Suara Merdeka, Sabtu, 27 Nopember 2004
NU dari Masa ke Masa (3-Habis)
Mungkinkah Drama Politik Itu Terulang Lagi
HADIR: KH Abdurrahman Wahid berada di antara para nahdliyyin dalam Muktamar Ke-28 NU.(55j) SM/dok | |
AGAKNYA memang tidak berlebihan jika ada yang menyebut, NU identik dengan insan politik. Anggapan demikian masuk akal melihat perjalanan NU sejak organisasi tersebut masuk politik praktis pada zaman Orde Lama sampai dengan masa reformasi ini.
Kesan ini setidaknya dapat ditangkap dari perkembangan yang terjadi menjelang Munas NU di Cilacap pada 1987. Saat itu muncul gagasan untuk mengakomodasi sayap politik NU dengan melontarkan ide tentang khitah plus. Namun, ide tersebut agaknya tak berkembang sampai dengan berakhirnya munas bahkan sampai pada Muktamar NU Ke-28 di Krapyak, Yogyakarta.
Yang terjadi dalam perkembangan berikutnya adalah figur sentral Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid yang begitu menonjol tetapi pada sisi lain tampak sebagai orang yang kritis kalau tidak dapat dikatakan sebagai oposisi terhadap pemerintah waktu itu. Buntutnya, pada Muktamar NU Ke-29 di Cipasung 1994, upaya untuk menyingkirkan Gus Dur dari kepemimpinan NU begitu terasa.
Kendati demikian, Gus Dur kembali terpilih setelah melalui pemungutan suara yang ketat melawan pesaingnya, Abu Hasan, yang mendapat dukungan dari berbagai cabang khususnya luar Jawa. Suasana kurang menerima kepemimpinan Gus Dur itu berlanjut seusai muktamar. Hal ini ditandai dengan penyelenggaraan pertemuan KPPNU di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur.
Namun pada perkembangan selanjutnya, Gus Dur yang terpilih tiga kali dalam muktamar, yakni di Situbondo, Krapyak, dan Cipasung terus berkibar. Gus Dur bukan saja sukses membawa NU ke dunia luar, bahkan akhirnya terpilih menjadi presiden menyusul terjadinya perubahan politik pada 1998. Sementara itu, upayanya untuk membawa kembali ke Khitah 1926 terus dilakukan dengan sosialisasi keputusan itu ke lingkungan warga NU.
Seperti dinyatakan oleh Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dalam bukunya Membangun NU Pasca-Gus Dur, praktis baru sejak 1984 NU mulai menampakkan diri sebagai organisasi sosial keagamaan yang lebih serius memperhatikan masalah-masalah kemasyarakatan.
Pada masa kepemimpinan Gus Dur, penataan seperti itu sebenarnya sudah dilakukan namun yang menonjol ke permukaan memang lebih berupa gagasan-gagasan yang bersifat ideal. Terutama menyangkut dinamika umat yang lebih dititikberatkan pada kemungkinan terjadinya sinergi antara paham keagamaan dan kebangsaan. Pada masa kepemimpinan Gus Dur pula, terlihat sikap-sikap yang kritis tapi loyal terhadap negara. Implikasi dari gagasan ini memang luar biasa positif terhadap perkembangan NU dalam hubungannya dengan negara ataupun kelompok-kelompok lain.
Pada sisi lain, menurut pandangan Hasyim, NU di bawah Gus Dur juga sudah mampu memperjelas ke arah mana misi dan visi perjuangannya hendak dibawa. Dengan kata lain, berbagai gagasan yang dibawa Gus Dur ataupun rumusan-rumusan NU ketika organisasi itu didirikan, telah terjahit dengan baik sebagai sebuah kekuatan ide yang siap dikembangan. Walau begitu, pada saat yang sama,dalam sektor-sektor lain yang lebih bersifat pragmatis, seperti yang menyangkut pembenahan ekonomi, sosial, dan hubungan-hubungan ke jalur internasional tampak kurang tertata.
Penuh Dinamika
Boleh jadi, persoalan-persoalan itulah yang kemudian menjadi perhatian Hasyim Muzadi yang kemudian terpilih menjadi ketua umum PBNU menggantikan Gus Dur dalam muktamar di Kediri, lima tahun lalu. Dan, seperti apa keberhasilan dirinya memimpin NU dalam waktu yang singkat ini, peserta muktamar nanti yang akan memberikan penilaian.
Yang pasti, dalam kurun menjelang muktamar Kediri sampai dengan muktamar di Donohudan, Boyolali kali ini, insan politik NU telah banyak mengalami dinamika politik yang luar biasa. Peristiwa terpilihnya Gus Dur menjadi presiden pada sidang MPR 1999 kemudian membawa kesibukan tersendiri bagi warga NU. Bahkan, organisasi NU yang sudah menyatakan dirinya netral mau tidak mau akan terkena bias dari keterpilihan Gus Dur sebagai pemimpin nasional.
Beruntung warga NU menemukan kendaraan politik yang dinamakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dibentuk pada 1998. Adanya saluran politik yang menampung aspirasi warga NU ini, seperti melepaskan kerinduan yang terjadi sejak organisasi ini menyatakan lepas dari politik praktis pada Muktamar Situbondo 1984.
Dan dalam perkembangannya, ketika kepemimpinan Gus Dur dipersoalkan oleh kekuatan politik lainnya, seluruh energi warga NU yang berada di jalur struktural PKB Pusat tentu agaknya habis untuk menahan serangan yang ditujukan kepada Gus Dur. Bahkan, bukan saja institusi resmi seperti PKB yang harus aktif melainkan juga melibatkan warga NU pada umumnya.
Masih segar dalam ingatan, beberapa kali terjadi demo di DPR yang harus ditandingi dengan demo dari warga PKB/NU. Bahkan ketika MPR mulai berusaha menurunkan Gus Dur dari posisi presiden, menyusul adanya kasus yang dituduhkan menyangkut dana Yanatera Bulog ataupun kebijaksanaan lain dari Presiden Gus Dur berupa penetapan Komjen (Pol) Chaerudin Ismail sebagai Pemangku Sementara Jabatan Kepala Polri serta keluarnya Dekrit Presiden, ribuan warga NU/PKB berbondong-bondong ke Jakarta menuju ke gedung DPR. Dan, seperti yang sudah dapat kita saksikan bahwa Gus Dur pun lengser dari jabatannya.
Drama politik yang menegangkan ini akhirnya harus diterima dengan pahit oleh warga NU. Di Jawa Timur yang merupakan basis warga NU, sebagian pohon-pohan di pinggir jalan raya tumbang karena ditebang. Kantor Partai Golkar juga menjadi amukan massa. Kantor itu ludes terbakar.
Dan, PKB yang kalah "perang" di MPR dalam membela Gus Dur, harus mengalami perpecahan menjadi dua kubu, yaitu pembela Gus Dur pada satu pihak dan kubu Matori pada pihak lain. Dua kongres luar biasa (KLB) partai tersebut diselenggarakan hampir dalam waktu yang bersamaan antarkedua versi partai warga NU tersebut, yakni satu di Jakarta dan satunya lagi di Yogyakarta. Pada akhirnya, konflik ini selesai melalui meja hijau dan PKB utuh lagi.
Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) yang mendukung dekrit harus kembali ke DPR satu bulan setelah Gus Dur lengser. Kedatangannya di DPR kendati mengundang interupsi dari seorang anggota Dewan, pimpinan sidang waktu itu, Soetardjo Soerjoguritno, menerima kehadiran kembali FKB dengan alasan Mukernas PKB telah memerintahkan FKB kembali ke DPR. Dengan demikian, berarti telah mengakui hasil-hasil Sidang Istimewa MPR.
Sampai di sini, badai yang sering menimpa warga NU/PKB itu mereda. Nahdliyyin pun dapat mengendapkan perasaan setelah dilanda perasaan yang tidak menentu dalam waktu yang terlalu amat singkat mulai dari pengangkatan Gus Dur menjadi presiden sampai dengan pelengserannya. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama karena seusai Pemilu Legislatif 2004, kembali warga menjadi ajang berebutan suara bagi kepentingan politik.
Pencalonan
Menjelang pencalonan presiden dan wakil presiden, kalangan partai politik tampak sibuk melobi tokoh-tokoh NU untuk menjadikannya sebagai kandidat pasangan capres/cawapres. Tak pelak, perkembangan yang terjadi memaksa turunnya dua elite NU ke gelanggang pemilihan presiden dan wakil presiden.
Ketua Umum PBNU menjadi cawapresnya Megawati, sedangkan salah seorang Ketua PBNU Solahudin Wahid menjadi cawapresnya Wiranto yang dimajukan oleh Partai Golkar. Mudah ditebak, posisi demikian akhirnya menimbulkan masalah di kalangan warga NU. Sebab, PKB secara resmi mendukung pasangan Wiranto-Wahid, sedangkan sejumlah nama yang duduk dalam kepengurusan PBNU menjadi tim sukses Mega-Hasyim.
Hasyim bersama tim suksesnya yang tampak mendapat dukungan sejumlah kiai secara perseorangan juga mengadakan safari kunjungan dan istighotsah ke berbagai daerah. Namun, keterlibatan Hasyim yang notabene juga ketua umum PBNU oleh sebagian lawannya dinilai telah membawa NU ke politik praktis.
Seperti sudah kita saksikan, pada akhirnya kedua pasangan capres/cawapres yang menempatkan tokoh NU itu semua kalah. Beruntung pencalonan Mega-Hasyim itu dalam perkembangannya kemudian ternyata diusung oleh Koalisi Kebangsaan yang berisi beberapa partai termasuk Partai Golkar, PDI-P, dan PPP.
Tidak bisa dibayangkan jika tidak ada Koalisi Kebangsaan. Dampak kekecewaan dari kekalahan Mega-Hasyim bukan ditumpahkan kepada Koalisi Kebangsaan melainkan pasti kepada Hasyim Muzadi dari NU. Dengan demikian, agaknya ada saja hal yang secara tidak terduga ikut menyelamatkan NU.
Walau begitu, dampak dari keikutsertaan Hasyim dalam kancah pencalonan cawapres itu pun tetap bergulir di kalangan NU. Tidak kurang dari Gus Dur yang menjelang muktamar ini telah menyatakan tidak memberikan dukungan kepada Hasyim tetapi lebih memilih Tolchah Hasan. Dan bagaimana warga menghadapi semua ini, sekaligus mencegah adanya peristiwa-peristiwa yang dapat menyeret NU di luar jalurnya, peserta muktamar kali ini tentu akan lebih mengerti cara menyelesaikannya.(Nasrudin Anwar-87j)
Sumber:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0411/27/nas03.htm
EmoticonEmoticon