Resume Kasus Konflik Agraria Petani Jambi

June 15, 2014

Resume Kasus Konflik Agraria Petani Jambi

  1. 1.      Suku Anak Dalam (SAD) 113 Jambi
1.1.  Pokok Masalah
  • Obyek sengketa : Tanah adat seluas 3.550 Ha yang berada dalam kawasan HGU PT. Asiatic Persada di Desa Bungku, Kec. Bajubang, Kabupaten Batang Hari, Jambi.
  • Para pihak : Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok 113 dengan PT. Asiatic Persada (dahulu bernama PT. Bangun Desa Utama)
  • Dasar Masalah: Tanah dan perkampungan masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok 113 tiga dusun (Tanah Menang, Pinang Tinggi, Padang Salak) yang berada di areal HGU  PT. Asiatic Persada belum dibebaskan.
1.2.  Kronologis Kasus
a)         Kasus ini berawal dari Pencadangan Tanah sesuai SK Gubernur Jambi No. 188.4/599/1985, yang mencadangkan tanah seluas 40.000 Ha untuk perkebunan sawit PT. Bangun Desa Utama (BDU).
b)        Surat Keputusan Gubernur tersebut di tindak lanjuti dengan Surat Keputusan Mendagri No.SK.46/HGU/DA/1986 tanggal 1 September 1986 tentang Pemberian HGU kepada PT. BDU seluas 20.000 Ha yang terletak di Kec. Muaro Bulian, Kab. Batang Hari. Izin HGU itu berlaku sampai dengan 31 Desember 2021.
c)         Berdasarkan SK Menteri Kehakiman tanggal 6 Juni 1992 No: C.4726 HT.01.04 Tahun 1992, PT. Bangun Desa Utama beralih menjadi PT. Asiatic Persada.
d)        Dalam ijin prinsip PT. Asiatic Persada, terdapat kewajiban hukum untuk melepaskan area pemukiman, perladangan, dan semak belukar milik masyarakat, yang kemudian disebut sebagai tanah adat Suku Anak Dalam (SAD) yang terdapat di tiga perkampungan (dusun tua) yaitu, Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang.
e)         Keberadaan perkampungan Suku Anak Dalam sudah ada sejak zaman Belanda. Hal ini diketahui berdasarkan Surat Keterangan tanggal 20 Desember 1940 dari BC Mantri Politic. Surat Keterangan tanggal 20 November 1940 dari Mantri Politic Menara Tembesi di buat di hadapan Gez En Accord Muara Tembesi, di saksikan Penghulu Dusun Singkawang dan Pasirah Pemayung Ulu, menerangkan wilayah perkampungan masyarakat Suku Anak Dalam Dusun Pinang Tinggi, Padang Salak dan Tanah Menang wilayah Sungai Bahar.
f)         Surat ini di kuatkan dengan surat sebelumnya yaitu Surat ResidentPalembang No: 211 Tanggal 4 September 1930 dan No: 233 Tanggal 25 Oktober 1927.
g)        Selain itu, Kepala Pasirah Marga Batin V Muara Tembesi, Ibrahim Tarab, pernah mengeluarkan Surat Keterangan Sembilan Batin yang tertanggal 4 Maret 1978. Isi surat menyebutkan keberadaan Suku Anak Dalam di Hutan Jebak, Jangga, Cerobong Besi, Padang Salak, Bahar, Pinang Tinggi sampai ke Burung Antu Pemusiran. Dan beberapa surat-surat berlogo Garudatentang keterangan hak milik yang masih tulis tangan, yang dibuat oleh Kepala Kampung pada tahun 1977.
h)        Mulanya Menteri Kehutanan memberi pelepasan kawasan hutan seluas 27.252 Ha dari 40.000 Ha lahan pencadangan Gubernur Jambi, lalu HGU seluas 20.000 Ha direalisasikan menjadi milik PT. BDU yang berganti nama menjadi PT. Asiatic Persada, dan kemudian perusahaan CDC-Pacrim Inggris di tahun 2000 menjadi pemegang saham mayoritas, lalu pada tahun 2006 pemegang saham mayoritas berpindah lagi keperusahaan Cargill AmerikaSerikat, dan di tahun 2010 saham mayoritas dibeli Willmar Group Malaysia. Sedangkan sisanya 7.150 Ha jatuh ketangan PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT. Jammer Tulen, keduanya anak perusahaan Willmar Group.
i)          Dengan mengantongi izin tersebut, pihak perusahaan menggusur tiga dusun, Tanah Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak. Perampasan tanah disertai dengan pelanggaran HAM, membuat kehidupan SAD sangat memprihatinkan.
j)          Jumlah SAD berdasarkan hasil verfikasi Pemda Batanghari, sebanyak 1.900-an jiwa, yang tersebar di tiga ka,pung tersebut.
k)        Pada tanggal 18 Juli s/d 25 Juli 2007, Kanwil BPN Jambi mengadakan penelitian di lapangan. Hasilnya, pihak BPN mengakui keberadaan bekas perkampungan SAD Kelompok 113 tersebut.
l)          Semula, pihak perusahaan tidak mengakui hasil penelitian dan fakta hukum tersebut.  PT. Asiatic Persada menwarkan lahan 1000 Ha dengan pola Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA).  Oleh karena itu, SAD 113 menyatakan bahwa tidak setuju dengan kesepakatan pola 1000 Ha KKPA.
m)      Pada bulan Maret 2012, ditemukanlah peta mikro yang menjelaskan keberadaan wilayah tiga dusun tersebut, sebagaimana tertuang dalam Ijin Prinsip Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Jakarta No. 393/VII-4/1987 tanggal 11 Juli 1987, tertera keterangan lokasi yang dilepaskan seluas 27.150 Ha terdapat lokasi masih berhutan 23.00 Ha, belukar 1.400 Ha, perladangan 2.100 Ha, dan pemukiman penduduk 50 Ha.
n)        Dengan adanya peta mikro tersebut, setelah di overlay oleh pihak BPN Porvinsi yang bekerjasama dengan Dinas Kehutanan Porvinsi, maka pihak perusahaan dan Pemerintah Daerah telah mengakui keberadaan wilayah tersebut.
  • o)        Pada September 2012, Komnas-HAM memediasi pertemuan warga Pemda Jambi, SAD 113, dan Perusahaan. Dalam pertemuan tersebut disepekati akan diadakan proses pengukuranwilayah enclaveing, dan pembuatan batas berupa parit gajah, yang ditanggung oleh pihak perusahaan. Akan tetapi, hingga saat ini, kesepakatan tersebut belum dilaksanakan oleh pihak PT. Asiatic persada.
1.3.  Tuntutan:
Pemerintah segera merealisasikan keputusan BPN untuk mengenclave 3.550 Ha tanah adat Suku Anak Dalam (SAD) 113 di Jambi.

  1. 2.      Petani Kunangan Jaya II
2.1.  Pokok Kasus
  • Obyek sengketa: Tanah garapan petani Kunangan Jaya II, Bungku, Bajubang, Batang Hari, Jambi, seluas 7.489 Hektar yang berada dalam kawasan HTI PT. Agronusa Alam Sejahtera (AAS), PT. Wanakasita Nusantara (WN) dan PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI).
  • Para pihak: (1). Petani Kunangan Jaya II dengan pihak PT. Agronusa Alam Sejahtera, dan PT. Wanakasita Nusantara (Barito Group), serta PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI).
  • Dasar masalah: Tanah Petani Dusun Kunangan Jaya II, menjadi korban perizinan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan RI.
2.2.    Kronologis Kasus
  1. Tahun 1980-an, ketika PT. Asialog mendapat izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas 72.000 Ha di 2 Kabupaten (Kab. Batang Hari dan Kab.Sarolangun). Lalu, masuk lagi dua perusahaan baru: PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT. Jamar Tulen. Kedua perusahaan ini langsung menggusur warga Kunangan Jaya II dari lahan pemukimannya.
  2. Setelah berakhirnya ijin PT. Asialog dengan proyek HPH-nya, masuk lagi dua perusahaan baru: PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT. Jamar Tulen. Kedua perusahaan ini langsung menggusur warga dari lahan pemukimannya.
  3. Saat itu, tahun 2009, Menhut MS Kaban mengeluarkan SK nomor 464/Menhut/II/2009 untul PT. Agronusa Alam Sejahtera dan PT. Wanakasita Nusantara. SK itu memberi legitimasi eksploitasi tanah seluas 22.525 hektar. Tetapi di atas lahan itu terdapat lahan milik warga dusun Kunangan Jaya II seluas 7.489 Hektar Ha.
  4. Berdasarkan SK Menhut nomor 327/Menhut-II/2010, IUPHHK-HTI, pada tanggal 25 Mei 2010, PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI) mendapat konsesi HTI seluas 101.000 Ha, dimana 7.489 Ha diantaranya adalah tanah garapan petani.
  5. PT. REKI, perusahaan yang keluarga pangeran Charles di Inggris ini, melakukan perampasan dan penggusuran terhadap rakyat Kunangan Jaya.
  6. Inilah yang memicu perlawanan warga. Dengan ijin itu, perusahaan melakukan penggusuran dan penangkapan warga yang dituding sebagai perambah hutan, akibatnya, pemukiman warga Kunagan Jaya II terancam tergusur.
  7. Pada tahun 2011, aparat kepolisian Jambi menangkap empat orang warga: Stanggang, N. Naibaho, S. Nababan, dan Supin Menalu, yang dianggap perambah liar. Padahal, warga sudah menempati lahan itu sejak puluhan tahun yang lalu.
  8. Sekitar 30% warga dusun Kunagan Jaya II sudah tinggal di lokasi itu puluhan tahun secara turun-temurun. Selain itu, sejak tahun 1970-an, program transmigrasi telah masuk ke desa tersebut. Sedangkan, pemerintahan Dusun Kunagan Jaya II, telah terbentuk jauh hari sebelum adanya ijin HTI perusahaan.
  9. Saat ini, di Dusun Kunagan Jaya II, terdapat 947 KK, atau sekitar + 3000 jiwa. Selain itu, saran-saran public, seperti sekolah dasar negeri, taman kanak-kanak (PAUD), rumah ibadah, kantor dusun, dan lain-lain.
  10. Pada awal tahun 2011, perwakilan warga mengundang Serikat Tani Nasional (STN) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sejak saat itu, STN dan PRD terlibat mengadvokasi dalam perjuangan rakyat di Kunangan Jaya II, Batanghari.
  11. Pada bulan Juni 2012, Pemkab Batang Hari dan Pemerintah Provinsi membentuk tim penyelesaian konflik yang menghasilkan rekomendasienclaveing, yakni: Indentifikasi, verfikasi, dan pemetaan, bersama rakyat Kunangan Jaya II.
  12. Pihak Pemda Jambi, pihak perusahaan, dan pihak masyarakat telah bersepakat untuk melakukan enclave lahan petani Kuangan Jaya II seluas +7.489 Ha.
2.3.  Tuntutan:
Segera realisasikan proses enclave 7.489 Hektar lahan rakyat Kunangan Jaya II sesuai dengan hasil rekomendasi Pemda Jambi dan kesepakatan pihak menteri Kehutanan, pada tanggal 16 Desember 2011, di Jakarta.

  1. 3.      Petani Mekar Jaya
3.1.  Pokok Kasus
  • Obyek sengketa: Tanah petani Mekar Jaya, Sungai Butang, Mandiangin, Sarolangun Jambi, seluas 3.482 Hektar yang berada dalam kawasan HTI PT. Asiatic Persada (AP), PT. Wanakasita Nusantara (WN).
  • Para pihak: (1). Petani Mekar Jaya berkonflik dengan pihak PT. Agronusa Alam Sejahtera dan PT. Wakanasita Nusantara.
  • Dasar Masalah: Tanah petani tersebut belum dilepaskan/dibebaskan dari perizinan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan RI.
3.2.    Kronologis Kasus
  1. Dusun IV Mekar Jaya adalah pemekaran dari Desa Sei Butang, Mandiangin, Sarolangun, Jambi. Dusun ini dibentuk akibat bertambahnya penduduk transmigrasi yang masuk sejak tahun 1970-an. Di desa itu, tidak tertampung lagi,   maka, tahun 2.000, Pemerintahan Desa dan Pemerintah Kecamatan yang diketahui oleh Bupati Sarolangun, menyetujui pemekaran dusun.
  2. PT. Asialog yang mendapat izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas 72.000 Ha, ternyata “menindis” banyak lahan milik warga. Bahkan perusahaan pernah melakukan pembabatan hutan hingga ke pemukiman warga kampung.
  3. Pada tahun 2008, Dusun IV Kampung Baru, diajukan untuk menjadi desa sendiri sehingga berubah nama mejadi Dusun IV Mekar Jaya, dan telah disetuji oleh Pemerintahan Desa & Kecamatan yang tembusanya kepada pihak Bupati Sarolangun.
  4. Pada tahun 2009, PT. Agronusa Alam Sejahtera dan PT. Wanakasita Nusantara mendapat konsesi HTI dari Kementerian Kehutanan. Perusahaan itu mendapat ijin HTI seluas 22.525 hektar di dua kabupaten (Sarolangun dan Batanghari)
  5. Warga Dusun IV Mekar Jaya adalah korban kebijakan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikeluarkan pemerintah. Saat itu, tahun 2009, Menhut MS Kaban mengeluarkan SK nomor 464/Menhut/II/2009.
  6. SK itu memberi legitimasi kepada PT. Agronusa Alam Sejahtera dan Wanakasita Nusantara untuk mengolah lahan konsensi seluas 22.525 hektar. Yang mulai di kerjakan pada tahun 2011 awal. Tetapi di atas lahan itu terdapat perkampungan dan perladangan warga dusun Mekar Jaya seluas 3.482 Ha.
  7. Dengan mengantongi SK Menhut tersebut dua perusahaan tersebut melakukan penggusuran tanaman warga dengan cara yang tidak manusiawi,menggunakan preman untuk memukuli warga, intimidasi dan melakukan pembakaran rumah warga melalui tangan preman-preman bayaran perusahaan.
  8. Akibatnya, pemukiman dan perladangan warga desa Mekar Jaya terancam tergusur dan masyarakat dusun IV Mekar Jaya hidup dalam rasa takut, intimidasi, dan represif. Padahal, sekitar 50% warga dusun Mekar Jaya sudah tinggal di lokasi itu secara turun-temurun. Jumlah warga sebanyak 375 KK, atau 1.300 Jiwa.
  9. Pada awal tahun 2011, perwakilan warga mengundang Serikat Tani Nasional (STN) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Sejak saat itu, STN dan PRD terlibat mengadvokasi dalam perjuangan rakyat di Kunangan Jaya II, Batanghari.
  10. Pada tanggal 16 November 2011 lalu, Pemkab Kabupaten Sarolangun telah menyetujui hak enclave terhadap lahan yang diklaim petani. Syarat enclave, berupa hasil indentifikasi, verfikasi, dan pemetaan, yang dilakukan oleh tim penyelesaian konflik Kabupaten Sarolangun, baru dapat diselesaikan pada bulan Agustus 2012, dan disetujui pada bulan September 2012.
3.3.  Tuntutan:
Segera realisasikan enclave 3.482 Ha tanah rakyat Mekar Jaya, sesuai dengan kesepakatan pihak Kementerian Kehutanan, pada bulan Desember 2011, di Jakarta. Dan hasil rekomendasi bersama pihak Pemda Jambi dan pihak perusahaan.

  1. 4.      Petani Sungai Toman
4.1.  Dasar Masalah
  • Obyek konflik: Tanah milik petani Sungai Temoan, Mendahara, Tanjung Jabang Timur, Jambi, seluas 754 Hektar dikuasai oleh perusahaan sawit PT. Bukit Barisan Indah Prima (BBIP).
  • Pihak yang berkonflik: Para petani Sungai Toman yang terdiri dari Kelompok Tani Makmur Bersama dan Kelompok Tani Mandiri berkonflik dengan pihak PT. BBIP dan Pemerintah Daerah Tanjung Jabang Timur.
  • Dasar Masalah: Tanah milik petani yang dirampas dan dijadikan lahan perkebunan sawit oleh perusahaan sejak tahun 1996, hingga sekarang ini belum dikembalikan kepada para petani.
4.2.   Kronologis Kasus
  1. Sejak tahun 1970-an, petani menggarap lahan perkebunannya yang terletak di Desa Sungai Toman dan Desa Simpangtuan (masa itu). Untuk itu, Pesirah/Kepala Marga Sabak Kec. Muara Sabak, Kab. Tanjung Jabar, menerbitkan SKPT (Surat Keterangan Penggarapan Tanah) Nomor 76/1977 a.n. Asmuni, yang dikuatkan dengan Surat Pancung Alas Tanah Marga Nomor 272/1977. Selain itu, terbit SKPT Nomor 61/1978 a.n. Azis, yang dikuatkan pula dengan Surat Pancung Alas Tanah Marga Nomor 220/1979, yang menjadi bukti pengelolaan dan kepemilikan perkebunan milik warga setempat.
  2. Namun, pada bulan Desember 1996, Bupati Tanjung Jaung Timur, mengeluarkan izin prinsip Nomor 503/1996 untuk PT. BBIP. Meskipun masih terdaftar dalam kawasan hutan, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat, pada bulan Januari telah menerbitkan  ijin lokasi dengan Nomor Surat 03/1997, dengal luas lahan konsesi 8.000 Hektar, yang menindih lahan petani.
  3. Dalam proses penerbitan ijin tersebut, terjadi maladministrasi (cacat), karena izin pelepasan kawasan hutan menjadi bukan hutan, baru dikeluarkan Kementerian Kehutanan pada bulan Agustus: Nomor 505/1997, seluas 3.214 Hektar untuk PT.BBIP yang berada di dua Kabupaten: Muaro Jambi dan Tanjab Jabung Timur.
  4. Untuk Kab. Tanjab Jabung Timur seluas 1500 Hektar, yang didalamnya terdapat lahan Kelompok Tani Makmur Bersama (a.n. Asmuni) seluas 404 Hektar, dan 350 Hektar milik Kelompok Tani Mandiri (a.n. Azis).
  5. Selain itu, perusahaan sawit yang telah beoperasi sejak tahun 1996, baru memperoleh ijin dari BPN Kab. Tanjung Jabung Timur tujuh tahun kemudian melalui Surat Nomor 1/2002 untuk HGU PT. BBIP.
  6. Sebelumnya, pada bulan Januari 2001, lahan petani yang telah dikuasai oleh perusahaan dituntut untuk dikembalikan. Sehingga, pihak PT. BBIP dan Pemerintah Kecamatan setempat membuat kesepakatan yang menyatakan: “….PT. BBIP akan menyediakan lahan pengganti yang telah beisi tanaman sawit minimal berumur satu tahun tanam untuk kelompok tani Asmawi Cs dan sebagai kompensasinya mereka keluar dari areal kebun inti yang dikuasai…”. Akan tetapi, kesepakatan tersebut diingkari dan hanya menjadi alat pengusiran petani dari tanahnya.
  7. Untuk itu, pada Oktober 2002, berdasarkan SKPT dan Hak Pancung Alas Tanah, Pemerintah Desa Sungai Toman menerbitkan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SPORADIK) yang menguatkan hak kepemilikan tanah petani.
  8. Sekitar 300an KK petani menjadi korban praktek perampasan tanah yang dilakukan pemerintah dan perusahaan, sehingga menimbulkan konflik tanah antara petani dengan perusahaan yang berkepanjangan.
  9. Untuk menyelesaikan konflik tersebut, pada tahun 2002, Pemerintah Provinsi Jambi berdasarkan Surat Perintah Tugas 090/2002 membentuk tim penyelesain konflik yang bertugas mengecek dan menginventarisasi kebenaran kepemilikan lahan yang dituntut petani Desa Sungai Toman, yang hasilnya menyatakan: “…Kelompok tani Asmuni memiliki lahan seluas 357 Hektar berada didalam areal HGU PT. BBIP. Sedangkan kelompok tani Azis yang memiliki lahan seluas 350 Hektar seluruhnya berada diluar ijin konsesi HGU PT. BBIP”.
  10. Berdasarkan hasil inventarisasi tim Prov. Jambi tersebut maka di tahun 2003 ditindaklanjuti Gubernur dengan melayangkan surat ke Bupati Tanjung Jabang Timur yang intinya: “Agar PT. BBIP menyertakan petani yang mempunyai tanah secara sah sesuai hukum dan kelompok tani yang sah sebanyak 25 kelompok”.
  11. Namun, surat rekomendasi yang dilayangkan oleh Gubernur Jambi tersebut tidak pernah diindahkan. Pemda Tanjung Jabang Timur menerbitkan SK 380/2005 tentang Penetapan Penetapan Kelompok Tani Plasma Pola KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota) KUD Harapan Baru Dengan PT. BBIP, dimana jumlah kelompok tani berubah dari 25 Kelompok Tani menjadi 53 Kelompok Tani.
  12. SK Bupati Nomor 380/2005 inilah yang memperkeruh konflik tersebut. Sebab, dalam SK Bupati itu nama-nama anggota kelompok tani yang terdaftar sebagai anggota Koperasi Usaha Desa (KUD) Harapan Baru yang menjadi pemilik dan pengelola lahan perkebunan sawit milik petani adalah dindikasikan keluarga pejabat Bupati, Sekda, Dinas Koperasi dan Perdagangan, aparat desa, Kapolres dan aparat kepolisian, dan pengawai-pengawai pemerintah lainnya dimasa itu yang bukan merupakan pemilik tanah.
  13. Dengan SK Bupati tersebut, KUD Harapan Baru juga menjadi alat perampasan tanah petani yang berada diluar konsesi HGU PT. BBIP. Keuntungan dari hasil koperasi ini mengalir ke kantong-kantong pihak pejabat dan pihak keamanan. Luas perkebunan sawit yang digarap oleh KUD Harapan baru seluas 2.910 Kavling.
  14. Sebelumnya, KUD Harapan Baru berdiri pada bulan Juni 20002, sesuai dengan usulan pihak perusahaan (PT. BBIP) untuk melakukan kerjasama pembangunan perkebunan sawit dengan pola kemitraan (KKPA) dan diketahui oleh Bupati. Sehingga pada bulan Oktober 2003 dan November 2003, Kelompok Tani Makmur Bersama (a.n.Asmuni) dan Kelompok Tani Mandiri (a.n.Azis) digiring untuk masuk ke dalam pola kemitraan alaperusahaan dan pemerintah tersebut.
  15. KUD Harapan baru kemudian dilaporkan melakukan pemalsuan data sporadik petani. Hasilnya, Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor 205/2006 menyatakan bahwa mantan Ketua KUD Harapan Baru terbukti melakukan pemalsuan sporadik, diantaranya milik Kelompok Tani Makmur Bersama 160 sporadik dan Kelompok Tani Mandiri 129 sporadik.
  16. Data-data sporadik yang digunakan sebagai dasar penerbitkan SK Bupati 380/2005, yang sudah dinyatakan palsu itu masih berlaku sampai sekarang, dan malah diperkuat atau didukung oleh BPN Prov. Jambi melalui suratnya Nomor. 570 tahun 2007.
  17. Berdasarkan fakta tersebut, Ombudsman RI yang ikut memediasi proses penyelesaian konflik ini merekomendasikan agar data Sporadik petani yang dipalsukan tidak digunakan lagi baik sebagai lampiran SK 380/2005 maupun produk hukum lainnya.
  18. Untuk itu, pada tahun 2009, Kelompok Tani Makmur Bersama (a.n.Asmuni) dan Kelompok Tani Mandiri (a.n.Azis) yang didampingi oleh Sdr. Karma Acu, dimasukkan lagi sebagai anggota Koperasi (KUD) Harapan Baru.
  19. Pemasukan kelompok tani dampingan Sdr. Karma Acu sebagai anggota koperasi hanya alat jebakan. Pada saat petani melakukan kegiatan panen di perkebunan sawit tersebut, pihak KUD Harapan Baru melaporkan para petani dan Sdr. Karma Acu sebagai pelaku pencuri sawit pada tanggal 12 November 2009. Pengadilan Negeri setempat menjatuhkan vonis hukuman bersalah, termasuk kepada Sdr. Karma Acu, padahal, dasar pelaporan koperasi adalah SK Bupati 380/2005 yang sudah dinyatakan palsu.
  20. Pada tahun 2009 terjadi konflik antara petani yang disebabkan adu-domba perusahaan, terkait lahan panen diatas areal PT. BBIP, akibatnya tiga orang petani (Hendara, Joko, Hasan) asal Desa Sungai Toman, tewas.
  21. Para petani sudah melaporkan kasus ini baik kepada Kompolnas RI, Kepolisian, Komnas HAM, Pemerintah Daerah, termasuk dengan Ombudsman RI. Proses mediasi, khususnya yang dilakukan Ombudsman RI sudah intensif dilakukan, namun pemerintah daerah tidak punya niatan untuk menyelesaikan konflik agraria (tanah) antara masyarakat dengan pihak perusahaan sebagai pemegang ijin HGU.
  22. Pemerintah Daerah Tanjung Jabang Timur tidak dapat menjamin pemneyelsain konflik tersebut, serta tidak memiliki niatan untuk mengembalikan lahan petani, sebagaimana hasil pertemuan yang dimediasi oleh Ombudsman RI pada bulan Januari 2012.
4.3.  Tuntutan:
Segera kembalikan tanah Kelompok Tani Makmur Bersama dan Kelompok Tani Mandiri seluas 754 Hektar yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan sawit PT. Bukit Barisan Indah Prima (BBIP).
***
Diterbitkan oleh: Sekretariat Bersama Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945.

Sumber:
http://www.prd.or.id/media/20130125/resume-kasus-konflik-agraria-petani-jambi.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »