A Umar Said: Mengapa Suharto bukan pahlawan, bukan pula guru bangsa?
Catatan A. Umar SaidPengantar: Partai Golkar dan PKS belum lama ini mengusulkan supaya Suharto diberi gelar sebagai “pahlawan nasional” dan sebagai “guru bangsa”. Tulisan ini merupakan respons penolakan terhadap wacana yang dikembangkan oleh kedua partai politik tersebut. Ditulis oleh A Umar Said, seorang pejuang Angkatan 45, wartawan segenarasi Mahbub Djunaedi.
Golkar Ngotot Jadikan Soeharto Pahlawan Nasional
Partai Golkar tetap mengusulkan pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto, meski ada pihak yang masih keberatan mengenai usul itu. “Golkar memang pernah mengusulkan hal itu, tetapi terserah kepada pemerintah untuk memutuskan. Sampai saat ini, kami tetap usulkan,” kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Agung Laksono, di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin (10/11).
Agung Laksono berharap pemerintah segera mengambil keputusan atas usul tersebut. Partai Golkar mengusulkan gelar pahlawan nasional kepada Pak Harto karena jasanya membangun negeri ini. Agung Laksono, yang juga caleg Partai Golkar nomor urut 1 untuk daerah pemilihan (Dapil) DKI I (meliputi wilayah Jakarta Timur) mengakui, sampai saat ini masih ada pihak yang belum setuju dengan usul Golkar. Tetapi Golkar akan tetap mengusulkan.
“Setiap pahlawan adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, ada kelemahan dan kekurangan. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan, tentu tidak hanya melihat dari sisi kelemahannya,” kata Agung. Ia menjelaskan, di samping kelemahan dan kekurangan, baik dari sisi pribadi mau pun saat memimpin pemerintahan, Pak Harto memiliki banyak jasa kepada bangsa dan negara. “Walau pun ada yang belum setuju (pemberian gelar pahlawan untuk Pak Harto). Itu hak masing-masing, tetapi juga hak bagi Golkar untuk mengusulkan,” kata Agung.
Golkar memahami usul itu sampai saat ini belum dikabulkan pemerintah karena untuk menetapkan seseorang sebagai pahlawan membutuhkan proses dan waktu. Golkar akan tetap mengusulkan, walau pun belum ada kepastian kapan usul itu akan dikabulkan. “Gelar pahlawan nasional untuk Bung Tomo saja baru diberikan setelah sekian lama. Padahal semua orang tahu siapa Bung Tomo,” katanya.
Mengenai penggunaan nama Pak Harto untuk iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Golkar tidak mempersoalkan. “Itu bagus dong. Berarti apa yang diusulkan Golkar benar adanya. Tidak masalah, boleh-boleh saja,” katanya. Sedangkan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menilai, Soeharto bukan seorang pahlawan. “Soeharto belum diangkat jadi pahlawan. Kalau guru bangsa, guru apa?” tanya Asvi. (kutipan berita selesai).
Golkar adalah tetap yang itu-itu juga
Setelah membaca dua berita tersebut di atas, barangkali tidak sedikit orang yang bertanya-tanya – agaknya dengan keheranan yang bercampur kemarahan – tentang kejernihan fikiran atau kesehatan jiwa pimpinan partai Golkar dan PKS, yang mempunyai fikiran untuk mengusulkan supaya Suharto diberi gelar “pahlawan nasional dan guru bangsa”.
Adalah wajar, atau masuk akal, atau bisa dimengerti, bahwa Golkar menghormati, bahkan mencintai, Suharto. Karena Suharto adalah “bapak kandung” Golkar sejak ia mengkudeta presiden Sukarno. Suharto adalah Pembina tertinggi Golkar selama puluhan tahun. Suharto tidak hanya menjabat sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata RI, melainkan juga pimpinan paling tinggi dan paling berpengaruh (dan paling berkuasa !) di Golkar. Jadi, bahwa Golkar menjunjung tinggi Suharto, itu adalah sudah semestinya.
Juga, bahwa Golkar menganggap Suharto sebagai orang yang berjasa bagi Golkar, itu adalah urusan atau hak Golkar, yang mungkin tidak begitu dipersoalkan oleh banyak orang. Tetapi, kalau dikatakan oleh pimpinan Golkar (dan juga PKS) bahwa Suharto sudah berjasa besar untuk rakyat dan negara Indonesia, sehingga patut mendapat gelar “pahlawan nasional” atau “guru bangsa”, maka pernyataan semacam itulah yang patut sekali dikaji sedalam-dalamnya, dan seluas-luasnya dan seadil-adilnya oleh kita semua.
Dengan pernyataan (yang berulang-ulang selama beberapa tahun ini) bahwa Suharto perlu diberi gelar pahlawan nasional maka sekali lagi, dan untuk kesekian kalinya, menunjukkan bahwa Golkar yang sekarang ini adalah sebenarnya masih tetap Golkar yang itu-itu juga, yang selama lebih dari 40 tahun sudah meracuni atau merusak kehidupan bangsa dan negara kita, bersama-sama golongan militer pendukung Suharto.
Kejahatan Suharto adalah kejahatan Golkar juga
Rejim militer Suharto, yang sudah dinajiskan oleh rakyat Indonesia lewat aksi-aksi patriotik secara nasional generasi muda dalam tahun 1998, sudah didukung sepenuhnya atau sekuat-kuatnya oleh Golkar. Artinya, bolehlah dikatakan bahwa seluruh kejahatan, dan dosa-dosa, dan kesalahan, dan pelanggaran HAM, dan korupsi, dan segala penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh rejim militer Orde Baru sepenuhnya didukung oleh Golkar. Bahkan, bisa dikatakan juga bahwa semua kejahatan pemerintahan Suharto adalah sebenarnya juga kejahatan Golkar. Karena, dalam jangka waktu yang lama sekali, Golkar merupakan penjelmaan atau pengejawantahan Suharto. Atau, dalam kalimat lain, jati-diri Suharto adalah jati-diri Golkar.
Sejarah rakyat Indonesia akan mencatat bahwa menentang sekeras-kerasnya niat buruk Golkar (dan PKS) untuk mengusulkan gelar “pahlawan nasional” dan “guru bangsa” kepada Suharto adalah sikap politik yang benar dan sikap moral yang luhur. Sebaliknya, menyetujui atau mendukung gagasan yang begitu buruk bagi bangsa dan negara itu adalah sikap yang nista dan mencerminkan iman yang sesat, dan merupakan pengkhianatan kepada rakyat.
Mengingat telah jadi satunya Suharto dengan Golkar dalam waktu yang begitu panjang,; maka jelaslah bahwa bagi kepentingan bangsa dan anak-cucu kita di kemudian hari, tidaklah cukup untuk hanya menelanjangi kebusukan dan dosa-dosa Suharto saja, melainkan juga harus membongkar segala kejahatan dan pengkhianatan Golkar. Sampai batas tertentu, kejahatan dan kebusukan Suharto sudah banyak dibongkar, namun belum banyak kejahatan dan kebusukan Golkar yang disoroti dengan jelas, benar dan adil. Padahal, kalau kejahatan dan kebusukan Golkar selama pemerintahan Suharto (dan sesudahnya) dibuka seluas-luasnya dan juga seobjektif mungkin, maka banyak orang akan meninggalkannya.
Mengapa Suharto bukanlah pahlawan
Usul atau tuntutan Golkar unutk menjadikan Suharto sebagai pahlawan nasional adalah betul-betul mencerminkan ketidakberesan cara berfikir para tokohnya dan bahkan keanehan (untuk tidak mengatakan kedunguan) dalam cara mereka memandang persoalan Suharto. Mereka tidak melihat bahwa Suharto tidak bisa disebut sebagai pahlawan, karena ia justru telah mengkhianati (dan membunuh secara tidak langsung) pahlawan besar bangsa yang sebenarnya, yaitu Bung Karno.
Kalau diteliti kurun waktu sejak Suharto menggulingkan Presiden Sukarno, maka sulitlah kiranya untuk memasukkan Suharto dalam jajaran pahlawan bangsa, karena ia justru telah merusak jiwa gerakan revolusioner rakyat dan membelokkan revolusi Indonesia ke arah kanan dan pro-imperialis, terutama imperialis AS. Suharto juga tidak bisa dianggap sebagai pahlawan nasional, karena justru ia telah mengebiri Bhinneka Tunggal Ika atau melecehkan Pancasila, dengan pelanggarannya yang besar terhadap persatuan bangsa, serta pengkhianatannya terhadap sila kemanusiaan (ingat pembantaian dan pemenjaraan jutaan orang kiri yang tidak bersalah apa-apa), dan kejahatannya di bidang keadilan sosial.
Usul untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Suharto juga sebenarnya berarti melecehkan gelar pahlawan. Para pahlawan kita yang sudah betul-betul berjasa kepada rakyat dan negara tidak bisa dan tidak boleh disejajarkan dalam satu deretan dengan Suharto, seorang bekas serdadu kolonial Belanda yang sudah mengkhianati Bung Karno dan revolusi rakyat Indonesia. Suharto bukanlah pahlawan bangsa, melainkan maling terbesar bangsa, yang sudah menumpuk harta haram yang besar sekali jumlahnya bagi keluarganya (ingat : Tien Suharto, Tutut, Bambang, Sigit, dan Tommy).
Menyetujui Suharto sebagai pahlawan adalah pengkhianatan
Kalau kita ingat kepada banyaknya buku atau majalah (baik di dalam negeri atau luar negeri) yang sudah menulis tentang kejahatan atau dosa-dosa Suharto, maka nyatalah bahwa usul (atau tuntutan) Golkar tentang pemberian gelar pahlawan bagi Suharto adalah fikiran yang sesat dan sikap moral yang keliru. Untuk ini setiap orang dapat meng-klik Google dalam Internet, dimana terdapat ratusan ribu halaman yang berisi bahan-bahan tentang persoalan Suharto. Karena itu, ada baiknya bagi tokoh-tokoh Golkar dan PKS untuk menyimaki bahan-bahan di Google itu untuk mengetahui bahwa nama busuk Suharto serta dosa-dosanya yang besar sudah pernah banyak sekali ditulis di dunia.
Mengingat itu semua, adalah menjadi kewajiban kita semua untuk menghujat sekeras-kerasnya Golkar dan PKS yang punya niat untuk menjadikan Suharto sebagai “pahlawan nasional dan guru bangsa”. Fikiran yang busuk dan salah demikian ini harus sama-sama kita lawan dan kita kutuk, dengan berbagai cara dan jalan atau bentuk. Sebab, kita tidak bisa dan tidak boleh membiarkan berkembangnya anggapan bahwa Suharto adalah pahlawan nasional atau guru bangsa.
Sebab, kalau Suharto dianggap sebagai pahlawan nasional dan guru bangsa, maka bisa berarti bahwa kita harus memandang segala dosa atau kejahatannya ( yang sudah dilakukannya selama 32 tahun ) sebagai hal yang serba baik juga. Dan, kita juga tidak bisa menganggap Suharto sebagai guru bangsa, sebab kenyataannya justru ia adalah seorang oknum yang membikin banyak kerusakan parah bagi rakyat dan negara. Menyetujui adanya gagasan pemberian gelar “pahlawan nasional dan guru bangsa” kepada Suharto adalah pengkhianatan yang sebesar-besarnya kepada puluhan juta orang yang telah menjadi korban rejim Orde Baru, dan kepada generasi muda Indonesia yang sudah meng-emohkan atau menajiskan kepemimpinannya.
Kita harus memperlakukan Suharto seadil-adilnya
Kita semua harus memperlakukan Suharto seadil-adilnya, dan menilainya secara benar dan jujur, menurut kenyataan yang sebenarnya. Memang, tentulah Suharto ada”jasanya”. Tetapi jasa yang dibikinnya ibaratnya adalah segundukan kecil saja, sedangkan dosa dan kejahatannya adalah sebesar gunung. Kebaikannya tentu ada juga, tetapi jelas sekali, seperti yang sudah disaksikan sendiri oleh banyak orang selama ini, bahwa kejelekannya atau kebusukannya adalah jutaan kali lebih banyak lagi.
Melihat sejarah perjuangan bangsa selama ini nyatalah dengan jelas sekali bahwa pahlawan nasional yang sejati (dan yang besar pula) adalah Bung Karno dan bahwa tokoh yang pantas dan berhak untuk disebut sebagai guru bangsa adalah juga Bung Karno, dan sama sekali bukannya orang yang semacam Suharto.
Karena itu, hendaknya sama-sama kita renungkan dalam-dalam yang berikut ini, yaitu : pemberian gelar “pahlawan nasional “ kepada Suharto adalah malapetaka dan aib besar bagi bangsa kita, dan juga penamaan bahwa ia “guru bangsa” adalah memberikan dosa kepada rakyat dan juga warisan haram bagi generasi yang akan datang. Sebab, kenyataannya Suharto adalah guru (bahkan, guru besar !) dalam hal-hal yang haram, nista dan penuh dosa.
Oleh karena itu, usul atau gagasan tokoh-tokoh Golkar semacam itu bisalah diumpamakan sebagai tambah mengotori muka mereka (yang sudah penuh dengan kotoran dan borok selama puluhan tahun Orde Baru) dengan comberan. Karena tokoh-tokoh PKS juga mengusulkan julukan “guru bangsa” bagi Suharto, maka muka PKS pun kecipratan oleh comberan ini.
Dosa Golkar terhadap rakyat Indonesia sudah terlalu banyak dan terlalu lama selama lebih dari 40 tahun ! Usul pemberian gelar “pahlawan nasional” kepada Suharto hanya menunjukkan lebih gamblang lagi bahwa Golkar sebenarnya adalah satu dan senyawa dengan Suharto, yaitu sama-sama pengkhianat terhadap Bung Karno dan rakyat !
Paris, 13 November 2008.
EmoticonEmoticon