NU dari Masa ke Masa (2)

June 14, 2014

Suara Merdeka, Jumat, 26 Nopember 2004

NU dari Masa ke Masa (2)

Ketika Mulai Menikmati Kekuasaan


MENJADI PARPOL: Sejumlah tokoh NU, seperti KH Alawy Muhammad, saat mengikuti muktamar beberapa tahun lalu. NU pernah menjadi parpol dan memperoleh suara signifikan dalam Pemilu 1955 ataupun 1971.(79) - SM/dok


BANYAKNYA kader NU yang duduk dalam kekuasan sekarang, baik di parlemen maupun eksekutif, agaknya seperti mengulang kejayaan masa lalu ketika organisasi ini mulai menapaki dunia politik praktis setelah keluar dari Masyumi 1952. Kendati demikian, penggambaran semacam ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab kondisi dan situasi sekarang jauh berbeda, terutama menyangkut sistem politik saat ini.

Yang pasti, begitu NU menjadi partai politik dan ikut dalam pemilu pertama pada 1955, partai ini langsung memperoleh suara 18,4% atau 45 kursi kursi dalam parlemen. NU menempati posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi. Sementara itu, ketika Bung Karno menerapkan demokrasi terpimpin, kendati sempat terjadi perbedaan pendapat di kalangan NU, NU memegang beberapa pos menteri sepanjang periode pemerintahan tersebut.

Kala itu politikus NU dinilai lebih banyak mempunyai kesamaan dengan kaum nasional sekuler. Namun menurut Martin Van Bruinessen dalam bukunya NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, dan Pencarian Wacana Baru menilai, NU juga sering berbeda pendapat dengan Bung Karno. Misalnya, NU bersimpang jalan dengan Bung Karno ketika dia tampak bekerja sama terlalu dekat dengan kaum komunis.

Bruinessen menyatakan, benar bahwa perilaku politik NU sering tampak dikalkulasi untuk mendapatkan perhatian Presiden Bung Karno. Inilah yang menyebabkan banyak kritik terhadap NU di kalangan simpatisan Masyumi. Pada masa KH Masykur menjadi Menteri Agama (1953-1954) berlangsung pertemuan nasional ulama yang memberikan legitimasi kepada kekuasaan presidensial Bung Karno dengan menyatakan dirinya dan pemerintahannya secara keseluruhan sebagai waliy al-amr al-dlaruriu bi'il-syaukah.

Pada Maret 1960, Bung Karno membubarkan parlemen yang telah dipilih pada Pemilu 1955 dan menggantikannya dengan DPR Gotong Royong. Kebanyakan politikus NU tidak menentang langkah ini dan menerima kursi mereka di DPRGR. Bahkan Zainul Arifin dipilih menjadi ketua. Namun seorang wakil ketua tanfidziyah NU yakni KH M Dachlan dan Ketua Ansor Imron Rosyadi menolak itu dan membentuk sebuah perhimpunan yang bernama Liga Demokrasi.

Sementara itu, ketika Bung Karno menciptakan Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) untuk mendifinisikan kerja sama berbagai kekuatan sipil guna menjalankan demokrasi terpimpinnya, NU adalah wakil utama dari unsur agama. Kendati menerima Nasakom sebagai sebuah slogan, hubungannya dengan PKI tetap dingin. Semua faksi dalam NU yang sejak semula menentang keikutsertaan PKI dalam pemerintahan, akhirnya menerima tanpa bantahan. Sebab beberapa keuntungan yang mereka harapkan dengan ikut dalam Demokrasi Terpimpin lebih penting daripada keberatan-keberatan mereka yang menolak kerja sama dengan kaum komunis.

Semakin Surut
Lain pada zaman Bung Karno, lain pula pada zaman Soeharto. Demikian juga dengan peranan NU dalam kehidupan politik pada masa-masa sesudah surutnya Bung Karno. Lambat tetapi pasti, peran NU di dunia politik semakin menurun seiring dengan berjalannya waktu. Meski demikian, perkembangan politik nasional waktu itu, mau tidak mau menjadikan organisasi ini tetap eksis.

Bruinessen menulis, Dr Idham Chalid, yang fleksibel membuktikan kepiawaian yang tinggi dalam mempertahankan posisi dirinya. Rezim baru menyadari, lagi-lagi Idhamlah pemimpin NU yang dapat diajak bekerja sama dengan senang hati. Hal itu pun tidak saja membantunya mempertahankan kedudukan sebagai Ketua Umum PBNU selama beberapa periode, bahkan menjadi dia anggota kabinet pasca-1965 yang pertama kemudian menjadi ketua DPR/MPR.

Dalam pemilu Orde Baru yang pertama pada 1971, NU memperoleh suara 18,7%, naik sedikit dibandingkan Pemilu 1955 yang memperoleh 18,4%. Pada 1973 pemerintah menata kehidupan politik dengan penyederhanaan jumlah parpol. Empat partai Islam, yakni NU yang memiliki 58 kursi di DPR, Parmusi 24 kursi, PSII 10 kursi, dan Perti dua kursi harus bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan.

Peleburan NU ke dalam PPP ini seperti kembali ke masa NU sebagai bagian dari Masyumi. Konflik yang terjadi pada masa lalu ketika NU berada di Masyumi akhirnya berulang dalam PPP. Friksi pada awalnya memang tidak tampak. Namun menjelang Pemilu 1982, ketika Ketua Umum PPP Dr HJ Naro menyusun daftar calon legislatif dan dinilai kurang menampung banyak tokoh NU, konflik pun akhirnya muncul.

Pada era Orba tersebut, sikap politikus NU sebenarnya cukup kritis terhadap pemerintah. Setidaknya ada beberapa peristiwa yang mengingatkan kita betapa kader nahdliyyin itu bersuara kritis terhadap pemerintah. Usul interpelasi yang diajukan oleh anggota FPP terhadap kebijaksanaan pemerintah menyangkut NKK (normalisasi kehidupan kampus) waktu itu akhirnya kalah karena kurang mendapat dukungan fraksi lain, terutama Golkar sebagai pendukung pemerintah. Para politikus NU di PPP juga bersuara keras soal Undang-undang Perkawinan, dan masuknya aliran kepercayaan dalam GBHN.

Namun, semua perjuangan itu harus dibayar mahal. Sebab pada perkembangannya, NU yang berada dalam PPP akhirnya terpinggirkan. Muktamar Ke-I PPP yang digelar di Ancol Jakarta pada 1984, tidak melibatkan Idham Chalid sebagai presiden PPP waktu itu. Mudah diduga, akhirnya orang-orang NU yang semula memegang posisi penting dalam kepengurusan PPP harus menerima kenyataan, hanya sebagai pelengkap. Jabatan pimpinan tertinggi PPP dipegang oleh orang bukan NU, bahkan sekjen juga tidak dipegang NU. Dalam perkembangannya, akhirnya kader-kader NU yang masuk dalam daftar calon jadi anggota DPR jauh berkurang, sedangkan roda partai dikendalikan orang-orang bukan NU.

Akhirnya, kondisi ini menyadarkan orang-orang NU untuk mengoreksi berbagai hal yang dinilai merugikan NU. Karena pada sisi yang lain ketika NU berpolitik, sebagian pemimpinnya sibuk berpolitik yang berdampak pada terabaikannya urusan sosial keagamaan, pendidikan, dan lain-lain.
Tidak mengherankan, kekecewaan orang NU kemudian ditujukan kepada Dr Idham Chalid. Puncaknya tiga orang kiai NU yakni KH As'ad Syamsul Arifin dari Situbondo, Kiai Machrus Ali dari Kediri, dan KH Ali Ma'shum (rois aam yang terpilih dalam Munas di Kaliurang 1983) bertandang ke kediaman Idham Chalid di Jakarta. Hasilnya, Idham Chalid menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU dengan alasan kesehatan.

Keruan saja peristiwa ini mengundang protes pendukung Idham Chalid yang dikenal dengan "Kelompok Cipete." Amin Iskandar, anggota F-PP DPR dari unsur NU yang menjadi pendukung Idham Chalid langsung menyampaikan bantahan atas mundurnya Idham Chalid. Konflik terus berlanjut dan memunculkan dua kubu yakni "Kelompok Situbondo" dan "Kelomok Cipete". Kedua kubu itu kemudian dicoba dipertemukan dalam Muktamar Situbondo 1984.

Yang Pertama
Sementara itu, perkembangan politik lainnya menunjukkan, melalui keputusan Sidang Umum MPR 1983, semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan wajib menerapkan satu asas Pancasila. NU pun menjadi organisasi keagamaan pertama yang menerima keputusan ini setelah melalui pembahasan cukup alot dalam Muktamar NU di Situbondo.

KH Achmad Siddiq dari Jember yang terpilih sebagai rois aam menyatakan, Pancasila bagi NU adalah final. Dia juga menyatakan, NU adalah sebagaimana gerbong kereta api yang sudah jelas arahnya. Dalam muktamar itu diputuskan NU keluar dari politik praktis. Saat itu NU kembali ke khitah-26. Sementara itu, KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Umum PBNU menggantikan Dr Idham Chalid.

Seusai Muktamar Situbondo, beberapa kader NU tampak memasuki parpol di luar PPP, partai Islam yang saat itu menjadi saluran kader-kader NU, seperti Slamet Efendy Yusuf yang kemudian masuk menjadi pengurus salah satu departemen pada DPP Golkar. Gus Dur, sebagai Ketua Umum PBNU juga tampak berkomunikasi dan berkunjung ke Golkar dan PDI. Sementara itu, keputusan kembali ke khitah-26 dengan menjaga jarak yang sama terhadap semua kekuatan politik yang ada agaknya justru menyadarkan PPP agar tidak kehilangan pendukungnya.

Maka, pada Muktamar ke-2 PPP tahun 1989, kader NU dari Jawa Tengah yakni Matori Abdul Djalil dipilih sebagai sekjen DPP berpasangan dengan Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum. Di bawah pimpinan kedua tokoh tersebut, PPP mencoba memperbaiki hubungan dengan tokoh-tokoh NU, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini tercermin dalam penyusunan daftar calon anggota DPR pada Pemilu 1992. Kendatipun hasil pemilu itu tidak begitu menggembirakan, jumlah kader NU yang masuk parlemen bertambah dibandingkan ketika PPP tak menempatkan kader NU pada posisi sekjen.

Namun, hubungan harmonis antara NU dan unsur lainnya dalam PPP ternyata tidak bertahan lama. Menjelang muktamar 1994, ketika NU memajukan tokohnya untuk menjadi Ketua Umum PPP, sentimen terhadap NU kembali merebak. Hal itu pun menjadikan Matori dari NU gagal terpilih. Bahkan dalam rapat formatur NU yang hanya menempatkan dua tokohnya yakni Matori dan KH Bisri Samsuri, Matori melakukan walk out. Kendati begitu posisi sekjen tetap dipegang oleh kader NU, Tosari Wijaya, tokoh yang dinilai lebih diterima kalangan luar NU di PPP.

Sampai di sini tidak ada perkembangan yang signifikan berkaitan dengan keterlibatan warga NU dalam dunia politik. Akhirnya tiba masa era reformasi yang melahirkan partai-partai baru. NU pun kemudian banyak memunculkan tokoh dalam dunia politik, seiring dengan lahirnya partai-partai baru, termasuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang kelahirannya dibidani oleh PBNU. Akhirnya, warga NU bukan saja bereforia dengan PKB-nya, tetapi juga berhasil kembali memimpin PPP. Bahkan, kini sejumlah kader NU pun duduk di DPR melalui partai-partai lain.(Nasrudin Anwar-87i)


Sumber:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0411/26/nas07.htm

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »