Kronik Perjalanan Kasus Talangsari Lampung

June 12, 2014


Kronik Perjalanan Kasus Talangsari Lampung

Desember 1988 – Januari 1989
Perpindahan sejumlah warga dari Solo, Jakarta dan Bandung ke dusun Rajabasa Lama, Lampung Tengah.

20 Januari 1989
Lewat surat bernomor 25 / LP / EBL/ I/ 1989, Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega setelah mendapat informasi dari Kadus Talangsari, Sukidi dan kaum melaporkan kegiatan jama’ah Talangsari yang disebutnya sebagai pengajian yang dipimpin Jayus dan Warsidi tanpa ada laporan ke pamong setempat ke Camat Way Jepara, surat ditembuskan ke Danramil dan Kapolsek Way Jepara. Kemudian Camat Way Jepara, Drs. Zulkifli  Maliki, mengirim surat kepada Warsidi agar melaporkan pendatang baru di desa Umbul Cihedeung Talangsari. Warsidi tidak memenuhi panggilan Camat tersebut, dan memberi jawaban melalui surat yang dituliskan oleh Marni

21 Januari 1989
Camat Zulkifli bersama stafnya, Muspika (Musyawarah Pimpinan Kampung) dan aparat desa, dengan diantar oleh kepala Desa Rajabasa Lama yang bernama Amir Puspa Mega meninjau lokasi Transmigran di Talangsari. Rombongan ini mendatangi Warsidi di Umbul Cihideung. Dalam pertemuan dengan rombongan camat, Warsidi melaporkan orang-orang yang transmigrasi ke Talang Sari kepada Camat.

22 Januari 1989
Pada malam hari, beberapa orang aparat keamanan mendatangi perkampungan. Dua orang diantaranya bersenjata api. Mereka masuk ke Musholla  Al Muhajirin tanpa membuka sepatu laras dan mencaci maki serta mengumpat dengan perkataan “ajaran jama’ah itu bathil, menentang pemerintah, perkampungannya akan dihancurkan”. Bahkan mereka, beberapa diantaranya yang membawa senjata, mengacungkan senjata apinya dan menantang para jama’ah. Beberapa Jama’ah yang berada di lokasi, di antaranya Arifin, Sono, Marno, Diono dan Usman, tidak memberikan respon apa pun. Kemudian kedua aparat keamanan itu pergi meninggalkan musholla.

26 Januari 1989
Kepala Desa Labuan Ratu I mengirimkan surat bernomor 700.41/LI/I/89 ke Camat Zulkifli perihal Usman, salah anggota jama’ah Warsidi yang dianggap meresahkan pondok Pesantren Al Islam.



27 Januari 1989
Camat Zulkifli mengirim surat bernomor220/165/12/89 kepada Danramil 41121 Way Jepara, Kapten Sutiman, surat itu berdasarkan surat laporan kepala desa Labuhan Ratu I No. 700.41/LI/I/89, untuk meneliti Usman, Jayus dan Anwar (Warsidi) yang dalam surat tersebut mereka bertiga dianggap mengadakan kegiatan mengatasnamakan agama tanpa sepengetahuan pemerintah. Surat itu ditembuskan kepada Kapolsek dan kepala KUA (Kantor Urusan Agama) Way Jepara, Kades Labuan Ratu I dan Rajabasa Lama.

28 Januari 1989
Kapten Sutiman memerintahkan Kades Labuhan Ratu I, Kades Labuan Ratu Induk dan Kades Rajabasa Lama dengan surat bernomor B/313/I/1989 agar menghadapkan Anwar, Jayus dan Usman pada hari Senin, 30 Januari 1989 atau selambat-lambatnya 1 Februari 1989. Surat tersebut ditembuskan kepada Dandim 0411 Metro, unsur pimpinan kecamatan Way Jepara dan Kepala KUA Way Jepara. Dalam surat itu juga meminta Kepala Desa Rajabasa Lama supaya mengirimkan nama-nama jema’ah pengajian yang pernah dicatat Sukidi bersama-sama dengan Bagian Tata Usaha Koramil 41121 Way Jepara pada pertengahan bulan Januari 1989.

29 Januari 1989
Beberapa Jama’ah memperoleh informasi mengenai keputusan Muspika untuk menyerbu perkampungan Jama’ah di Cihideung dari Imam Bakri, Roja’i, suami ibu Lurah Sakeh, salah seorang Lurah yang mengikuti pertemuan tersebut. Informasi juga didapat dari jama’ah lainnya; Joko dan Dayat, lewat salah seorang anggota Koramil 41121 Way Jepara yang mengingatkan bahwa dalam minggu-minggu ini perkampungan akan diserbu. Tak lama kemudian, Jayus menyaksikan Kepala Desa Cihideung dan masyarakat (yang bukan Jamaah pengajian Warsidi) di sekitar perkampungan mengungsi. Sedangkan Jama’ah tetap tinggal di Cihideung dengan melakukan ronda malam hari.

1 Februari 1989
Kades Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega, mengirim surat (dengan nomor 40/LP/RBL/1989) kepada Danramil 41121, Kapten Sutiman, yang isinya meminta untuk membubarkan pondok pesantren di Cihideung. Alasannya karena adanya pengajian gelap di pesantren tersebut dan para jama’ah telah menanti kedatangan yang pihak berwajib (aparat keamanan/hukum) untuk memeriksa para jama’ah. Dalam surat Kades Rajabasa Lama tersebut, juga disebutkan hasil penyelidikan Kades Rajabasa Lama bahwa para jama’ah telah mengumpulkan botol-botol Malaga untuk menjadi bahan peledak, dengan diisi bensin, batu korek api, dan karbit. Berdasarkan surat Kades Rajabasa Lama, Kapten Sutiman langsung menyurati Dandim 0411 Metro dengan nomor surat B/317/II/1989 yang isinya melaporkan informasi-informasi yang diterima dan meminta petunjuk untuk mengambil tindakan dalam waktu dekat, serta menyarankan agar menangkap semua jama’ah sewaktu sedang melaksanakan
kegiatan di malam hari. Surat tersebut ditembuskan kepada Muspika Way Jepara, Danrem 043 Garuda Hitam di Tanjung Karang, Kakansospol TK II Lampung Tengah dan Kakandepag TK II Lampung Tengah.

2 Februari 1989
Camat Zulkifli menyampaikan informasi lewat surat bernomor 220/207/12/1989 kepada Bupati KDH TK II dan Kakansospol Lampung Tengah yang melaporkan seluruh perkembangan yang mereka dapatkan dan aksi koordinasi dengan Muspika Way Jepara untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya.
Di Cihideung, sekitar pukul 12.00 siang, datang lelaki tak dikenal dengan ciri-ciri fisik berbadan kekar, membawa golok dan berpakaian seperti petani layaknya, singgah di Pondok. Orang tersebut sempat ke rumah Jayus  dan sholat dhuhur berjama’ah di Mushola Mujahidin.

5 Februari 1989
Ada dua versi yang menjelaskan tentang kejadian pada malam penangkapan, bahwa pada hari minggu 5 february 1989, terjadi penangkapan terhadap 6 enam orang di pos ronda.

6 Februari 1989
Pukul 8.30, Serma Dahlan AR menyerahkan kelima orang tersebut ke Kodim 0411 Metro. Kemudian Kasdim, Mayor Oloan Sinaga, mengirim berita ke Muspika dan melapor ke Danrem 043 Gatam tentang rencana penyergapan lanjutan ke Cihideung.

Pukul 09.30, Kasdim bersama 9 anggotanya, antara lain Sertu Yatin, Sertu Maskhaironi, Koptu Muslim, Koptu Sumarsono, Koptu Taslim Basir, Koptu Subiyanto dan Pratu Kastanto (Pengemudi Jeep), Pratu Idrus dan Pratu Gede Sri Ananta, tiba di Rajabasa Lama.

Sebelum berangkat ke Cihideung, Muspika menyampaikan situasi dan keadaan Talangsari III. Lalu Kasdim Mayor Oloan
Sinaga memberikan petunjuk dan pengarahan.

Pukul 11.00, Rombongan Kasdim bersama Muspika, Kades Rajabasa Lama, Kadus Talangsari III, Kapten Sutiman (Danramil Way Jepara) bersama 2 regu pasukannya tiba di Cihideung. Tanpa didahului dialog dan peringatan terlebih dahulu, mereka menembaki perkampungan, saat jama’ah baru tiba dari sawah dan ladang. Penyerbuan diawali dengan tembakan 1 kali dari rombongan aparat. Penyerbuan dan tembakan disambut dengan pekik takbir oleh jama’ah. Pekik takbir itu dibalas dengan tembakan beruntun oleh aparat. Masyarakat berusaha mempertahankan diridengan menggunakan peralatan yang mereka
bawa dari sawah, seperti golok, cangkul, parang.

Pukul 12.30, rombongan Mayor Sinaga tiba di Puskesmas untuk menyerahkan Sertu Yatin. Kemudian Mayor Sinaga melapor dan meminta bantuan ke Korem 043 Gatam dan Polres Lampung Tengah.

Pukul 15.00, Wakapolres Lampung Tengah bersama anggotanya tiba di Rajabasa Lama.

Pukul 17.00, Kasrem 043 Gatam, Letkol Purbani bersama anggotanya tiba di Rajabasa Lama dan memimpin pengintaian. Pada saat yang sama Fadilah tiba di Sidorejo.

Pukul 18.00, Bupati Lampung Tengah, Suwardi Ramli, bersama rombongannya tiba di Rajabasa Lama.

Pukul 18.30, Danrem 043 Gatam, Kolonel Hendropriyono, beserta 3 pleton pasukannya tiba di Rajabasa Lama.

Pukul 24.00, di Desa Pakuan Aji, Truk-truk pengangkut personil memasuki wilayah Pakuan Aji, dan parkir di depan Pos Pertelon dekat Rumah lurah Sarnubi.

7 Februari 1989
Pukul 00.00, terdengar 2 kali suara tembakan dari arah timur pesantren Cihideung. Sugeng (jama’ah dari Jakarta) membalas dengan menggunakan senjata milik Kapt. Sutiman.

Pukul 02.00, terdengar sayup-sayup letupan suara tembakan dan suara mobil truk

Pukul 03.00, Salim, seorang jama’ah yang melakukan ronda di pos sebelah selatan pesantren Cihideung, memergoki 2 tentara yang mendekati lokasi pesantren. Setelah ketahuan, kedua tentara itu melarikan diri.

Sekitar pukul 5.30, Kolonel Hendropriyono yang memimpin penyerbuan membawa pasukan sejumlah 3 pleton Batalyon 143 Gatam dan 1 pleton Polisi Brimob. Pasukan dipecah menjadi dua, satu menuju Sidoarjo dan satu lagi menyerbu lokasi pesantren Cihideung. Pasukan yang menyerbu lokasi Cihideung dipimpin langsung oleh Kolonel Hendropriyono dengan posisi tapal kuda. Pasukan menyerbu dari arah Utara (Pakuan Aji), Selatan (Kelahang) dan Timur. Sementara arah Barat dibiarkan terbuka.

Sekitar pukul 10.00, jenazah Warsidi ditemukan. jenasah tersebut diletakkan di pos jaga yang biasa digunakan para jama’ah berjaga. Kemudian, salah seorang
aparat TNI datang dan memotong leher jenasah tersebut.

Pukul 13.00, sekitar 60 – 70 orang ibu-ibu dan anak-anak yang sebelumnya di
kumpulkan di halaman rumah Musri depan Poskamling, dibawa ke Kodim 0411 Metro.

7 Februari 1989
Setelah berakahirnya serangan tersebut, tentara dengan pekik dan mars kemenangan meninggalkan lokasi kejadian, setelah reda tembakan sekitar jam 15.00 WIB. Tentara sebagian kembali ke Pakuan Aji, Posko Pertelon, dan kemudian makan-makan di rumah pak lurah Sarnubi. Lokasi bekas penyerangan dibiarkan kosong dan warga di desa sekitar dan warga desa Talangsari yang kebetulan tidak berada di tempat pada saat kejadian, bisa memasuki lokasi Talangsari III. Mereka, warga masih sempat melihat mayat-mayat di jalan menuju pondokan dan di sekitar lokasi. Ada juga saksi mata lain yang sempat
melihat tumpukan tulang di antara rumah pondokan yang terbakar. Pembiaran lokasi ini berlangsung sampai malam hari dan lokasi ini kemudian ditutup setelah terjadi pergantian tentara pada malam harinya.

9 Februari 1989
Sekitar pukul 09.00, beberapa jama’ah yang selamat, marah dan mendatangi Kodim dan Yonif 143. Peristiwa di depan Kodim mengakibatkan 6 jama’ah meninggal akibat luka tembak: Beni Solihin, Mukhlis, mawardi, Jaenuri, Muadi. Mayat-mayatnya lempar aparat ke dalam truk dan 3 aparat Kodim (Pratu Supardi, Kopda Waryono, Kopda Bambang Irawan) luka terkena senjata tajam.

7 Mei 2001
KontraS bersama Paguyuban Korban dan Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2PTL) dan kelompok mahasiswa dari Kompak, Gemma PTDI dan Hammas mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad hoc untuk kasus Talangsari Lampung ke Fraksi Reformasi DPR RI. Fraksi Reformasi lewat Suminto Martono menyatakan dukungannya untuk menuntaskan salah satu kejahatan kemanusian orde baru ini.

2 Juli 2001
Kontras mempertanyakan usulan tersebut kepada Komnas yang dijawab oleh Asmara Nababan agar membicarakan bersama dengan Koesparmono Irsan selaku orang yang ditunjuk komnas untuk mempersiapkan komposisi KPP HAM.

3 Juli 2001, KontraS mengajukan surat untuk membicarakansoal persiapan pembentukan KPP HAM Talangsari yang diusulkan diselenggarakan pada 7 Juli 2001.

16 Juli 2001
KontraS, PK2PTL dan kelompok mahasiswa dari KOMPAK dan PTDI meminta Komnas serius untuk menindaklanjuti desakan-desakan yang menuntut agar KPP HAM Talangsari segera bekerja. Desakan tertulis Kontras juga pada intinya menolak Koesparmono untuk dijadikan sebagai ketua KPP HAM Talangsari dan mengajukan minimal 3 nama (Munir, ifdhal dan Abi) untuk dimasukan kedalam komposisi KPP HAM.

6 September 2001, KontraS, Komite Smalam bersama 28 korban yang berasal dari Lampung kembali meminta keseriusan Komnas dalam menindaklanjuti hasil keputusan pleno 5 Juni. Pertemuan tersebut akhirnya diurungkan karena orang-orang suruhan Hendropriyono, seperti Sudarsono, Arifin dan Riyanto mencoba memprovokasi korban.

7 September 2001,
KontraS bersama rombongan kembali mendatangi Komnas yang diterima oleh BN Marbun. Dalam pertemuan itu orang-orang suruhan itu juga tetap hadir dan
memprovokasi para korban. Pertemuan tetap berlangsung tertib walaupun rombongan mendapatkan hasil yang mengecewakan

Februari 2003,
Korban Talangsari bersama Kontras, LBH Lampung dan Komite Smalam menyurati Ketua komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara. Korban menyatakan protes keras atas berlarut larutnya proses penyelidikan kasus Talangsari yang diketuai oleh Mayjend Pol (Pur) Koesparmono Irsan serta desakan untuk segera mengambil langkah proaktif dalam melakukan kerja-kerja KPP HAM Talangsari.

Februari 2004,
Kontras mengajukan surat pertemuan dengan Komnas HAM, untuk mempertanyakan kinerja tim yang telah dibentuk serta mendesak adanya tim penyelidikan, namun tidak dari respon oleh Komnas HAM.




8 Februari 2005,
KontraS, LBH Bandar Lampung bersama korban Talangsari dari Lampung melakukan audiensi dengan Komnas HAM. Diterima Abdul Hakim Garuda Nusantara, Hasto Atmojo dan Yuwaldi. Mereka mengatakan tim Hasballah M Saad hanya mengerjakan pengkajian pada kasus Talangasri. Ketua Komnas HAM belum menerima hasil kajian yang diketuai oleh Hasballah M Saad
karena kesibukan akibat Tsunami.

2 Maret 2005,
KontraS bersama korban talangsari dari Lampung dan LBH Bandar Lampung
melakukan audiensi dengan Komnas HAM. Diterima oleh Ruswiati. Atas rekomendasi rapat paripurna 23 Februari dibentuk timpenyelidik berdasarkan UU 39 tahun 1999. Tim terdiri dari Enny Soeprapto (Kekerasan) Samsuddin (Hak hidup), Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan) dan M Farid (Anak – anak). Tim bekerja dari akhir maret hingga awal april 2005.

20 Juni 2005,
KontraS bersama Korban Talangsari Lampung dan korban Talangsari dari Solo
mendatangi komnas HAM untuk menanyakan perkembangan proses penyelidikan tim KPP HAM untuk kasus Talangsari. Ditemui oleh Sdr. Farid dan Andi (Assistence), mereka mengatakan Komnas HAM telah mengirimkan surat kepada Pangdam Sriwijaya dan Korem Garuda Hitam, namun belum ada jawaban. Pengiriman surat ke Pangdam Sriwijaya ini didasarkan atas hasil pemeriksaan Korem Garuda Hitam sebelumnya, bahwa seluruh berkas yang ada kaitannya dengan kasus Talangsari sudah dilimpahkan ke Kodam Sriwijaya.

19 Juli 2005,
KontraS kembali menemui Komnas HAM. Pada pertemuan kali ini ditemui oleh Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara yang kemudian memberikan jawaban bahwa sampai sekarang belum ada tanggapan surat dari Kodam Sriwijaya.

29 september 2005,
KontraS bersama Korban Talangsari dari Lampung dan Solo serta LBH Semarang dan LBH Bandar Lampung mendatangi Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Di Komnas HAM ditemui oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Eni Soeprapto, mereka memberikan jawaban akan menunggu jawaban surat Kodam Sriwijaya dan akan memikirkan upaya melakukan pemeriksaan paksa dengan meminta penetapan dan Pengadilan Negeri. Sedangkan di Komnas Perempuan ditemui Sdri. Ita, yang memberikan jawaban akan membantu korban Talangsari dalam rangka pemulihan psichologis dan meminta data konkrit tetang korban perempuan talangsari baik di Solo ataupundi Lampung.

6 Februari 2006
Dikusi Publik Sosialisasi dan konsolidasi untuk menggalang dukungan penuntasan kasus Talangsari dengan menghadirkan pembicara Nursyahbani (F PKB DPR RI), Abdul Syukur (Sejarawan), Usman Hamid (Korrd KontraS), Sugeng Yulianto dan Widaningsih (Korban Talangsari Solo)

7 Februari 2006
Diskusi di kontras antar korban Talangsari yang di Lampung dan Solo dengan
pendamping. Selanjutnya melakukan evaluasi terhadap perjalanan advokasi kasus Talangsari dan perkembangan di masing masing daerah, pembicara dari KontraS Haris Azhar dan Indria F Alphasony

7 Februari 2006
Korban, pendamping dan solidaritas untuk kasus Talangsari Lampung melakukan audiensi / Lobby ke PB NU untuk meminta dukungan penuntasan kasus Talangsari , ditemui oleh Drs. H. Ahmad Bagdja salah satu ketua PB NU dan Wasekjen PB NU Drs. H. Taufiq R. Abdullah dan Wakil Bendahara PBNU Ronin Hidayat

8 Februari 2006
korban dan keluarga korban peristiwa Talangsari Lampung bersama KontraS, LPH YAPHI Solo, LBH Semarang, LBH Lampung, Gmni UKI dan segenap tim pendamping untuk kasus Talangsari memperingati 17 tahun peristiwa Talangsari dengan melakukan aksi Long March dari Proklamasi menuju Komnas HAM untuk melakukan pendudukan karena bertepatan dengan rapat pleno Komnas HAM.

Rombongan diterima Komnas HAM yang diwakili Zumrotin K Soesilo dan Ruswiyati Suryasaputra, Komnas HAM akhirnya mengeluarkan surat surat No. 22/WATUA/II/2006 yang berisi Komnas HAM akan menyelesaikan laporan penyelidikan kasus Talangsari pada bulan Maret

8 Februari 2006
Korban, pendamping dan solidaritas untuk kasus Talangsari Lampung melakukan audiensi / Lobby ke PP Muhammadiyah diterima oleh Ketua PP Muhammadiyah KH Din Syamsuddin. Ketua PP Muhammadiyah menghimb
au Kepada lembaga-lembaga negara ikut mendukung penyelesaian kasus ini. Kami sebagai warga Muhammadiyah hanya bisa memberikan dukungan moril, baik lisan dan tertulis,"




9 Februari 2006
Korban, pendamping dan solidaritas untuk kasus Talangsari Lampung melakukan audiensi / Lobby ke DPR RI diterima olehEndin AJ Soefihara (FPPP), Almuzammil Yusuf (FPKS), Slamet Effendi Yusuf (FPG) dan Nursyahbani Katjasungkana (FPKB)

9 Februari 2006
Korban, pendamping dan solidaritas untuk kasus Talangsari Lampung melakukan audiensi / Lobby ke KWI diterima oleh Romo Ismartono Koord Crisis Center KWI dan Romo Sigit

21 Februari 2006
Perwakilan – perwakilan korban pelanggaran HAM (Mei, Trisakti, semanggi I & II, Talangsari, Wasior Wamena dan penculikan 98) melakukan audiensi ke Komisi III ditemui oleh ketua Komisi Trimedya Panjaitan, A Muzamil Yusuf (Waka Komisi III), Panda Nababan (F PDIP), Asis Syamsuddin ( F Golkar), FX Soekarno ( F Demokrat ), Eva Sundari ( F PDIP), Gayus Lumbun (FPDIP), Nursyahbani (F PKB), Mahfud MD ( F PKB)

16 Maret 2006
Seluruh korban Talangsari yang berdomisili di Solo bersama pendamping melakukan audiensi ke DPRD Surakarta. Ketua DPRD Surakarta tidak bersedia menemui karena waktunya bersamaan dengan paripurna Perda Lingkungan hidup. Pihak DPRD menjanjikan akan mengagendakan pada hari kamis 23 maret 2006

21 Maret 2006
20 orang perwakilan korban Talangsari yang di Solo dan Lampung bersama tim
pendamping mendatangi kantor DDII untuk meminta dukungan penuntasan kasus Talangsari berupa surat yang ditujukan ke Komnas HAM, Komisi III DPR RI, dan Presiden RI. Ditemui oleh Abdul Wahid Alwi (Sekjen DDII), selanjutnya DDII meminta bahan / data kasus Talangsari untuk dibawa ke rapat pengurus DDII pada hari rabu 22 Maret 2006 dan selanjutnya akan mengirim surat ke ketiga institusi tersebut.

21 Maret 2006,
Perwakilan Korban Talangsari dan KontraS menemui Komnas HAM yang diwakili Zoemrotin K Soesilo. Zoemrotin menyatakan dari empat tim penyelidik kasus Talangsari




1 mei 2006
Audiensi / Loby ke DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Propinsi Lampung. DPW PAN Propinsi Lampung bersedia memperjuangkan apa yang menjadi keinginan korban dan keluarga korban Talangsari Lampung dan sebagai partai yang mempunyai jaringan Nasional akan memanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendorong penyelesaian kasus– kasus pelanggaran HAM.

3 mei 2006
Audiensi / Loby ke DPRD Propinsi Lampung hasilnya DPRD mendukung upaya – upaya yang dilakukan korban dan meminta kasus Talangsari Lampung dapat diselesaikan secara tuntas

5 Mei 2006
Panitia RAN HAM Jawa Tengah mengirim surat ke Komnas HAM, DPR dan Presiden dengan tembusan korban

19 Mei 2006,
Perwakilan Korban Talangsari dan KontraS menemui Komnas HAM mempertanyakan Keputusan rapat Pleno Komnas HAM beserta rekomendasi selanjutnya terhadap kasus Talangsari Lampung. Komnas Ham sudah menyelesaikan Laporan penyelidikan kasus Talangsari dan bulan Juni akan ditindak lanjuti dengan membentuk tim legal analisis

6 September 2006,
Korban dan keluarga Korban Talangsari Lampung dan Solo bersama KontraS gagal menemui tim penyelidik Talangsari untuk menanyakan perkembangan kajian hukum kasus Talangsari. Seluruh anggota Komisioner Komnas HAM
berangkat ke Padang untuk menghadiri pelantikan KOMDA di Padang.

3 Oktober 2006, korban dan keluarga korban Talangsari dari Lampung dan Solo bersama Kontras, PKTL, LBH Bandar Lampung dan GMNI UKI melakukan aksi dan audiensi ke Komnas HAM untuk mempertanyakan hasil
kajian hukum. Ditemui oleh Zoemrotin K Soesilo (wakil ketua Komnas HAM)dan dikeluarkan surat atas nama Zoemrotin K Soesilo bernomor 103 / WATUA/ X/2006 yang isinya : Komnas HAM tetap menjadikan kasus Talangsari sebagai prioritas, analisa hukum dan laporan diselesaikan akhir 2006 selanjutnya akan dibahas di sidang paripurna 11 – 12 Oktober 2006.

5 Februari 2007
Road show ke media cetak di lampung (Lampung Post, Radar Lampung dan Lampung ekspres bersama korban dan keluarga korban Talangsari Lampung serta LBH Lampung untuk sosialisasi 18 tahun peringatan Talangsari.

6-7 Februari 2007
Road Show ke media elektronik, Media Cetak dan Jaringan di Lampung dilakukan oleh kontras bersama PK2TL dan LBH Lampung.

8 Februari 2007
Menggelar Tabligh Akbar memperingati 18 tahun kasus Talangsari Lampung di Sidorejo Lampung Timur dengan penceramah Ustad Komaruddin dan Daeroni
Ali (DPRD TK I). Dihadiri oleh sekitar 4000 peserta pengajian.

9 Februari 2007,
Korban dan Keluarga Korban Talangsari dari Solo bersama KontraS dan LPH YAPHI melakukan audiensi ke Komnas HAM. Ditemui oleh Zoemrotin K Soesilo (Wakil Ketua Komnas HAM) yang menyatakan kajian hukum atas hasil penyelidikan belum selesai dan akan diselesaikan bulan maret 2007

16 Februari 2007
Siaran pers bersama KontraS, ICW dan YLBHI (Koalisi perlindungan saksi korban) menyikapi statement dari Danrem 043 Garuda Hitam yang menyatakan “kasus Talangsari sudah ditutup dan siapa pun yang membuka kembali akan berhadan dengannya”.

19 Februari 2007
Menyurati Panglima TNI Marskal Djoko Suyanto merespon pernyataan Danrem 043 Bambang S Gandhi yang mencoba menghalang – halangi penyelesaian kasus Talangsari.

23 Februari 2007
Danrem 043 Garuda Hitam mengundang wartawan di Lampung ke kantornya untuk menjelaskan kasus Talangasri. Danrem menyatakan “kasus Talangsari bukan pelanggaran HAM Berat melainkan pertempuran”.

23 Februari 2007
Menyurati Komisi I DPR RI menyampaikan respon dan pernyataan Danrem 043 Garuda Hitam Bambang S Gandhi yang menghalang–halangi penuntasan kasus Talangsari.

27 Februari 2007
Siaran pers menyikapi pernyataan Danrem dalam pertemuan dengan wartawan
sebelumnya.




3-6 Juni 2007
Monitoring dan pendampingan pemeriksaan saksi korban dalam penyelidikan proyustisia Komnas HAM di Lampung bersama LBH Lampung dan Tehnokra Universitas Negri
Lampung.

19 Juni 2007
Pertemuan Korban, KontraS, LPH Yaphi, dan PMII Sukoharjo, membahas strategi untuk penyelidikan proyustisia Komnas HAM di LPH YAPHI Solo.

21-23 Juni 07
Pendampingan pemeriksaan 16 korban non Islah oleh Tim proyustisia komnas Ham (KontraS, PMII Sukoharjo, LBH Semarang dan LPH YAPHI)

4 Juli 2007
Bedah buku kesaksian korban Talangsari dan prospek penyelidikan proyustisia.
Pembicara Fadilasari dan Asmara Nababan di KontraS

27-31 Juli 2007
Pendampingan lanjutan pemeriksaan proyustisia kasus Talangsari

27-30 Agustus 2007
Korban dan keluarga korban Talangsari Solo dan Lampung menghadiri pertemuan dan deklarasi korban dalam peringatan week to remember di Jakarta.

1-4 Desember 2007
Lanjutan pemeriksaan saksi korban oleh tim proyustisia Talangsari

5 Desember 2007
Siaran pers respon hasil penyelidikan Talangsari di AJI Bandar Lampung

27 Januari 2008
Siaran Pers bersama keluarga korban menyikapi meninggalnya mantan Presiden Soeharto

5 Februari 2008
Siaran pers bersama 19 tahun peringatan Talangsari di Aji Bandar Lampung. Berikutnya dilanjutkan dengan agenda tahlilan dan malam renungan di lokasi pembantaian jama’ah Talangsari




6 – 7 Februari 2008
Rangkaian Peringatan 19 tahun peristiwa Talangsari dengan menggelar pangung dan mengundang masyarakat sekitar dusun Talangsari diantaranya Kelahang dan Pakuan Aji.

Beberapa rangkaian acara, diantaranya pembacaan puisi oleh Bu Darwin (perwakilan korban Mei 1998) dan Pak Amir (Korban Talangsari). Dilanjutkan dengan acara pengajian akbar dengan penceramah Ratono (Korban Tanjung Priok) dan komisioner Komnas HAM Kabul Supriyadi. Di akhir acara pada malam harinya diadakan pemutaran  dua buah film yaitu “Bunga dibakar” dan Tragedi Talangsari Lampung”.

8 Februari 2008
Aksi dan pembagian 2000 stiker di bundaran Gajah Bandar Lampung, setelah itu dilanjutkan dengan aksi ke kantor DPRD Tk I Bandar Lampung untuk mendesak pemerintah propinsi Lampung memberikan perhatian kepada korban dan keluarga korban.

9 Februari 2008
Dilakukan pertemuan dengan jaringan lokal di Bandar Lampung untuk membicarakan jaringan advokasi kasus Talangsari.

3 Maret 2008
Komnas HAM memanggil Hendropriyono untuk menjalani pemeriksaan terkait kasus Talangsari, namun hingga siang hari yang bersangkutan tidak hadir. Sementara disisi lain, keluarga korban melakukan audiensi dengan Komisioner Komnas HAM untuk memastikan perkembangan penyelidikan kasus Talangsari.

14 Maret 2008
Metro TV membuat program liputan kasus Talangsari dengan judul “secret operation”

26 Maret 2008
Perwakilan keluarga korban Talangsari bersama perwakilan keluarga korban Mei 98, Trisakti, Semanggi dan penculikan serta penghilangan paksa aktivis 1997/1998 menghadiri undangan undangan presiden SBY di Istana Negara. Dalam pertemuan tersebut, presiden SBY mendukung penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

27 Maret 2008
Keluarga korban Talangsari melakukan audiensi ke Komnas HAM untuk
mempertanyakan perkembangan proses penyelidikan. Diterima oleh Komisioner Kabul Supriyadi, dalam penjelasannya disampaikan bahwa komnas HAM masih berusaha melayangkan surat panggilan yang kedua untuk AM Hendropriyono (mantan danrem 043 Garuda Hitam Lampung), Try Soetrisno (Mantan Panglima ABRI) dan Wismoyo Arismunandar (Mantan Pangdam Diponegoro).

29 Maret s.d 1 April 2008
Komnas HAM melakukan penyelidikan ke Lampung untuk melakukan pendekatan ke institusi POLRI dan TNI serta institusi pemerintah lainnya di propinsi Lampung.

18 April 2008
Astro TV membuat program liputan untuk kasus Talangsari dengan tema “Sudut Pandang”.

14 Mei 2008
Komnas HAM merencanakan pemeriksaan saksi dari pihak kepolisian di Lampung Timur, namun karena ada kendala tehnis akhirnya pemeriksaan dibatalkan.

19-21 Mei 2008
KontraS bersama perwakilan keluarga korban melakukan pencarian saksi korban yang ada di Bali untuk dilakukan pemeriksaan BAP. Namun saksi korban yang bersangkutan tidak berhasil diketemukan, hanya bertemu dengan orang tua saksi yang sudah lama tidak pernah lagi bertemu dengan saksi (anaknya).

25 Juni 2008
Komnas HAM menemui ketua PN Jakarta Pusat untuk meminta mekanisme pemanggilan paksa terhadap para saksi dari mantan pejabat negara yang mangkir dari pemanggilan Komnas HAM. Dalam pertemuan itu, diterima
oleh ketua PN Andriyani Nurdin, namun permohonan pemanggilan paksa oleh Komnas HAM tidak dikabulkan.

12 Agustus 2008
Keluarga korban bersama KontraS melakukan audiensi ke Komnas HAM untuk kembali mempertanyakan perkembangan kasus Talangsari. Diterima oleh Komisioner Kabul Supriyadi dan disampaikan bahwa penyelidikan sudah selesai dan selanjutnya akan dibawa ke mekanisme paripurna pada tanggal 9 – 10 September 2008.


21-23 Desember 2008
Keluarga korban kasus Talangsari, orang hilang, Trisakti dan Semanggi dan tragedi Mei 1998 melakukan audiensi ke Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono. Dalam pertemuan tersebut,  keluarga korban  mempertanyakan
pernyataan menhan yang dinilai kontra produktif dengan upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Menhan meminta maaf kepada keluarga korban dan mendukung perjuangan keluarga korban.

6 – 7 Februari 2009
Keluarga korban bersama pendamping memperingati 20 tahun peristiwa Talangsari dengan menggelar Dzikir dan doa bersama di lokasi Talangsari. Setelah itu dilanjutkan dengan diskusi publik bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen Lampung dengan tema “prospek penyelesaian kasus Talangsri pasca pemilu 2009”. Hadir sebagai narasumber diantaranya Kabul Supriyadi (Komnas HAM), Suciwati (pembela HAM ) dan yati (Kontras) dan Ja
yus Bin Karmo (korban Talangsari).

17 – 20 maret 2009
Perwakilan korban Talangsari menghadiri dan mengikuti Kongres pejuang HAM di Wisma Makara UI Depok. Kongres tersebut menghasilkan Ikrar Pejuang HAM dan akan disosialisasikan ke publik melalui berbagai alat kampanye untuk merespon pemilu 2009.

19 – 21 April 2009
Perwakilan korban Talangsari menghadiri pertemuan korban dan Madress plaza de mayo.


Sumber:
http://serbasejarah.files.wordpress.com/2011/12/kronik-talangsari.pdf

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »