Subject: IN/HAM: RPK - Talangsari 7 Tahun Setelah Warsidi
Republika Online [LINK] [INLINE] [ISMAP] Sabtu, 24 Pebruari 1996
TALANGSARI III, 7 TAHUN SETELAH KASUS GPK WARSIDI
Ke Talangsari III? Dua tukang ojek di persimpangan Taman Nasional Way
Kambas-Way Jepara, Lampung, itu serempak menggelengkan kepala. "Sulit
masuk ke sana sehabis hujan begini," salah seorang dari mereka
mengajukan dalih.
Jalan desa menuju dusun itu berlumpur tebal. Menurut dia, hanya
gerobak sapi yang bisa melewatinya. "Sepeda motor tak mungkin masuk.
Bahkan sepeda kayuh sekalipun harus digotong," katanya.
Tujuh tahun lalu, sebuah peristiwa membuat dusun Talangsari III sempat
begitu terkenal. Meletusnya aksi jemaah Warsidi, yang berpuncak pada
6-7 Februari 1989 dan menewaskan setidaknya 28 orang, membuat dusun
itu menjadi perbincangan utama media-media.
Sebuah lembaran hitam bagi dusun di desa Rajabasa Lama (Rabala) Induk,
Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah itu. Dan seolah ingin
menghapusnya, sebuah nama baru diberikan kepada dusun itu: Subing
Putra. Tapi warga seolah tak pernah menyukai nama itu. Dan seakan tak
perduli akan citranya yang tercoreng, Talangsari III tetap jadi
sebutan sehari-hari.
Tujuh tahun mungkin terlalu singkat bagi sebuah perubahan. Tapi
perhatian besar yang dicurahkan Korem 043/Garuda Hitam terhadap dusun
Talangsari III memberi warna baru. Menurut kepala dusun, Sukidi,
setidaknya sudah enam kali dusunnya menjadi lokasi Karya Bakti ABRI
sejak peristiwa 1989 itu. Kini, misalnya, dusun itu sudah memiliki
sebuah sekolah dasar.
Selama kurun yang membawa perubahan, Talangsari III pun secara
perlahan terlupakan. Tapi kemudian, Senin (8/1), mantan Kepala
Kejaksaan Tinggi (Kajati) Lampung, Urip Artomo Singodiredjo, SH
mengatakan tentang adanya tunggakan perkara menyangkut kasus subversi
Lampung 1989. Lembaran hitam dusun itu pun kembali terkuak.
Seorang bernama Mulyadi bin Jaimo harus menyandang predikat terdakwa
selama enam tahun lebih. Ia didakwa terlibat gerakan GPK Warsidi. Tiga
puluh persidangan menjadi jadwal hidupnya. Majelis hakim yang
menanganinya sudah berganti dua kali. Sedangkan Ketua PN Tanjungkarang
yang mengadilinya telah berganti tiga kali. Persidangan ke-30 Mulyadi,
Senin (15/1), pun membuat Talangsari III kembali disebut-sebut.
Sukidi (44), Kepala Dusun Talangsari III, sempat kaget mendengar bahwa
persoalan yang telah berlalu demikian lama itu kembali mencuat ke
permukaan. "Apa benar begitu," katanya saat ditemui Republika akhir
pekan lalu. Dialah satu dari sekian saksi hidup peristiwa Lampung
tersebut, sekaligus saksi hidup dari perubahan yang terjadi di
Talangsari III.
Baginya, sudah saatnya Talangsari III berubah dan menghapus sejarah
muram 1989. Apalagi, menurutnya, kini tak ada lagi sisa-sisa jemaah
Warsidi yang bermukim di dusun itu. Bahkan pusat pergerakan mereka
dulu pun kini telah menjadi kebun singkong -- yang ia kelola sendiri
atas izin Danrem 043 Garuda Hitam pada 1989, Kolonel Inf.
Hendropriyono.
Perubahan pun menerpa bapak tiga anak ini. Setelah kasus menggegerkan
di dusunnya, dia tak lagi sekadar menjabat kepala dusun, tetapi lelaki
asal Banyuwangi, Jawa Timur, ini juga menjabat Babinsa Dusun
Talangsari III. "Pak Hendro yang menyuruh saya menjadi Babinsa,"
katanya.
Memasuki dusun itu awal Januari lalu (akhirnya ada juga tukang ojek
yang mau berjibaku menempuh lima kilometer jalur berlumpur), segera
tampak hamparan persawahan, kebun singkong, dan jejeran pohon kelapa.
Jalan memang berlumpur tebal dan begitu sulit dilalui. "Seharusnya
jalan seperti ini dilapisi batu, tapi di sini sulit mencari batu,"
cerita Suhar (39), pengemudi ojek.
Dari jalan raya Way Jepara, Talangsari III adalah dusun terjauh di
desa Rajabasa Lama Induk -- untuk memasukinya, pengunjung harus
melalui dusun Talangsari I dan II. Dan saat ini, begitu tiba
pengunjung akan menemui dua jalan desa dengan nama yang dianggap
sebagai pahlawan desa itu: Mayor Anumerta Soetiman dan Serma Anumerta
Pol. Sudargo.
Nama keduanya, atau setidaknya nama Soetiman, memang akrab di telinga
warga Talangsari III. Saat peristiwa Warsidi meletus 1989, dia
menjabat Komandan Rayon Militer Way Jepara. Soetiman, saat itu
berpangkat kapten, tewas di ujung panah beracun dan golok milik
anggota GPK Warsidi. Sedangkan Soedargo adalah polisi yang tewas saat
kelompok Warsidi menyerang posnya di kecamatan Sidorejo, Lampung
Tengah.
Kelompok Warsidi, dikenal pula dengan nama Jemaah Mujahidin
Fisabilillah, mengambil tempat di dukuh Cihideung. Tanah seluas 4,5
hektar menjadi pusat pergerakan mereka -- sebuah lokasi yang terpencil
dikelilingi rawa-rawa, dan hanya memiliki tiga jalan kecil untuk
mencapainya. Mereka menyebut Cihideung sebagai Madinah.
Sejumlah keterangan saksi menyebutkan, Warsidi memperoleh tanah itu
dari tokoh kaya Cihideung yang dikenal bernama Jayus. Tapi kelompok
tersebut sebenarnya tak terlalu memikat bagi warga Cihideung sendiri.
Kepala Dusun Talangsari III Sukidi misalnya, menyebut ada enam kepala
keluarga yang berada di dukuh Cihideung itu, dan hanya dua kepala
keluarga yang tertarik menjadi jemaah Warsidi.
Jadi dari mana jemaah Warsidi lainnya berasal? Ternyata cukup banyak
tercatat bahwa mereka berasal dari desa Sidorejo, Kecamatan Jabung,
Kabupaten Lampung Tengah, atau sekitar 30 km dari Talangsari III. Di
Sidorejo, mereka mempunyai posko di rumah seorang anggota jemaah
bernama Jamjuri. Anggota lainnya tercatat berasal dari Desa Proyek
Pancasila, Bandar Agung, Melaris, Sidorejo, Belitang, Teluk Betung
(Lampung) dan Jakarta.
Saat insiden terjadi, 6-7 Februari 1989, menurut Sukidi, sekitar 200
hingga 300 orang berada di dalam kompleks tersebut. Sekitar 70 di
antara mereka kemudian menyerahkan diri pada aparat keamanan. Namun
sisanya nekat melawan petugas, menggunakan sejumlah panah beracun dan
senjata tajam.
Sebanyak 28 orang dinyatakan tewas dalam insiden tersebut. Sementara
menurut hasil investigasi LBH Lampung, sejumlah orang tak tentu
rimbanya. Sebuah keluarga di Sidorejo yang dijumpai Republika
mengungkap, setidaknya dua orang dari desanya tak pernah kembali,
meskipun tak ada kabar bahwa mereka turut tewas di Cihideung.
Kini penduduk Talangsari III yang berjumlah 102 KK atau 425 jiwa
tersebar di empat RT. Kalau dulu penduduk desa tergolong dalam dusun
yang tertinggal, kini mereka sudah menikmati berbagai kemajuan.
Rumah-rumahnya yang dulu tak satu pun permanen, sekarang sudah ada 11
unit rumah permanen.
"Sekarang sudah berdiri sebuah SD Negeri di Talangsari, yang berdiri
sejak 1990. Juga satu-satunya masjid yang ada sudah berdiri permanen
ukuran enam kali enam meter," tutur Sukidi.
Demikian pula sarana pertaniannya, jika dulu penduduk bertani dengan
usaha sawah tadah hujan, sekarang sudah ada irigasinya. Persoalan yang
dihadapi dusun itu kini tinggalah masalah pupuk. Setiap kali menjelang
musim tanam, warga selalu kesulitan mendapatkannya.
Hidup bertani memang belum bisa mengangkat terlalu tinggi derajat
kehidupan warga dusun. Dari sensus yang pernah dilakukan, menurut
Sukidi, 92 KK masih termasuk keluarga Prasejahtera, dan 10 KK lagi
termasuk kelompok Sejahtera I. Tapi dia masih cukup bangga,
"Talangsari tidak masuk IDT." Sementara lokasi berkumpulnya kelompok
Warsidi di Cihideung, seluas sekitar 4,5 ha, sekarang sudah berubah
menjadi kebun singkong dan kelapa. Di antara rimbun kebun itu,
setidaknya empat papan pengumuman tampak, bertuliskan 'Batas Tanah
Milik Korem 043/Garuda Hitam'.
Sisa-sisa yang menjadi saksi bisu masih ditemukan. Antara lain bekas
pondasi masjid yang dulu bernama Masjid Mujahidin dan sebuah sumur
tua. "Semua sudah berubah," kata Suhar (39), pengemudi ojek.
Namun Suhar sendiri seolah tak berubah. Tujuh tahun lalu dia ikut
mengantar rombongan Kasdim Lampung Tengah mendatangi lokasi kelompok
Anwar Warsidi. Dia ikut tunggang langgang ketika jemaah Warsidi
menyerang rombongan yang diantarnya. Dan kini, dia tetap seorang
pengojek. Bahkan sepeda motornya pun masih tetap GP 100 seperti tujuh
tahun lalu. rys/oed
Sumber:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/02/25/0031.html
EmoticonEmoticon