Oleh : Yoseph Tugio Taher | 14-Nov-2008, 22:31:32 WIB
KabarIndonesia - Ditayangkannya iklan partai yang bernama PKS di beberapa televisi selama 30 detik dalam menyambut Hari Pahlawan 10 Nopember 2008, dengan menampilkan deretan tokoh pahlawan dan mensejajarkan Soeharto dengan Soekarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, M. Natsir dan Bung Tomo, telah memicu kemarahan dan menyakiti hati rakyat dan bangsa Indonesia. Apalagi dengan teks yang menyatakan bahwa Soeharto sebagai "Pahlawan" dan "Guru Bangsa".
Pro dan kontra menghangati bumi persada. Pantas dan wajarkah Soeharto dianggap sebagai "Pahlawan" dan "Guru Bangsa"? Terlebih lagi, apakah Soeharto punya nilai untuk bisa di sejajarkan dengan Soekarno?
Partai Kroni Soeharto (PKS) menganggap Soeharto sebagai "Pahlawan" dan "Guru Bangsa". Begitu juga partai kandungnya Soeharto, ‘anak kesayangannya" semenjak lahir yaitu Partai Golkar. Bahkan menurut Agung Laksono yang Ketua DPR mengatakan, "Partai Golkar memandang bahwa Soeharto memang pantas mendapatkan gelar pahlawan nasional," di Gedung DPR, Jakarta, Senin (10/11).
Terlepas dari kasus-kasus pribadi yang menyertainya, menurut Ketua DPR itu, Soeharto memiliki jasa yang besar terhadap bangsa ini. "Jasa-jasa Soeharto harus bisa dipisahkan dengan kesalahan-kesalahannya yang manusiawi," ujarnya. Karena "Pak Harto pernah diusulkan Partai Golkar sebagai pahlawan nasional," Agung Laksono, menyambut baik munculnya sosok Soeharto dalam iklan Hari Pahlawan yang diluncurkan Partai Keadilan Sejahtera. Hal itu justru memperkuat usul pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, dan itu berarti yang kami lakukan benar adanya," kata Agung.
Lebih lanjut Agung mengatakan, Soeharto telah begitu lama melakukan aktivitas perjuangan bagi bangsa ini, baik sebelum dan sesudah kemerdekaan. "Setiap pahlawan jika dilihat pribadinya tentunya memiliki dosa-dosa tersendiri. Begitu juga dengan Soeharto. Namun sebagai bangsa yang penuh budaya dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, maka sudah sepantasnya bangsa ini bisa menghargai jasa pahlawannya," katanya.
Agung sendiri enggan menanggapi komentar, Soeharto memiliki dosa yang seolah tidak terampuni bagi bangsa ini. (Mengabaikan hal ini, tidakkah Agung Laksono ini hipokrit namanya?-pen)
Sudah barang tentu, usaha PKS dan Golkar itu disambut baik oleh semua kroni-kroni Soeharto, penerus-penerus Orba, loyalis Soeharto yang masih sempat bersembunyi dalam pemerintahan, DPR, Partai dan lembaga-lembaga negara dengan berjubahkan reformasi. Namun, bagaimana reaksi dari golongan yang benar-benar berjuang demi reformasi? Golongan yang berjuang menurunkan Soeharto dari tampuk kediktatoran, ketiraniannya, dan kekuasaannya?
Mantan Aktivis 1998 Budiman Sudjatmiko mengecam keras penayangan mantan Presiden Soeharto sebagai salah seorang guru bangsa dalam iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). "Soeharto tidak layak menjadi guru bangsa," katanya ketika dihubungi, Senin (10/11). Menurut politikus PDI Perjuangan ini, atas dasar tindakan korupsi yang dilakukan hingga ke kroni-kroni dan berbagai tindak kekerasan, Soeharto tak pantas menyandang gelar guru bangsa apalagi pahlawan nasional.
Dia menilai, PKS telah beralih rupa menjadi partai nonreformis. "Ini membuktikan PKS tidak peka atas korban kemanusiaan dan kemiskinan akibat korupsi," katanya. Bahkan, dia mempertanyakan sikap PKS yang kembali memunculkan sosok Soeharto. "Apakah hanya demi kekuasaan, ideologinya pudar," katanya. (TEMPO Interaktif, Jakarta)
Aktivis mahasiswa 98, Syafic Alielha, saat berbincang-bincang dengan detikcom melalui telepon, mengatakan, "Saya kira PKS ahistoris. PKS lupa bagaimana Soeharto menjadi diktaktor paling panjang di dunia yang sepanjang kekuasaannya banyak orang terbunuh dan dihukum tanpa pengadilan. Ini juga menunjukkan PKS tidak memahami kerusakan yang dialami bangsa Indonesia saat Orba (Orde Baru)," ujar Syafic.
Syafic menegaskan, sistem politik dan sosial yang dibangun Soeharto di era kepemimpinannya membuat bangsa Indonesia hancur. Para politisinya korup sementara masyarakat digiring untuk bersikap pragmatis. Rakyat tidak diberi ruang untuk berekspresi dan bereksperimentasi untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
"Ini semua yang membuat Indonesia sukar untuk bangkit lagi hingga saat ini. Semua orang cenderung mencari jalan pintas untuk meraih kekayaan," tegas Syafic.
Syafic menegaskan, sistem politik dan sosial yang dibangun Soeharto di era kepemimpinannya membuat bangsa Indonesia hancur. Para politisinya korup sementara masyarakat digiring untuk bersikap pragmatis. Rakyat tidak diberi ruang untuk berekspresi dan bereksperimentasi untuk menuju kehidupan yang lebih baik.
"Ini semua yang membuat Indonesia sukar untuk bangkit lagi hingga saat ini. Semua orang cenderung mencari jalan pintas untuk meraih kekayaan," tegas Syafic. Di sisi lain, sambung Syafic, keputusan menjadikan Soeharto sebagai guru bangsa dan pahlawan juga menunjukkan PKS tidak menghargai proses reformasi. Padahal proses reformasi diisi dengan pengorbanan para pejuang HAM dan partisipasi jutaan rakyat Indonesia.
Di sisi lain, sambung Syafic, keputusan menjadikan Soeharto sebagai guru bangsa dan pahlawan juga menunjukkan PKS tidak menghargai proses reformasi. Padahal proses reformasi diisi dengan pengorbanan para pejuang HAM dan partisipasi jutaan rakyat Indonesia. (Djoko Tjiptono - detikNews)
Akan tetapi, sudah jelas, kendati pun para pejuang demokrasi dan reformasi menolak ketokohan Soeharto, namun kroni-kroninya, para loyalis Soeharto yang masih bisa bersembunyi dalam partai-partai seperti PKS, dan Golkar, pimpinan dan pejabat yang masih duduk dikursi empuk pemerintahan, DPR, dan lembaga-lembaga lainnya terutama tokoh-tokoh yang hipokrit, mengaku reformis namun tindakannya anti-reformasi, yang dulu "ikut berjuang" menurunkan Soeharto tahun 1998, namun sekarang menongolkan kepalanya, memperlihatkan wajah yang sebenarnya dan bersuara lantang untuk mengangkat Soeharto menjadi "pahlawan nasional" dan "guru bangsa".
Apakah Soeharto mempunyai sejarah kepahlawanan? Dimana kepahlawanan Soeharto? Mari kita telusuri:
*Semenjak mudanya, ketika tokoh bangsa dan pahlawan berjuang demi rakyat dan bangsa Indonesia menentang penjajahan Kolonialis Belanda, Soeharto justru menjabat sebagai Sersan KNIL, sebagai tentara Kolonialis Belanda!
* Ketika Serangan Umum 1 Maret 1949 di Jogyakarta, Letnan A. Latif memimpin pasukannya masuk kota melawan Belanda, Soeharto (yang menjadi atasannya Latief) malahan enak-enak makan soto babat di garis belakang. Sesudah Soeharto jadi Presiden, dia ngarang bahwa Serangan Umum I Maret 1949 adalah pimpinan dan prakarsanya. Persis seperti cerita telur ayam/bebek, yang setelah digoreng, dinamai "telur mata sapi". Ayam yang punya telur, sapi yang punya nama! Begitu pun Soeharto! Latif yang berjuang melawan Belanda, tetapi Soeharto yang cuma leyeh-leyeh di garis belakang sambil makan soto yang dapat nama. Dan Suharto "mengumumkan" perihal Serangan Umum 1 Maret 1949 ini, di saat dia sudah menjadi diktator yang paling kuasa. Siapa yang berani membantahnya?
* Ketika NKRI dirongrong oleh pemberontak separatis PRRI/Permesta, Soeharto justru melakukan korupsi besar-besaran di Kodam Diponegoro, Semarang.
* Ketika perjuangan merebut kembali Irian Barat, Soeharto adalah sebagai Panglima Mandala. Inilah barangkali satu-satunya perjuangan Soeharto melawan bekas majikannya, Kolonialis Belanda.
* Ketika situasi Indonesia menjadi gawat dan konfrontasi dengan Malaysia, Soeharto dan kliknya Yoga Sugama dan Ali Murtopo justru melakukan penyelundupan dan memberikan informasi ke Kuala Lumpur hingga TNI yang didrop di Malaysia banyak yang tertangkap dan dibunuh.
* Ketika keadaan Indonesia memanas disebabkan isu Dewan Jenderal, Soeharto bersekutu dengan Letkol. Untung Syamsuri (anak mantu angkat Soeharto), Kolonel A. Latif (bawahan dan orangnya Soeharto semenjak di Jogyakarta tahun 1949) dan Brigjen Supardjo, untuk melakukan aksi buat menggagalkan "Dewan Jenderal" yang diduga akan melakukan kup terhadap Bung Karno. Bahkan Soeharto sebagai Pangkostrad, memberi bantuan kepada gerakan Untung, Latif dan Supardjo yang kemudian dikenal sebagai G30S, dengan mendatangkan batalyon siap tempur dari Jawa Timur (Yon 530) dan dari Jawa Tengah (Yon 454) ke Jakarta.
* Setelah Gerakan Untung, Latief, Supardjo yang kemudian disebut G30S yang dibantu dan diperlengkapi oleh Pangkostrad Majen Soeharto berhasil menculik dan mebunuh 6 orang Jenderal lawannya Soeharto (dalam peristiwa Kriminal Soeharto di Kodam Diponegoro tahun 50-an), Soeharto dengan licik bertukar arah. Niatnya sudah tercapai, para jenderal rivalnya sudah mati. Soeharto berbalik, memburu kawan-kawannya sekomplotannya yaitu Untung, Latif dan Supardjo dan membunuhi semua orang yang dianggap bisa menghalanginya buat mencapai kekuasaannya. Seperti Ken Arok yang mengawini Ken Dedes dan membunuh suaminya sang raja, Soeharto menggunakan SP-11 Maret untuk menguasai negara dan membunuh si pemberi Surat Perintah itu yaitu Bung Karno, Presiden RI.
* Dengan kekuasaan yang ada padanya, Soeharto melibas semua musuh politiknya, terutama PKI yang direkayasa dan dikambinghitamkan oleh kliknya Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo, sebagai berada di belakang G30S. Pemburuan dan pembunuhan jutaan manusia komunis berlangsung di mana-mana di seluruh Nusantara. Darah tertumpah dan jutaan mati menjadi korban Soeharto demi mencapai kekuasaan. Para jenderal diperintah oleh Soeharto buat melakukan pembunuhan di mana-mana. Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, Jenderal Sumitro, Jenderal Sudomo, Jenderal Kemal Idris, Kolonel Yasir Hadibroto menjadi tangan kepanjangan Soeharto buat membunuhi bangsa Indonesia. Korban Soeharto berjatuhan di mana-mana!
Tanggal 2 Oktober 1965, setelah mendengar berita tentang "kup", Kolonel Yasir Hadibroto, waktu itu Komandan Kesatuan Infantri IV Kostrad di Sumatra Utara, datang, langsung menghadap Komandannya di Markas Besar Kostrad di Jakarta, Mayjen. Soeharto. Dia ditanyai oleh Soeharto, "Dimana kamu ketika pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948?" "Saya baru saja dipindahkan ke Jawa Barat. Pasukan saya diperintahkan untuk menghadapi 3 batalion komunis di Wonosobo," Yasir menjawab.
"Orang yang berontak hari ini adalah keturunan dari PKI Madiun. Pergi, beresken mereka semua. D.N.Aidit di Jawa Tengah. Bawa pasukanmu ke sana," perintah Panglima Kostrad Mayjen Soeharto. Di Jawa Tengah, D.N. Aidit, Ketua PKI, ditangkap, dibawa ke markas Batalyon Kostrad di Boyolali dan dibunuh!
Pukul 3.00 sore tanggal 24 Nopember 1965, Kolonel Yasir diterima oleh Soeharto di Istana Yogyakarta. Dia melaporkan segala sesuatu berkenaan dengan penangkapan PKI dan cara membereskan Aidit. Setelah memberikan laporannya, Kolonel Yasir memberanikan diri untuk bertanya: "Waktu Bapak mengatakan "bereskan" tentang D.N. Aidit, apakah itu yang Bapak maksud? Panglima Kostrad, Mayjen Soeharto hanya TERSENYUM. Mystery ALMOST solved !! by PAUL H. SALIM Calgary, CANADA- http://www.antenna.nl/wvi/eng/ic/pki/sal/myst.html
Hasil investigasi yang dilakukan oleh Tim Pencari Fakta, yang lebih dikenal sebagai Komisi Lima yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Mayjen. Dr. Soemarno, dengan anggota-anggota Moejoko (Polri), Oei Tjoe Tat SH, Mayjen. Achmadi ( ex. Brigade XVII/TP) dan seorang lagi tokoh Islam, menyebut bahwa jumlah korban pembunuhan yang dilakukan atas perintah Soeharto sekitar 500.000 orang. Bahkan menurut pengakuan mendiang Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, Panglima RPKAD, kepada Permadi SH, jumlah yang dibunuh mencapai sekitar 3.000.000 ( baca: tiga juta!) orang. "Itu yang ia suruh bunuh dan ia bunuh sendiri" kata sumber itu. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/08/26/0011.html
(Tidak heran kalau beberapa waktu yang lalu Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudoyono mengatakan bahwa membicarakan masalah G30S sebagai hal yang "tidak produktif", karena membicarakan masalah G30S, mau tidak mau akan menyinggung nama dan kekejaman bapak mertuanya yaitu Sarwo Edhi Wibowo, si penjagal 3 juta nyawa bangsa Indonesia-pen)
Di seluruh daerah, Aceh, Sumatra Utara, Barat, Selatan, Riau, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan daerah-daerah lainnya banjir oleh darah rakyat yang tidak melawan, orang-orang komunis yang tidak berdosa, ditangkap dan dibunuh oleh para militer suruhan Soeharto dan massa yang menjadi pengikutnya. Sungai-sungai penuh dengan mayat-mayat tak berkepala yang mengapung hingga berminggu-minggu bahkan berbulan penduduk merasa takut dan jijik memakan ikan sungai!
Demikian kebiadaban "bangsa Indonesia" dibawah perintah manusia diktator licik Soeharto. Mustahil, para petinggi, terutama mantan petinggi militer yang sekarang "duduk di atas" menjadi pemimpin negara dan lembaga pemerintahan, MPR atau DPR, Kejaksaan dlsbnya tidak mengetahui akan hal ini!
Jendral Soemitro, Pangdam Brawijaya mengatakan bahwa "1 orang nyawa Jendral harus ditebus 100 ribu nyawa PKI". Ia pun mengiringi pembantaian massal di berbagai wilayah di Indonesia. Dia pulalah yang memimpin penangkapan, penggorokan, penembakan ratusan massa sekaligus dan membuang mayat mereka ke dalam lobang yang digali oleh para korban itu sendiri. Diperkirakan 250.000 korban mati atau hilang di Jawa Timur. [Indymedia-jakarta] MASS GRAVE IN INDONESIA
Team Pencari Fakta yang dibentuk atas perintah Bung Karno mencatat laporan resmi para penguasa, antara 80.000-100.000 jiwa telah menjadi korban di Jawa dan Bali. Tetapi di balik itu, para penguasa sendiri menduga korbannya 10 kali lebih besar dari yang mereka laporkan (Memoar Oey Tjoe Tat).
Dr. Robert Cribb, Dosen Sejarah pada Universitas Nasional Australia di Melbourne, memperkirakan jumlah korban berkisar antara 78.000 hingga 2 juta jiwa. John Hughes dalam bukunya "Indonesian Upheaval" (1967), memprediksikan antara 60.000 hingga 400.000 orang. Donald Hindley dalam tulisannya, "Political Power and the October Coup in Indonesia" (1967), memperkirakan sekira setengah juta orang. Prof. Guy Pauker, agen CIA yang sangat dikenal dan tidak asing lagi di Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat), dalam tulisannya "Toward New Order in Indonesia" memperkirakan 200.000 orang yang dibunuh.
Yahya Muahaimin dalam bukunya "Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966", memprediksikan sekira 100.000 orang. Ulf Sundhaussen, dalam bukunya "The Road to Power: Indonesian Military Politic 1945-1967" (1982), khusus untuk Jawa Barat, tanpa menyebut angka, mengatakan bahwa dari seluruh anggota komunis yang dibunuh di Jawa barat, bisa jadi hampir seluruhnya dibantai di Subang. Reiza D. Dienaputra: Penelusuran kembali Peristiwa G30S 1965- http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/.
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD, pembunuh berdarah dingin yang melakukan pembersihan di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali, kepada Panitia Pencari Fakta, mengaku "telah membunuh 3 juta komunis".
Pramudya Ananta Toer, Sastrawan dan bekas tapol dari Pulau Buru, dalam ucapannya sebelum meninggal dunia, yang direkam dalam film dokumen "Shadow Play" mengatakan, "Sampai sekarang tidak jelas berapa jumlahnya yang dibunuh. Soedomo [Kopkamtib] mengatakan 2 juta yang dibunuh, Sarwo Edhie [RPKAD] mengatakan 3 juta yang dibunuh. Yang jelas tidak ada yang tahu sampai sekarang." Sedang Bertrand Russel, pemikir besar Liberalisme, menyebut pembunuhan massal ini sebagai hal yang amat mengerikan yang mustahil bisa dilakukan oleh manusia. (Perang Urat Syaraf...Kompas 9 Pebruari 2001)
"Dalam empat bulan, manusia yang dibunuh di Indonesia, lima kali dari jumlah korban perang Vietnam selama 12 tahun" ("In four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years," Bertrand Russel, 1966/Kathy Kadane, State News Service, 1990).
Ratusan ribu manusia-manusia komunis yang tidak sempat dibunuh, ditangkap dan dijadikan tahanan politik. Diseluruh pelosok tanah air dibuat kamp-kamp tahanan untuk menahan orang-orang yang diindikasikan sebagai komunis. Sekitar 12.000 orang dibuang ke pulau Buru sebagai Tapol. Yang lain-lainnya menghuni rumah-rumah tahanan, penjara-penjara, atau kamp-kamp yang sangat tidak memenuhi syarat sebagai tempat tahanan manusia, bahkan juga makanan yang sangat tidak mencukupi, sehingga setelah ditahan bertahun-tahun tanpa proses tidak sedikit yang mati karena lapar. Di samping itu, para tahanan diambil malam hari dan dibawa entah kemana dan dihilangkan, dibunuh tidak tahu dimana kuburnya.
Seorang staf Kedubes AS, Josepf Lazarsky, Kepala Perwakilan Stasiun CIA di Jakarta, yang datang ke Kostrad dan melihat begitu banyak manusia yang menjadi tahanan, dan bertanya pada Soeharto tentang proses hukumnya. Jawabnya singkat, "siapa nantinya yang akan memberi makan mereka?" (Jenderal Soeharto Menuju Tahta kekuasaan-http://www.progind.net/modules/wfsection/article.php?articleid =76, copied 10/11/2005 dan Maruli Tobing-Kompas 9 Pebruari 2001-Perang Urat Syaraf....)
Dan ini, tidak bisa tidak akan berarti bahwa memang sudah niat Soeharto untuk melenyapkan, membunuh orang-orang Komunis yang dapat ditahan, sejalan dengan daftar 5000 orang tokoh dan kader PKI yang mesti dihabisi, yang menurut Cathy Kadane, wartawati Amerika yang mengungkap rahasia ini, disusun oleh Robert J Marten, mantan staf seksi politik di Kedubes AS di Jakarta yang ditugaskan, kemudian diserahkan oleh Edward Master, Kepala Seksi Politik Kedubes AS di Jakarta kepada sekretaris Adam Malik yang selanjutnya disampaikan ke markas Soeharto di Kostrad. Dan setiap saat Kedubes AS selalu mendapat laporan dari markas Jenderal Soeharto mengenai "realisasi" daftar itu.
Dengan fakta-fakta yang dikemukan diatas, kita bisa bertanya: "Soeharto itu pahlawan apa?" Apa bukti kepahlawanannya? Apakah membunuhi jutaan orang-orang yang tak berdosa dan tak melawan itu bisa disebut pahlawan? Tidakkah yang tepat mesti disebut sebagai algojo ketimbang pahlawan? Atau lebih jelas lagi teroris, pembunuh bangsanya sendiri?
Para kroni dan keluarganya mungkin mengagungkan Soeharto setinggi langit dengan mengatakan bahwa Soeharto adalah orang yang baik dan lemah lembut dan lebih banyak senyum dan saying terhadap semua. Ia bahkan mungkin tidak pernah membunuh nyamuk. Itu mungkin saja! Namun dibalik semua senyum liciknya, fakta sejarah membuktikan bahwa taktik liciknya, "ngluruk tanpa bala", menggunakan tangan orang lain untuk mencapai tujuannya, telah menelan jutaan korban bangsanya sendiri! Apakah itu buka suatu cacat yang maha besar dari orang yang dikehendaki oleh kroni dan loyalisnya untuk disebut sebagai pahlawan? Apakah Soeharto bisa disebut pahlawan? Bagaimana sebenarnya kriteria pahlawan itu?
Soeharto punya kekuasaan besar saat itu. Dia bisa menghitam dan memutihkan negeri. Andaikata, ya, andaikata dia mempunyai sifat "kemanusiaan yang adil dan beradab" seperti yang dituntut oleh Pancasila, maka dia bisa menghentikan pembunuhan massal atas jutaan manusia Indonesia yang tak bersalah, tak berdosa dan tak melawan kala itu.
Namun tidak, dengan jiwa busuknya, demi kekuasaannya dia justru membiarkan, mendorong, menganjurkan serta merestui rakyat yang berobah menjadi serigala, dan menggunakan tangan-tangan lain melaksanakan kejahatan, dengan peribahasanya "nglurug tanpa bala".
Lantas, melihat semua fakta di atas, di mana kepahlawanan Soeharto? Bukankah peribahasa Indonesia mengatakan, ""Mengetahui kejahatan kemanusiaan dan tidak mencegah saja sudah merupakan kejahatan terhadap manusia." Nah, dimana kedudukan Soeharto dalam hal ini?
Dr. Asvi Warman Adam ahli peneliti sejarah pada Lembaga Ilmu Pengatuan Indonesia (LIPI), dalam wawancara dengan Radio Nederland Wereldomroep 29 Januari 2008, memberi penjelasan, "Siapa yang bisa mengatakan atau dapat menyebut dia pahlawan, kecuali keluarganya atau kroninya, atau orang-orang yang diuntungkan oleh dia? Tetapi sangat sulit menjadikan Soeharto pahlawan nasional. Karena kriteria pahlawan nasional itu adalah orang yang sangat berjasa untuk negara dan bangsa Indonesia. Dan di dalam perjuangannya itu tidak mempunyai cacat. Apakah Soeharto tidak mempunyai cacat dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi sepanjang sejarah 30 tahun itu. Itu kan cacat yang sangat besar. Belum lagi kalau kita telusuri korupsi yang dilakukan, misalnya melalui yayasan dan lain-lain. Jadi sangat sulit untuk misalnya mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional."
Begitu juga Anhar Gonggong, sejarahwan yang juga menjadi anggota tim penyeleksi pahlawan, mempertanyakan kelayakan Soeharto mendapat gelar pahlawan.
"Saya mau tanya, apakah nggak malu punya pahlawan seorang koruptor gede? Koruptor yang merusak negara, walaupun dia pernah menjadi presiden?" ujar Anhar dalam perbincangan dengan detikcom via telepon, Selasa (11/11/2008).
Anhar tidak bersedia memberikan penilaian secara langsung tentang kelayakan Soeharto mendapat gelar pahlawan. Yang dia lakukan hanyalah mempertanyakan dan sekaligus mengajak masyarakat berpikir, apakah Soeharto layak diberi gelar pahlawan.
"Saya cuma memberikan input kepada masyarakat, biar masyarakat yang memberikan penilaian," lanjutnya.
Anhar lantas mencontohkan, di Taiwan, mantan Presiden Chen Shui-bian ditangkap Kejaksaan Taiwan karena tersandung kasus korupsi. Namun di Indonesia, mantan Presiden Soeharto yang sudah jelas-jelas korupsi besar-besaran tidak disentuh oleh Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kejaksaan banci, KPK juga banci dalam menghadapi Soeharto. Untuk yang lain mungkin KPK hebat, tapi menghadapi Soeharto, KPK banci," cecarnya.
Ketua Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru Semaun Utomo di Semarang, Jawa Tengah, mengaku heran dengan sikap PKS yang memposisikan penguasa Orde Baru itu sebagai guru bangsa yang sejajar dengan para pahlawan. "Saat Soeharto meninggal saja banyak kasus korupsinya yang masih belum jelas," kata Semaun. Ia juga menyebut almarhum Soeharto harus bertanggung jawab atas banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama ia berkuasa 32 tahun. "PKS juga harus ingat ribuan nyawa yang melayang sejak tragedi 30 September 1965."
(Untuk diketahui, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru mempunyai Daftar Nama dan Alamat ribuan nama korban. Soeharto, yang ditahan, yang dibunuh dan dihilangkan tanpa proses, bahkan diperkosa dalam peristiwa 1965, dari seluruh pelosok tanah air, yang sudah diserahkan ke tangan Komnas HAM-pen)
Semaun mengingatkan, jika PKS tetap mengangkat nama Soeharto sebagai isu untuk mendulang suara dalam Pemilu 2009, mereka juga akan melakukan kampanye untuk tidak memilih PKS. "Kami bisa melakukan itu." Demikian Semaun Utomo.
Jadi, rakyat yang menderita, yang berpikir, bisa melihat dengan nyata, dasar apa yang bisa digunakan oleh partai-partai buat mengangkat Soeharto sebagai "pahlawan". Pahlawan NASIONAL lagi! Amboi........Lantas, kalau jadi pahlawan saja tidak pantas, apalagi menjadi guru bangsa! Pelajaran apa yang sudah diperoleh rakyat dari "guru" Soeharto ini? Apakah pelajaran tentang bagaimana berlaku licik; tentang bagaimana merekayasa dalih supaya komunis bisa dihancurkan; tentang bagaimana memusnahkan kaum atau golongan yang tak melawan dengan bedil dan bayonet; tentang bagaimana melakukan kup merangkak; tentang bagaimana membunuh founding father secara pelan-pelan dan pasti; tentang bagaimana caranya "membangun negeri" dengan berutang kepada luarnegeri, sedang 30% masuk kantongnya sendiri, dan rakyat sampai anak cucu yang mesti menanggung bayar utang yang dibuat Soeharto sedang anak cucu Soeharto punya kekayaan yang bertebaran di luarnegeri, di Inggris, Amerika, Bermuda, Cayman, Suriname, New Zealand, Australia, Singapura, malaysia, Philipina, Burma, Cina dll. (Silahkan baca: Sembako, Harta dan Hutang Soeharto, Harian Onlinre Kabar Indonesia/Berita Nasional 7 Pebruari 08) Apakah itu yang mesti dipelajari dari "guru" Soeharto ini? Lantas kalau cuma hal-hal jelek itu yang bisa dicontoh dari Soeharto, maka "guru" apa namanya itu?
Para kroninya, tidak bisa memberikan bantahan atas semua kebobrokan Soeharto, tokohnya ini, selain dengan tipu licik coba membela Soeharto, seperti apa yang dikatakan oleh Ketua DPR Agung Laksono, "....sebagai bangsa yang penuh budaya dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, maka sudah sepantasnya bangsa ini bisa menghargai jasa pahlawannya."
Nampak jelas, betapa bangsa ini dinina bobokkan atau ditipu (!) oleh kroni-kroni Soeharto dengan mengatakan, "Sebagai bangsa yang penuh budaya dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan."
Kalau Ketua DPR ini pernah belajar sejarah, apakah Soeharto "penuh budaya dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan," ketika dia memerintahkan Yasir Hadibroto membunuh Aidit tanpa proses hukum dan keadilan; ketika dia membunuh Bung Karno; ketika dia memerintahkan dan merestui pembasmian lebih dari 3 juta orang komunis di Indonesia? Apakah Soeharto pernah menghargai pahlawan Kemerdekaan Indonesia Bung Karno? Bahkan, Soeharto berusaha untuk menyeret Bung Karno, yang dituduhnya terlibat dengan G30S. Namun, setelah usaha Soeharto ini tidak berhasil, karena tidak ada dasar, fakta dan bukti untuk bisa membawa Soekarno ke depan Mahmilub, maka Soeharto yang licik menggunakan ungkapan Jawa "Mikul dhuwur, mendhem jero", jadi Sukarno tidak dimahmilubkan.
Akan tetapi, kelicikan dan kebusukan Soeharto tetap berjalan. Soekarno dijadikan tahanan dan kemudian diusir dari Istana dalam keadaan sakit. Tidak ada yang dibawa Soekarno dari Istana, selain Bendera Pusaka Merah Putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati Soekarno dan dikibarkan untuk pertama kalinya pada 17 Agustus 1945. Bendera itu hanya dibungkus dengan kertas koran...
Selama sakitnya, Soekarno tidak mendapat perawatan ataupun pengobatan sampai meninggalnya. Dan rakyat yang mendengar, mengetahui dan melihat perlakuan Soeharto terhadap Bapak Bangsa itu, sesungguhnya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Drs. Mohammad Hatta, bahwa Soeharto adalah pembunuh Bung Karno!
"Selama di tahan di Wisma Yaso, Bung Karno diperlakukan sangat tidak manusiawi sekali. Bung Hatta, mantan Wakil Presiden Pertama RI, sahabat Bung Karno, menceritakan bagaimana permintaan Bung Karno kepada Soeharto untuk sekedar mengizinkan mendatangkan seorang dukun pijat, ahli pijat langganan Bung Karno dan juga langganan Bung Hatta, ditolak oleh Soeharto! Bung Karno mengharapkan dengan bantuan pijatan dukun ahli itu, penderitaannya bisa sedikit berkurang. Penolakan Soeharto itulah yang kemudian mendorong Bung Hatta menulis surat pada 15 Juli 1970 kepada Suharto yang mengecam betapa tidak manusiawinya sikap Suharto itu! Bung Hatta minta kepada Soeharto lewat Jaksa Durmawel SH, agar dilakukan pengadilan untuk memastikan apakah Bung Karno bersalah atau tidak. Sebab, jika Bung Karno meninggal dalam statusnya sebagai tahanan politik karena tidak diadili, rakyat yang percaya bahwa Bung Karno tidak bersalah, akan menuduh pemerintah Soeharto sengaja membunuhnya, kata Bung Hatta". (Deliar Noer, Mohammad Hatta Biografi Politik, http://www.progind.net/)
Nah, dengan sedikit pembeberan fakta-fakta di atas, kita akan dapat mempelajari dan mengetahui sampai dimana tingkat "nilai-nilai kemanusiaan" Soeharto. sampai dimana tingkat "kepahlawanannya" dan sampai di mana tingkat ke "guru"annya, yang oleh kroni-kroninya, para loyalisnya ingin dijadikan "pahlawan nasional" dan "guru bangsa".Apakah pantas Soeharto menjadi ‘pahlawan nasional" dan "guru bangsa"?
"Sebab, kalau Suharto dianggap sebagai pahlawan nasional dan guru bangsa, maka bisa berarti bahwa kita harus memandang segala dosa atau kejahatannya (yang sudah dilakukannya selama 32 tahun) sebagai hal yang serba baik juga. Dan, kita juga tidak bisa menganggap Suharto sebagai guru bangsa, sebab kenyataannya justru ia adalah seorang oknum yang membikin banyak kerusakan parah bagi rakyat dan negara. Menyetujui adanya gagasan pemberian gelar "pahlawan nasional dan guru bangsa" kepada Suharto adalah pengkhianatan yang sebesar-besarnya kepada puluhan juta orang yang telah menjadi korban rejim Orde Baru, dan kepada generasi muda Indonesia yang sudah meng-emohkan atau menajiskan kepemimpinannya. Kita semua harus memperlakukan Suharto seadil-adilnya, dan menilainya secara benar dan jujur, menurut kenyataan yang sebenarnya. Memang, tentulah Suharto ada "jasanya". Tetapi jasa yang dibikinnya ibaratnya adalah segundukan kecil saja, sedangkan dosa dan kejahatannya adalah sebesar gunung. Kebaikannya tentu ada juga, tetapi jelas sekali, seperti yang sudah disaksikan sendiri oleh banyak orang selama ini, bahwa kejelekannya atau kebusukannya adalah jutaan kali lebih banyak lagi. Karena itu, hendaknya sama-sama kita renungkan dalam-dalam yang berikut ini, yaitu: pemberian gelar "pahlawan nasional" kepada Suharto adalah malapetaka dan aib besar bagi bangsa kita, dan juga penamaan bahwa ia "guru bangsa" adalah memberikan dosa kepada rakyat dan juga warisan haram bagi generasi yang akan datang. Sebab, kenyataannya Suharto adalah guru (bahkan, guru besar !) dalam hal-hal yang haram, nista dan penuh dosa.
Oleh karena itu, usul atau gagasan tokoh-tokoh Golkar semacam itu bisalah diumpamakan sebagai tambah mengotori muka mereka (yang sudah penuh dengan kotoran dan borok selama puluhan tahun Orde Baru) dengan comberan. Karena tokoh-tokoh PKS juga mengusulkan julukan "guru bangsa" bagi Suharto, maka muka PKS pun kecipratan oleh comberan ini.
Dosa Golkar terhadap rakyat Indonesia sudah terlalu banyak dan terlalu lama selama lebih dari 40 tahun! Usul pemberian gelar "pahlawan nasional" kepada Suharto hanya menunjukkan lebih gamblang lagi bahwa Golkar sebenarnya adalah satu dan senyawa dengan Suharto, yaitu sama-sama pengkhianat terhadap Bung Karno dan rakyat! (dikutip dari tulisan A.Umar Said, Paris, dari artikel "Suharto bukanlah pahlawan dan bukan pula guru bangsa")
Masalah penokohan Soeharto adalah masalah besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Apakah Rakyat dan generasi muda yang bakal mewarisi tanah air tercinta ini akan membiarkan bangsa besar ini mepunyai "pahlawan nasioanal" dan "guru bangsa" yang adalah penjahat kemanusian, pembunuh jutaan bangsanya sendiri dan koruptor besar? Rakyat dan generasi muda harus melek dan waspada menghadapi dan melawan praktik-praktik hipokrit bulus-bulus politikus yang selama ini menyelam mengikut reformasi seperti PKS dan Golkar dll., namun hakekatnya anti reformasi dan kini nongol kepermukaan menunjukkan wajah aslinya sebagai loyalis dan penerus Orba/Soeharto, yang berusaha untuk menjadikan pembunuh dan penjahat kemanusiaan serta koruptor besar Soeharto sebagai "pahlawan nasional" dan "guru bangsa".
***
Blog: http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/
Alamat ratron (surat elektronik): redaksi@kabarindonesia.com
Berita besar hari ini...!!! Kunjungi segera:http://www.kabarindonesia.com//
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20081114182436
EmoticonEmoticon