Abu Hasan, MPA: Silaturahmi dengan Gus Dur Tidak Sekaligus Langsung Berarti Satu Barisan dalam NU

June 14, 2014
MUTIARA 
16 April 1997

TAMU KITA
Abu Hasan, MPA
      Silaturahmi dengan Gus Dur Tidak Sekaligus
Langsung Berarti Satu Barisan dalam NU

"Perseteruan" Abdurrahman Wahid dengan Abu Hasan berakhir setelah Gus
Dur - panggilan akrab Abdurrahman Wahid - bersilaturahmi ke rumah Abu,
Kamis (20/2) lalu. Banyak pihak menilai silaturahmi itu berkaitan
dengan upaya konsolidasi NU setelah melewati masa-masa penuh
goncangan. "Perseteruan" itu dimulai seusai Muktamar ke-29 Nahdlatul
Ulama di Cipasung, Jawa Barat, Desember 1994 lalu. Abu Hasan, yang
kalah 30 suara dari Gus Dur, membentuk PB NU tandingan. Gus Dur
menolak semua usul rekonsiliasi dengan tokoh kelahiran Sungai Penuh,
Kerinci, Sumatra Barat, 19 Juli 1934 itu.

Mutiara mewawancarai Abu Hasan berkaitan dengan silaturahmi yang
disambut baik banyak pihak itu, Kamis (27/2) lalu di kediamannya di
kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Menurut anak pasangan H. Abdul Aziz dan Hj. Djamaliah itu, peristiwa
silaturahmi dengan Gus Dur merupakan suatu event sangat penting bagi
perjalanan NU di masa mendatang. Silaturahmi itu dipercayainya dapat
menyelesaikan perpecahan yang sudah terjadi, baik yang bersifat
pribadi maupun organisatoris. Mantan guru SMA Negeri Sungai Penuh itu
memastikan, seluruh warga NU sangat mengharapkan peristiwa itu.

"Pak Kiai Gus Dur dengan saya sudah bisa bermaaf-maafan," kata Master
of Public Administration lulusan University of Pittsburg,
Pennsylvania, AS, itu.

Sebagai bukti keseriusan melupakan masa lalu, Abu menyatakan akan
mencabut semua pengaduan perkara atas pernyataan Gus Dur yang dianggap
mendiskreditkannya. Berkas perkara yang pernah disidik aparat
kepolisian dan kini masih berada di kejaksaan, tanpa setahu Gus Dur,
akan dicabutnya. Ganjalan itu kini sudah hilang, kata Abu. Peristiwa
saling memaafkan itu penuh keikhlasan dan disaksikan Allah SWT, Tuhan
kita Yang Maha Esa, kata suami W. Kemala Dewi itu.

Abu menyepakati penilaian Gus Dur, silaturahmi itu memang harus
dicapai. Bersatu itu lebih benar dari pada berselisih, kata ayah
Monong Gahela, Rachmat Utama, Pintanova, dan Miko Budi Satria itu.
Persatuan dan kesatuan dalam organisasi sebesar NU, merupakan akar
persatuan nasional. Perpecahan di tubuh NU pasti berdampak pada
persatuan nasional. Silaturahmi itu yang bermakna konsolidasi itu,
menurut Abu, didukung tidak hanya oleh warga NU. Tanggapan positif
dari pemimpin umat Islam dan non-Islam serta pakar politik terlihat di
berbagai media massa.

Tetapi...

Tetapi, kata penyuka olahraga golf itu, silaturahmi tersebut tidak
dapat langsung diartikan, ia sudah berdiri satu barisan dengan NU yang
kini dipimpin Gus Dur. Silaturahmi itu memang menuntaskan masalah
pribadi mereka. Tetapi masalah keorganisasian belum dibicarakan pada
kesempatan itu. Tetapi Abu tidak menolak bergandengan tangan Gus Dur.
Ia bahkan mengaku sedang menunggu. Ia kini menunggu ajakan Gus Dur ke
Jawa Timur -- berkaitan pada 2 dan 15 Maret nanti, NU akan
memperingati 1.000 hari meninggalnya ibunda Gus Dur, sekaligus
menggelar konferensi besar (konbes).

Abu mengaku siap diajak Gus Dur berziarah ke makam KH Hasyim Ashari
dan makam Sunan Ampel untuk melakukan tahlilan. Ia siap terlibat dalam
tradisi NU itu.

Menurut Abu, konsentrasi acara NU nanti banyak terpusat di kampung Gus
Dur, Jombang, selain di Malang. Pada acara itu, Abu menginformasikan
secara hati-hati, mungkin akan ada menteri yang datang.

NU itu demokratis, kata Abu. Maka dalam muktamar berikut tidak
tertutup kemungkinan, ia mencalonkan diri kembali sebagai ketua umum
PBNU. NU membutuhkan orang terbaik, kata anak pedagang kopi, gambir
dan tembakau itu. Secara organisatoris, pemilihan orang terbaik NU
ditentukan jamaah NU. Tetapi dalam waktu dekat ini, NU tidak mungkin
menggelar muktamar untuk menyatukan persepsi yang beberapa waktu lalu
terpecah-belah. Tetapi persatuan itu dapat dilakukan lewat musyawarah
atau konbes untuk menyatukan kehendak setiap warga NU, kata kontraktor
dan konsultan berbagai perusahaan itu.

Silaturahmi itu, dalam persepsi Abu, tidak berkaitan dengan kondisi
aktual NU belakangan ini. Silaturahmi itu tidak dibuat untuk
mengantisipasi isu adanya Operasi Naga Hijau yang mencoba menggembosi
NU. Abu bahkan mengaku sama sekali tidak mengetahui kebenaran isu
tersebut. Yang jelas, katanya, silaturahmi itu dilakukan karena
hubungan pertemanan.

"Gus Dur itu teman saya, yang punya niat bekerja sama dengan saya
sebaik-baiknya. Kami bersepakat. Itu pikiran kami berdua," kata Abu.

NU organisasi besar yang memiliki pengurus. Penguruslah yang secara
bersama-sama dapat menjelaskan kondisi NU saat ini, kata Abu. Posisi
NU di tengah masyarakat Indonesia, umat Islam secara khusus, tidak
dapat tidak ikut ditentukan oleh jumlah umat NU yang mencapai 54 juta
orang, kata Abu. Terlalu naif jika ada pihak mengatakan jumlah itu
tidak berarti apa-apa. Jumlah itu sangat strategis dalam Pemilu dan
proses pembangunan. Secara individual atau organisatoris, menurut Abu,
NU merupakan potensi kekuatan ekonomi yang dapat menyumbangkan
partisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara Indonesia.

Tetapi, Abu segera mengingatkan, NU tidak ikut dalam politik praktis.
Sudah cukup ada tiga OPP (organisasi peserta Pemilu). NU tidak ikut
campur dalam urusan itu, katanya. Tetapi setiap warga NU memiliki hak
menentukan sikap dan pilihan politik. Organisasi NU tidak
memanfaaatkan jumlah warga NU sebagai alat politik. Tetapi adalah juga
hak warga NU, jika mereka sepaham dengan para pemimpinnya saat
menunaikan hak dan kewajiban politis sebagai warga negara, kata Abu.

"Sikap demokratis NU bisa dilihat dengan keterlibatan beberapa
pemimpin NU di ketiga OPP. NU mandiri dalam percaturan sosial-politis
bangsa Indonesia. Juga berani. Maka biasa jika organisasi besar yang
mandiri dan berani sering terkena gebukan, karena juga diperebutkan
sana-sini," Abu berargumentasi.

Aneh

Abu mengaku kurang jelas memahami definisi aktual tentang Islam
kultural dan Islam struktural. Yang pasti, menurut Abu, NU menyadari
posisinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki
keberagaman. Warga NU memahami kerukunan beragama seperti yang
diamanatkan Pancasila. NU menerima Pancasila lebih dulu dari ormas
lain. Islam yang dipahami NU, menurut Abu, menghargai kerukunan
beragama dan menghormati pemerintahan yang sah. Islam sendiri, menurut
Abu, tidak mengajarkan perseteruan dengan umat lain. Hanya jika umat
Islam dihambat atau tidak diizinkan beribadah, mereka dapat menentang
pemerintah.

Itu sebabnya, Abu menyatakan sangat tidak setuju dengan berbagai
kerusuhan yang terjadi belakangan ini. Ia menyebutkannya sebagai
makar. Ia sangat prihatin melihat banyak gereja dan sarana umum lain
dirusak dan dibakar. Ia menganggap aneh jika umat Islam Indonesia
menganiaya dan mengintimidasi umat lain. Umat Islam, katanya, memiliki
keleluasan beribadah di Indonesia, sama sekali tidak perlu merasa
terancam.

Bagi Abu, setiap agama memiliki tujuan positif menurut rukun agama
masing-ma-sing. Maka setiap umat harus saling menghormati dan tidak
saling memaksa. Islam melarang umatnya mencaci-maki ketuhanan
kepercayaan lain karena akan mendapat perlakuan serupa. Itu sabda
Allah SWT dalam Al'quran, kata Abu. Bagi umat Islam Indonesia,
toleransi beragama itu dikuatkan dengan kesepakatan bersama memilih
Pancasila sebagai asas tunggal, Abu mengingatkan.

Abu menduga ada pihak yang memanfaatkan posisi Islam di Indonesia
untuk kepentingan tertentu. Itu tidak boleh, tidak Pancasilais,
katanya. Setiap umat harus memelihara kondisi rukun beragama. Bangsa
kita majemuk, itu harus dihargai. Nabi Muhammad tidak pernah melakukan
perang agama. Beliau sendiri, menurut Abu, berutang pada orang
Nasrani.

NU dan Muhammadiyah tidak memiliki perbedaan, kata Abu mengenai
hubungan kedua ormas Islam itu. Keduanya Islam. NU berhubungan baik
dengan KH Hasan Basri, ketua MUI, warga Muhammadiyah. Atau dengan
beberapa menteri yang dari Muhammadiyah, kata Abu mengajukan bukti.
Rukun beragama, menurut Abu, mencakup kerukunan intern. Keislaman
seseorang pun dinilai belum lengkap tanpa disertai keimanan terhadap
nabi-nabi sebelum Muhammad SAW. Itu juga menjadi dasar kerukunan
beragama.

Membangun PPP

NU adalah bagian terbesar yang membangun Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), kata Abu mengenai hubungan NU dan organisasi politik bergambar
bintang itu. Abu merujuk sosok Idham Chalid, yang dinilainya telah
membesarkan PPP. Hingga sekarang banyak warga NU mendukung PPP. Kini,
menurut Abu, pendukung PPP terbanyak berasal dari Muslimin Indonesia,
organisasi yang sebelumnya dipimpin ketua umum DPP PPP, Is- mail
Hassan Metareum, SH.

Menurut mantan kepala Sekretariat Daerah Jambi tahun 1957-1960 itu,
Indonesia tidak bisa dijadikan negara berasaskan Islam. Akan sangat
berbahaya, katanya yakin. Itu sebabnya Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) mengubah rumusan 'Ketuhanan Yang Maha Esa Berdasarkan
Syariat-syariatnya' dalam Piagam Jakarta. Rakyat Indonesia tidak hanya
beragama Islam. Maka Pancasila merumuskan ulang sikap religius rakyat
Indonesia dengan sila 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Indonesia
dimerdekakan dan dibangun umat semua agama. Keberhasilan pembangunan
itu hanya dimungkinkan jika masing-masing umat beragama bekerja sama,
kata Abu.

Adanya kelompok mayoritas dan minoritas merupakan fakta. Setiap
kelompok, entah kelompok politis atau agama, tentu berusaha
mempertahankan posisi sebagai mayoritas. Tetapi pihak mayoritas jangan
mengabaikan pihak minoritas. Jika kita mempertajam posisi antara yang
mayoritas dan minoritas, apalagi melakukan pemisahan, perpecahan
sebagai bangsa tidak terhindarkan lagi, Abu kembali mengingatkan.

-YI
-M/Don Hasman 
 
 
Sumber:
http://pcinu-mesir.tripod.com/arsips/kliping/iskliping/1997/970416b.txt 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »