Suara Merdeka, Sabtu, 27 Nopember 2004
Jangan Mengulang Kasus Cipasung
BOYOLALI - Warga NU diingatkan agar tidak mengulang kasus Muktamar Ke-29 NU di Cipasung, Tasikmalaya 1994. Muktamar yang berhasil memilih pasangan KH Ilyas Ruchiyat dan Gus Dur itu melahirkan NU tandingan yang dipimpin Abu Hasan.
Hal itu dikemukakan kepada wartawan menanggapi isu santer akan munculnya NU tandingan jika nanti KH Hasyim Muzadi terpilih sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU. Isu itu dinilai menjadi kontraproduktif pada saat situasi dan kondisi yang sangat demokratis sudah terbangun di masyarakat dan bangsa Indonesia.
"Dulu kasus itu muncul karena ada kooptasi pemerintah terhadap semua organisasi massa, termasuk NU. Nah, saat itu Gus Dur sebagai pemimpin tidak mau diatur-atur seperti itu, sehingga muncul perlawanan. Namun, sekarang kondisi dan situasinya berbeda. Masa justru kita akan menciptakan perpecahan sesama warga NU," kata dia.
Dia menyayangkan sikap Gus Dur yang justru memelopori membikin perpecahan dengan menyulut isu NU tandingan. Sebagai orang NU yang dulu dikuya-kuyamestinya dia justru paling bisa merasakan bagaimana nasib orang yang dipinggirkan.
"Toh waktu Abu Hasan dulu ngotot mendirikan NU tandingan, Gus Dur bisa merasakan itu sebagai sesuatu yang membuat nasib NU makin sengsara. Nah, masa sekarang malah dia ingin menjadi Abu Hasan?"
Sebagai seorang tokoh yang menjadi orang terdepan dari Forum Demokrasi, mestinya Gus Dur tidak melakukan itu. Muktamar ini perhelatan akbar yang akan menjadi penentu siapa sebenarnya yang dikehendaki nahdliyyin. Jika warga memang menghendaki dipimpin lagi oleh Gus Dur, nanti akan terjadi.
Namun, jika memang utusan muktamar memilih Kiai Hasyim, seharusnyalah semua pihak juga menghormati. "Jadi jangan seperti itu, beda pendapat diselesaikan dengan mutung, bikin NU tandingan, mengancam, kok seperti Orde Baru."
Dia juga menyayangkan isu politik uang yang muncul di arena muktamar dan dituduhkan kepada pihak Hasyim Muzadi yang konon menyebarkan uang ke cabang-cabang. "Ini kontraproduktif. Masa hal seperti itu sampai muncul, kok ya kebangeten," kata Mubin.
Gus Mus
Menyinggung soal kesediaan Gus Mus yang katanya mau maju menjadi kandidat Ketua Umum PBNU, Kiai Mubin malah menyangsikan. Dia menilai Gus Mus bukan tipe orang yang mudah diatur dan mau diatur-atur. Kiai yang budayawan itu tipe orang merdeka yang tidak ingin segala sesuatu diatur.
"Sepanjang yang saya kenal, Mas Mus (panggilan Mubin kepada Gus Mus) itu paling tidak senang diatur. Bahkan, kepada saya dia mengatakan setiap kali muktamar selalu masuk sebagai kandidat yang dicalonkan kelompok yang tidak punya suara, dan selalu mengundurkan diri saat pemilihan dimulai. Jadi, saya masih sangsi apakan benar dia mau maju," kata dia.
Selain itu, pernyataan Gus Mus bukan keluar dari mulut sendiri, melainkan dari KH Attabik Ali dari Krapyak. Bisa jadi apa yang dinyatakan Kiai Tabik bukan hal yang sebenarnya.
"Yang saya tahu, Gus Mus masih menunggu restu ibunya. Saya masih yakin Nyai Ma'rufah Bisri tidak akan mengizinkan. Namun, kalau memang nanti maju, saya cenderung tempat Gus Mus di syuriah, bukan di tanfidziyah. Saya kira ideal sekali kalau nanti NU dipimpin Kiai Hasyim dan Gus Mus," tandasnya.
Dia mengatakan, saat ini sudah waktunya NU dipimpin sosok yang bisa memimpin lebih arif, tidak meledak-ledak dan reaktif. Itu sudah ditunjukkan Kiai Hasyim selama lima tahun memimpin NU. Kalau dia bisa melanjutkan lagi kepemimpinannya, saya kira bagus sekali.
"Saya tahu Kiai Hasyim itu demokratis, sangat egaliter, tidak senang membawa-bawa nama orang lain. Kepada santrinya pun dia tidak mau dimundhuk-mundhuki. Dia tidak meledak-ledak, tapi masalah selalu teratasi."
Hal senada dikemukakan oleh H Selamet B Hartanto, Ketua PC NU Nabire, Papua. Dia setuju dengan penilaian bahwa sosok Kiai Hasyim masih dibutuhkan memimpin NU ke depan. Selama tiga tahun kepemimpinannya, waktunya dicurahkan untuk berkeliling Indonesia, mengunjungi cabang di berbagai daerah, termasuk di Papua.
"Saat ini gereget nahdliyyin di Papua sangat terasa, karena dukungan dari PBNU di bawah Kiai Hasyim yang juga besar. Karena itulah, kalau hal ini terhenti karena ada perbedaan-perbedaan di pucuk pimpinan, tentu sangat disayangkan."
Hanya, meski setuju model kepemimpinan Hasyim dilanjutkan, Selamet mengatakan, delegasi Papua yang berjumlah 200 orang lebih masih menunggu dan melihat perkembangan di arena muktamar. "Tolong beri tahu kami, kira-kira siapa yang patut didukung untuk menjadi pimpinan masa mendatang. Wartawan biasanya lebih pintar membaca informasi yang berkembang," kata dia sambil guyonan.
Adapun utusan dari Manado, Drs Munawir Zubaidi SH MH mengatakan, tujuh cabang di Manado dan satu wilayah berharap KH Hasyim Muzadi terpilih kembali dalam muktamar kali ini. Mereka merasa di bawah kepemimpinannya, NU berkembang sangat pesat, terutama di Sulawesi Utara.
Sementara itu, munculnya isu ancaman NU tandingan tidak membuat Rois Syuriyah PBNU KH Said Agil Siraj percaya. Dia meminta agar melihat saja apa yang terjadi dalam muktamar nanti.
"Saya nggak yakin. Tapi silakan. Saya percaya Gus Dur lebih berpengalaman, dewasa, matang, dan sebagai guru bangsa. Yang dilakukan tentu untuk kepentingan bangsa," kata Said Agil, Jumat (26/11).
Ketika ditanya jika hal itu benar-benar terjadi dia kembali menandaskan ketidakyakinannya akan dibentuknya NU tandingan tersebut. "Belum tentu, lihat saja nanti. NU sudah dewasa."
Begitu juga ketika disinggung fenomena saat ini mirip dengan Muktamar Cipasung, lagi-lagi dia tidak yakin. "Saya nggak yakin sama sekali."
Menyangkut figur yang bisa memimpin NU, menurut Said Agil tak harus dari keluarga pendiri ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut. Atas adanya desakan dari sejumlah kalangan agar pemimpin NU dikembalikan pada keluarga KH Hasyim Asy'ari, dia meminta agar diserahkan pada muktamirin saja. "Nasab memang penting, tapi bukan faktor utama."
Lebih lanjut dikatakan, dalam mencari siapa yang layak memimpin NU, yang lebih penting adalah dengan melihat sejauhmana kapabilitas, kepemimpinan, kredibilitas, dan kelayakan figur tersebut. "Yang berhak (memilih) muktamirin."
Dia berpandangan Rais Aam PBNU KHMA Sahal Mahfudh layak untuk menduduki lagi jabatan itu. Sebab sampai saat ini belum ada ulama sekualitas pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Margoyoso, Pati tersebut.
Adapun siapa yang akan menjabat sebagai Ketua Umum (Tanfidziyah), Said Agil menilai nama-nama yang muncul saat ini layak untuk menduduki jabatan tersebut. "Asal rais aam setuju. Gus Mus layak, Pak Hasyim layak, Pak Cecep layak, semua calon layak," ujarnya.
Ketua PWNU Jateng Drs H Moh Adnan MA meminta agar semua pihak berpikir jernih. Secara teknis untuk mempersiapkan muktamar butuh waktu yang lama. "Saya kira itu (muktamar di Yogyakarta-Red), bukan penyelesaian tapi justru menimbulkan masalah."
Adnan yang juga Ketua Panitia Daerah Muktamar Ke-31 NU itu menambahkan, pemilihan lokasi di Donohudan sesuai dengan hasil rapat PBNU, April lalu. "Itu keputusan organisasi yang resmi dan sah. Maka kalau ada yang di Yogyakarta, saya tidak tahu." (Tim SM, G7,G1-33e)
Sumber:
http://www.suaramerdeka.com/harian/0411/27/nas02.htm
EmoticonEmoticon