Nasional.-
NU
Ada Cipasung, Ada Pondok Gede
Tanpa izin polisi, Abu Hasan dan kelompoknya nekat mengadakan Muktamar
Luar Biasa di Pondok Gede, Jakarta.
TALI pengikat bola dunia itu agaknya sudah goyah. Dan ormas itu pun
sudah terbelah. Yang satu PBNU hasil Muktamar Cipasung, dan lainnya
PBNU hasil Muktamar Luar Biasa (MLB) di asrama haji Pondok Gede,
Jakarta, Rabu pekan lalu. Dua-duanya mengklaim sebagai ormas yang
paling benar dan konstitusional, dan menganggap yang lainnya tak sah.
Dua-duanya punya pengurus, punya program, punya backing massa NU, dan
sama-sama butuh pengakuan dari Pemerintah.
Bedanya, duet Abu Hasan - KH Abdul Hamid Baidlowi, masing-masing
sebagai Ketua Tanfidziyah dan Rais Am, hasil MLB Pondok Gede tak
mendapatkan pengakuan dari Pemerintah, sedangkan kepengurusan KH
Abdurrahman Wahid - KH Ilyas Rukhiyat, hasil Muktamar Cipasung,
mendapatkan pengakuan itu tapi hingga kini belum pernah diterima
beraudiensi oleh Presiden Soeharto.
Tapi apa pun, inilah bukti paling nyata bahwa tubuh NU kini sedang
meriang. Yang berhadapan adalah Gus Dur, cucu pendiri NU Hadratusy
Syekh Hasyim Asyari, dan H. Abu Hasan, pengusaha yang sebelumnya
menjadi orang kepercayaan Gus Dur.
Adalah hasil Muktamar Cipasung, Desember 1994, yang memporakporandakan
hubungan baik Gus Dur dengan Abu Hasan. Gus Dur, yang berhasil meraih
suara terbanyak dalam memperebutkan posisi Ketua Umum PBNU dan
kemudian menjadi formatur, tak memasukkan Abu Hasan -- yang menempati
perolehan suara kedua -- dalam susunan pengurus PBNU yang baru. Abu
menuduh Gus Dur memperoleh suara berlebih yang tak sah sehingga
memenangkan pertarungan. Selain itu, Abu menuduh pemilihan Wakil Rais
Am dilakukan dengan melanggar tata tertib muktamar. Karena itu
pengurus versi Muktamar Cipasung itu tak diakui Abu Hasan dan 142
cabang pendukungnya.
Kelompok ini kemudian memproklamasikan berdirinya KPPNU (Koordinasi
Pengurus Pusat NU), Februari tahun lalu. Di sisi lain, Abu Hasan juga
memperkarakan Gus Dur ke polisi sehubungan dengan ucapannya yang
menyebut-nyebut bahwa Abu Hasan pernah menerima komisi Rp 36 milyar
dari sebuah perusahaan Jepang yang membangun pelabuhan peti kemas di
Tanjungpriok.
Selanjutnya, dengan menggunakan kendaraan KPPNU, Abu Hasan berhasil
menggelar Konferensi Besar (Konbes) yang kemudian diubah menjadi MLB
di asrama haji Pondok Gede. Meski tanpa izin dari polisi, Abu Hasan
berhasil menghimpun dan mendatangkan 225 cabang dan 23 pengurus
wilayah untuk mengadakan kerepotan itu.
Yang menarik dalam acara Konbes mayoritas muktamirin, yang banyak di
antaranya kelihatan emosional, menghendaki MLB. Utusan dari Riau, yang
menghendaki agar diadakan islah lebih dulu dengan pengurus PBNU hasil
Muktamar Cipasung, sebelum melangkah ke MLB, tak mendapat tanggapan.
Akhirnya acara Konbes berubah menjadi MLB karena telah memenuhi
kuorum. Menurut MLB itu, lebih dua pertiga cabang dan wilayah hadir
sebagai peserta di Pondok Gede.
Dan seperti gampang diduga, Abu Hasan dan KH Abdul Hamid Baidlowi,
pemimpin pesantren di Lasem, Jawa Tengah , secara aklamasi terpilih
sebagai Ketua Umum Tanfidziyah dan Rais Am NU yang baru. Lalu KH Jafar
Awad, ulama dari Maluku, terpilih sebagai Wakil Rais Am. Ketiganya,
ditambah H. Attabik Ali dari Krapyak, Yogyakarta, dan T. Abdul Aziz,
Ketua PW NU Aceh, menjadi formatur yang akan menyusun kepengurusan
Pengurus Besar (PB) NU versi Pondok Gede.
Kepada para wartawan, Abu Hasan setelah terpilih sebagai Ketua Umum
PBNU hasil MLB Pondok Gede menyatakan kelompoknya sebagai PBNU yang
sah. "Yang dipimpin Abdurrahman Wahid itu sudah lebur," kata Abu
Hasan. Kepada Gatra Gus Dur bereaksi keras bahwa MLB di Pondok Gede
itu tak sah. Kenapa? Karena utusan yang datang tak mewakili pengurus
NU. "Muktamar Luar Biasa KPPNU itu adalah upaya untuk merusak hasil
Muktamar Cipasung," katanya. Dan KPPNU yang tak dapat izin itu,
menurut Sekjen PBNU Ahmad Bagja, sudah memposisikan diri untuk
berhadapan dengan Pemerintah dan orang-orang NU sendiri. Menurut
Bagja, aturan main yang berlaku menentukan MLB diusulkan oleh Syuriah
dan dilaksanakan oleh PBNU sendiri.
Namun kubu Abu Hasan jalan terus. Tim formatur yang terbentuk tadi
sedang menyusun pengurus lengkap PBNU versi ini. Ia merasa hasil MLB
Pondok Gede adalah final dan sah. Sementara itu Gus Dur bersikukuh
bahwa hasil Muktamar Cipasung-lah yang sah dan telah mendapatkan
pengakuan dari Pemerintah. Untuk sementara, Gus Dur memang masih di
atas angin. Soalnya, Menteri Dalam Negeri Yogie S.M. mengatakan bahwa
Pemerintah hanya mengakui PBNU hasil Muktamar Cipasung, dan hasil MLB
kelompok Abu Hasan tak sah. "Berdasarkan asas legalitas, tidak sah itu
tidak diakui," kata Yogie.
Perpecahan ini memprihatinkan banyak pihak. Tak cuma warga nahdliyyin
yang resah, sejumlah pengamat dan pejabat ikut pula menyatakan
keprihatinannya atas nasib ormas Islam terbesar yang berusia 60 tahun
itu. Sebuah organisasi, kata Mayor Jenderal Syarwan Hamid, Assospol
Kassospol ABRI, semestinya mempunyai mekanisme penyelesaian masalahnya
sendiri. "Kalau ia tak mampu menyelesaikan konflik yang ada di dalam
tubuhnya sendiri, lama-kelamaan saya kira pertentangan tentunya akan
memuncak." Karena itu pula Syarwan mengharapkan agar persoalan itu
dibahas bersama-sama dalam sebuah forum. "Sebaiknya para sesepuh
mengambil inisiatif menyelesaikannya," katanya. Tampaknya Syarwan tak
mempersoalkan pengurus mana yang sah, melainkan bagaimana
menyelesaikan kemelut yang timbul.
Presiden Soeharto tampaknya juga prihatin atas kemelut yang terjadi di
tubuh NU. Kepada wartawan, seusai diterima Presiden Soeharto di Istana
Merdeka, Kamis pekan lalu, Menteri Agama Tarmizi Taher mengatakan
bahwa Pemerintah memprihatinkan peristiwa tersebut. Pak Harto, menurut
Tarmizi, menegaskan bahwa Pemerintah tak berniat mengorbankan
organisasi sebesar NU. Nahdlatul Ulama amat berjasa memprakarsai
penerimaan asas tunggal Pancasila tahun 1984. Maka, Pemerintah
bersedia membantu menyelesaikan kemelut di tubuh NU tanpa bermaksud
mencampuri urusan internal NU. Tarmizi mengaku bersedia menjadi
mediator dua pihak yang berselisih bila diminta.
Tak cuma Pemerintah. KH Yusuf Hasjim, anak kandung Hasyim Asy'ari dan
paman Abdurrahman Wahid, merasa terpanggil untuk turut menyelesaikan
masalah. Untuk itu, Pak Ud, panggilan akrab KH Yusuf Hasjim, seperti
menanggapi imbauan Mayor Jenderal Syarwan Hamid, menyatakan hendak
mengumpulkan ulama senior NU se-Indonesia. Pak Ud malah menganggap apa
yang terjadi sekarang sudah lebih gawat ketimbang perpecahan antara
kubu Idham Chalid (Cipete) dan para ulama (kubu Situbondo), di tahun
1980-an. Ketika itu, penyelesaiannya melalui Muktamar Situbondo. Tapi
yang memilih pengurus dalam muktamar itu adalah sejumlah ulama senior
yang disebut ahlul halli wal aqdi. Maka naiklah Abdurrahman Wahid
menjadi Ketua Tanfidziyah NU. (Agus Basri, Nur Hidayat, Hidayat
Gunadi, dan Tuti Herawati)/GIS.-
Sumber:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/01/27/0066.html
EmoticonEmoticon