Rekonsiliasi nasional syarat mutlak

June 15, 2014

Rekonsiliasi nasional syarat mutlak

Expand Messages
  • Umar Said
    May 30, 2003
    Berikut di bawah ini disajikan pernyataan Dewan Pimpinan Pusat Lembaga
    Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPR-KROB) mengenai
    rekonsiliasi nasional. Mengingat pentingnya isi pernyataan ini maka bahan
    ini juga disiarkan dalam website http://perso.club-internet.fr/kontak/
    sebagai dokumen permanen.

    A. Umar Said

    * * *

    REKONSILIASI NASIONAL SYARAT MUTLAK
    TERBENTUKNYA TATA KEHIDUPAN NASIONAL
    YANG DEMOKRATIS

    Dalam menghadapi Pemilihan Umum 2004 yang akan datang, akhir-akhir ini
    mencuat kembali isu rekonsiliasi yang dilontarkan oleh berbagai pihak dan
    bersamaan dengan itu pula banyak diselenggarakan berbagai pertemuan
    silaturahmi serta diskusi antara berbagai pihak yang sadar perlu adanya
    rekonsiliasi nasional.
    Rekonsiliasi dalam arti kata bisa berarti perukunan kembali, penyelesaian
    perbedaan, pertengkaran atau percekcokan untuk menuju perdamaian, adalah
    suatu modus yang baik untuk mengatasi persoalan konflik politik,
    kepentingan, krisis multi dimensi termasuk krisis kepercayaan terhadap
    pimpinan nasional di Indonesia dewasa ini.

    Krisis Kepercayaan dan Korban Kejahatan

    Krisis ini terjadi sejak masa akhir pemerintahan Presiden Sukarno, dengan
    kudeta Jenderal Soeharto yang disebut peristiwa G30S 1965, didahului dengan
    pembunuhan terhadap Jenderal A. Yani dan lainnya sebagai korban tumbal serta
    berikutnya dengan tuduhan palsu PKI kup. Jenderal Soeharto membunuh jutaan
    orang, menahan dan memenjara ratusan ribu orang selama belasan tahun,
    merampas hak kewarganegaraan puluhan juta orang yang sampai kini masih
    didiskriminasi serta distigmasisasi yang diwujudkan seperti instruksi
    Menteri Dalam Negeri No. 32 tahun 1981 yang kemudian diganti dengan
    Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 10 tahun 1997 dan disusul dengan
    peraturan Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat
    Departemen Dalam Negeri tentang pengawasan dan pembinaan terhadap ex tapol
    dan napol G30S yang isinya melarang mereka menjalani kehidupan sebagai guru
    / dosen, pengarang/ penulis/ wartawan, pengacara/ penasihat hokum, menjadi
    Ketua Rukun Tetangga/ Rukun Warga, anggota Dewan Pemerintahan Desa, tidak
    bisa memperoleh Kartu Tanda Penduduk seumur hidup bagi mereka yang sudah
    mencapai umur 60 tahun ke atas dan berbagai stigmasisasi yang masih terus
    ditebarkan oleh berbagai instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.

    Diskriminasi terhadap kewarganegaraan sangat menyolok pada Undang-undang
    Pemilu tahun 2003 pasal 60 tentang syarat untuk dapat dipilih menjadi
    anggota legislative, eksekutif, huruf g yang berbunyi "Bukan bekas anggota
    organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya,
    atau orang yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G30S/ PKI atau
    organisasi terlarang lainnya."

    Peristiwa 1965 yang diikuti dengan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan
    berupa pembunuhan, yang menurut keterangan almarhum Jenderal Sarwo Edi
    Wibowo-mantan Komandan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD)- kepada
    Permadi, S.H., SEJUMLAH 3.000.000 orang. Penahanan / pengasingan/ dihukum
    berjumlah 1.900.000 orang menurut keterangan resmi Komando Pertahanan dan
    Ketertiban Nasional (dibubarkan dengan Kepres No. 38/2000) dan perampasan
    hak kewarganegaraan pada lebih kurang 20.000.000 orang yang sampai sekarang
    ini masih berlangsung, penyiksaan berat pada puluhan ribu orang yang
    diperiksa secara tidak sah/ melanggar hokum dan perampasan melawan hukum
    kekayaan, harta benda baik yang berupa harta bergerak maupun tak bergerak
    seperti tanah, rumah, perhiasan, mobil, sepeda motor dan lainnya,
    meninggalkan kenangan dan luka menyakitkan hati yang dalam pada puluhan juta
    korban, dan keluarganya.
    Rasa luka dan sakit hati yang dalam ini bukan saja diderita oleh korban
    peristiwa 1965 saja tetapi juga oleh korban rezim Orde Baru dalam peristiwa
    lain seperti dinyatakan Abdul Hakim Garuda Nusantara, anggota Komnas HAM:

    Pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan
    Irian Jaya (1976-1983);
    Penembakan Misterius, yaitu pembunuhan terhadap pelaku kriminal (1983-1986);
    Pembantaian terhadap kaum Muslim di Tanjung Priok Jakarta (1984);
    Penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap para aktivis politik Islam
    (Kelompok Usro’ 1985-1988, terutama di daerah Jawa);
    Pembantaian kelompok Warsidi yang dituduh mendirikan Negara Islam Indonesia
    di Lampung (1989);
    Penyiksaan dan pembunuhan terhadap Jema’at HKBP (1992-1993);
    Pembantaian Kelompok Haur Koneng, Majalengka Jawa Barat (1993);
    Pembunuhan petani Nipah Madura (1993);
    Pembunuhan dan penyiksaan pada peristiwa penyerbuan kantor PDI Jalan
    Diponegoro Jakarta (27 Juli 1996);
    Operasi Militer Aceh II (1989-1998);
    Pembunuhan di Irian Jaya (1994-1995);
    Pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, perampokan di Jakarta (Mei 1998);
    Penculikan, pembunuhan, penganiayaan terhadap aktivis mahasiswa menjelang
    lengsernya Soeharto (1997-1998);
    dan seterusnya tragedi kemanusiaan sebagai kejahatan rezim Orde Baru.
    Kategori Kejahatan dan Korban
    Dari tragedi-tragedi kejahatan kemanusiaan ini dapat dikategorikan menjadi
    3, yaitu:

    Kategori pertama A, yaitu peristiwa 1965-1967: perebutan kekuasaan –
    kudeta – dan peletakan dasar system politik, ekonomi, social budaya Orde
    Baru.
    Korban kejahatan Jenderal Soeharto pada tingkat ini, yaitu pembunuhan
    terhadap Jenderal A. Yani dan lainnya harus dikorbankan karena almarhum
    adalah kekuatan militer pendukung Sukarno dan penghancur kekuatan anti
    Soekarno dan anti Republik waktu itu.

    Kategori pertama B, penangkapan, pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, terhadap
    kekuatan rakyat yang dikambinghitamkan atau di-PKI-kan, adalah tindakan
    kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Jenderal Soeharto untuk menghancurkan
    kekuatan sosial-politik penyangga Presiden Sukarno demi dibangunnya system
    politik, ekonomi, sosial, budaya Orde Baru. Mereka ini dianggap musuh utama
    dan pokok karena itu juga harus dicabut hak politik dan sosialnya, hak
    kewarganegaraannya.

    Kategori Kedua, tindakan-tindakan kejahatan kemanusiaan no.1 sampai dengan
    13, ialah tindakan kejahatan untuk memperkuat, menstabilkan dan melestarikan
    kekuasaan Orde Baru.

    Kategori Ketiga ialah tindakan-tindakan kejahatan kemanusiaan, kriminalitas
    yang diorganisasikan kekuatan Orde Baru setelah Jenderal Soeharto mundur
    dari kedudukannnya sebagai Presiden. Tindakan ini dimaksudkan untuk
    menghalangi, mengintimidasi rakyat demi tersusunnya kekuasaan transisi ke
    demokrasi.
    Kejahatan kemanusiaan yang termasuk kategori pertama B, adalah tindakan
    penghancuran terhadap kekuatan musuh utama dan pokok dari rezim Orde Baru
    Soeharto, karena itu bukan hanya dihancurkan secara fisik tetapi juga moral,
    psikologi dan mental, termasuk dicabut hak-hak sebagai warga Negara- yang
    hingga kini masih berlangsung.
    Mereka ini merupakan jumlah terbesar dan penderitaan terberat dan terlama
    dan terdalam dari para korban Orde Baru. Ini tidak berarti korban kategori
    kedua dan ketiga itu lebih ringan penderitaannya. Penderitaan mereka juga
    berat dan dalam.

    Dalam hiruk-pikuk isu rekonsiliasi yang mempunyai juga latar belakang untuk
    menghadapi Pemilihan Umum 2004 yang akan dating, seharusnyalah orang
    mempunyai dasar dan landasan pemikiran yang jernih, hati-hati, dan dalam
    serta menghindari tipu muslihat yang dilakukan, baik oleh sisa-sisa kekuatan
    Orba yang masih bercokol, maupun oleh kekuasaan yang ada untuk memecah-belah
    dan mengadu domba, membodohi dengan apa yang disebut rekonsiliasi untuk
    memuluskan kolaborasi antara dua kelompok itu tetapi mengorbankan nasib
    korban yang sengaja dikorbankan lagi.

    Dimensi Rekonsiliasi

    Rekonsiliasi mempunyai dua dimensi, pertama dimensi horizontal, dan kedua
    dimensi vertikal. Dimensi horizontal ialah rekonsiliasi antar masyarakat
    luas atau yang dikiaskan antar grassroot, antar korban serta keluarganya
    dengan lapisan masyarakat luas secara natural telah berjalan lancar, karena
    diantara mereka tidak banyak persoalan dasar pokok. Yang ada dan terjadi
    karena mereka terhasut oleh kekuatan militer Angkatan Darat masa lalu
    melalui dan menggunakan berbagai jenjang komando, yang kemudian sebagian
    besar mereka menyadari bahwa dirinya dihasut. Demikian juga di antara
    keluarga dan anak mereka sudah lama terjadi rekonsiliasi secara natural.

    Sedangkan rekonsiliasi di antara anak-anak tokoh politik, jenderal dan
    perwira hanya soal waktu dan seiring tumbuhnya kesadaran bahwa ayah mereka
    adalah korban intrik, kelicikan Soeharto dalam melakukan kudeta yang
    didalangi CIA (AS), MI6 Inggris) dan lainnya. Anak-anak itu umumnya termasuk
    lapisan muda yang terdidik. Walaupun pernah diracuni oleh sistem, metode dan
    materi pendidikan Orba, namun karena kemampuan berpikir kritis yang
    diperoleh melalui bahan bacaan dan pandangan ke depan yang luas, maka cepat
    atau lambat mereka akan dapat memahami peristiwa sejarah tersebut secara
    jernih. Rezim Orde Baru Jenderal Soeharto dapat membodohi masyarakat dan
    generasi muda untuk sesaat, tetapi tidak untuk selamanya. Betapapun Orde
    Baru pandai menyembunyikan kejahatan , akhirnya pasti terbuka dan
    dilawannya. Loyang walaupun disepuh emas betapun tebalnya, akhirnya akan
    terbukti bahwa itu tetap sebuah loyang, dan orang akan melemparnya sebagai
    barang tak bernilai yang pantas disimpan.
    Kesulitan Rekonsiliasi

    Yang sangat sulit dihadapi para korban ialah rekonsiliasi vertical,
    rekonsiliasi dengan kekuasaan dan kekuatan Orba yang dilindungi oleh
    kekuasaan. Mereka takut melakukan rekonsiliasi yang sebenarnya. Mereka hanya
    menghendaki dan mensponsori rekonsiliasi bohong-bohongan atau tipuan. Konsep
    rekonsiliasi mereka ialah saling memaafkan dan melupakan masa lampau.
    Dalam pidato tersebut di atas, Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan bahwa
    dilemma yang dihadapi Negara transisi dalam menjawab tuntutan masyarakat
    atas kejahatan hak asasi manusia (gross violation of human right) yang
    terjadi di bawah rezim politik sebelumnya. "Apakah memilih jalan menghukum,
    memaafkan atau melupakan ?"

    Rekonsiliasi Adalah Jalan yang Tepat

    Rekonsiliasi adalah jalan tepat yang harus ditempuh, tetapi rekonsiliasi
    yang bagaimana ? Apakah mengumpulkan banyak orang dari berbagai pihak,
    bersalaman, makan enak di hotel berbintang, saling memaafkan dan melupakan
    masa lalu, sementara para korban masih menderita, terdiskriminasi dan
    ditimpakan stigma ?
    Kalau ini dilakukan hanya untuk kesalahan pribadi keluarga atau kelompok
    kecil masyarakat ada kemungkinan bisa diterima. Namun untuk sederet
    peristiwa kejahatan kemanusiaan besar berdimensi nasional yang berlangsung
    cara seperti ini adalah sangat muskil dan mustahil untuk menyelesaikan
    masalah.
    Rekonsiliasi yang tepat ialah rekonsiliasi dalam kedudukan yang setara dari
    semua pihak. Ini berarti Si Korban harus direhabilitasi terlebih dahulu
    (Pasal14 UUD 1945), dipulihkan posisi kewarganegaraannya yang sama dan
    setara dengan warga Negara lainnya (Pasal 27 UUD 1945), dan dicabutnya semua
    produk perundang-undangan dan peraturan yang diskriminatif dan memberikan
    stigma kepada korban (Pasal 28 Ayat 1 UUD 1945), setelah itu maka
    persoalannya harus diusut salah benarnya dan dihadapkan ke pengadilan. Demi
    kebenaran dan keadilan, yang salah harus dinyatakan salah dan dihukum sesuai
    dengan kesalahan dan kejahatan yang pernah dilakukan. Sementara itu
    pemerintah harus mengambil langkah untuk memberi kompensasi dan restribusi
    pada korban, termasuk yang dibunuh. Jadi rekonsiliasi nasional harus
    dijalankan berdasarkan prinsip kesetaraan, rehabilitasi, kebenaran dan
    keadilan

    Rekonsiliasi bukan sekadar janji dari pihak manapun, baik pemerintah maupun
    partai politik. Hutang ini harus dibayar kontan, bukannya kredit. Ini
    berarti Presiden Republik Indonesia harus (tanpa syarat) terlebih dahulu
    mendekritkan rehabilitasi, baru kemudian dilakukan rekonsiliasi atas dasar
    kebenaran dan keadilan.

    Jalan ini bisa ditempuh asalkan ada political will yang sungguh-sungguh dan
    tidak ragu-ragu dari pemerintah, meskipun menghadapi reaksi anti dari pihak
    lain. Yang pasti langkah ini akan mendapatkan dukungan luas, sebab inilah
    jalan yang harus ditempuh untuk menyelamatkan rakyat, bangsa dan Negara
    Republik Indonesia dewasa ini.

    Rekonsiliasi nasional adalah tuntutan sejarah dalam kehidupan bangsa
    Indonesia, oleh karena itu keikutsertaan semua pihak yang terkait dan
    bertanggung jawab dalam kehidupan bangsa sejak pemerintahan nasional
    demokratis Bung Karno, korban Orde Baru dan lainnya yang betul-betul konsern
    dalam penyelesaian peroalan maksimal dewasa ini dengan jalan rekonsiliasi
    mutlak perlu.

    Unsur-unsur yang harus disertakan adalah:
    Pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri
    Mantan anggota pemerintahan terakhir Bung Karno
    Keluarga korban G30S 1965 yang dijadikan tumbal kekuasaan Orde Baru
    Warga Negara sah Republik Indonesia korban rezim Orde Baru dalam peristiwa
    1965 yang pernah ditahan dan sampai sekarang masih mengalami penindasan
    akibat diskriminasi dan penimpaan stigma

    Rezim Orde Baru Jenderal Soeharto yang telah memorak-porandakan kehidupan
    bangsa Indonesia yang bermuara pada krisis multi dimensional saat ini
    Korban rezim Orde Baru sampai jatuhnya pemerintahan Soeharto dan geerasi
    muda yang melakukan perlawanan
    Tokoh-tokoh masyarakat, organisasi Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha,
    serta cendikiawan yang mempunyai konsern terhdap pemecahan masalah nasional
    dewasa ini dengan rekonsiliasi nasional.

    Semua unsur yang terkait untuk rekonsiliasi nasional tersebut harus
    mempunyai status hukum kewarganegaraan yang sama dan sah menurut
    undang-undang, oleh sebab itu warga Negara Indonesia korban G30S sebagai
    unsur pokok dalam rekonsiliasi nasional harus dihapuskan diskriminasi
    melalui rehabilitasi dengan peraturan perundang-undangan atau Kepres, bukan
    sekadar pernyataan yang tak memiliki kekuatan hukum.

    Mereka yang mewakili unsur pokok tersebut bukanlah orang-perorangan secara
    pribadi atau kepentingan keluarga, tetapi harus mewakili korban Orde Baru
    dalam peristiwa 1965 yang pernah masuk tahanan politik Orde Baru dan
    dirampas hak-haknya sebagai warga negara penuh selama 37 tahun. Karena itu
    jumlah wakil mereka paling sedikit 5 orang dan paling banyak 9 orang.
    Karena itu maka tujuan rekonsiliasi nasional haruslah menyelamatkan
    kepentingan bangsa secara menyeluruh dalam hubungannya dengan krisis multi
    dimensional, khususnya krisis kepemimpinan dan kepercayaan. Untuk itu maka
    agenda rekonsiliasi nasional adalah sebagai berikut:
    Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat, demokratis
    berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945,
    Mengungkapkan tabir peristiwa G30 S secara jujur, terbuka dan adil. Siapa
    pelaku, korban tumbal dan korban penindasan sebagai kambing hitam, sehingga
    dapat ditentukan nilai kesalahan, kebenaran dan keadilan dalam kehidupan
    bangsa ini,

    Ikut serta melakukan reformai demokratis dalam segala bidang kehidupan
    bernegara dan bermasyarakat sesuai kondisi objektif di Indonesia,
    Ikut mendorong dan membangun ekonomi nasional berdasarkan kekuatan nasional
    sendiri sebagai dasarnya dan bekerja sama dengan kekuatan ekonomi luar
    negeri untuk memajukan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat
    Indonesia,
    Ikut serta membangun kebudayaan yang berkepribadian Indonesia tanpa menolak
    kebudayaan asing yang maju untuk memajukan dan memperkaya serta meningkatkan
    kebudayaan nasional Indonesia.

    Jakarta, 20 Mei 2003

    DPP LPR-KROB
    Ketua Umum Sumaun Utomo
    Sekretaris Jenderal Achmad Soebarto
    Sekretariat: Jl. Jati Raya No.4 (Belakang) RT 007/10 Pasar Minggu
    Jakarta Selatan 12520
    Telepon: (021) 7802557-9147026
    Sumber:
    https://groups.yahoo.com/neo/groups/pdimega/conversations/messages/2286

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »