Bagaimana Konflik Agraria Harus Ditangani?

June 15, 2014

Bagaimana Konflik Agraria Harus Ditangani?
Bercermin dari Kasus Bulukumba
Oleh: Usep Setiawan

Tanah, tanah, dan tanah pemicu kasus Bulukumba; Jangan beri tanah secara cuma-cuma. Demikian dua judul liputan secara mencolok dimuat koran ini, (Kompas, 3/9).
Di Bulukumba telah terjadi konflik agraria yang membawa korban jiwa. Sejumlah petani dan aktivis ditahan di kantor polisi. Banyak penduduk yang ketakutan dan terpaksa mengungsi karena takut dikejar aparat. Begitu kentalnya keterlibatan aparat dalam kasus ini. Di lain sisi, terkesan muncul kebimbangan dari pemerintahan daerah di Sulawesi Selatan (baik kepala daerahnya maupun DPRD provinsi ataupun kabupaten) dalam mencari solusi atas kasus ini. Terdapat begitu banyak persoalan yang kini melilit kasus Bulukumba.
Sebagaimana diberitakan, sejumlah media massa pada 21 Juli 2003 di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan, telah terjadi konflik tanah antara rakyat tani/masyarakat adat dengan PT London Sumatera (Lonsum) penanam kebun karet yang mengakibatkan enam orang tewas, puluhan terluka, 20-an ditangkap, puluhan jadi buronan polisi, dan ratusan lainnya mengungsi ke hutan karena ketakutan, trauma, dan dikejar aparat keamanan (polisi).
Apa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus ini? Penulis mencatat ada tiga pelajaran terpenting: (1) makin kuatnya konflik kepentingan dalam penguasaan tanah antara penduduk/rakyat dengan perusahaan bermodal besar; (2) berkelanjutannya kekeliruan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam, dan (3) kecenderungan digunakannya kembali pendekatan keamanan dalam menangani kasus konflik agraria.
Tulisan ini hendak mengurai ketiga pelajaran di atas sehingga ditemukan alternatif solusi, khususnya di tataran kebijakan.
Konflik penguasaan
Sudah menjadi kenyataan sosial yang sulit dibantah bahwa konflik penguasaan atas alat produksi (tanah) menjadi wajah sehari-hari di lapangan agraria. Konflik agraria yang terjadi saat ini sesungguhnya adalah warisan dari masa lalu.
Kasus Bulukumba merupakan contoh nyata dari upaya sistematis pemerintah, aparat keamanan, dan badan usaha bermodal besar untuk membendung perjuangan rakyat untuk mendapatkan haknya atas tanah dan kekayaan alam lainnya dengan cara represif. Padahal, perjuangan rakyat ini bukanlah tindakan kriminal yang melanggar hukum, melainkan usaha langsung yang sah untuk dilakukan ketika rakyat tidak mendapat perhatian penguasa dalam mencukupi kebutuhan pokok bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya, yakni tanah.
Konflik di Bulukumba ini bukanlah kejadian pertama, bukan satu-satunya, dan dikhawatirkan bukan pula kasus yang terakhir. Jauh sebelum ini, ketika Orde Baru berkuasa (1966-1998), telah terjadi ribuan kasus tanah yang berskala luas. Untuk menyebut contoh, Komnas HAM mencatat lebih dari 5.000 pengaduan kasus tanah yang mereka terima, dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat berita di koran sepanjang Orde Baru telah terjadi 1.700 lebih kasus tanah di seantero Tanah Air-pada kenyataannya di lapangan bisa sampai puluhan ribu kasus.
Hingga saat ini, konflik agraria belum ditangani secara sistematis dan menyeluruh. Konflik di lapangan telah mendorong rakyat mengambil langkah sendiri dalam mengambil kembali haknya atas tanah. Motivasi rakyat ini didorong rasa ketidakpercayaan mereka pada kebijakan, mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik selama ini.
Pendekatan keamanan
Kasus Bulukumba menyadarkan kita bahwa pendekatan keamanan telah kembali digunakan secara efektif dalam penanganan kasus konflik agraria. Pada zaman Orde Baru, pendekatan ini dianggap sesuatu yang lumrah, karena memang rezim yang berkuasa dikenal sebagai otoriter. Namun, begitu masuk era reformasi, pendekatan ini serta-merta dipandang sudah usang.
Faktanya kita bisa saksikan, sepanjang tahun 1998-2000, keterlibatan aparat keamanan (polisi dan tentara) dalam kasus tanah terbilang jarang terjadi. Dalam periode ini, gerakan penguasaan kembali tanah yang dilakukan rakyat (reclaiming) tidak begitu mendapat hambatan dari aparat keamanan. Dalam banyak kasus yang mencuat, kaum milisi dan preman sempat tampil ’menggantikan’ peran aparat keamanan negara dalam kasus konflik agraria. Sejenak kita mengambil kesan, militer telah kembali ke barak.
Dengan meledaknya tragedi Bulukumba, kita tersadar bahwa aparat keamanan tidak sungguh-sungguh menarik diri sepenuhnya dari konflik agraria. Ketika reformasi mulai kehilangan arah (2001-sekarang), aparat keamanan kembali turun gunung dan berhadapan dengan rakyat yang memperjuangkan haknya atas tanah.
Tampilnya kembali aparat keamanan ini membawa implikasi buruk bagi penegakan hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan kasus konflik agraria. Berbagai perlakuan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian dalam kasus Bulukumba diduga kuat melanggar HAM-sebagaimana hasil investigasi Komnas HAM (Agustus 2003) maupun Kontras (September 2003).
Padahal, menurut Tap MPR No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, perlakuan "menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia" merupakan salah satu prinsip yang wajib diterapkan oleh (aparatus) negara dalam penanganan konflik agraria.
Kekeliruan kebijakan
Sejauh ini, kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam kita masih tidak berubah dari kebijakan di masa Orde Baru. Berdasarkan kajian terdahulu atas kebijakan yang ada, ditemukan sejumlah karakter; Peraturan perundangan tersebut berorientasi pengerukan (use-oriented); lebih berpihak kepada pemodal besar; bercorak sentralistik yang ditandai dengan pemberian kewenangan yang besar kepada negara; tidak memberikan pengaturan yang proporsional terhadap pengakuan dan perlindungan HAM; dan bercorak sektoral dengan tidak melihat sumber daya alam sebagai sistem ekologi yang terintegrasi.
Dari kasus Bulukumba kita temukan bahwa hak-hak rakyat dapat dipatahkan untuk kepentingan investasi pemodal besar, pengelola perkebunan. Ketiadaan bukti legal penguasaan dan pemilikan tanah rakyat menjadi sasaran empuk untuk melancarkan pencaplokan tanah rakyat untuk operasi perkebunan besar. Rakyat yang sudah berpuluh-puluh tahun dan bahkan turun-temurun menguasai tanah di Bulukumba, seketika dianggap penduduk haram di atas tanahnya sendiri.
Oleh kasus Bulukumba kita diingatkan bahwa konsep hak menguasai negara (HMN) atas tanah dan kekayaan alam lainnya ternyata masih disalahkaprahkan untuk kepentingan investasi modal besar.
Hak-hak rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya di Bulukumba telah diperhadapkan dengan kebijakan yang condong mengutamakan penyediaan tanah untuk kepentingan bisnis perkebunan. Orientasi politik agraria semacam ini sudah banyak digugat. Pengutamaan penyediaan tanah bagi rakyat (petani) kecil yang membutuhkannya, dan pengembalian tanah-tanah rakyat yang sempat dirampas di masa lampau telah menjadi semangat zaman. Namun, kasus Bulukumba mengingatkan kepada kita bahwa semangat zaman itu sedang diuji. Akankah bandul reformasi ini kembali ke lagu lama; mendewakan investor sambil menyalahkan rakyat.
Solusi
Bercermin dari kasus Bulukumba, penulis terdorong untuk menampilkan solusi yang layak ditempuh: Pertama, perlu segera dihentikannya pendekatan keamanan dalam penanganan kasus konflik agraria. Segala bentuk kriminalisasi, penangkapan, penahanan, dan kekerasan terhadap petani adalah tindakan yang menambah masalah, bukan menyelesaikannya. Di era demokrasi dan reformasi saat ini, semua "operasi keamanan" dalam penanganan kasus tanah sungguh sudah tidak populer lagi dan bertentangan dengan rasa keadilan serta prinsip HAM.
Kedua, pentingnya upaya damai melalui meja perundingan antara penduduk yang berkonflik dengan pemerintahan daerah untuk mencari solusi bersama. Pendekatan ini memungkinkan penyelesaian perbedaan kepentingan secara adil dan tuntas dengan mengutamakan kepentingan dan hak-hak rakyat atas tanah. Pihak lain yang terlibat konflik hendaknya dilibatkan pada tahap berikutnya, setelah masyarakat dan pemda punya kesepahaman atas persoalan yang terjadi di lapangan.
Ketiga, dalam menyelesaikan kasus tanah semacam ini, pemda hendaknya menggunakan instrumen Ketetapan (Tap) MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, UU No 5/1960 tentang Pokok-pokok Peraturan Agraria (UUPA), UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan yang pada esensinya memberi kewenangan/ruang yang besar bagi pemerintah daerah dalam menuntaskan masalah agraria, termasuk penyelesaian konflik tanah.
Keempat, sekarang ini, kebutuhan pembentukan kelembagaan dan mekanisme khusus untuk menyelesaikan sengketa tanah makin mendesak. Kemendesakan ini terutama disebabkan oleh cenderung meningkat dan mengerasnya konflik di lapangan. Untuk itu, di tingkat nasional perlu dibentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Sengketa Tanah (Agraria) yang dibarengi dengan pembentukan komisi sejenis di daerah dengan menggunakan pendekatan transisional (transitional justice). Keberadaan mekanisme dan badan alternatif ini tidak perlu menunggu jatuhnya korban lebih banyak lagi.


Usep Setiawan Deputi Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria


URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/11/opini/552302.htm

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »