Mengenang Kasus Talangsari Lampung

June 12, 2014

Mengenang Kasus Talangsari Lampung

| 14 December 2013 | 13:33
Masih kita ingat peristiwa yang mengenaskan pernah terjadi di salah satu provinsi di Indonesia pada tahun 1989, dan bahkan kini ternyata penyelesaian atas permasalahan peristiwa tersebut masih terkatung-katung tidak jelas. Peristiwa tersebut adalah Peristiwa Talang Sari yang pernah terjadi di Provinsi Lampung pada tahun 1989 (7 Februari 1989). Pada peristiwa tersebut setidaknya 246 penduduk sipil tewas (Data menurut Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam) yang merupakan tim investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari). Sementara menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Jumlah yang sesungguhnya masih misterius. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban berjumlah 300 orang. Sampai dengan kini segala upaya untuk mengungkap kebenaran atas peristiwa ini banyak terkendala di tengah jalan, bahkan yang miris lagi adalah hubungan sesama korban dari peristiwa tersebut kini justru terjalin tidak harmonis. Hal ini disebabkan adanya upaya damai lewat ishlah yang coba dilakukan oleh pemerintah yang menyebabkan hubungan antar sesama korban terpecah. 

Antara yang sepakat dengan ishlah tersebut (menginginkan penyelesaian masalah dengan pendekatan kekeluargaan) dan yang tidak menyepakatinya (menuntut Komnas HAM melakukan penyelidikan tuntas dan juga penyelesaian secara hukum atas kasus pelanggaran HAM berat tersebut). Bergantinya pemerintahan juga tidak merubah sikap negara untuk mengusut tragedi ini.

Peristiwa Talangsari mengingatkan kita pada salah satu pelanggaran berat atas Hak asasi manusia (gross violation of human rights). Kekerasan militer yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah merupakan bentuk tindakan eksesif yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Suharto. Hal ini bisa dilihat pada proses penanganan yang dilakukan pemerintah yang cenderung membenarkan berbagai cara yang digunakan dari mulai penangkapan, penyiksaan, penahanan, pengadilan, dan   puncaknya adalah adanya serangan militer yang dilakukan pada perkampungan tersebut. Peristiwa yang terjadi di Lampung Tengah tersebut terjadi akibat kecurigaan pemerintah orba terhadap Islam dan juga di picu karena adanya kritik keras serta penolakan sekelompok masyarakat terhadap kebijakan soal asas tunggal Pancasila. Kemudian pemerintah mengambil jalan kekerasan sebagai alternatif penyelesaian atas permasalahan tersebut.

Yang menjadi pertanyaan kini adalah siapakah sebenarnya kelompok tersebut?, sampai menyebabkan pemerintah memiliki kecurigaan yang tinggi yang pada akhirnya berujung pada aksi militer (penyerbuan) terhadap komunitas masyarakat di Dusun Cihideung (pusat penyerbuan di Desa Talangsari) tersebut?. Di sebut-sebut terdapat kelompok pengajian yang sering dilakukan di dusun Cihideung. Kelompok pengajian yang menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah itu banyak mengkritisi pemerintahan Orde Baru yang dinilai gagal menyejahterakan rakyat. Mereka juga mengecam asas tunggal Pancasila, yang mereka nilai sebagai biang kemelaratan rakyat Indonesia. Jemaah Warsidi (tokoh kelompok pengajian tersebut) mengecam pemerintah yang gagal menyejahterakan rakyat dan gagal menciptakan keadilan, ekonomi hanya dikuasai kaum elite yang dekat dengan kekuasaan. 

Jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk gagal. Karena itu keberadaannya harus digantikan dengan Al-Quran dan Hadits sebagai dasar negara. Pada perkembangannya kelompok pengajian ini mempengaruhi pemikiran warga dusun dengan begitu cepat dan kemudian hal inilah yang menyebabkan kekhawatiran pemerintah pada masa itu, sampai pada akhirnya memutuskan adanya tindakan represif untuk mengatasi hal ini.

Sampai pada pembahasan di atas, apabila kita mencermati pemahaman yang di miliki oleh kelompok pengajian tersebut tentu sebenarnya permasalahannya belumlah selesai sampai dengan kini. Karena permasalahannya justru terletak pada paradigma berfikir kelompok tersebut tentang sebuah konsep ketidaknyamanan atas suatu kondisi negara Indonesia yang mempergunakan hukum diluar Al-Quran dan Hadits. Dengan asumsi bahwa Pancasila masih menjadi landasan bagi negara kita, juga dengan berbagai permasalahan bangsa yang melilit negeri ini. Mulai dari kemiskinan, kebodohan, hutang luar negeri, moral yang bejat, KKN yang merajalela, dan masih banyak sederet permasalahan-permasalahan bangsa yang lain yang masih menghantui negeri ini sampai dengan kini. Tentunya dengan alasan-alasan tersebut, permasalahan yang notabenenya banyak di rasakan oleh masyarakat negeri ini (bukan hanya segelintir orang/sekelompok orang) tidak akan mampu di selesaikan apabila tindakan represif sampai kekerasan-lah yang di gunakan untuk mengatasinya. Aksi militer yang di lakukan pada peristiwa talangsari ternyata bukan justru menyelesaikan permasalahan dalam konteks menyatukan masyarakat dalam bingkaian kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia yang diinginkan. Tapi justru sebaliknya aksi tersebut telah menjadi stimulan pendukung untuk menjadikan masyarakat yang memang sudah memiliki “perasaan kebangsaan yang mulai retak” untuk semakin keluar dari bingkaian ber-NKRI. Tindakan semacam itu hanya akan melahirkan bibit-bibit disintegrasi yang terus tersemai dalam diri para korban.

Peristiwa Talangsari memang sudah berlalu 24 tahun silam. Waktu yang sangat lama untuk sebuah ukuran kejadian yang bisa dilupakan. Tapi faktanya sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban sosial di masyarakat, dan belum mendapatkan hak sebagai warga negara. Upaya pemerintah yang sampai dengan kini seolah “mengisolasi” warga dusun Cihideung tentu bukanlah sikap yang tepat. Warga yang kini masih terus bertahan hidup dengan dunia komunitasnya tersebut justru akan sangat berpotensi untuk menjadi sebuah kelompok pemicu disintegrasi bangsa berbasis agama yang bukan tidak mungkin menjadi sebuah komunitas yang lambat laun membesar bersama pemahaman mereka.

Era reformasi 1998 telah menjadi eforia keterbukaan bagi seluruh penduduk negeri untuk lebih bisa menikmati kebebasannya. Reformasi 1998 telah membuka sekat-sekat yang telah tertutup pada masa sebelumnya. Tidak terkecuali dengan warga Talangsari. Kondisi yang ada saat ini justru sangat memungkinkan kelompok ini untuk bermetamorfosa menjadi sebuah gerakan terorganisir secara lebih baik seiring waktu yang terus berjalan. Benih-benih pemikiran yang masih menyimpan kekecewaan yang sangat mendalam bukan tidak mungkin telah bersemai menjadi upaya kebangkitan gaya baru yang terus tumbuh bersama ruang-ruang keterbukaan untuk terus memperjuangkan ideologi yang telah tertanam dari sejak dahulu.

Apa yang terjadi di Cihideung (Talangsari) kini hendaknya bisa menjadi sebuah pelajaran yang berharga bagi kita semua, khususnya pemerintah. Bahwa upaya yang di lakukan untuk menangani masalah-masalah seperti itu haruslah di fikirkan secara mendalam dan berdimensi pada orientasi jangka panjang terkait dampak yang akan di timbulkan. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah sebaiknya juga menyelami kondisi yang sebenarnya terjadi dan di rasakan oleh masyarakat Talangsari bersama dengan pemahaman mereka yang berkembang sampai dengan kini. Pendekatan sosio-kultural adalah lebih tepat untuk mewujudkan masyarakat yang berkesadaran akan berbangsa dan bertanah air Indonesia secara utuh. Pemerintah seharusnya tidak malah membuat jarak pada masyarakat ini. Begitupun dengan masyarakat sekitar daerah Talangsari yang selama ini justru bersikap mengucilkan warga (korban) Talangsari. Upaya-upaya dialogis humanis justru akan lebih mampu untuk merubah paradigma berfikir masyarakat yang selama ini mungkin ada dan kurang tepat untuk dijadikan landasan berfikir. Psikologi korban Talangsari harus di bangun untuk bangkit dan tumbuh bersama kebersamaan masyarakat sekitar daerah Talangsari. Selain juga pada faktor ekonomi (peningkatan kesejahteraan) yang juga menjadi pendukung utama untuk semakin memantapkan upaya pendekatan sosio-kultural tersebut. Pemerintah harus membuka akses ekonomi bagi warga. Membantu tumbuh berkembangnya kesejahteraan yang bisa di rasakan oleh mereka sebagai warga negara Indonesia. Hal ini perlu sebagai upaya menciptakan kondisi masyarakat yang terpedulikan oleh pemerintah-nya. Kemudian yang tak kalah penting adalah menyelesaikan permasalahan peristiwa Talangsari yang sampai dengan kini belum selesai. Hubungan sesama korban harus diharmoniskan kembali, sampai dengan upaya terbaik (yang disepakati) untuk membawa ujung penyelesaian dari permasalahan atas peristiwa ini. Semua upaya tersebut harus terbingkai pada rasa persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa yang besar. Rasa persatuan dan kesatuan tidak akan bisa dilaksanakan apabila rasa solidaritas sebagai bangsa tak dapat ditumbuh kembangkan, karena solidaritas bertumpu atas dasar kepentingan bersama. Tidak ada yang menyangkal bahwa mungkin kedepannya bisa saja akan muncul “kelompok-kelompok Talangsari lain entah itu dalam format yang sama ataupun berbeda”. Akankah sejarah itu harus kembali terulang?


Oleh: Khamida Khairani


Sumber:
http://hankam.kompasiana.com/2013/12/14/mengenang-kasus-talangsari-lampung-616446.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »