Pergolakan agraria berujung pembantaian 1965-1966

June 15, 2014

Memory Kolektif: dari tanah sampai ke liang lahat - 

Pergolakan agraria berujung pembantaian 1965-1966


Nama  : Hanif Risa Mustafa
Nim     : 12/338345/PSA/07221

Abstrak
Persoalan agraria menciptakan aksi sepihak di kalangan masyarakat bawah. Antara pemilik tanah dengan petani tidak bertanah. Setiap kelompok memiliki perlindungan dari kelompok yang lebih besar. Dari pergolakan yang bersifat kecil menjadi bersifat ekspansif. Pokok permaslahan karena tuntutan tanah atas UUPA. Kemudian pergolakan berujung pada pembantaian tahun 1965-1966. Peristiwa kelam ini menjadi sebuah memory kolektif masyrakat, ketakutan dan trauma masih menyelimuti. Sangat disayangkan sekali sejarah kelam bangsa  ini dihapus begitu saja dan bahkan tidak tersisip di buku sejarah nasional Indonesia. Bagaimana generasi selanjutnya bisa mengetahui sejarah perjalanan Indonesia dan akankah peristiwa kelam ini akan menyesatkan generasi selanjutnya akibat dari bermunculanya sejarah populer peristiwa 1965-1966 dan memory kolektif masyarakat pasca 1965-1966, tanpa adanya pembanding dari sejarah resmi.

A.     Pendahuluan
Menulis sejarah bukan saja hanya persoalan siapa yang benar dan siapa salah, namun yang menjadi sorotan penting adalah melihat permasalahan dalam peristiwa secara multikompleks. Seperti yang dikatakan oleh Alun Munslow bawasanya sejarah dilihat sebagai peristiwa yang mampu menjelaskan persoalan yang multikompleks. Yang mana persoalan multikompleks tersebut tidak dapat didekati dengan pendekatan konvensional – sebuah pendekatan sejarah lama – dan hanya dapat dikaji dengan sebuah pendekatan yang multidimensioanal. Sehingga dalam melihat sejarah dapat menjadi luas melalui analitis kritis yang ditunjang konsep analisis sosial.[1]
Selama ini yang terlihat dalam penulisan sejarah Indonesia mengalami tumpang tindih. Ini disebabkan adanya kepentingan-kepentingan kelompok saja – dalam perspektif – banyak menempatkan permasalahan peristiwa masa lampau yang tidak begitu kompleks dan menghapus permasalahan penting dengan beberapa tujuan. Hal tersebut menyebabkan adanya plus minus dalam historiografi Indonesia.
Seperti halnya penulisan permasalahan agraria, dalam pendidikan Indonesia hanya menempatkan system tanam paksa masa kolonial sebagai fokus utama[2]. sedangkan isu-isu permasalahan agraria masa revolusi dan masa peralihan orde lama – orde baru hanya disinggung sedikit dengan sebuah peristiwa landreform. Jika ditelisik lebih mendalam permasalahan agararia pasca-kolonial sangatlah komples dan imbasnya berpengaruh sangat luas.
Menurut Kuntowijoyo[3], guna sejarah secara ekstrinsik ialah terkait dengan proses penanaman nilai, proses pendidikan. Sejarah tidak hanya sebagai sesuatu untuk melegalitaskan kekuasaan namun juga sebagai sumber informasi serta merepresentasikan masa lalu untuk masa depan. Apa guna sejarah apabila hanya membutakan generasi bangsa selanjutnya. Seperti yang ditegaskan pada UUD’45 pasal 31 ayat 3;
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”[4]

Kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan sebuah representasi bentuk tanggung jawab pemerintah dalam kemajuan bangsa. Namun pengaburan fakta sejarah untuk menutupi kegagalan dalam rezim apakah itu merupakan suatu bentuk pencerdasan.
Menyinggung kembali sedikit permasalahan yang ada dalam agraria pasca-kolonial banyak menyingkap tabir yang tabu. Banyak kekerasan yang terjadi dalam permasalahan ini, pergolakan perebutan tanah hanya untuk sebuah kekuasaan. Jika dapat disimpulkan patron yang kuat dalam peramasalahan ini adalah masyarakat(sebagai pemilik tanah moyang)-pemerintah(sebagai pemilik kekuasaan hak sepenuhnya negara)-dan kelompok yang berkepentingan.
Permasalahan agraria pasca-kolonial pada historiografi Indonesia sangat menarik sekali untuk didiskusikan. Perlu dipertanyakan kembali mengenai penempatan kredibilitas permasalahan agrarian pasca-kolonial dalam sejarah Indonesia. Selama ini rezim Soeharto lebih menutupi kekerasan pada masa pemerintahannya dengan jalur pengangkatan tulisan sejarah guna legitimasi kekuasaan.  Sejarah konvensional pada masa pemerintahan Orde Baru menempatkan militer sebagai sebagai pemegang utama dalam kendali stabilas negara.[5]
Pengaburan fakta masa Orde Baru merupakan sebuah keberhasilan untuk produk generasi selanjutnya, namun pada masyarakat yang pernah mengalami ataupun hidup semasa kekerasan berlangsung masih menyimpan ingatan tersebut.[6] Kalaupun itu hanya sebuah memory personal merupakan hal tidak dapat disinggung karena kredibilitasnya diragukan, tetapi apabila sudah menyinggung memory kolektif itu merupakan hal yang bersifat ekspansif.

B.      Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia[7]
Sejarah memiliki implikasi terhadap negara sebagai sebuah legitimasi kekuasaan dan identitas nasional. Negara menciptakan genealogi dengan mencatat peristiwa-peristiwa yang tepat dan menghilangkan peristiwa-peritiwa yang bertentangan dengan negara-bangsa.
Penciptaan genealogi ini, untuk legitimasi kekuasaan dengan menampilkan serta menggambarkan tokoh dan peristiwa secara selektif  ke dalam sebuah narasi. Untuk mendapatkan legitimasi yang nyata, maka identitas-identitas lama atau konflik-konflik lama ditempatkan jauh dengan narasi kemenangan nasionalisme. Sejarah lokal yang bertentangan dengan narasi dominan tidak diberlakukan.
Pada masa Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto (1966-1998), Indonesia mengalami masa otoriter yang bertujuan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi secara cepat dan serempak dengan stabilitas politik. Pertumbuhan bangsa Indonesia awal masa Orde Baru diiringi dengan historiografi yang sentralis dan eskatologis.
Tahun 1975, setelah pelaksanaan Konfrensi Sejarah Nasional diterbitkan buku sejarah nasional Indonesia. Pokok dalam sejarah nasional ini ialah penetapan periode sejarah Indonesia. Isinya mencakup: Prasejarah (sebelum tahun Masehi); Periode Kerajaan-kerajaan lama Hindu (0 – 1600 M); Kerajaan-kerajaan Islam (1600 – 1800 M); pemerintahan kolonial abad ke-19; Nasionalisme dan akhir pemerintahan kolonial (1900 – 1942); Pendudukan Jepang (1942 – 1945); Revolusi (1900 – 1942); Pendudukan Jepang (1942 – 1945), revolusi (1945 – 1950), demokrasi liberal (1950 – 1959), dan demokrasi terpimpin sampai peristiwa G30S/PKI (1965). Kemudian tahun 1984 terbit revisi sejarah nasional oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Dari hasil revisi dengan buku sejarah nasioanal Indonesia tidak jauh berbeda. Yang menjadi sorotan adalah permasalahan  pasca-kolonial.
Apabila pada buku nasional Indonesia sebelum revisi, permasalahan demokrasi terpimpin sampai peristiwa G30S/PKI (1965) menekankan pada pembunuhan enam jendral oleh partai komunis yang membawa Soeharto menjadi pahlawan dan penerbitan Supersemar sebagai teks dasar pembentukan Orde Baru yang melegitimasi kekuasaan Soeharto, serta juga pengesahan dwifungsi angkatan bersenjata. Berbeda lagi dengan edisi revisi yang mendapat sisipan penekanan peranan militer dalam keamanan nasional.
Nugroho Notosusanto dalam sejarah nasional Indonesia telah berhasil menciptakan uraian sejarah yang cukup hegemonis dengan militer sebagai pemegang peranan utama. Salah satu ciri Nugroho Notosusanto dalam penulisan sejarah nasional Indonesia ialah sejarah tanpa kekerasan yang didominasi oleh militer.
Secara tidak langsung Nugroho Notosusanto telah berhasil menghapus pembantaian 1965 – 1966 dari buku pelajaran resmi. Buku pelajaran resmi hanya menyebutkan pembunuhan enam jendral dan empat perwira bawahannya pada malam hari tanggal 30 september-1 oktober 1965. Kemudian kisah provokatif itu berakhir, dan akibatnya ribuan orang yang dibunuh tanpa proses hukum oleh pemerintah Orde Baru secar efisien dihapus dari sejarah.
Setelah berakhirnya Orde Baru revisi mengenai sejarah nasional Indonesia dilakukan kembali. Apabila dalam kurikulum Orde Baru menjelaskan kelahiran, hasil-hasil, dan nilai-nilai Orde Baru, maka dalam revisi 2001 Orde Baru hampir sama sekali dihapus. Pada sejarah nasional Indonesia yang baru, sejarah Orde Baru dipadatkan menjadi tiga, pertama,  daftar mentri Orde Lama yang digantikan oleh kabinet baru 1966. Kedua, gambar supersemar ditambah catatan bahwa ada banyak interpretasi mengenai keaslian dokumen ini. Ketiga, menyebutkan keberhasilan pembangunan Orde Baru, namun kemudian dipertegas bahwa pemerintahan Orde Baru akhirnya kandas oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi 1997. Nampaknya periode antara 1966 dan 1997 seolah-olah merupakan periode kosong, periode tanpa kejadian.
Kemudian banyak sejarawan yang memusatkan perhatian pada penulisan sejarah berdasarkan peristiwa Orde Baru untuk menjadikan sejarah populer. Ini karena peristiwa tersebut –seperti pembantaian 1965– dilihat sebagai hal yang terpenting bagi transformasi masyarakat yang menandai era baru dan memisahkan diri dari masa lalu.  Peristiwa Orde Baru merupakan peristiwa besar dan dramatis atau peristiwa kecil dan terbatas pada satu lokal. Dalam hal peristiwa besar, dramatis dan seringkali traumatis, semua ini sering dilihat sebagai “revelatory”. Artinya, melalui hal yang ekstrim sesuatu yang normal dapat tersingkap. Kehidupan perorangan, saat-saat seperti itu dapat dianggap ‘traumatis’ karena menimbulkan masalah baru dan trauma merupakan patah arang dengan pengalaman hidup sehari-hari, dan mungkin terpatri secara berbeda dalam pikiran orang yang mengalaminya.
Historiografi nasional selalu dilihat oleh pemerintah sebagai kunci penting untuk membangun kesadaran sejarah, akan tetapi terdapat persoalan mengenai sejauh mana kesadaran ini sepenuhnya terpatri dalam pikiran masyarakat Indonesia. Meskipun pemerintah membangun sejarah yang lebih besar tetapi tidak berarti pemandangan sejarah dapat membentuk ingatan secara seragam. Penghapusan sejarah baru tidak seharusnya dilakukan, guna menghindari penjelasan sejarah populer yang menyesatkan seputar Orde Baru.
Sejarah merupakan catatan terus menerus secara sistematis tentang kejadian-kejadian dalam masyarakat, kajian perkembangan negara, rangkaian kejadian yang berkaitan dengan negara orang, benda, dan sebagainya.[8] Menurut Burke, tantangan bagi sejarawan sosial adalah bagaimana mengaitkan kehidupan sehari-hari dengan kejadian yang lebih besar. Pengalaman dalam kehidupan sehari-hari dapat terdiri serangkaian kejadian yang mungkin tidak terpisahkan dari kegiatan rutin sehari-hari, meski kejadian itu mungkin bermakna dalam kehidupan individu.
Apabila dikaitkan dengan permasalahan agraria, masa peralihan orde lama ke orde baru menyisakan sebuah tirai gelap bagi masyarakat kecil. Yang mana permasalahan agrarian sangat berpengaruh pada masyarakat kecil pasca pembantaian 1965-1966. Sebuah memory kolektif membentuk ingatan masyarakat pada sebuah ketraumaan.
Sejarah tidak hanya ditempatkan pada orang besar saja. Masyarakat kecil juga mendapat tempat dalam sejarah apabila bersangkutan dengan peristiwa yang bersifat ekspansif. 
Penghapusan sejarah gelap Orde Baru dalam sejarah nasional Indonesia bukan jalan terbaik dalam menyikap tabir kelam masa lalu yang ada hanya kerancuan dalam sejarah nasional. Karena tidak adanya keseimbangan antara sejarah populer-sejarah resmi-dan memory kolektif masyarakat.

C.      Agraria
Berbicara persoalan agraria akan berbicara permasalahan tanah. Persoalan agraria adalah persoalan hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan. Soal tanah adalah soal hidup, soal darah yang menghidupi segenap manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada untuk mempertahankan hidup selanjutnya”.[9]
Permasalahan agraria yang tak kunjung usai akan memunculkan banyak permasalahan yang multidimensional. Banyak sejarah sosial yang dapat dikaji dalam hal ini. Jika kembali masa lampau persoalan agraria Indonesia diawali dengan pemberlakuan landrefrom.
landreform merupakan usaha untuk menata kembali kepemilikan tanah dan usaha pendistribusian tanah kepada para petani yang tidak memiliki tanah. Wacana landrefrom setidaknya dilaksanakan di Jawa karena penduduknya yang mulai padat.
Di Jawa terdapat jutaan hektar tanah milik perkebunan. Dalam prespektif masyarakat Indonesia, tanah-tanah tersebut merupakan milik rakyat Indonesia. Namun, karena praktek tanam paksa dimasa Gubernur Jendral van den Bosch dan diterapkannya Agrarische Wet 1875, maka secara hukum tanah-tanah tersebut dijadikan tanah perkebunan para pemilik modal Eropa yang diundang oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Masyarakat Indonesia menganggap perkebunan-perkebunan tersebut sebagai sumber penghisapan dan penindasan. Oleh sebab itu setelah proklamasi wacana landrefrom segera dilaksanakan guna mengembalikan tanah-tanah perkebunan kepada pemilik aslinya, khususnya kepada petani.
Namun tanah-tanah perkebunan yang awalnya diperkirakan menjadi obyek landreform ternyata tidak dapat diganggu-gugat. Perjanjian KMB tahun 1948 mengharuskan semua perkebunan milik kaum modal Eropa yang dikuasai Indonesia, harus dikembalikan kepada pemilik modal, sebagai imbalan bagi pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia.[10]
Selanjutnya tahun 1957-1958, setelah pengakuaan kedaulatan Negara Republik Indonesia, dilakukan nasionalisasi perkebunan asing. Nasionalisasi tersebut dilakukan guna pelaksanaan landreform, tetapi tanah perkebunan tersebut tidak terlaksana kembali menjadi obyek landreform. Tanah-tanah tersebut diserahkan kepada militer, yang kemudian dijadikan perusahaan milik negara dan sebagian lagi dijual kepada orang pribumi pemilik modal.[11]
Pada tahun 1960 dikeluarkannya UUPA. UUPA merupakan perombakan total dari system agraria warisan pemerintah kolonial. Wacana land-reform di Jawa untuk menjadikan tanah-tanah perkebunan sebagai obyek pendistribusian kepada pemilik asli –orang  pribumi– tidak dimungkinkan lagi, karena luas tanah di Jawa sudah tidak memadahi untuk obyek landreform. Tanah perkebunan sudah menjadi tanah milik perkebunan negara dan perkebunan swasta, kemudian obyek landreform dialihkan ke tanah-tanah pertanian.
Pengalihan obyek landreform ke tanah-tanah pertanian didasarkan atas asumsi ketidakadilan pada kepemilikan tanah-tanah pertanian. Pengalihan ini diterapkan kepada tanah-tanah pertanian milik perorangan yang luasnya melebihi dari luas tanah yang diizinkan oleh UUPA. Dimisalkan, seorang petani mempunyai tanah 3,5 hektar, maka tanah yang menjadi obyek landreform hanyalah 1,5 hektar saja. Karena berdasarkan UUPA, tanah maksimal yang dimiliki oleh petani hanya 2 hektar.
Adanya UUPA, para pemilik tanah pertanian yang luasnya melebihi luas ketetapan UUPA berusaha untuk menghindari kebijakan tersebut. Para pemilik tanah pertanian memanfaatkan celah hukum yang ada, dengan jalan mengalihkan hak kepemilikan tanahnya kepada anggota keluarga. Pada akhirnya tidak terdapat lagi tanah pertanian di Jawa untuk dijadikan obyek land-reform, sehingga pelaksanaan landrefrom tidak terwujud.

D.     Permasalahan yang muncul dalam Agraria
Menyebut-nyebut permasalahan agraria pasti yang terlintas hanyalah masalah tanah belaka dan tidak ada imbas atau effect besar pada masyarakaat sosial Indonesia. Jika ditelisik mendalam permasalahan agraria merupakan hal kompleks. Seperti yang dinyatakan olehMochammad Tauchid bahwa Siapa Menguasai Tanah, Ia Menguasai Makanan.[12]
Masa lalu dapat merepresentasikan masa depan. Dapat diketahui sekarang permasalahan yang masih mencuat adalah pergolakan eksekusi tanah tol jalur semarang solo dan solo Surabaya.[13] Saat ini merupakan hot topic, tetapi bagaimanapun yang bisa menilai adalah masyarakat. Penggiringan opini dilakukan guna mengurangi isu yang lebih meluas. Media massa hanya sedikit menyinggung permasalahan ini. Jika dibandingkan permasalahan ini dengan masa lalu, pasti peristiwa sekarang ini seperti hal-nya masa lalu namun perbedaannya adalah ruang waktu serta bentuk peristiwanya.
Seperti yang disinggung pada bab sebelumnya, bahwa untuk menyiasati UUPA maka para pemilik tanah pertanian membagikan tanahnya kepada anggota keluarga. Dan selanjutnya tidak terdapat lagi tanah yang tersisa untuk petani yang tidak memiliki tanah. Hal ini menjadi sebuah konflik horizontal yang sifatnya sangat politis.
Konflik horizontal ini –aksi  sepihak– terjadi antara para pemilik tanah      –kebanyakan ialah anggota PNI dan pemimpin kelompok agama yang berafiliasi dengan NU– melawan petani yang tidak bertanah –yang  didukung oleh PKI, dengan berafiliasi BTI.[14]
Konflik ini meluas dibeberapa daerah di Jawa dan Bali. Seperti Jawa Tengah antara PNI melawan PKI, di Bali  antara PNI  melawan PKI, dan Jawa Timur antara NU melawan PKI. Konflik atas tanah berhenti setelah PKI dibubarkan serta di anggap sebagai partai terlarang di Indonesia[15]. Berhentinya konflik atas tanah juga menandai dihentikannya pelaksanaan UUPA, sehingga praktek landreform atas tanah pertanian tidak jadi dilaksanakan.
Akan tetapi konflik sosial masyarakat ini dapat dikatakan sebagai dasar dari konflik politik selanjutnya, yang mengakibatkan pembantaian massal terhadap anggota PKI dan juga simpatisan PKI – Lekra, BTI, Gerwani, PGRI non vaksentral.
Di Jawa Timur kabupaten Kediri[16] menjadi sebuah memory yang tidak dapat dilupakan masyarakat yang mengalami atau hidup semasa itu, ketakutan dan trauma masih menyelimuti.[17] Sebuah memory tidak hanya dikenang saja tetapi menjadi sebuah cerita untuk generasi selanjutnya.
Konflik yang terjadi di Kediri ditengarai antara orang ansor yang berafiliasi dengan NU dengan PKI. Disini orang-orang ansor memainkan peranan penting dalam pembantaian ini.[18] aksi ini mendapat dukungan penuh sekaligus perlindungan dari tentara.
Apabila dikaitkan, awal pergolakan di Kediri bisa berpotensi dari adanya sengketa tanah. Para pemilik tanah resah dan enggan memberlakukan UUPA pada tanahnya yang luas karena merasa dirugikan. Sedangkan orang-orang yang tidak bertanah juga resah tidak kunjung mendapatkan tanah yang dijanjikan dari program UUPA. Oleh Sebab itu karena merasa tidak mendapatkan hak atas tanah dan tidak mendapatkan keadilan maka terjadilah aksi sepihak, yang berujung pembantaian besar-besaran dalam sejarah Indonesia.[19]
Kemudian orang-orang pemilik tanah ini, yang sebagian besar adalah orang-orang NU kembali mempertahankan tanahnya dengan segala upayanya. Peristiwa G30S/PKI adalah puncak dari semuanya. Penggiringan isu dari nasional ke daerah bergulir. Dengan bersenjatakan isu G30S/PKI maka pembantaian simpatisan dipenjuru Indonesia dilakukan besar-besaran. Militer sebelum turun membersihkan orang-orang yang dianggap komunis didahului oleh para vigilante. mungkin bisa saja vigilante merupakan orang-orang yang sakit hati karena adanya aksi sepihak yang dilakukan oleh para tani tak bertanah.

E.      Pemikiran ulang penulisan sejarah nasional Indonesia
Sebuah ide menarik apabila terus menggali sebenarnya apa yang terjadi masa pergolakan tanah tahun 1965 yang berujung pembantaian. Sebuah konsep sejarah sosial yang didasari oleh permasalahan agrarian yang kemudian dikaitkan oleh isu politik masa lalu.
Sejarah bukan milik orang besar, tetapi juga milik semu orang yang memiliki pengaruh besar terhadap peristiwa. Pergolakan tanah yang pada akhirnya menyeret isu politik merupakan hal yang menarik.
Apabila disinggung pada bab sebelumnya historiografi Indonesia menghapus ingatan sejarah ini dalam buku nasional. Setelah orde baru penulisan sejarah atas konflik agrarian pasca kolonial tidak juga tercatat dalam sejarah nasional Indonesia. Yang ada hanyalah sejarah populer dan berkembnag bagaikan jamur dimusim hujan. Ditunjang dengan memory kolektif masa konflik berlangsung menjadikan cerita semakin rumit.
Pertandingan pemikiran saling bermunculan. Dan itu menjadi sebuah boomerang bagi generasi selanjutnya. Yang tidak mengetahui entah apa yang terjadi pada tahun 1965-1966. Imbasanya generasi selanjutnya bisa dicekoki dengan cerita-cerita menyesatkan.
Selama ini agraria ditempatkan pada sejarah apa. Apakah sebagai sejarah nasional, lokal atau orang bawah saja. Persoalan agraria menjadikan pergolakan yang bersifat ekspansif. Jika ditelisik kembali telinga kita seperti dikilik, karena selama ini apa yang disinggung dalam dunia pendidikan Indonesia masalah agraria hanyalah persoalan system tanam paksa. Bagaimana dengan persoalan agraria tahun 1965-1966. Penghapusan suatu fakta sejarah untuk kepentingan kelompok semata hanya akan membutakan generasi selanjutnya.
Pemikiran kembali permasalahan agraria perlu dipertimbangkan. Ini guna keberlangsungan generasi selanjutnya. Namun semua perbuatan pasti ada konsekuensinya. Pemikiran kembali permasalahan agrarian dan menyisipkan ke sejarah nasional Indonesia akan menggiring kelompok tertentu, karena permasalahan ini diperkirakan masih berusia muda. Sehingga kemungkinan oknum-oknum yang bersangkutan masih hidup. Dan konsekuensi berikutnya, penulisan ini akan menjadi sebuah kontradiksi terhadap kelompok tertentu.

F.       Penutup
Memory kolektif masyarakat yang tersimpan menjadi sebuah cerita kepada anak cucu-nya. Satu yang sering saya dengar dari orang-orang tua “jadilah orang benar, jangan ikutan organisasi aneh-aneh, yang penting ibadah dan kerja yang lurus”. Itulah pesan orang-orang yang mengalami chaos pasca 1965.
Permasalahan agraria berujung pada pembantian merupakan hal yang sangat menarik sekali untuk dikaji kembali dan dipertimbangkan apakah permasalahan tersebut sepantutnya masuk kedalam sejarah nasional Indonesia. Persoalan salah atau benar tidak bisa diperdebatkan disini, sebab pergolakan yang terjadi adalah pergolakan kepentingan dari suatu kelompok yang mana jika dilihat dari perspektif masing-masing kelompok sama-sama benar. namun yang menjadi persoalan yang perlu dijawab siapa yang bertanggung jawab atas terjadinya pembantaian missal.
Pemikiran ulang permasalahan agraria berujung pebantaian ini perlu dikaji kembali, sebab bagaimanapun ini sebuah sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Sejarah nasional Indonesia bukan hanya buku untuk membangun legitimasi kekuasaan semata saja. Penulisan kembai sejarah nasioanal Indonesia dilakukan untuk generasi kita juga, agar kelak peristiwa kelam yang terjadi tidak terulang kembali dimasa depan.

Daftar rujukan :
Alun Monslow, 2003. “The New Histotry”. Pearson Longman.
Koentowijoyo, 2008. “Penjelasan Sejarah”. Yogyakarta: Tiara Wacana.
H.S. Nordholt, Bambang P. dan Ratna S (Ed). 1998. “Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia”. Jakarta: yayasan Obor Indonesia ; KITLV- Jakarta; Denpasar: Pustaka Larasan.
Freek C. dan J. Thomas Lindblad (Ed), 2002. ”Roots of Violence in Indonesia”. Leiden: KITLV
Mochammad Tauchid, 2007. ”Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia”. Yogyakarta: Pewarta
S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Ed).” Dua Abad Penguasaan Tanah”. Jakarta: Obor.
Aminuddin Kasdi,2009 . “Kaum merah menjarah”. Surabaya: YKCB dan Centre Indonesian Communities Studies
Jeffery M. Paige, 2011. “Revolusi Agraria”. Imperium


[1] Lihat Alun Monslow, “The New Histotry”. Pearson Longman.
[2] Silabus Sma 2012/2013.  Dalam konteks agrarian pembelajaran hanya menekankan pada permasalahan-permasalahan seputar kolonialisme, untuk permasalahan peralihan orba-orla hanya menyinggung sedikit. Pokok permasalahan agraria hingga terjadinya pergolakan tidak disinggung.
[3] Lihat “Penjelasan Sejarah”, Koentowijoyo.
[4] UUD’45.
[5] H.S. Nordholt, Bambang P. dan Ratna S (Ed). 1998. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Jakarta: yayasan Obor Indonesia ; KITLV- Jakarta; Denpasar: Pustaka Larasan.
[6] Lihat pada Freek C. dan J. Thomas Lindblad (Ed). Roots of Violence in Indonesia; R.E. Elson, In fear of the people Suharto and the justification of state-sponsored violence under the new order.
[7] H.S. Nordholt, Bambang P. dan Ratna S (Ed), op.cit.
[8] Ibid, Conside Oxford Dictionary edisi 1964, lihat penjelasan Heather Sutherland.
[9] Mochammad Tauchid, 2007. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Pewarta
[10] S.M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Ed). Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: Obor.
[11] Ibid.
[12] Op. Cit.
[13] Detiknews, 29 November 2012. Bentrokan antara aparat dan warga sekitar atas eksekusi tanah pembangunan jalan tol.
[14] Aminuddin Kasdi. Kaum merah menjarah. YKCB
[15] Pembubaran PKI karena terkait dengan peristiwa G30S/PKI
[16] Hal ini terjadi ditempat kelahiran saya disekitar kecamatan Purwoasri dan Papar menjadi sebuah memory kolektif bagi masyarakat sekitar. Ketakutan dan trauma masih melekat.
[17] Lihat 40 years of silence an indonesian tragedy, documenter mengangkat korban pembantaian ’65. ketakutan dan trauma masih menyelimuti sebagian besar korban.
[18] Lihat permohonan maaf Gus Dur semasa jabatannya atas pembantaian yang dilakukan oleh pemuda Ansor dan Banser NU dan Kompas.co, Senin, 01 Oktober 2012
[19]  Jeffery M. Paige. Revolusi Agraria. Imperium


Sumber:
http://clio1673.blogspot.com/2013/01/memory-kolektif-dari-tanah-sampai-ke.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »