Ringkasan Eksekutif Peristiwa Talangsari 1989

June 12, 2014


RINGKASAN EKSEKUTIF
HASIL PENYELIDIKAN TIM AD HOC PENYELIDIKAN
PELANGGARAN HAK AZASI MANUSIA YANG BERAT
PERISTIWA TALANGSARI 1989


I. PENDAHULUAN
Peristiwa Talangsari 1989, sesuai dengan laporan dari para korban maupun keluarga korban telah mengakibatkan jatuhnya korban baik itu yang meninggal dunia, luka-luka, penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan, perlakuan lainnya yang tidak manusiawi (persekusi), dan pengungsian atau  pengusiran penduduk secara paksa.

Berkenaan dengan hal tersebut, korban maupun keluarga korban peristiwa
Talangsari telah melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan hak asasinya guna mendapatkan keadilan serta terpulihkannya hak-hak mereka yang telah terlanggar. Adapun salah satu perjuangannya adalah dengan mengadukan peristiwa tersebut kepada Komnas HAM.

Menanggapi pengaduan korban, keluarga korban, dan masyarakat, Komnas HAM, sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah membentuk Tim Pemantauan Peristiwa Talangsari dan juga membentuk tim untuk melakukan analisishukum terhadap peristiwa Talangsari. Berdasarkan hasil pemantauan dan analisis hukum disimpulkan adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Talangsari, sehingga dibentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa Talagsari 1989 berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa Talangsari 1989 terdiri dari Anggota dan Staf Komnas HAM serta unsur dari masyarakat. Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa Talangsari bekerja sejak 1 Mei 2007 sampai dengan 31 Juli 2008.

Dalam rangka proses penyelidikan, tim ad hoc telah menjalankan fungsi dan tugas sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimandatkan di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, antara lain menerima laporan atau pengaduan, pemanggilan dan permintaan keterangan saksi sebanyak 98 (sembilan puluh delapan) orang dengan rincian saksi korban 94 (sembilan puluh empat) orang, saksi aparat sipil 1 (satu) orang, saksi aparat TNI 1 (satu) orang, dan saksi aparat Polri 2 (dua) orang.

Selain itu, tim ad hoc juga telah melakuakn peninjauan dan permintaan keterangan di tempat sebanyak 4 (empat) kali dan pengumpulan sejumlah dokumen. Tim ad hoc rencananya akan melakukan pemeriksaan setempat dan mendatangkan ahli, akan tetapi tidak dapat dilaksanakan karena permintaan Komnas HAM untuk mendapatkan surat perintah dari penyidik (Jaksa Agung) tidak dipenuhi. Dalam menjalankan tugasnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa Talangsari 1989 mengalami berbagai hambatan, antara lain :
1. Penolakan Purnawirawan TNI memenuhi panggilan Komnas HAM sebagai saksi untuk memberikan keterangan.
2. Penolakan Purnawirawan POLRI memenuhi panggilan Komnas HAM sebagai
saksi untuk memberikan keterangan.
3. Penolakan Jaksa Agung sebagai penyidik untuk memenuhi permintaan Komnas HAM guna memberikan perintah melakukan pemeriksaan ke tempat-tempat penahanan.
4. Adanya tindakan intimidasi terhadap korban yang telah memberikan keterangan.
5. Adanya sikap politik dari DPRD Lampung Timur yang menganggap kasus Talangsari sudah selesai





III. FAKTA PERISTIWA TALANGSARI

Konteks Politik Pada Saat Menjelang Terjadinya Peristiwa Talangsari

III.1.1. Kehidupan Politik di Era Orde Baru

Kehidupan politik di era orde baru secara masif menciptakan sebuah “brand image” sebagai sebuah kekuatan baru yang ingin “mengoreksi total” rejim Orde Lama yang digambarkan sebagai penuh dengan “kekacauan”, “pertentangan”, “inkonsistensi”,  “pengkhianatan”, “kotor”, ”penuh ketidakstabilan”, “anti-ketertiban” dan “persundalan.” Orde Baru menggambarkan dirinya sebagai sebuah rejim “tertib” yang ingin melakukan “koreksi total”, “pelurusan”, “normalisasi”, “pemerataan”, “bersih”, “stabil” dan sebagainya.

Kritik, upaya perlawanan, demonstrasi selalu dihadapi pemerintahan Soeharto dengan cara-cara represif. Demikian pula berbagai organisasi profesi dan massa
diazaz-tunggalkan. Bahkan pada 1978 Soeharto mencetuskan kebulatan tekad untuk setia pada Pancasila dan berjanji tak akan mengubahnya. Sebuah kebulatan tekad yang dikenal sebagai Eka Prasetya Panca Karsa. Untuk menghadapi berbagai kritis atas diri dan pemerintahannya, Soeharto mengenalkan program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Kelompok agama dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah.

Kekecewaan Kelompok Islam
Secara perlahan hubungan harmonis antara tentara dan kelompok Islam sejak aksi penumpasan G30.S 1965 berakhir. ABRI yang merasa memiliki tanggungjawab atas situasi keamanan pasca-G30S menjadi satu-satunya pihak yang merasa memiliki  tanggungjawab atas keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Ada banyak anggota ABRI yang kemudian dikaryakan ke dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat sipil.

Sejumlah kebijakan yang dibuat Orde Baru justru kemudian menambah kekecewaan sekaligus kecurigaan kelompok Islam terhadap pemerintah Orde Baru. Antara lain dimasukkannya aliran kepercayaan ke dalam GBHN 1973, unifikasi hukum nasional di bidang perkawinan melalui RUU Perkawinan dalam persidangan DPR sepanjang 1973, upaya melegalkan perjudian sebagai sarana pengumpulan pajak yang mendapatkan penolakan kuat dari kalangan Islam, penyeragaman asas partai politik dan Golkar melalui RUU tentang Parpol dan Golkar pada 1875, kembali dimasukkannya aliran kepercayaan dalam GBHN 1978, ditetapkannya P4 dalam Sidang Umum MPR 1978.

Sejak sosialisasi ide asas tunggal pada 1982 sampai diundangkannya dalam bentuk lima paket Undang-Undang Politik 1985, reaksi kalangan Islam beraneka ragam.Reaksi tersebut dapat dibedakan antara yang bersifat pasif-konstitusional dan reaksi yang ekstrim-inkonstitusional. Yang pertama diwakili oleh “partai politik Islam” dan ormas-ormas yang dikenal dengan warna keislaman. Sedangkan yang kedua diwakili oleh kelompok-kelompok individual yang kritis terhadap kebijaksanaan asas tunggal tersebut, dengan klimaks meletusnya Peristiwa Tanjung Priok.

Bagi kalangan Islam, gagasan asas tunggal menimbulkan masalah, bukan karena mereka menolak Pancasila dan UUD 1945, akan tetapi karena kekhawatiran bahwa dengan menghapus asas ciri “Islam”, Pancasila akan menjadi “agama baru”. Mereka kuatir “semangat keislaman” yang menjadi “roh” organisasi menjadi mati.

Kemarahan Kelompok Islam Kepada Pemerintah Orde Baru
Puncak reaksi kalangan Islam terhadap asas tunggal Pancasila adalah munculnya sejumlah aksi kekerasan, antara lain meletusnya Peristiwa Tanjung Priok. Peristiwa Tanjung Priok sebenarnya hanya klimaks dari penentangan masyarakat setempat. Di Aceh, muncul Barisan Jubah Putih dipimpin oleh Teuku Bantaqiyah. Gerakan ini mencita-citakan “tegaknya Islam sedunia”.

Umat Islam kembali bergejolak lantaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menghapus larangan berbusana muslimah (jilbab) di sekolah-sekolah. Sejak
keluarnya peraturan pemerintah ini, timbul banyak kasus karena perlakuan Kepala Sekolah di sekolah-sekolah di Indonesia tidak seragam. Ada yang memperbolehkan, tetapi ada pula yang melarang. Bahkan, banyak di antara kasus itu yang sampai ke pengadilan. Sementara di kalangan Islam, timbul kecaman terhadap peraturan tersebut.

Rezim Pengawasan Orde Baru
Sepanjang periode kehidupan Orde Baru sejumlah organisasi sipil dan militer khusus dibentuk dan dikembangkan untuk tujuan-tujuan pengawasan dan pengendalian penduduk Indonesia. Salah satu institusi pusat yang langsung berada di bawah komando Presiden adalah Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB). Di bawah lembaga ini terdapat serangkaian organisasi militer atau non-militer yang melaksanakan tugas dan program lembaga ini.

Lembaga KOPKAMTIB yang berdiri sejak 3 Oktober 1965 dan kemudian diresmikan melalui deklarasi pada 10 Oktober 1965 dengan berbagai bentuk kegiatannya yang seringkali mengabaikan hukum, hak asasi manusia, dan seringkali kejam terus mendapat sorotan. Terutama dari kalangan pegiatan hak asasi manusia dan dunia internasional. Sebagai institusi, KOPKAMTIB merupakan sebuah lembaga ekstra-konstitusional yang bisa bekerja dengan mengabaikan hukum dan Undang-Undang yang ada. Apalagi sejak Agustus 1967, KOPKAMTIB membentuk satuan kerja yang disebut sebagai LAKSUS (pelaksana khusus). Secara terang-terangan, institusi ini sepanjang 1982 hingga 1984 menjalankan sebuah operasi pembunuhan secara sewenang-wenang yang dilakukan secara sistematis terhadap ribuan orang.

Namun, akibat kritik berbagai kalangan, termasuk sejumlah organisasi internasional mengenai buruknya hak asasi manusia di Indonesia, pada 1988 Presiden Soeharto membubarkan lembaga ini dan menggantikannya dengan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstranas). Bakorstranas bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan stabilitas nasional, juga bertindak sebagai penasehat dan dikepalai oleh Panglima tertinggi Angkatan Bersenjata yang langsung melapor kepada presiden. Walau demikian hampir seluruh staf Kopkamtib dan seluruh peran yang dimainkan oleh organisasi terdahulu juga dilakukan oleh lembaga baru ini. Melalui Kompkamtib dan Bakorstanas inilah sesungguhnya pemerintah Orde Baru bukan lagi sekadar menjalankan fungsi kontrol atas kebebasan sipil warganya melalui pemberlakuan kebijakan sensor, tapi juga menciptakan sebuah hegemoni.

Kedudukan Legal Kopkamtib dan Bakorstranas
Status hukum Kopkamtib sebenarnya tidak jelas, namun kuat. Pengesahan istimewa pemerintah terhadap Kopkamtib selalu diambil dari Surat Perintah Sebelas Maret yang dikeluarkan Soekarno pada 1966. Surat tersebut memberikan kekuasaan kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah penting guna jaminan keamanan, ketertiban dan stabilitas pemerintah. Pada Agustus 1967, para panglima regional militer ditunjuk sebagai pelaksana khusus atau daerah (laksus) Kopkamtib.

Wewenang untuk "memulihkan ketertiban dan keamanan" setelah Peristiwa G30.Setelah berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan Keppres yang mengatur prosedur dan pengorganisasian Kopkamtib, sebuah buku petunjuk SESKOAD pada 1982 menyatakan tujuan Kopkamtib saat itu dengan jelas Kopkamtib membentuk suatu fasilitas pemerintah dengan tujuan melindungi dan meningkatkan ketertiban, keamanan serta stabilitas, dalam konteks mencapai stabilitas nasional sebagai suatu kondisi dasar untuk keberhasilan penuh pelaksanaan Repelita secara khusus dan pembangunan jangka panjang pada umumnya.

Secara teoritis, Kopkamtib antara lain bertugas untuk menggalang tindak pencegahan dan represif serta legitimasi yang jelas secara ideologis. Namun pada kenyataannya Kopkamtib bukan hanya menjalankan tugas sebagaimana yang telah ditetapkan dengan menggunakan aturan legitimasi utama ORBA, tapi juga melakukan berbagai tindak represif secara fisik- juga yang secara ideologis
ditetapkan: menghalangi pengaruh moral dan mental penentang negara dan membina masyarakat menuju hubungan yang lebih layak kepada negara. Kekuasaan Kopkamtib dalam interogasi, penangkapan dan penahanan tidak tunduk kepada kekangan saluran hukum yang berlaku di Indonesia secara reguler.

Dalam praktik, Kopkamtib memang memiliki kekuasaan luar biasa dalam penetapan kriminalitas dan subversi: penangkapan tanpa surat peringatan dan penahanan tak terbatas tanpa diadili; menggunakan bentuk interogasi yang penuh penyiksaan dan brutal sebagai cara yang normal; manipulasi prosedur pengadilan dan sidang pengadilan; penahanan dalam penjara yang tidak manusiawi; memantau dan melecehkan/menganggu mantan-tapol.

Gambaran Umum Peristiwa Talangsari
Konteks awal terbentuknya jamaah Warsidi dimulai dengan pendirian Mushola Mujahidin oleh Jayus dan keluarga pada 1977, yang selanjutnya diikuti dengan
pendirian rumah dan pondok pesantren.

Pada sekitar 1984, Jayus berkenalan dengan Warsidi dan mengundang Warsidi
untuk bergabung menjadi jamaah Mushola tersebut. Kurang lebih ½ tahun mengikuti kegiatan di mushola tersebut, Jayus melihat bahwa Warsidi adalah orang yang tepat untuk menjadi imam mushola. Kemudian pada 1986 Jayus mendirikan pondok pesantren dan Warsidi menjadi imamnya.

Pengajian Warsidi bercita-cita untuk menegakkan keadilan dan kebenaran khususnya menegakkan syariat Islam. Kelompok ini mayoritas terdiri dari orang-
orang pendukung NII (Negara Islam Indonesia)/Darul Islam (DI) faksi Abdullah Sungkar ditambah faksi Ajengan Masduki dan Aceng Kurnia. Mereka berasal dari
Jakarta, Solo, Bandung dan Lampung. Kelompok ini meyakini bahwa syariat Islam tidak akan terwujud tanpa adanya negara Islam

Setelah terjadi peristiwa Tanjung Priok pada 1984, terjadi penumpasan gerakan Islam termasuk Gerakan Abdullah Sungkar. Sebagian pengikut kelompok Abdullah Sungkar yang berhasil lolos, kemudian melarikan diri ke Jakarta dan bergabung dengan beberapa orang dari Jakarta (kelompok Jakarta) yang telah mempunyai kelompok dan basis massa sendiri yaitu kelompok Nurhidayat beranggotakan antara lain, Alex alias Muhammad Ali, Dede Saefudin, Darsono, Fauzi Isman, Maulana Abdul Latif dan lain-lain. Sebagian lainnya melarikan diri dari Solo ke Lampung danmenjadi jamaah Warsidi.

Lambat-laun, kelompok yang berada di Jakarta berkembang dan kelompok ini memandang bahwa suasana pada waktu itu sangat represif bagi perjuangan Islam. Oleh sebab itu, dari serangkaian pertemuan yang mereka selenggarakan menyepakati bahwa untuk memulai perjuangan Islam harus dilakukan dengan membuat basecamp dan perkampungan Islam serta melakukan hijrah. Mereka memandang ada dua pilihan untuk tempat hijrah yaitu Bima atau Lampung.

Dari hasil pemantauan atau investigasi yang dilakukan, mereka mengetahui adanya kemiripan gerakan mereka dengan gerakan di Lampung yaitu pengajian Warsidi. Oleh karena itu, pada awal Agustus 1988, kelompok Jakarta yang diwakili oleh Nur Hidayat Assegaf bertemu dengan anggota kelompok Warsidi yaitu Ir. Usman, Heri, Umar, Sholeh di rumah Sofwan di Jl. Mardani, Jakarta Pusat. Pada akhir Agustus 1988 dilaksanakan pertemuan di rumah Haji Didin Solehudin di Cibinong. Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar 40 orang wakil dari beberapa daerah antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Lampung. Rapat menyepakati “untuk berbuat sesuatu guna mencegah Indonesia dari kehancuran”. Rapat selanjutnya memilih Nurhidayat sebagai Amir Musyafir dan menyepakati Lampung sebagai tempat hijrah dengan alasan bahwa di Lampung cikal jamaah pengajian sudah terbentuk dan jauh dari Jakarta. Pada awal September 1988 dilakukan peninjauan lokasi di Lampung oleh Nurhidayat, Darsono, dkk. Mereka bertemu Warsidi dan menegaskan kembali Lampung sebagai tempat hijrah. Dalam pertemuan itu, sebagai Amir Musyafir Nurhidayat diminta untuk memerintahkan jamaahnya agar hijrah ke Lampung. Setelah itu, terjadi pengiriman jamaah ke Lampung. Setiap wilayah diminta untuk mengirim dua orang wakil untuk dikirim ke Lampung dan dilatih agar mempunyai empat kemampuan, yaitu fisik (komando), dakwah, mencari dana dan konsolidasi.

Rangkaian Peristiwa Talangsari
Pada awal bulan Januari 1989, Muspika Way Jepara mengadakan pertemuan yang juga dihadiri oleh salah satu anggota jamaah bernama Rojai bersama istrinya yang bernama Sakeh. Pertemuan tersebut memutuskan untuk membubarkan jamaah Talangsari dengan alasan jamaah tidak taat dan memusuhi Pemerintah. Jamaah diberitahu informasi tersebut, namun jamaah tidak takut karena merasa tidak bersalah.

Pada Januari 1989, pihak Kecamatan mengirimkan surat yang ditandatangani oleh Camat Way Jepara bernama Zulkifli Maliki yang isinya meminta agar Warsidi menjelaskan tentang status kegiatan pengajian dan pesantren yang disebutkannya sebagai kegiatan tanpa ijin. Setelah bermusyawarah dengan jamaahnya, Warsidi membalas surat panggilan tersebut dengan mengirimkan surat yang isinya; pertama, dengan mengutip hadist, menyatakan bahwa sebaik-baiknya Umaro datang ke Ulama dan sejelek-jeleknya Ulama yang datang ke Umaro; kedua, tidak dapat memenuhi panggilan dikarenakan kesibukan mengisi pengajian dan ketiga, mempersilakan Camat untuk datang sendiri ke lokasi pengajian/pesantren agar mengetahui keadaan pesantren.

Selanjutnya, pada sekitar akhir Januari 1989, Camat bersama rombongan datang ke lokasi pondok dan menanyakan mengapa Warsidi tidak datang memenuhi undangan Camat serta mengundang Warsidi sekali lagi secara lisan. Warsidi menjawab siap untuk datang. Namun, setelah bermusyawarah dengan jamaahnya, Warsidi memutuskan tidak memenuhi undangan lisan tersebut dengan alasan takut bahwa hal itu hanyalah kedok untuk menangkap Warsidi.

Sehari kemudian, seorang anggota Koramil Way Jepara yang bernama Serka Dahlan dan Kepala Dusun (Kadus) Talangsari bernama Sukidi datang dan masuk ke Musholla tanpa melepas sepatu dan marah-marah menantang jamaah. Ia mengatakan “Saya tidak takut terhadap kalian!”. Hal ini membuat situasi mulai
memanas.

Pada awal Pebruari 1989, seorang jamaah menerima informasi dari seorang anggota Koramil, bahwa pondok akan dihancurkan oleh Pemerintah. Warsidi kemudian mengundang jamaah ke mushola yang dihadiri oleh 50 orang untuk membahas situasi yang berkembang. Diputuskan apapun resikonya, jamaah harus bertahan. Jamaah yang berada di Cihideung kemudian mulai membuat panah dari bambu. Pada Sabtu malam, 4 Pebruari 1989, jamaah juga mulai melakukan penjagaan dengan mengambil alih pos ronda dari masyarakat setempat. Pada Minggu, 5 Pebruari 1989 mulai pagi hari, jamaah mempersiapkan diri dan berjaga terhadap segala kemungkinan jika terjadi serangan. Mereka belajar memanah, membeli golok dan memperbaiki panah-panah yang rusak serta membuat racun untuk dilekatkan pada panah-panah mereka.

Minggu malam, 5 Pebruari 1989 (menjelang tanggal 6 Pebruari 1989), penjagaan
dilakukan oleh 7 (tujuh) orang jamaah yang bernama Mudiman, Mursyidin, Hardiwan, Abdul Rahman, Muhdiyanto, Joko dan Ir Usman. Pos jaga jaraknya sekitar 400 meter dari pondok arah Timur. Setelah jam 24.00, Serka Dahlan Bataud, anggota Koramil Way Jepara, dan Babinsa bernama Koptu Rahman dibantu oleh masyarakat non jamaah yang ronda di sebelah Timur, serta Pamong Desa dan Hansip mendatangi pos jaga dan menodong para jamaah yang bertugas jaga pondok. Mereka diminta angkat tangan. Selanjutnya, Serka Dahlan Bataud dari Koramil Way Jepara dan Babinsa bernama Koptu Rahman mengikat 6 (enam) orang di antara mereka (kecuali Joko alias Sadar yang melarikan diri), dan membawanya ke Koramil Way Jepara. Di tengah jalan, 1 (satu) orang bernama Usman berhasil meloloskan diri dan kembali ke pondok lalu melaporkan peristiwa penangkapan tersebut kepada Warsidi.

Malam itu juga, Warsidi mengumpulkan jamaah. Warsidi menunjuk dan memerintahkan 11 (sebelas) orang yaitu Fadillah alias Sugito, Riyanto, Abadi Abdullah, Tardi Nurdiansyah, Zainuri, Heriyanto, Beni, Muadi, Sodikin, Sugeng Yulianto, dan Muklis di bawah pimpinan Fadillah alias Sugito untuk membebaskan 5 orang yang ditangkap oleh aparat. Malam itu juga mereka berangkat dengan membawa senjata berupa golok, panah serta bom Molotov.

Pada 6 Pebruari 1989, sekitar pukul 11.30 WIB, rombongan berjumlah sekitar 20
orang terdiri atas Kasdim Metro bernama Mayor Oloan Sinaga, Danramil Way Jepara bernama Kapten Sutiman, Serka Dahlan Bataud, Camat Way Jepara bernama Zulkifli Maliki dan Stafnya, Lurah Rajabasa Lama bernama Amir Puspamega, Kadus Talangsari bernama Sukidi, dan beberapa orang lagi menuju ke pondok pesantren Warsidi. Kapten Sutiman mengendarai sepeda motor dan berada paling depan serta menembak ke arah pos jaga. Mendengar tembakan tersebut, sekitar 4 orang yang sedang tidur-tidur di pos jaga tersebut meneriakkan “Allahu Akbar”. Selanjutnya, jamaah yang berada di pondok keluar dan mengejar ke arah suara tembakan tadi.

Sepeda motor Kapten Sutiman terjatuh dan dia meninggalkan sepeda motornya dengan berlari mundur sambil terus menembak. Sedangkan, rombongan yang lain berbalik arah dan melarikan diri meninggalkan pondok. Dalam pelariannya, tidak jauh dari pondok, Kapten Sutiman dipanah oleh jamaah dan terkena di dada kiri dan dada kanannya dan akhirnya Kapten Sutiman tewas dalam kejadian tersebut. Setelah sholat dhuhur berjamaah, Jamaah mengubur jenazah Kapten Sutiman. Jamaah yang lain melakukan pembongkaran jembatan di jalan-jalan keluar masuk pondok serta membuat lubang di jalan yang tidak terhalang oleh sungai supaya pihak luar tidak bisa masuk ke lokasi pondok.

Sementara itu, setibanya di Way Jepara 11 (sebelas) orang utusan Warsidi tidak berhasil membebaskan 5 (lima) orang yang ditangkap aparat karena sudah  dipindahkan ke Kodim Metro. Mereka memutuskan untuk pergi ke rumah Zamzuri di Sidorejo. Kemudian mereka mengutus salah seorang untuk memberitahukan Warsidi mengenai kegagalan pembebasan jamaah. Sekembalinya dari Warsidi, Ia membawa informasi kematian Kapten Sutiman dan perintah Warsidi untuk membuat kekacauan di Bandar Lampung guna mengalihkan perhatian Pemerintah dan TNI.

Selanjutnya, pada Selasa, 7 Pebruari 1989, sekitar pukul 00.00 WIB, datang mobil Fuso hilir mudik di sekitar pondok pesantren Cihideung yang kemungkinan
merupakan bagian dari upaya pengintaian aparat militer. Selanjutnya, kira-kira pukul 01.00 WIB, terdengar suara tembakan sebanyak 2 (dua) kali dari arah Barat dan Selatan atau arah mobil tersebut yang kemudian disusul dengan berondongan senjata dari aparat militer yang berasal dari arah Selatan, Utara dan Timur pondok. Kejadian tersebut berlangsung kurang lebih 1 (satu) jam. Pada sekitar shubuh, beberapa berondongan tembakan diarahkan ke rumah-rumah dan selanjutnya ke jamaah. Beberapa tembakan terhadap jamaah dilakukan dalam jarak dekat dan mematikan.

Sekitar pukul 08.00 tanggal 7 Pebruari 1989, terjadi pembakaran rumah-rumah penduduk. Di dalam rumah-rumah yang dibakar tersebut, utamanya di dalam salah satu bangunan terbesar yang mereka sebut pondok, banyak terdapat anggota jamaah Warsidi dimana sebagian besar merupakan anak-anak dan ibu-ibu. Pada 08 Pebruari 1989, di luar areal pondok terjadi pembakaran lagi terhadap rumah-rumah yang ada di sebelah Barat dan berlanjut pada 09 Pebruari 1989 di rumah-rumah bagian Selatan. Peristiwa ini menyebabkan banyak korban meninggal yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak akibat tembakan atau pun terbakar.

Setelah itu, terjadi penangkapan terhadap jamaah dan orang-orang yang dipandang oleh aparat mempunyai keterkaitan dengan kelompok Warsidi yang berada di luar lokasi yaitu Lampung, Jakarta, Bima, dan Padang. Jamaah yang ditangkap di Lampung sebagian dibawa untuk pertama kali antara lain ke Kelurahan Rajabasa Lama, ke Koramil Way Jepara, Polsek Jabung, Polsek Way Jepara dan, Polsek Sukadana. Setelah itu mereka dibawa ke Kodim Metro dan selanjutnya dibawa ke Korem 043/Garuda Hitam serta kemudian ditahan di LP Rajabasa. Penangkapan terjadi tanpa surat perintah penangkapan. Sementara itu, jamaah yang ditangkap di Jakarta ditempatkan di Kramat Lima, atau terlebih dahulu dibawa ke Kodim Jakarta Timur, kemudian dibawa ke Kramat Tujuh, dan selanjutnya ditempatkan di Satgas Intel Pusat di Gang Buntu. Setelah itu, terjadi penangkapan terhadap jamaah dan orang-orang yang dipandang oleh aparat mempunyai keterkaitan dengan kelompok Warsidi yang berada di luar lokasi yaitu Lampung, Jakarta, Bima, dan Padang.

Pada peristiwa penangkapan dan/atau pemeriksaan terjadi tindak kekerasan, dan/atau penyiksaan. Sebagian besar jamaah setelah pemeriksaan dilakukan, dilepaskan dan tidak diproses hukum. Jamaah atau mereka yang dianggap terkait dengan Warsidi, yang berada di Lampung, namun tidak diadili, sebelum dilepaskan, sebagian ditempatkan terlebih dahulu di Panti Sosial Lempasing. Sebagian jamaah yang akan dilepaskan setelah pemeriksaan dipertemukan dengan Komandan Korem 043 Garuda Hitam A.M. Hendropriyono. Sebagian di antaranya diancam dengan meminta mereka untuk tidak mengatakan apa yang terjadi saat mereka ditangkap.

Sebagian yang dilepaskan dikenai wajib lapor kepada kelurahan/institusi militer terdekat antara lain Kelurahan Bauh Gunung Sari, Koramil Jabung, Koramil Labuhan Maringgai dan Polsek Way Jepara. Jangka waktu wajib lapor bervariasi antara 1  (satu) hingga 4 tahun. Jamaah yang dikenai wajib lapor, mendapat ancaman dan dipaksa untuk melakukan beberapa jenis pekerjaan. Sebagian jamaah setelah dilepaskan mendapat teror dan ancaman dari aparat militer.

Sebagian jamaah diadili di Pengadilan Negeri Tanjungkarang dengan tuduhan subversif dan dijatuhi hukuman rata-rata pidana subversi dengan hukuman penjara, rata-rata seumur hidup dan sebagian pidana penjara, kemudian menjalani hukuman di LP Rajabasa dan kemudian dipindahkan di LP Nusakambangan.

Beberapa orang yang ditangkap di Jakarta, diproses hukum dan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PN Jakarta Utara dan atau PN Jakarta Timur juga dengan tuduhan subversi dengan tuntutan hukuman seumur hidup dan vonis antara 15 tahun hingga seumur hidup. Mereka yang diadili di Jakarta kemudian menjalani hukuman di LP Cipinang.

Sebagian besar jamaah menderita kehilangan harta benda dan/atau pekerjaan mereka. Sebagian lagi, mereka mengalami kesulitan mencari pekerjaan dan mendapat stigma dan dikucilkan masyarakat.

Bentuk-bentuk Kejahatan Yang Terjadi Dalam Peristiwa Talangsari

Pembunuhan
Serangan yang terjadi pada 7 Pebruari 1989 terhadap penduduk sipil yaitu jamaah Pondok Pesantren Warsidi di Desa Cihideung dilakukan oleh pelaku yang dapat diidentifikasi sebagai aparat militer. Serangan tersebut mengakibatkan sekurang-kurangnya sebanyak 130 orang meninggal dunia.

Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
Sebagai akibat dari serangan militer yang dalam aksinya juga telah melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk, sesuai dengan keterangan saksi Kepala Dusun, setidaknya tercatat sebanyak 109 (seratus sembilan) rumah yang terbakar dan atau rusak.

Sehubungan dengan dibakarnya serta dirusaknya rumah-rumah penduduk serta adanya larangan dari aparat militer terhadap penduduk untuk kembali ke rumahnya, maka telah mengakibatkan pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Berdasarkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan, sekurang-kurangnya tercatat sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh).

Perampasan Kemerdekaan Secara Sewenang-wenang
Dari hasil penyelidikan ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Tindak perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang terjadi sebelum dan setelah penyerangan jamaah Warsidi pada 7 Pebruari 1989. Sesuai dengan hasil penyelidikan, didapati sekurang-kurangnya sebanyak 53 (lima puluh tiga) orang yang dirampas kemerdekaannya secara sewenang-wenang orang dalam bentuk penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang.

Penyiksaan
Bahwa hampir di semua lokasi penangkapan dan penahanan terjadi praktik kekerasan dan penyiksaan, yang dimulai dari proses penangkapan, menuju tempat tahanan, selama pemeriksaan maupun selama dalam tahanan. Secara umum penyiksaan dilakukan untuk mendapatkan keterangan, pemaksaan untuk mengakui sesuatu, pemaksaan untuk menandatangani sesuatu, dan sebab-sebab yang tidak diketahui alasannya. Penyiksaan yang dilakukan dengan metode khusus misalnya penyetruman, penginjakan kaki dengan kursi yang diduduki dan penyundutan rokok yang dilakukan saat interogasi dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan. Penyiksaan yang terjadi tidak hanya dilakukan secara fisik tetapi juga secara mental, misalnya dengan adanya ancaman pembunuhan, intimidasi, caci maki dengan kata-kata kotor, stigmatisasi sebagai kelompok PKI, Mujahidin, dan cacian lainnya yang merendahkan martabat manusia.

Berdasarkan rangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi, jumlah korban penyik
saan di berbagai tempat penahanan tersebut sekurang-kurangnya sebanyak 46 (empat puluh enam) orang.



Penganiayaan
Pada peristiwa Talangsari 1989 ditemukan fakta bahwatelah terjadi penganiayaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 9 huruf h Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Berdasarkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan, sekurang-kurangnya terdapat sebanyak 268 (dua ratus enam puluh delapan) orang yang menja
di korban penganiayaan (persekusi).

Gambaran Korban
Latar belakang korban-korban yang secara khusus memang telah dipilih menjadi sasaran tindakan kekerasan para aparat militer dan sipil, yakni mereka yang dianggap sebagai anggota jamaah Warsidi dan/atau mereka yang dianggap terkait/terafiliasi dengan kelompok Warsidi.

Bahwa korban pembunuhan sampai saat ini jumlah keseluruhan belum secara pasti terkalkulasi secara pasti. Namun demikian, berdasarkan keterangan para saksi tersebut telah jelas bahwa terdapat ratusan korban yang meninggal baik dari penglihatan saksi pada saat terjadinya peristiwa, penglihatan saksi pada saat penguburan para korban dan kesaksian beberapa saksi yang menyatakan telah menemukan kerangka para korban dibeberapa lokasi maupun keterangan saksi yang menyatakan bahwa orang-orang tertentu yang pada waktu terjadinya peristiwa berada di lokasi/tempat kejadian, namun selanjutnya sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya dan diperkirakan menjadi korban mati pada peristiwa itu.

Sesuai dengan data, fakta dan informasi yang diperoleh dari saksi selama proses
penyelidikan, didapati adanya tindak kejahatan berupa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Adapun penduduk sipil yang menjadi korban sehingga terjadinya pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa adalah sebagian besar para pengikut Warsidi. Selain itu, penduduk sekitar yang tinggal berdekatan dengan pondok Warsidi juga menjadi korban pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.

Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang diperoleh selama proses penyelidikan, dapat disimpulkan telah terpenuhinya unsur-unsur perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang terhadap satu orang atau lebih yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional yang terlihat dari sifat sewenang-wenangnya proses penangkapan dan penahanan dalam keadaan tidak manusiawi. Bahwa korban perampasan kemerdekaan/kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang berhasil teridentifikasi sementara ini semuanya adalah penduduk sipil anggota jamaah, penduduk sipil bukan anggota jamaah yang tinggal di sekitar Mushola Mujahidin (mushola Warsidi) dan masyarakat sipil yang tinggal di luar dusun Cihideung.

Bahwa korban kejahatan penyiksaan, berdasarkan keterangan para saksi menunjukkan bahwa para korban adalah penduduk sipil yang ditangkap dan berada dalam lokasi penahanan. Bukti-bukti penyiksaan selain sebagaimana dinyatakan oleh para saksi juga dapat dilihat dari bekas-bekas penyiksaan pada tubuh korban yang sampai saat ini masih terlihat. Korban penyiksaan ini terdiri dari laki-laki maupun perempuan mengalami penderitaan fisik maupun mental dan bahkan beberapa korban sampai saat ini masih menderita secara fisik dan mental.

Bahwa korban persekusi yang berhasil teridentifikasi sementara ini semua adalah penduduk sipil anggota jamaah Warsidi, penduduk sipil bukan anggota jamaah yang tinggal di sekitar Mushola Mujahidin (mushola Warsidi) dan penduduk sipil yang tinggal di luar Dusun Cihideung. Berdasarkan hasil penyelidikan, ditemukan bahwa dapat dibuktikan sebagian besar korban merupakan laki-laki dewasa. Selain itu, juga menemukan bahwa sebagian korban adalah perempuan dan anak-anak termasuk di antaranya bayi-bayi.

Klasifikasi Korban
Bahwa berdasarkan kesaksian terdapat beberapa klasifikasi korban yakni; pertama, korban yang telah menjadi target sasaran yakni para korban adalah penduduk sipil yang secara khusus telah dipilih menjadi sasaran tindakan kekerasan para aparat militer dan sipil, yakni mereka yang dianggap sebagai anggota jamaah Warsidi dan/atau mereka yang dianggap terkait dengan kelompok Warsidi. Kedua, para korban yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan kelompok Jamaah Warsidi namun dalam kenyataannya para korban ini bukan merupakan kelompok yang ditargetkan. Bahwa klasifikasi korban dapat juga terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa, dan juga anak-anak.

Bahwa karakteristik korban yang telah ditargetkan yakni kelompok Jamaah Warsidi dan afiliasinya ini menegaskan adanya kejahatan persekusi (persecution) yang ditujukan pada suatu kelompok tertentu atau perkumpulan, dimana dicantumkan motif berupa perbedaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama., jeniskelamin atau alasan lain yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

Jumlah Korban
Bahwa berdasarkan keterangan dari para saksi, korban dari kejahatan yang terjadi adalah korban dalam jumlah yang banyak (multiple of victims) dan bukan merupakan korban tunggal (single victim), sehingga telah memenuhi unsur “large scale”. Berikut merupakan jumlah korban berdasarkan keterangan para saksi:

a.    Korban pembunuhansekurang-kurangnya berjumlah 130 orang.
b.    Korban pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa sekurang-kurangya tercatat sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh) orang.
c.    Perampasan Kemerdekaan secara sewenang-wenang, sekurang-kurangnya
d.    sejumlah 53 (lima puluh tiga) orang.
e.    Korban Penyiksaan, sekurang-kurangya tercatat sebanyak 46 (empat puluh
f.     enam) orang.
g.   Korban Persekusi mencakup keseluruhan korban pembunuhan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dan penyiksaan.

Dengan demikian sekurang-kurangnya yang menjadi korban penganiayaan berjumlah 229 (dua ratus dua pulum sembilan) Orang.

Sebaran Geografis Korban
Bahwa sebaran korban bukan hanya terjadi di satu lokasi peristiwa namun terjadi
dibeberapa lokasi. Sebaran korban ini merujuk pada terpenuhinya kejahatan yang bukan bersifat tunggal, tersendiri atau acak (single, isolated or random acts) namun merupakan kejahatan yang kolektif (crime in collective nature). Berikut merupakan sebaran korban:
a. Korban Pembunuhan : Pedukuhan Cihideung dusun Talangsari III desa Rajabasa Lama dan Sidorejo, Lampung.
b. Korban Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa : Panjang, Lahang, Sindang Anom, Lahang Ujung, Desa Kubang di Padang, Desa Pulo (Kecamatan Way Jepara), Pakuan Aji, Pulau Pasiran, Papan Batu Belimbing, Rajabasa Baru, Dusun Umbul Buntu, Proyek Pancasila. Kelahang, Talangsari, Desa Tanah Pasiran, Labuhan Ratu, Way Jepara, Sri Bhawono.
c. Korban Penyiksaan : Di Koramil Way Jepara, Koramil Labuan Maringgai, Kodim Metro, Korem Garuda Hitam, Laksusda Kramat V dan Kramat VII, Polsek
Way Jepara, Kodim Painan Padang, Polres Metro, LP. Rajabasa, LP. Metro, Panti Sosial Lempasing.
d. Korban Perampasan Kemerdekaan Secara Sewenang-wenang : di Lampung, Jakarta dan Padang Painan. Korban di Lampung tersebar di Dusun Cihideung, Desa Talangsari, Desa Pakuan Aji, Desa Kelahang dan Desa Rajabasa Lama yang kesemuanya berada di kecamatan Way Jepara Kabupaten Lampung Timur,di Desa Sidorejo dan Bandar Agung Kecamatan Sekampung Udik Kabupaten Lampung Timur.
e. Korban Persekusi/penganiayaan : Mencakup keseluruhan lokasi pembunuhan,
penyiksaan dan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.

Gambaran Pelaku Atau Pihak Yang Dapat Dimintai Pertanggungjawaban
Dilihat dari serangkaian tindakan yang dilakukan aparat negara sebelum, pada saat dan setelah peristiwa Talangsari 1989 terdapat pola tindakan untuk melakukan kekerasan kepada penduduk sipil yang terkait dengan jamaah Warsidi di beberapa lokasi. Keterangan para Saksi menunjukkan aktivitas aparat keamanan aparat atau sipil untuk melakukan pembunuhan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, penganiayaan, penyiksaan dan tindakan lain diantaranya pembakaran rumah-rumah penduduk sipil, memaksa penghuninya keluar, dengan ancaman, pembakaran, pelepasan tembakan bahkan penembakan langsung yang mematikan.

Bahwa berbagai institusi negara dalam berbagai tindak kejahatan dalam peristiwa Talangsari 1989 yang diduga terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui adalah dari Militer, Kepolisian dan pemerintah sipil. Bahwa dugaan keterlibatan institusi dapat dilihat dari kesiapan sarana dan prasarana dan tindakan aparat negara di masing-masing institusi pada kejahatan yang terjadi. Keterlibatan berbagai institusi tersebut dapat menunjukkan adanya aspek kebijakan pemerintah atas terjadinya peristiwa Talangsari 1989. Kebijakan tidak perlu diformulasikan dan secara normatif dapat disimpulkan di lapangan. Kebijakan negara ini bisa pelaksanaannya melalui lembaga, personil, atau sumber-sumber daya negara.

Bahwa institusi militer yang terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui adalah Komando Rayon Militer (Koramil) Way Jepara, Koramil Jabung, Koramil Labuan Maringgai, Komando Distrik Militer (Kodim) Metro, Kodim 0411 Lampung Tengah, Kodim Painan Padang dan Komando Resort Militer (Korem) 043 Garuda Hitam Lampung. Selain itu, dalam kejahatan yang terjadi di Jakarta, institusi militer yang terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui adalah Laksusda Jaya termasuk penjara Kramat V dan Kramat VII. Institusi Kepolisian yang terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui adalah Kepolisian Sektor (Polsek) Way Jepara, Kepolisian Resort (Polres) Metro. Institusi pemerintahan sipil yang terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui adalah Pemerintah Desa Rajabasa Lama termasuk Pemerintahan tingkat Dusun Talangsari III, aparat Kecamatan Way Jepara. Bahwa institusi sipil yang juga diduga terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui adalah Lembaga Pemasyarakat Rajabasa, Lembaga Pemasyarakatan Metro, dan Panti Sosial Lempasing.

Para pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban ini setidaknya mencakup beberapa kategori yaitu; pertama, pelaku yang melakukan aktivitas kekerasan di lapangan; kedua, para pelaku yang melakukan aktivitas pengendalian operasi lapangan termasuk didalamnya aparat sipil dan para komandan militer dan kepolisian; Ketiga, pemegang tanggung jawab kebijakan keamanan termasuk di dalamnya pejabat tinggi militer, polisi ataupun aparat sipil yang secara aktif maupun pasif terlibat atau mengetahui berbagai tindak kejahatan tersebut.

Bahwa selain pertanggungjawaban aparat negara atas kekerasan yang terjadi kepada penduduk sipil, ditemukan pula fakta bahwa telah terjadi kekerasan oleh kelompok Jamaah Warsidi yang mengakibatkan meninggalnya beberapa aparat
keamanan.

Analisis Hukum Fakta Peristiwa Talangsari
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam peristiwa Talangsari 1989 dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, yakni pembunuhan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang, penyiksaan, dan penganiayaan yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional,.

Bahwa berdasarkan dengan ketentuan Pasal 7 jo Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, bentuk-bentuk perbuatan yang terjadi dalam peristiwa Talangsari 1989, dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan apabila “perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematisdan serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”.
Di samping itu, dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam alinea di atas, terdapat indikasi keterlibatan anggota-anggota tentara dan/atau polisi serta tanggung jawab atasan atau komandan satuan-satuan yang bersangkutan.

Pembunuhan
Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat yang diidentifikasi dalam peristiwa Talangsari 1989 adalah pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b juncto Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Perbuatan melawan hukum dilakukan dengan maksud untuk membunuh, unsur-unsurnya adalah:
1.    kematian;
2.    kematiannya sebagai akibat tindakan melawan hukum atau tidak melakukan (ommission) dari pelaku atau bawahannya;
3.    ketika pembunuhan terjadi, pelaku atau bawahannya memiliki niat untuk membunuh atau menyakiti korban dimana pelaku tersebut mengetahui bahwa tindakan menyakiti korban seperti itu dapat menyebabkan kematian.”

Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas dan fakta-fakta hukum yang diper
oleh selama proses penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Talangsari 1989, disimpulkan sebagai berikut:

1. Terpenuhinya unsur kematian korban dilihat dari bukti adanya mayat dan bukti bahwa orang-orang tertentu tidak diketemukan lagi.
.
2. Unsur kematiannya sebagai akibat tindakan melawan hukum atau tidak melakukan (ommission) dari pelaku atau bawahannya. Terpenuhinya unsur ini dilihat dari: Pembunuhan dengan cara langsung (pelaku membunuh satu orang atau lebih dan pembunuhan dengan cara tidak langsung (Bukti tentang keadaan penahanan/pemenjaraan).

3. Unsur ketiga yaitu ketika pembunuhan terjadi, pelaku atau bawahannya memiliki niat untuk membunuh atau menyakiti korban dimana pelaku tersebut mengetahui bahwa tindakan menyakiti korban seperti itu dapat menyebabkan kematian. Unsur ini terpenuhi dan dapat dilihat dari Pelaku berniat untuk melibatkan diri dalam perbuatan dan menyadari akibatnya yang nantinya menyebabkan kematian satu orang atau lebih serta bukti kekerasan atau tindakan yang dilakukan menunjukkan bahwa hal itu dimaksudkan untuk menyebabkan kematian (Elemen mental).

Terpenuhinya “unsur niat” juga dapat dilihat dari Kesimpulan adanya kenekadan yang ditarik dari sifat kekerasan yang dilakukan terhadap korban:
(a)  Bukti beratnya pemukulan. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya fakta sesuai dengan keterangan saksi tindak kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh pelaku.

(b) Bukti digunakannya senjata api terhadap orang tidak bersenjata.
Adapun fakta-faktanya antara lain suara tembakan dan korban yang meninggal sebagai akibat dari terkena peluru senjata api.
(c) Bukti bahwa pembunuhan direncanakan atau dipikirkan terlebih dahulu.
(d) Bukti perbuatan sesudah tindak pidana yang menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut telah dilakukan dengan sengaja.

Berdasarkan unsur kejahatan Pasal 7 huruf b juncto Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka setelah dilakukan analisa hukum atas fakta sebagaimana diuraikan diatas, kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan sekurang-kurangnya sebanyak 130 (seratus tiga puluh) orang.

Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat yang diidentifikasi dalam peristiwa Talangsari 1989, adalah berupa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b juncto Pasal 9 huruf d Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Adapun eleman hukum yang harus dipenuhi dalam pengusiran atau pemindahan
penduduk secara paksa adalah pelaku melakukan pemindahan atau mengakibatkan terjadinya perpindahan penduduk secara paksa. Pengertian pemindahan penduduk secara paksa disini tidak hanya terbatas pada tindakan kekerasan fisik semata, akan tetapi termasuk juga didalamnya ancaman pemaksaan seperti menakut-nakuti dengan tindakan kekerasan, penahanan, penekanan secara psikologi atau penyalahgunaan kekuasaan yang ditujukan kepada satu orang atau sejumlah orang.

Sedangkan komponen persyaratan hukum yang harus dipenuhi dalam pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa yaitu adanya bukti perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat yang lain, bukti adanya sejumlah korban pengungsian, bukti adanya penghancuran rumah penduduk sipil sehingga mereka tidak dapat kembali dari pengungsian.

Berdasarkan elemen dan komponen persyaratan hukum tersebut, maka sesuai dengan hasil penyelidikan yang telah dilakukan, setidaknya terdapat sejumlah fakta yang mengakibatkan terjadinya pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Adapun fakta-fakta berdasarkan hasil penyelidikan, didapati adanya bukti terjadinya perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain.

Berdasarkan hasil penyelidikan, didapati adanya fakta sejumlah penduduk yang menjadi korban pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Para penduduk sipil tersebut terpaksa mengungsi antara lain didapati bukti adanya penghancuran rumah penduduk sipil yang mengakibatkan mereka menjadi korban pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, karena tidak mempunyai rumah kembali dan dilaranguntuk membangun kembali rumahnya.

Berdasarkan unsur kejahatan Pasal 7 huruf b juncto Pasal 9 huruf d Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka setelah dilakukan analisis hukum atas fakta, sebagaimana diuraikan diatas, kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa sekurang-kurangnya sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh) orang yang terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya.

Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik
Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat yang diidentifikasi dalam peristiwa Talangsari 1989 adalah berupa perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b juncto Pasal 9 huruf e Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Adapun unsur-unsur tindak perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1.    Pelaku menahan satu orang atau lebih atau dengan cara lain merampas kebebasan fisik satu orang atau lebih.
2.    Pelanggaran dilakukan sangat berat sehingga merupakan suatu pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pokok hukum internasional.
3.    Pelaku mengetahui tentang fakta-fakta yang merujuk pada pembentukan pelanggaran berat tersebut.

Berdasarkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan, didapati bukti adanya unsur
penahanan satu orang atau lebih atau dengan cara lain merampas kebebasan fisik satu orang atau lebih. Selain itu, Berdasarkan hasil penyelidikan yang telah
dilakukan, didapati bukti adanya pelanggaran sangat berat sehingga merupakan
suatu pelanggaran terhadap ketentuan pokok hukum internasional sebagaimana ditunnjukkan oleh keterangan saksi dan juga didapati bukti adanya pelaku mengetahui tentang fakta-fakta yang merujuk pada pembentukanpelanggaran berat tersebut.

Berdasarkan unsur-unsur kejahatan berdasarkan Pasal 7 huruf b juncto Pasal 9 huruf e Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka setelah dilakukan analisis hukum atas fakta, sebagimana diuraikan diatas, maka
terbukti bahwa unsur-unsur pelanggaran HAM yang berat berupa perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang telah terpenuhi.

Penyiksaan
Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat yang diidentifikasi dalam peristiwa Talangsari 1989 adalah berupa penyiksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b juncto Pasal 9 huruf f Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 9 huruf f Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyiksaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat baik fisik secara mental terhadap seorang tawanan atau seseorang dibawah pengawasan. Oleh karenanya suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai penyiksaan, apabila persyaratan adanya kesengajaan untuk menimbulkan rasa sakit atau suatu luka pada orang lain tersebut ada. Jadi, dalam hal ini niat pelaku haruslah untuk menimbulkan luka pada tubuh atau untuk merugikan orang lain. Jelasnya dalam hal ini adalah opzetatau tujuan, terlepas dari akibat yang timbul dari perbuatan tersebut.

Bahwa untuk menentukan adanya kejahatan penyiksaan harus dibuktikan 3 (tiga)
unsur penting yang harus dipenuhi yaitu;
1.    pelaku membuat seseorang atau orang-orang mengalami rasa sakit atau penderitaan yang mendalam (severe) baik secara fisik maupun mental;
2.    orang-orang itu (yang disiksa) berada dalam tahanan atau berada dibawah kontrol para pelaku, dan
3.    rasa sakit atau penderitaan tersebut bukan akibat yang ditimbulkan dan tidak inheren atau diakibatkan oleh penghukuman yang sah.

Ketiga unsur tersebut harus juga disertai adanya pembuktian maksud atau niat pelaku (mens rea atau elemen mental), sehingga terbuktinya actus reus haruslah
sejalan dengan terbuktinya elemen mental (mens rea atau mental element) dari tindakan penyiksaan.

Bahwa berdasarkan pada keterangan saksi-saksi dan juga sesuai dengan fakta-fakta, dalam peristiwa Talangsari 1989 telah cukup bukti adanya kejahatan penyiksaan, antara lain dilakukan dengan cara menendang, memukul, menampar, menginjak dan memaksa membuka mulut dan kemudian dimasukkan barang tertentu, dan tindakan-tindakan lain yang menimbulkan penderitaan fisik.

Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, penyiksaan dilakukan dengan menggunakan alat atau instrumen tertentu. Alat atau instrumen yang digunakan adalah adalah karet untuk menjepret mata, sepatu lars untuk menendang, balok kayu, kursi untuk menjepit anggota badan yang kemudian diduduki, rokok untuk menyundut, pistol yang dimasukkan ke mulut, popor senjata, borgol, pulpen yang dimasukkan ke jari-jari, tali rafia untuk mengikat kemaluan, cincin akik untuk memukul, rotan untuk memukul, sembilu untuk menggores, dan benda-benda lainnya, juga menggunakan setrum listrik.

Selain itu, berdasarkan keterangan para saksi, penyiksaan dilakukan dengan adanya penolakan adanya fasilitas kebersihan tubuh (misalnya mandi, cuci, kakus) yang memadai secara berkepanjangan.

Bahwa berbagai tindakan penyiksaan diatas, membuktikan adanya penyiksaan yang menunjukkan tingkat beratnya kesakitan atau penderitaan yang diakibatkan. Hal tersebut membuktikan adanya tindakan-tindakan penyiksaan yang cukup berat dan dengan sendirinya merupakan penyiksaan dan adanya keadaan-keadaan yang timbul diakibatkan karena penyiksaan tersebut.

Selain penderitaan fisik, korban juga mengalami penderitaan mental yang dialami
akibat dari tindakan perendahan martabat secara verbal/lisan. Para korban dicaci
maki dengan kata-kata yang menyinggung mental saksi seperti "PKI", "pemberontak", "GPK", "anjing", "babi" dan kata-kata lainnya.

Bahwa berdasarkan keterangan para saksi, telah terjadi tindakan yang mengakibatkan penderitaan mental dengan cara diperlihatkan tahanan lain yang
disiksa, diperlihatkan tahanan lain yang mengalami luka, mendengar jeritan istri,
dan tindakan-tindakan lainnya.

Orang-orang itu (yang disiksa) berada dalam tahanan atau berada di bawahkontrol pelaku bersangkutan

Bahwa untuk membuktikan para korban penyiksaan berada dalam tahanan atau berada dibawah kontrol pelaku dapat dibuktikan diantaranya dengan; 1) korban ditahan ditempat penahanan, 2) korban ditahan di penjara atau tempat penahanan, 3) korban dengan cara apapun dipaksa untuk tetap ditahan pelaku, dan 4) adanya kendali yang dilaksanakan oleh pelaku, yang ditunjukkan dengan adanya posisi seorang komandan di tempat penahanan atau adanya pengaruh atau kewenangan dalam posisi lainnya. Bahwa sesuai dengan keterangan para saksi, para korban bahwa mereka ditangkap oleh pelaku dan kemudian ditahan dan berada dalam kontrol pelaku, antara lain ditempatkan di tempat-tempat tahanan atau penjara di daerah Lampung di antaranya rumah penduduk yang umumnya rumah kepada desa (misalnya depan lurah Sarnubi), Polsek Sukadana, Polsek Labuhan Maringgai, Koramil Labuhan Maringgai, Koramil Sukadana, Kodim Metro, Korem 043 Garuda Hitam, Polres Metro, LP. Rajabsa, dan LP. Metro. Sementara yang di luar Lampung adalah Kodim Painan, Padang Sumatra Barat dan Jakarta yakni di Kodim Jakarta Timur, Laksus Kramat V dan Kramat VII dan di suatu daerah di Cidodol Gang Buntu (Satgas Intel Pusat) Bahwa tenpat-tempat tersebut merupakan tempat-tempat dilakukannya penahanan terhadap para korban baik bersifat tetap maupun penahanan sementara.

Rasa sakit atau penderitaan tersebut bukan akibat yang ditimbulkan dan tidak inherent atau diakibatkan oleh penghukuman yang sah
Bahwa yang dimaksud dengan unsur ini adalah tidak adanya penghukuman yang sah yaitu penghukuman yang dilakukan sesuai dengan hukum nasional atau hukuman yang sesuai dengan hukum dan standar internasional.

Bahwa sesuai dengan keterangan para saksi, penyiksaan yang terjadi bukan merupakan suatu bentuk penghukuman sesuai dengan hukum nasional atau penghukuman yang sesuai dengan hukum dan standar internasional. Para saksi justru disiksa pada saat proses pemeriksaan dimana hal tersebut justru bertentangan dengan hukum nasional, yakni Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP yang melarang segala bentuk penekanan dan kekerasan selama proses pemeriksaan. Penyiksaan yang terjadi selama proses pemeriksaan juga bertentangan dengan hukum internasional yang melarang setiap orang dalam kondisi apapun untuk disiksa dan diperlakukan dengan kejam dan tidak manusiawi sebagaimana tercantum dalam International Convenant on Civil and Political Rights(ICCPR) dan International Convention Against Torture (CAT).

Bahwa sesuai dengan keterangan para saksi, penyiksaan yang dilakukan juga bukan merupakan implementasi hukuman dari suatu putusan pengadilan yang sah. Para korban belum pernah diadili dan dijatuhi hukuman pada saat penyiksaan terjadi. Parapelaku penyiksaan bukanya pejabat yang berwenang untuk menetapkan atau menentukan hukum bagi para korban sehingga telah jelas bahwa penderitaan dan rasa sakit akibat penyiksaan ini tidak ada hubungannya dengan pelaksaan hukuman yang sah sesuai dengan hukum nasional maupun hukum dan standar internasional.

Dapat disimpulkan telah terjadi penyiksaan karena pelaku dengan sengaja melakukan tindakan yang menimbulkan rasa sakit atau penderitaan-penderitaan yang luar biasa terhadap jasmani atau rohani, yang dilakukan oleh atau karena hasutan, persetujuan, sepengetahuan aparat negara yang bertujuan untuk memperoleh keterangan, pengakuan atau sebagai penghukuman, atau ancaman
atau alasan-alasan yang berdasarkan diskriminasi. Tindakan penyiksaan ini bukan timbul sebagai akibat dari penghukuman yang sah.

Penganiayaan (Persekusi)
Salah satu bentuk pelanggaran HAM yang berat yang diidentifikasi dalam peristiwa Talangsari 1989, adalah berupa penganiayaan (persekusi) terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b junctoPasal 9 huruf h Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Definisi penganiayaan dalam penyelidikan ini adalah istilah penganiayaan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu penganiayaan dalam arti persecution (persekusi) sebagaimana yang dimaksud di dalam Statuta Roma. Penganiayaan di sini bukan dimaksudkan dari “penganiayaan” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 351 KUHP. Negara memang tidak memberikan definisi tersendiri tentang penganiayaan dalam arti persekusi ini, hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan Pasal 9 butir h Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut yang hanya menyatakan “cukup jelas”.

Alasan yang terpenting dari tindakan persekusi ini adalah bahwa persekusi harus
berdasarkan satu alasan/dasar. Maka dalam hal ini, unsur-unsur yang dimaksud
dalam penganiayaan – persekusi di sini adalah:

1.    Pelaku dengan kejam mencabut hak-hak fundamental dari satu orang atau lebih yang bertentangan hukum internasional.
2.    Pelaku menjadikan orang atau orang-orang itu sebagai target dengan alasan identitas suatu kelompok atau menargetkan tindakannya pada suatu kelompok.
3.    Penargetan tersebut didasarkan pada alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, gender sebagaimana dinyatakan dalam Statuta Roma Pasal 7 ayat (3), atau dasar-dasar lain yang diakui secara universal sebagai tindakan yang tidak boleh dalam hukum internasional.
4.    Tindakan ini dilakukan dalam kaitan dengan berbagai perbuatan yang dimaksudkan dalam Statuta Roma pasal 7 ayat (1) atau berbagai jenis kejahatan lain yang termasuk yurisdiksi Mahkamah.

Pembuktian unsur-unsur dari 1 sampai dengan 4 di atas dijelaskan dari peristiwa
peristiwa yang terjadi di Talangsari 1989 yaitu:

1.    Pembunuhan.
2.    Pemindahan penduduk secara paksa.
3.    Penahanan atau pemenjaraan yang tidak sah.
4.    Perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi.
5.    Tindakan-tindakan yang ditujukan atas kepemilikan tertentu, yaitu penghancuran, perampasan, dan pengambilalihan kepemilikan.
6.    Penerapan metode-motode yang tidak sesuai dilakukan dalam kondisi perang yaitu serangan terhadap penduduk sipil, dan obyek-obyek milik masyarakat sipil.
7.    Diskriminasi dalam memilih target kelompok/perorangan karena alasan identitas atau kolektifitas mereka (sebagai perwakilan dari kelompok atau kolektifitas tertentu).
8.    Perbuatan merampas hak-hak asasi satu orang atau lebih secara berat: Pelaku berniat untuk melakukan perbuatan perampasan hak-hak asasi satu orang atau lebih secara berat
9.    Akibat perampasan hak-hak asasi satu orang atau lebih secara berat: Pelaku menyadari bahwa perampasan hak-hak asasi satu orang atau lebih secara berat akan terjadi apabila hal itu dilakukan.
10.Akibat perampasan hak-hak asasi satu orang atau lebih secara berat: Pelaku berniat untuk menyebabkan perampasan hak-hak asasi satu orang atau lebih secara berat.

Berdasarkan hasil penyelidikan, ditemukan bukti adanya tindakan merampas hak
asasi satu orang atau lebih secara berat yang berlawanan dengan hukum internasional berupa pembunuhan terhadap kelompok tertentu yang didasari persamaan paham ideologi dan keagamaan, pemindahan penduduk secara paksa, penangkapan dan/atau penahanan dan/atau pemenjaraan yang tidak sah, perlakuan kejam dan tidak manusiawi, penghancuran dan perampasan kepemilikan adanya tindakan perampasan hak-hak dasar dengan menerapkanmetode-metode yang tidak sesuai dilakukan dalam kondisi perang dengan adanya serangan terhadap masyarakat sipil dan obyek-obyek sipil milik masyarakat sipil di kota dan desa, tindakan perampasan hak-hak dasar dimana pelaku menjadikan 1 orang atau lebih atau kelompok atau perkumpulan sebagai sasaran dengan alasan identitas suatu kelompok atau perkumpulan tertentu dalam bentuk diskriminasi dalam memilih target kelompok atau perorangan karena alasan identitas atau kolektifitas mereka sebagai perwakilan dari kelompok atau kolektifitas tertentu, pelaku menyadari dan bermaksud untuk mengakibatkan keparahan perampasan hak-hak dasar tersebut akan terjadi akibat dari rangkaian tindakan yang dilakukan.

Berdasarkan unsur kejahatan pasal 9 h juncto pasal 7 b Undang-Undang Nomor
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka setelah dilakukan analisis hukum atas fakta sebagaimana diuraikan, Penganiayaan (persekusi) di dalam Peristiwa
Talangsari 1989 telah terjadi tindakan penganiayaan – persekusi berdasarkan alasan tindakan atas kelompok yang mempunyai paham keagamaan dan ideologi tertentu, yaitu terhadap Jamaah Warsidi. ...



Jakarta, 31 Juli 2008
TIM AD HOC PENYELIDIKAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA
YANG BERAT PERISTIWA TALANGSARI 1989

KETUA,




JOHNY NELSON SIMANJUNTAK


Sumber:
http://www.elsam.or.id/downloads/809736_Ringkasan_eksekutif_Talangsari.pdf

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »