Peristiwa Talangsari Lampung 1989
- Location: Desa Sidorejo / Talangsari Lampung
- Date: Feb 7 1989
- Time: 03:25
- Description:
Peristiwa Talangsari Lampung yang terjadi pada hari Selasa, 7 Pebruari 1989, sekitar pukul 00.00 WIB, diawali dengan datangnya mobil Fuso yang hilir mudik di sekitar pondok pesantren Cihideung yang kemungkinan merupakan bagian dari upaya pengintaian aparat militer. Selanjutnya, kira-kira pukul 01.00 WIB, terdengar suara tembakan sebanyak 2 (dua) kali dari arah Barat dan Selatan atau arah mobil tersebut yang kemudian disusul dengan berondongan senjata dari aparat militer yang berasal dari arah Selatan, Utara dan Timur pondok. Kejadian tersebut berlangsung kurang lebih 1 (satu) jam. Pada sekitar shubuh, beberapa berondongan tembakan diarahkan ke rumah-rumah dan selanjutnya ke jamaah. Beberapa tembakan terhadap jamaah dilakukan dalam jarak dekat dan mematikan. Sekitar pukul 08.00 tanggal 7 Pebruari 1989, terjadi pembakaran rumah-rumah penduduk. Di dalam rumah-rumah yang dibakar tersebut, utamanya di dalam salah satu bangunan terbesar yang mereka sebut pondok, banyak terdapat anggota jamaah Warsidi dimana sebagian besar merupakan anak-anak dan ibu-ibu. Pada 08 Pebruari 1989, di luar areal pondok terjadi pembakaran lagi terhadap rumah-rumah yang ada di sebelah Barat dan berlanjut pada 09 Pebruari 1989 di rumah-rumah bagian Selatan. Peristiwa ini menyebabkan banyak korban meninggal yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak akibat tembakan atau pun terbakar. Setelah itu, terjadi penangkapan terhadap jamaah dan orang-orang yang dipandang oleh aparat mempunyai keterkaitan dengan kelompok Warsidi yang berada di luar lokasi yaitu Lampung, Jakarta, Bima, dan Padang. Jamaah yang ditangkap di Lampung sebagian dibawa untuk pertama kali antara lain ke Kelurahan Rajabasa Lama, ke Koramil Way Jepara, Polsek Jabung, Polsek Way Jepara dan, Polsek Sukadana. Setelah itu mereka dibawa ke Kodim Metro dan selanjutnya dibawa ke Korem 043/Garuda Hitam serta kemudian ditahan di LP Rajabasa. Penangkapan terjadi tanpa surat perintah penangkapan. Sementara itu, jamaah yang ditangkap di Jakarta ditempatkan di Kramat Lima, atau terlebih dahulu dibawa ke Kodim Jakarta Timur, kemudian dibawa ke Kramat Tujuh, dan selanjutnya ditempatkan di Satgas Intel Pusat di Gang Buntu. Setelah itu, terjadi penangkapan terhadap jamaah dan orang-orang yang dipandang oleh aparat mempunyai keterkaitan dengan kelompok Warsidi yang berada di luar lokasi yaitu Lampung, Jakarta, Bima, dan Padang. Pada peristiwa penangkapan dan/atau pemeriksaan terjadi tindak kekerasan, dan/atau penyiksaan. Sebagian besar jamaah setelah pemeriksaan dilakukan, dilepaskan dan tidak diproses hukum. Jamaah atau mereka yang dianggap terkait dengan Warsidi, yang berada di Lampung, namun tidak diadili, sebelum dilepaskan, sebagian ditempatkan terlebih dahulu di Panti Sosial Lempasing. Sebagian jamaah yang akan dilepaskan setelah pemeriksaan dipertemukan dengan Komandan Korem 043 Garuda Hitam A.M. Hendropriyono. Sebagian di antaranya diancam dengan meminta mereka untuk tidak mengatakan apa yang terjadi saat mereka ditangkap. Sebagian yang dilepaskan dikenai wajib lapor kepada kelurahan/institusi militer terdekat antara lain Kelurahan Bauh Gunung Sari, Koramil Jabung, Koramil Labuhan Maringgai dan Polsek Way Jepara. Jangka waktu wajib lapor bervariasi antara 1 (satu) hingga 4 tahun. Jamaah yang dikenai wajib lapor, mendapat ancaman dan dipaksa untuk melakukan beberapa jenis pekerjaan. Sebagian jamaah setelah dilepaskan mendapat teror dan ancaman dari aparat militer. Sebagian jamaah diadili di Pengadilan Negeri Tanjungkarang dengan tuduhan subversif dan dijatuhi hukuman rata-rata pidana subversi dengan hukuman penjara, rata-rata seumur hidup dan sebagian pidana penjara, kemudian menjalani hukuman di LP Rajabasa dan kemudian dipindahkan di LP Nusakambangan. Beberapa orang yang ditangkap di Jakarta, diproses hukum dan diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PN Jakarta Utara dan atau PN Jakarta Timur juga dengan tuduhan subversi dengan tuntutan hukuman seumur hidup dan vonis antara 15 tahun hingga seumur hidup. Mereka yang diadili di Jakarta kemudian menjalani hukuman di LP Cipinang. Sebagian besar jamaah menderita kehilangan harta benda dan/atau pekerjaan mereka. Sebagian lagi, mereka mengalami kesulitan mencari pekerjaan dan mendapat stigma dan dikucilkan masyarakat. Serangan yang terjadi pada 7 Pebruari 1989 terhadap penduduk sipil yaitu jamaah Pondok Pesantren Warsidi di Desa Cihideung dilakukan oleh pelaku yang dapat diidentifikasi sebagai aparat militer. Serangan tersebut mengakibatkan sekurang-kurangnya sebanyak 130 orang meninggal dunia. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa Sebagai akibat dari serangan militer yang dalam aksinya juga telah melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah penduduk, sesuai dengan keterangan saksi Kepala Dusun, setidaknya tercatat sebanyak 109 (seratus sembilan) rumah yang terbakar dan atau rusak. Sehubungan dengan dibakarnya serta dirusaknya rumah-rumah penduduk serta adanya larangan dari aparat militer terhadap penduduk untuk kembali ke rumahnya, maka telah mengakibatkan pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Berdasarkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan, sekurang-kurangnya tercatat sebanyak 77 (tujuh puluh tujuh). Perampasan Kemerdekaan Secara Sewenang-wenang Dari hasil penyelidikan ditemukan fakta-fakta tentang terjadinya tindak pidana perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Tindak perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang terjadi sebelum dan setelah penyerangan jamaah Warsidi pada 7 Pebruari 1989. Sesuai dengan hasil penyelidikan, didapati sekurang-kurangnya sebanyak 53 (lima puluh tiga) orang yang dirampas kemerdekaannya secara sewenang-wenang orang dalam bentuk penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang. Bahwa hampir disemua lokasi penangkapan dan penahanan terjadi praktik kekerasan dan penyiksaan, yang dimulai dari proses penangkapan, menuju tempat tahanan, selama pemeriksaan maupun selama dalam tahanan. Secara umum penyiksaan dilakukan untuk mendapatkan keterangan, pemaksaan untuk mengakui sesuatu, pemaksaan untuk menandatangani sesuatu, dan sebab-sebab yang tidak diketahui alasannya. Penyiksaan yang dilakukan dengan metode khusus misalnya penyetruman, penginjakan kaki dengan kursi yang diduduki dan penyundutan rokok yang dilakukan saat interogasi dengan tujuan untuk mendapatkan keterangan atau pengakuan. Penyiksaan yang terjadi tidak hanya dilakukan secara fisik tetapi juga secara mental, misalnya dengan adanya ancaman pembunuhan, intimidasi, caci maki dengan kata-kata kotor, stigmatisasi sebagai kelompok PKI, Mujahidin, dan cacian lainnya yang merendahkan martabat manusia. Berdasarkan rangkaian peristiwa kekerasan yang terjadi, jumlah korban penyiksaan di berbagai tempat penahanan tersebut sekurang-kurangnya sebanyak 46 (empat puluh enam) orang. Jamaah yang dikenai wajib lapor, mendapat ancaman dan dipaksa untuk melakukan beberapa jenis pekerjaan. Nama Talangsari sekarang sudah berubah menjadi Desa Sidorejo. Sumber: Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa Talangsari 1989.
Sumber:
http://dokumentasi.elsam.or.id/mobile/reports/view/296?c=66&p=1
EmoticonEmoticon