat. Bahkan dengan sesama warga keturunan pun, Kim tidak rukun. Padahal, telah tinggal di tengah warga Kampung Warungdoyong sejak tahun 1970-an.
Selain itu, terungkap kekecewaan masyarakat terhadap warga keturunan Cina yang selama ini terpendam. Masyarakat Karawang yang mayoritas beragama Islam dan sangat patuh menjalankan agama, khususnya di Rengasdengklok, merasakan banyak terjadi perubahan mengenai kehidupan beragama. Selama ini banyak rumah di Rengasdengklok yang berubah menjadi rumah ibadah non muslim. "Kami bukan anti agama lain, tapi rumah-rumah itu suatu saat bisa menjadi bom waktu," ujar Sobana, sekretaris MUI Rengasdengklok seperti yang dikutip Republika (31 Januari 1997).
Lagi-lagi kerusuhan terjadi begitu cepat, mudah, dan tak terhindarkan. Soalnya cuma ketersinggungan pada seorang warga keturunan Cina atau ada soal yang lebih mendasar? Seperti juga di Situbondo dan Tasikmalaya, sungguh banyak yang harus dimengerti aparat dan birokrat penyelenggara pemerintahan di sini.
Sumber:
http://dengklokcity.blogspot.com/2011/04/peristiwa-1996.html
EmoticonEmoticon