Ada Cipasung, Ada Pondok Gede

June 14, 2014
Majalah Berita Mingguan GATRA, 27 Januari 1966 ( No.11/II ). Rubrik :
   Nasional.-
   NU
   
                   Ada Cipasung, Ada Pondok Gede
   
   Tanpa izin polisi, Abu Hasan dan kelompoknya nekat mengadakan Muktamar
   Luar Biasa di Pondok Gede, Jakarta.
   
   TALI pengikat bola dunia itu agaknya sudah goyah. Dan ormas itu pun
   sudah terbelah. Yang satu PBNU hasil Muktamar Cipasung, dan lainnya
   PBNU hasil Muktamar Luar Biasa (MLB) di asrama haji Pondok Gede,
   Jakarta, Rabu pekan lalu. Dua-duanya mengklaim sebagai ormas yang
   paling benar dan konstitusional, dan menganggap yang lainnya tak sah.
   Dua-duanya punya pengurus, punya program, punya backing massa NU, dan
   sama-sama butuh pengakuan dari Pemerintah.
   
   Bedanya, duet Abu Hasan - KH Abdul Hamid Baidlowi, masing-masing
   sebagai Ketua Tanfidziyah dan Rais Am, hasil MLB Pondok Gede tak
   mendapatkan pengakuan dari Pemerintah, sedangkan kepengurusan KH
   Abdurrahman Wahid - KH Ilyas Rukhiyat, hasil Muktamar Cipasung,
   mendapatkan pengakuan itu tapi hingga kini belum pernah diterima
   beraudiensi oleh Presiden Soeharto.
   
   Tapi apa pun, inilah bukti paling nyata bahwa tubuh NU kini sedang
   meriang. Yang berhadapan adalah Gus Dur, cucu pendiri NU Hadratusy
   Syekh Hasyim Asyari, dan H. Abu Hasan, pengusaha yang sebelumnya
   menjadi orang kepercayaan Gus Dur.
   
   Adalah hasil Muktamar Cipasung, Desember 1994, yang memporakporandakan
   hubungan baik Gus Dur dengan Abu Hasan. Gus Dur, yang berhasil meraih
   suara terbanyak dalam memperebutkan posisi Ketua Umum PBNU dan
   kemudian menjadi formatur, tak memasukkan Abu Hasan -- yang menempati
   perolehan suara kedua -- dalam susunan pengurus PBNU yang baru. Abu
   menuduh Gus Dur memperoleh suara berlebih yang tak sah sehingga
   memenangkan pertarungan. Selain itu, Abu menuduh pemilihan Wakil Rais
   Am dilakukan dengan melanggar tata tertib muktamar. Karena itu
   pengurus versi Muktamar Cipasung itu tak diakui Abu Hasan dan 142
   cabang pendukungnya.
   
   Kelompok ini kemudian memproklamasikan berdirinya KPPNU (Koordinasi
   Pengurus Pusat NU), Februari tahun lalu. Di sisi lain, Abu Hasan juga
   memperkarakan Gus Dur ke polisi sehubungan dengan ucapannya yang
   menyebut-nyebut bahwa Abu Hasan pernah menerima komisi Rp 36 milyar
   dari sebuah perusahaan Jepang yang membangun pelabuhan peti kemas di
   Tanjungpriok.
   
   Selanjutnya, dengan menggunakan kendaraan KPPNU, Abu Hasan berhasil
   menggelar Konferensi Besar (Konbes) yang kemudian diubah menjadi MLB
   di asrama haji Pondok Gede. Meski tanpa izin dari polisi, Abu Hasan
   berhasil menghimpun dan mendatangkan 225 cabang dan 23 pengurus
   wilayah untuk mengadakan kerepotan itu.
   
   Yang menarik dalam acara Konbes mayoritas muktamirin, yang banyak di
   antaranya kelihatan emosional, menghendaki MLB. Utusan dari Riau, yang
   menghendaki agar diadakan islah lebih dulu dengan pengurus PBNU hasil
   Muktamar Cipasung, sebelum melangkah ke MLB, tak mendapat tanggapan.
   Akhirnya acara Konbes berubah menjadi MLB karena telah memenuhi
   kuorum. Menurut MLB itu, lebih dua pertiga cabang dan wilayah hadir
   sebagai peserta di Pondok Gede.
   
   Dan seperti gampang diduga, Abu Hasan dan KH Abdul Hamid Baidlowi,
   pemimpin pesantren di Lasem, Jawa Tengah , secara aklamasi terpilih
   sebagai Ketua Umum Tanfidziyah dan Rais Am NU yang baru. Lalu KH Jafar
   Awad, ulama dari Maluku, terpilih sebagai Wakil Rais Am. Ketiganya,
   ditambah H. Attabik Ali dari Krapyak, Yogyakarta, dan T. Abdul Aziz,
   Ketua PW NU Aceh, menjadi formatur yang akan menyusun kepengurusan
   Pengurus Besar (PB) NU versi Pondok Gede.
   
   Kepada para wartawan, Abu Hasan setelah terpilih sebagai Ketua Umum
   PBNU hasil MLB Pondok Gede menyatakan kelompoknya sebagai PBNU yang
   sah. "Yang dipimpin Abdurrahman Wahid itu sudah lebur," kata Abu
   Hasan. Kepada Gatra Gus Dur bereaksi keras bahwa MLB di Pondok Gede
   itu tak sah. Kenapa? Karena utusan yang datang tak mewakili pengurus
   NU. "Muktamar Luar Biasa KPPNU itu adalah upaya untuk merusak hasil
   Muktamar Cipasung," katanya. Dan KPPNU yang tak dapat izin itu,
   menurut Sekjen PBNU Ahmad Bagja, sudah memposisikan diri untuk
   berhadapan dengan Pemerintah dan orang-orang NU sendiri. Menurut
   Bagja, aturan main yang berlaku menentukan MLB diusulkan oleh Syuriah
   dan dilaksanakan oleh PBNU sendiri.
   
   Namun kubu Abu Hasan jalan terus. Tim formatur yang terbentuk tadi
   sedang menyusun pengurus lengkap PBNU versi ini. Ia merasa hasil MLB
   Pondok Gede adalah final dan sah. Sementara itu Gus Dur bersikukuh
   bahwa hasil Muktamar Cipasung-lah yang sah dan telah mendapatkan
   pengakuan dari Pemerintah. Untuk sementara, Gus Dur memang masih di
   atas angin. Soalnya, Menteri Dalam Negeri Yogie S.M. mengatakan bahwa
   Pemerintah hanya mengakui PBNU hasil Muktamar Cipasung, dan hasil MLB
   kelompok Abu Hasan tak sah. "Berdasarkan asas legalitas, tidak sah itu
   tidak diakui," kata Yogie.
   
   Perpecahan ini memprihatinkan banyak pihak. Tak cuma warga nahdliyyin
   yang resah, sejumlah pengamat dan pejabat ikut pula menyatakan
   keprihatinannya atas nasib ormas Islam terbesar yang berusia 60 tahun
   itu. Sebuah organisasi, kata Mayor Jenderal Syarwan Hamid, Assospol
   Kassospol ABRI, semestinya mempunyai mekanisme penyelesaian masalahnya
   sendiri. "Kalau ia tak mampu menyelesaikan konflik yang ada di dalam
   tubuhnya sendiri, lama-kelamaan saya kira pertentangan tentunya akan
   memuncak." Karena itu pula Syarwan mengharapkan agar persoalan itu
   dibahas bersama-sama dalam sebuah forum. "Sebaiknya para sesepuh
   mengambil inisiatif menyelesaikannya," katanya. Tampaknya Syarwan tak
   mempersoalkan pengurus mana yang sah, melainkan bagaimana
   menyelesaikan kemelut yang timbul.
   
   Presiden Soeharto tampaknya juga prihatin atas kemelut yang terjadi di
   tubuh NU. Kepada wartawan, seusai diterima Presiden Soeharto di Istana
   Merdeka, Kamis pekan lalu, Menteri Agama Tarmizi Taher mengatakan
   bahwa Pemerintah memprihatinkan peristiwa tersebut. Pak Harto, menurut
   Tarmizi, menegaskan bahwa Pemerintah tak berniat mengorbankan
   organisasi sebesar NU. Nahdlatul Ulama amat berjasa memprakarsai
   penerimaan asas tunggal Pancasila tahun 1984. Maka, Pemerintah
   bersedia membantu menyelesaikan kemelut di tubuh NU tanpa bermaksud
   mencampuri urusan internal NU. Tarmizi mengaku bersedia menjadi
   mediator dua pihak yang berselisih bila diminta.
   
   Tak cuma Pemerintah. KH Yusuf Hasjim, anak kandung Hasyim Asy'ari dan
   paman Abdurrahman Wahid, merasa terpanggil untuk turut menyelesaikan
   masalah. Untuk itu, Pak Ud, panggilan akrab KH Yusuf Hasjim, seperti
   menanggapi imbauan Mayor Jenderal Syarwan Hamid, menyatakan hendak
   mengumpulkan ulama senior NU se-Indonesia. Pak Ud malah menganggap apa
   yang terjadi sekarang sudah lebih gawat ketimbang perpecahan antara
   kubu Idham Chalid (Cipete) dan para ulama (kubu Situbondo), di tahun
   1980-an. Ketika itu, penyelesaiannya melalui Muktamar Situbondo. Tapi
   yang memilih pengurus dalam muktamar itu adalah sejumlah ulama senior
   yang disebut ahlul halli wal aqdi. Maka naiklah Abdurrahman Wahid
   menjadi Ketua Tanfidziyah NU. (Agus Basri, Nur Hidayat, Hidayat
   Gunadi, dan Tuti Herawati)/GIS.-
  


Sumber:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/01/27/0066.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »