Berikut di bawah ini disajikan pernyataan Dewan Pimpinan Pusat Lembaga
Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KROB) mengenai
rekonsiliasi nasional. Mengingat pentingnya isi pernyataan ini maka bahan
ini juga disiarkan dalam website http://perso.club-internet.fr/kontak/
sebagai dokumen permanen.
A. Umar Said
* * *
REKONSILIASI NASIONAL SYARAT MUTLAK
TERBENTUKNYA TATA KEHIDUPAN NASIONAL
YANG DEMOKRATIS
Dalam menghadapi Pemilihan Umum 2004 yang akan datang, akhir-akhir ini
mencuat kembali isu rekonsiliasi yang dilontarkan oleh berbagai pihak dan
bersamaan dengan itu pula banyak diselenggarakan berbagai pertemuan
silaturahmi serta diskusi antara berbagai pihak yang sadar perlu adanya
rekonsiliasi nasional.
Rekonsiliasi dalam arti kata bisa berarti perukunan kembali, penyelesaian
perbedaan, pertengkaran atau percekcokan untuk menuju perdamaian, adalah
suatu modus yang baik untuk mengatasi persoalan konflik politik,
kepentingan, krisis multi dimensi termasuk krisis kepercayaan terhadap
pimpinan nasional di Indonesia dewasa ini.
Krisis Kepercayaan dan Korban Kejahatan
Krisis ini terjadi sejak masa akhir pemerintahan Presiden Sukarno, dengan
kudeta Jenderal Soeharto yang disebut peristiwa G30S 1965, didahului dengan
pembunuhan terhadap Jenderal A. Yani dan lainnya sebagai korban tumbal serta
berikutnya dengan tuduhan palsu PKI kup. Jenderal Soeharto membunuh jutaan
orang, menahan dan memenjara ratusan ribu orang selama belasan tahun,
merampas hak kewarganegaraan puluhan juta orang yang sampai kini masih
didiskriminasi serta distigmasisasi yang diwujudkan seperti instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 32 tahun 1981 yang kemudian diganti dengan
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 10 tahun 1997 dan disusul dengan
peraturan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
Departemen Dalam Negeri tentang pengawasan dan pembinaan terhadap ex tapol
dan napol G30S yang isinya melarang mereka menjalani kehidupan sebagai guru
/ dosen, pengarang/ penulis/ wartawan, pengacara/ penasihat hokum, menjadi
Ketua Rukun Tetangga/ Rukun Warga, anggota Dewan Pemerintahan Desa, tidak
bisa memperoleh Kartu Tanda Penduduk seumur hidup bagi mereka yang sudah
mencapai umur 60 tahun ke atas dan berbagai stigmasisasi yang masih terus
ditebarkan oleh berbagai instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Diskriminasi terhadap kewarganegaraan sangat menyolok pada Undang-undang
Pemilu tahun 2003 pasal 60 tentang syarat untuk dapat dipilih menjadi
anggota legislative, eksekutif, huruf g yang berbunyi "Bukan bekas anggota
organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya,
atau orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G30S/ PKI atau
organisasi terlarang lainnya."
Peristiwa 1965 yang diikuti dengan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan
berupa pembunuhan, yang menurut keterangan almarhum Jenderal Sarwo Edi
Wibowo-mantan Komandan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD)- kepada
Permadi, S.H., SEJUMLAH 3.000.000 orang. Penahanan / pengasingan/ dihukum
berjumlah 1.900.000 orang menurut keterangan resmi Komando Pertahanan dan
Ketertiban Nasional (dibubarkan dengan Kepres No. 38/2000) dan perampasan
hak kewarganegaraan pada lebih kurang 20.000.000 orang yang sampai sekarang
ini masih berlangsung, penyiksaan berat pada puluhan ribu orang yang
diperiksa secara tidak sah/ melanggar hokum dan perampasan melawan hukum
kekayaan, harta benda baik yang berupa harta bergerak maupun tak bergerak
seperti tanah, rumah, perhiasan, mobil, sepeda motor dan lainnya,
meninggalkan kenangan dan luka menyakitkan hati yang dalam pada puluhan juta
korban, dan keluarganya.
Rasa luka dan sakit hati yang dalam ini bukan saja diderita oleh korban
peristiwa 1965 saja tetapi juga oleh korban rezim Orde Baru dalam peristiwa
lain seperti dinyatakan Abdul Hakim Garuda Nusantara, anggota Komnas HAM:
Pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan
Irian Jaya (1976-1983);
Penembakan Misterius, yaitu pembunuhan terhadap pelaku kriminal (1983-1986);
Pembantaian terhadap kaum Muslim di Tanjung Priok Jakarta (1984);
Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap para aktivis politik Islam
(Kelompok Usro 1985-1988, terutama di daerah Jawa);
Pembantaian kelompok Warsidi yang dituduh mendirikan Negara Islam Indonesia
di Lampung (1989);
Penyiksaan dan pembunuhan terhadap Jemaat HKBP (1992-1993);
Pembantaian Kelompok Haur Koneng, Majalengka Jawa Barat (1993);
Pembunuhan petani Nipah Madura (1993);
Pembunuhan dan penyiksaan pada peristiwa penyerbuan kantor PDI Jalan
Diponegoro Jakarta (27 Juli 1996);
Operasi Militer Aceh II (1989-1998);
Pembunuhan di Irian Jaya (1994-1995);
Pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, perampokan di Jakarta (Mei 1998);
Penculikan, pembunuhan, penganiayaan terhadap aktivis mahasiswa menjelang
lengsernya Soeharto (1997-1998);
dan seterusnya tragedi kemanusiaan sebagai kejahatan rezim Orde Baru.
Kategori Kejahatan dan Korban
Dari tragedi-tragedi kejahatan kemanusiaan ini dapat dikategorikan menjadi
3, yaitu:
Kategori pertama A, yaitu peristiwa 1965-1967: perebutan kekuasaan
kudeta dan peletakan dasar system politik, ekonomi, social budaya Orde
Baru.
Korban kejahatan Jenderal Soeharto pada tingkat ini, yaitu pembunuhan
terhadap Jenderal A. Yani dan lainnya harus dikorbankan karena almarhum
adalah kekuatan militer pendukung Sukarno dan penghancur kekuatan anti
Soekarno dan anti Republik waktu itu.
Kategori pertama B, penangkapan, pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, terhadap
kekuatan rakyat yang dikambinghitamkan atau di-PKI-kan, adalah tindakan
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Jenderal Soeharto untuk menghancurkan
kekuatan sosial-politik penyangga Presiden Sukarno demi dibangunnya system
politik, ekonomi, sosial, budaya Orde Baru. Mereka ini dianggap musuh utama
dan pokok karena itu juga harus dicabut hak politik dan sosialnya, hak
kewarganegaraannya.
Kategori Kedua, tindakan-tindakan kejahatan kemanusiaan no.1 sampai dengan
13, ialah tindakan kejahatan untuk memperkuat, menstabilkan dan melestarikan
kekuasaan Orde Baru.
Kategori Ketiga ialah tindakan-tindakan kejahatan kemanusiaan, kriminalitas
yang diorganisasikan kekuatan Orde Baru setelah Jenderal Soeharto mundur
dari kedudukannnya sebagai Presiden. Tindakan ini dimaksudkan untuk
menghalangi, mengintimidasi rakyat demi tersusunnya kekuasaan transisi ke
demokrasi.
Kejahatan kemanusiaan yang termasuk kategori pertama B, adalah tindakan
penghancuran terhadap kekuatan musuh utama dan pokok dari rezim Orde Baru
Soeharto, karena itu bukan hanya dihancurkan secara fisik tetapi juga moral,
psikologi dan mental, termasuk dicabut hak-hak sebagai warga Negara- yang
hingga kini masih berlangsung.
Mereka ini merupakan jumlah terbesar dan penderitaan terberat dan terlama
dan terdalam dari para korban Orde Baru. Ini tidak berarti korban kategori
kedua dan ketiga itu lebih ringan penderitaannya. Penderitaan mereka juga
berat dan dalam.
Dalam hiruk-pikuk isu rekonsiliasi yang mempunyai juga latar belakang untuk
menghadapi Pemilihan Umum 2004 yang akan dating, seharusnyalah orang
mempunyai dasar dan landasan pemikiran yang jernih, hati-hati, dan dalam
serta menghindari tipu muslihat yang dilakukan, baik oleh sisa-sisa kekuatan
Orba yang masih bercokol, maupun oleh kekuasaan yang ada untuk memecah-belah
dan mengadu domba, membodohi dengan apa yang disebut rekonsiliasi untuk
memuluskan kolaborasi antara dua kelompok itu tetapi mengorbankan nasib
korban yang sengaja dikorbankan lagi.
Dimensi Rekonsiliasi
Rekonsiliasi mempunyai dua dimensi, pertama dimensi horizontal, dan kedua
dimensi vertikal. Dimensi horizontal ialah rekonsiliasi antar masyarakat
luas atau yang dikiaskan antar grassroot, antar korban serta keluarganya
dengan lapisan masyarakat luas secara natural telah berjalan lancar, karena
diantara mereka tidak banyak persoalan dasar pokok. Yang ada dan terjadi
karena mereka terhasut oleh kekuatan militer Angkatan Darat masa lalu
melalui dan menggunakan berbagai jenjang komando, yang kemudian sebagian
besar mereka menyadari bahwa dirinya dihasut. Demikian juga di antara
keluarga dan anak mereka sudah lama terjadi rekonsiliasi secara natural.
Sedangkan rekonsiliasi di antara anak-anak tokoh politik, jenderal dan
perwira hanya soal waktu dan seiring tumbuhnya kesadaran bahwa ayah mereka
adalah korban intrik, kelicikan Soeharto dalam melakukan kudeta yang
didalangi CIA (AS), MI6 Inggris) dan lainnya. Anak-anak itu umumnya termasuk
lapisan muda yang terdidik. Walaupun pernah diracuni oleh sistem, metode dan
materi pendidikan Orba, namun karena kemampuan berpikir kritis yang
diperoleh melalui bahan bacaan dan pandangan ke depan yang luas, maka cepat
atau lambat mereka akan dapat memahami peristiwa sejarah tersebut secara
jernih. Rezim Orde Baru Jenderal Soeharto dapat membodohi masyarakat dan
generasi muda untuk sesaat, tetapi tidak untuk selamanya. Betapapun Orde
Baru pandai menyembunyikan kejahatan , akhirnya pasti terbuka dan
dilawannya. Loyang walaupun disepuh emas betapun tebalnya, akhirnya akan
terbukti bahwa itu tetap sebuah loyang, dan orang akan melemparnya sebagai
barang tak bernilai yang pantas disimpan.
Kesulitan Rekonsiliasi
Yang sangat sulit dihadapi para korban ialah rekonsiliasi vertical,
rekonsiliasi dengan kekuasaan dan kekuatan Orba yang dilindungi oleh
kekuasaan. Mereka takut melakukan rekonsiliasi yang sebenarnya. Mereka hanya
menghendaki dan mensponsori rekonsiliasi bohong-bohongan atau tipuan. Konsep
rekonsiliasi mereka ialah saling memaafkan dan melupakan masa lampau.
Dalam pidato tersebut di atas, Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan bahwa
dilemma yang dihadapi Negara transisi dalam menjawab tuntutan masyarakat
atas kejahatan hak asasi manusia (gross violation of human right) yang
terjadi di bawah rezim politik sebelumnya. "Apakah memilih jalan menghukum,
memaafkan atau melupakan ?"
Rekonsiliasi Adalah Jalan yang Tepat
Rekonsiliasi adalah jalan tepat yang harus ditempuh, tetapi rekonsiliasi
yang bagaimana ? Apakah mengumpulkan banyak orang dari berbagai pihak,
bersalaman, makan enak di hotel berbintang, saling memaafkan dan melupakan
masa lalu, sementara para korban masih menderita, terdiskriminasi dan
ditimpakan stigma ?
Kalau ini dilakukan hanya untuk kesalahan pribadi keluarga atau kelompok
kecil masyarakat ada kemungkinan bisa diterima. Namun untuk sederet
peristiwa kejahatan kemanusiaan besar berdimensi nasional yang berlangsung
cara seperti ini adalah sangat muskil dan mustahil untuk menyelesaikan
masalah.
Rekonsiliasi yang tepat ialah rekonsiliasi dalam kedudukan yang setara dari
semua pihak. Ini berarti Si Korban harus direhabilitasi terlebih dahulu
(Pasal14 UUD 1945), dipulihkan posisi kewarganegaraannya yang sama dan
setara dengan warga Negara lainnya (Pasal 27 UUD 1945), dan dicabutnya semua
produk perundang-undangan dan peraturan yang diskriminatif dan memberikan
stigma kepada korban (Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945), setelah itu maka
persoalannya harus diusut salah benarnya dan dihadapkan ke pengadilan. Demi
kebenaran dan keadilan, yang salah harus dinyatakan salah dan dihukum sesuai
dengan kesalahan dan kejahatan yang pernah dilakukan. Sementara itu
pemerintah harus mengambil langkah untuk memberi kompensasi dan restribusi
pada korban, termasuk yang dibunuh. Jadi rekonsiliasi nasional harus
dijalankan berdasarkan prinsip kesetaraan, rehabilitasi, kebenaran dan
keadilan
Rekonsiliasi bukan sekadar janji dari pihak manapun, baik pemerintah maupun
partai politik. Hutang ini harus dibayar kontan, bukannya kredit. Ini
berarti Presiden Republik Indonesia harus (tanpa syarat) terlebih dahulu
mendekritkan rehabilitasi, baru kemudian dilakukan rekonsiliasi atas dasar
kebenaran dan keadilan.
Jalan ini bisa ditempuh asalkan ada political will yang sungguh-sungguh dan
tidak ragu-ragu dari pemerintah, meskipun menghadapi reaksi anti dari pihak
lain. Yang pasti langkah ini akan mendapatkan dukungan luas, sebab inilah
jalan yang harus ditempuh untuk menyelamatkan rakyat, bangsa dan Negara
Republik Indonesia dewasa ini.
Rekonsiliasi nasional adalah tuntutan sejarah dalam kehidupan bangsa
Indonesia, oleh karena itu keikutsertaan semua pihak yang terkait dan
bertanggung jawab dalam kehidupan bangsa sejak pemerintahan nasional
demokratis Bung Karno, korban Orde Baru dan lainnya yang betul-betul konsern
dalam penyelesaian peroalan maksimal dewasa ini dengan jalan rekonsiliasi
mutlak perlu.
Unsur-unsur yang harus disertakan adalah:
Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri
Mantan anggota pemerintahan terakhir Bung Karno
Keluarga korban G30S 1965 yang dijadikan tumbal kekuasaan Orde Baru
Warga Negara sah Republik Indonesia korban rezim Orde Baru dalam peristiwa
1965 yang pernah ditahan dan sampai sekarang masih mengalami penindasan
akibat diskriminasi dan penimpaan stigma
Rezim Orde Baru Jenderal Soeharto yang telah memorak-porandakan kehidupan
bangsa Indonesia yang bermuara pada krisis multi dimensional saat ini
Korban rezim Orde Baru sampai jatuhnya pemerintahan Soeharto dan geerasi
muda yang melakukan perlawanan
Tokoh-tokoh masyarakat, organisasi Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha,
serta cendikiawan yang mempunyai konsern terhdap pemecahan masalah nasional
dewasa ini dengan rekonsiliasi nasional.
Semua unsur yang terkait untuk rekonsiliasi nasional tersebut harus
mempunyai status hukum kewarganegaraan yang sama dan sah menurut
undang-undang, oleh sebab itu warga Negara Indonesia korban G30S sebagai
unsur pokok dalam rekonsiliasi nasional harus dihapuskan diskriminasi
melalui rehabilitasi dengan peraturan perundang-undangan atau Kepres, bukan
sekadar pernyataan yang tak memiliki kekuatan hukum.
Mereka yang mewakili unsur pokok tersebut bukanlah orang-perorangan secara
pribadi atau kepentingan keluarga, tetapi harus mewakili korban Orde Baru
dalam peristiwa 1965 yang pernah masuk tahanan politik Orde Baru dan
dirampas hak-haknya sebagai warga negara penuh selama 37 tahun. Karena itu
jumlah wakil mereka paling sedikit 5 orang dan paling banyak 9 orang.
Karena itu maka tujuan rekonsiliasi nasional haruslah menyelamatkan
kepentingan bangsa secara menyeluruh dalam hubungannya dengan krisis multi
dimensional, khususnya krisis kepemimpinan dan kepercayaan. Untuk itu maka
agenda rekonsiliasi nasional adalah sebagai berikut:
Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat, demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
Mengungkapkan tabir peristiwa G30 S secara jujur, terbuka dan adil. Siapa
pelaku, korban tumbal dan korban penindasan sebagai kambing hitam, sehingga
dapat ditentukan nilai kesalahan, kebenaran dan keadilan dalam kehidupan
bangsa ini,
Ikut serta melakukan reformai demokratis dalam segala bidang kehidupan
bernegara dan bermasyarakat sesuai kondisi objektif di Indonesia,
Ikut mendorong dan membangun ekonomi nasional berdasarkan kekuatan nasional
sendiri sebagai dasarnya dan bekerja sama dengan kekuatan ekonomi luar
negeri untuk memajukan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia,
Ikut serta membangun kebudayaan yang berkepribadian Indonesia tanpa menolak
kebudayaan asing yang maju untuk memajukan dan memperkaya serta meningkatkan
kebudayaan nasional Indonesia.
Jakarta, 20 Mei 2003
DPP LPR-KROB
Ketua Umum Sumaun Utomo
Sekretaris Jenderal Achmad Soebarto
Sekretariat: Jl. Jati Raya No.4 (Belakang) RT 007/10 Pasar Minggu
Jakarta Selatan 12520
Telepon: (021) 7802557-9147026 Sumber:
https://groups.yahoo.com/neo/groups/pdimega/conversations/messages/2286
EmoticonEmoticon