KONFLIK RI – ORGANISASI PAPUA MERDEKA (OPM)
Muscat mengatakan, konflik muncul ketika adanya beberapa pemicu (triggers) dalam situasi yang tengah rentan terjadinya pertikaian.[8] Konflik ditimbulkan oleh adanya perbedaan politik dan ekonomi yang cukup mencolok antar dua kelompok. Sumber utama terjadinya kekerasan dalam konflik yang disebabkan oleh politik, etnis, dan budaya adalah tidak adanya pembangunan ekonomi yang bisa mengeleminasi kemiskinan.
William J. Dixon mengkategorikan konflik kedalam dua hal pokok. Pertama, konflik timbul dari pengakuan bersama atas kepentingan dan nilai-nilai dasar yang saling berbenturan. Kedua, konflik merupakan gambaran yang sangat jelas dari semua hubungan sosial.[9] Konflik yang berlangsung terus menerus dalam suatu Negara bisa disebabkan adanya krisi dalam pemerintahan termasuk tidak adanya tujuan perdamaian dalam resolusi konflik, kebijakan yang lumpuh, dan krisis kemanusiaan yang hebat.[10]
3.1. Latar Belakang Konflik
Sejak awal menjalankan administrasi pemerintah sebelum PEPERA maupun sesudah secara resmi Papua menjadi bagian Indonesia, pemerintah Indonesia memilih dan menggunakan pendekatan keamanan atau militer dengan dalih menegakkan kedaulatan Negara, mengikis habis gerakan yang dicap separatisme. Pendekatan keamanan merupakan pendekatan yang berpijak pada kerangka berfikir yang melihat persoalan Papua sebagai persoalan yang selalu bersifat keamanan. Secara prinsip tidak semua persoalan adalah masalah keamanan sebagai akarnya. Suatu masalah muncul bisa saja akibat ketidakadilan secara ekonomi atau politik, yang memicu ketidakpuasan local atau pusat.
Menurut Amich Alhumami, konflik Papua bisa dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi ekonomi dan politik.[11] Factor utama yang bisa menjelaskan dimensi ekonomi adalah eksploitasi sumber daya alam Papua yang tidak dirasakan oleh warga Papua. Kebijakan pemerintah pusat telah menghasilkan adanya kesenjangan kesejahteraan ekonomi diantara penduduk. Kekecewaan atas praktik marjinalisasi yang dilakukan pemerintah pusat membuat beberapa kelompok elit Papua untuk memperjuangkan kemerdekaan.
Tim Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesai (LIPI) membagi sumber konflik Papua dalam empat isu utama.[12] Pertama, sejarah integrasi, status dan identitas politik. Konflik Papua lebih didasarkan pada adanya perbedaan cara pandang antara nasionalis Indonesia dengan nasionalis Papua atas sejarah peralihan kekuasaan Papua dari Belanda ke Indonesia. Nasionalis Indonesia memandang penyerahan kekuasaan dan status politik Papua telah selesai dengan adanya PEPERA 1969 dan diterimanya hasil penentuan oleh Sidang Majelis Umum PBB. Sementara nasionalis Papua berpandangan proses PEPERA banyak terjadi kecurangan yang dilakukan pemerintah Indonesia termasuk dalam penentuan 1.025 perwakilan warga. Terlebih, nasionalis Papua berpegang pada insiden 1 Desember 1961.
Kedua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM. LIPI mecatat problem ini muncul sebagai ekses dari pandangan bahwa keutuhan NKRI adalah harga mati dan ide memisahkan diri merupakan tindakan melawan hukum yang kemudian didefinisikan secara militeristik sehingga upaya tersebut diartikan dengan menggunakan pendekatan keamanan sebagai solusi untuk mengakhiri “perbedaan”. Hasilnya, rakyat Papua mengalami kekerasan politik dan terlanggar hak asasinya akibat pelaksanaan tugas memerangi Organisasi Papua Merderka (OPM).
Ketiga, kegagalan pembangunan. Topic pembangunan menjadi isu utama yang menjadi akar konflik Papua dikarenakan adanya ketimpangan. Gap ekonomi dan pembangunan, jika dibandingkan dengan pembagunan daerah lain, lalu diskriminasi kebijakan pusat ke daerah, dan eksploitasi besar-besaran yang dilakukan terhadap kekayaan alam Papua adalah beberapa hal yang menjadikan pemerintah gagal melakukan pembangunan di Papua. Kondisi ini diperparah dengan adanya tingkat kecemburuan sosial yang tinggi antara penduduk asli dan pendatang atas penguasaan sector perekonomian.
Keempat, persoalan marjinalisasi orang Papua dan inkonsisten kebijakan otonomi khusus.
Marjinalisasi dapat dilihat pada aspek demografi, sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya. Apa yang dilakukan penduduk Papua termasuk dari sisi budaya sering diidentikkan dengan kegiatan separatism. Sedangkan dari bidang politik, terutama di era Orde Baru, orang Papua tercatat beberapa kali menduduki jabatan gubernur. Sedangkan inkonsistensi kebijakan otonomi dapat dilihat beberapa contoh kasus, seperti adanya pemekaran Propinsi Papua menjadi tiga bagian, yaitu Papua, Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah seiring dengan dikeluarkannya Inpres No 1. Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong, yang berisi implimentasi UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Secara hukum, pemekaran tersebut mengabaikan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua yang jelas mengamanatkan pemekaran propinsi Papua dilakukan atas persetujuan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan DPR Papua dengan memerhatikan kesatuan sosial budaya.
Secara singkat penulis menyimpulkan bahwa akar konflik Papua lebih banyak terjadi karena factor ekonomi dimana terjadi kesenjangan pembangunan dengan daerah lain, serta eksploitasi sumber daya alam Papua yang tidak mensejahterakan penduduk local. Konflik kemudian berakibat pada factor politik.
3.2. Struktur Organisasi Papua Merdeka[13]
Organisasi Papua Merdeka (OPM) berdiri tahun 1965, terfragmentasi dalam berbagai kelompok gerilya dan organisasi kecil serta tidak memiliki sistem komando yang terpusat dan sistem persenjataan yang cukup. Dasar pengorganisasian masih dipengaruhi oleh identitas kesukuan masing-masing anggota dan pemimpinnya. Pemimpin OPM yang terpopuler adalah Kelly Kwalik dari suku Amungme. Selain OPM, juga terdapat Tentara Pembebasan Nasional OPM (TPN-OPM) yang dibentuk saat kelompok OPM membentuk cabang militer yang berpusat di Papua pada tahun 1960-an. Organisasi ini dipimpin oleh Mathias Wenda dan memiliki 9 daerah perlawanan yang bersifat independen dan otonom.
Pada tahun 1963-1969, tujuan OPM ialah mempengaruhi hasil PEPERA agar hasilnya kemerdekaan melalui referendum (Singh 2008:12). Sejak tahun 1980-an, aksi OPM berupa penyerangan dan penyanderaan yang bersifat sporadic. Meskipun kekuatan OPM secara militer tidak signifikan namun member legitimasi bagi kehadiran TNI di Papua.
Bagi nasionalis Papua, OPM secara historis sinonim dengan perjuangan kemerdekaan. Namun saat ini, banyak orang yang tidak menganggap OPM adalah pusat dari perjuangan kemerdekaan rakyat Papua. Menurut Kivimaki dan Thorning (2004), secara tradisional, OPM terdiri dari dua fraksi yaitu kelompok Victoria yang dipimpin oleh Seth Rumkoren dan kelompok PEMKA (pemulihan keadaan) yang diketuai oleh Jacob Prai. Masing-masing kelompok memiliki sayap militer yaitu TPN merupakan sayap dari Victoria Group sedangkan PAPENAL (Pasukan Pembebasan Nasional) dari PEMKA group. OPM bersama aktivis Papua di Luar Negeri dan LSM radikal cenderung menggunakan strategi diplomasi internasional dan kehilangan kepercayaan untuk melakukan dialog. Praktik-praktik militer OPM dapat dilihat pada penyerangan-penyerangan terhadap pos-pos TNI di Tanah Papua pada masa Orde Baru.
Menurut Bilver Singh (2008:144-145), pasca rezim politik Orde Baru, perjuangan OPM adalah melakukan respons perubahan dengan membentuk “National Coallition” dan “United Fronts”. Salah satunya adalah pembentukan National Liberation Council (NLC), dipimpin oleh Amos Indey, Toto, dan Rumkoren. Dewan ini mengorganisir organisasi-organisasi massa yang sudah berdiri pada tahun 1960-an seperti Semangat Angkatan Muda Papua Anti-Republik Indonesia (SAMPARI), Operasi Organisasi Papua Merdeka (OOPM), dan Gerakan Nasional Papua (GNP). Pada Juni 2003, atas inisiatif Tom Beanal dan John Otto Ondawame, pertemuan pemimpin-pemimpin Papua Barat diselanggarakan di Niewegein, Utrecht, Netherlands untuk melakukan rekonsiliasi antar pejuang-pejuan Papua (Singh 2004:144). Pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan pertemuan di Lae, Papua New Guinea pada 28 November – 1 Desember 2005 yang menghasilkan berdirinya West Papua National Coallition for Liberation (WPNCL) yang bermarkas di Port Villa. Dewan ini memiliki sayap militer yang terpisah dari OPM yakni The West Papua National Liberation Armed Forces yang diketuai oleh Mathias Wenda (Singh:147).
Presidium Dewan Papua (PDP)
Menurut Thorning dan Kivimaki (2004), pembagian kelompok kemerdekaan dapat dibagi menjadi dua yaitu militant seperti OPM dan moderat yaitu PDP. PDP adalah lembaga politik pro-kemerdekaan yang dibentuk melalui Kongres Rakyat Papua kedua di Jayapura pada Mei-Juni 2000. PDP merupakan satu-satunya lembaga yang secara informal memiliki legitimasi politik, sosial, dan budaya secara luas dari masyarakat Papua. PDP membawahi panel Papua yang dibentuk di semua kabupaten dan diharapkan mewadahi aspirasi politik pro-kemerdekaan. Agenda utama PDP adalah pelurusan sejarah integrasi Papua dan memperjuangkan kemerdekaan Papua secara damai. Namun setelah tiga tahun berdiri, PDP banyak menghadapi kekerasan politik dan belum menunjukkan strategi politik yang jelas dalam menjalankan dua agenda politiknya. Lembaga ini diketuai oleh (alm) Theys H Eluay yang pernah menjadi anggota Fraksi Golkar DPRD Papua. Pasca terbunuhnya Theys, gerakan politik PDP menjadi lemah dan tidak signifikan dalam perjuangan rakyat Papua.
Dewan Adat Papua (DAP)
DAP bergerak dalam wilayah sosial budaya. Lembaga ini dibentuk untuk menghimpun berbagai pemimpin suku/adat dan menggunakan perjuangannya pada masalah-masalah hak ulayat dan kebudayaan Papua. Perjuangan utama lembaga ini adalah menegakkan hak-hak dasar rakyat Papua yang berkaitan dengan indigenous and community rights. Dibentuknya DAP adalah karena pengalaman rakyat Papua yang terkait dengan perusakan hutan, eksploitasi sumber daya alam oleh pihak luas dan pemiskinan rakyat Papua. Slogan yang diperjuangkan oleh DAP adalah “rakyat itu kaya tetapi miskin diatas kekayaannya”. DAP berjuang agar rakyat Papua mampu berusaha sendiri, menjadi tuan di negeri sendiri, dan menikmati kekayaan alam yang dimilikinya.
Ketua DAP pertam kali adalah Tom Beanal dengan dua Sekjend yaitu Sekjend DAP, Leo Imbri, dan Sekjend Pemerintah Adat, Fadhal Alhamid. Perbedaan dengan PDP adalah jika PDP bergerak dalam aspek politik perjuangan kemerdekaan Papua, maka DAP lebih memfokuskan pada aspek sosial budaya perlindungan hak-hak masyarakat asli Papua. DAP saat ini dipimpin oleh Forkorus Yaboisembut. DAP menjadi pelopor dalam demonstrasi pengembalian Otsus ke Pemerintah pada 12 Agustus 2005 dan menjadi panitia dalam peringatan hari bangsa pribumi pada 6 Agustus 2008 yang diwarnai oleh insiden pengibaran bendera bintang kejora.
3.3. Persoalan-persoalan dalam konflik Papua
Dalam konflik Papua terjadi berbagai persoalan-persoalan yang menurut penulis bisa diakatan telah melewati dari prinsip Hukum Humaniter baik dalam militer mapun pelanggaran, baik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia maupun pihak OPM. Berikut akan dijelaskan secara garis besar persoalan-persoalan yang terjadi.
3.3.1. Kebijakan Militer
Kebijakan militer yang terjadi baik pada masa integrasi Papua maupun pasca integrasi yang dilakukan pada era Orde Lama dan Baru. Sepanjang Orde Baru, Presiden Soeharto menggunakan pendekatan keamanan dalam mengatasi pemberontakan bersenjata di dalam negeri. Setidaknya terdapat beberapa jenis operasi militer yang terbilang besar, yaitu di Jayapura (1977-1978) dan pada 1996-1998 di Bela, Alama, Jila dan Mapenduma yang dilansir banyak pihak terjadi pelanggaran HAM. Rezim Orde Baru menjadikan Papua sebagai daerah kekuasaannya. Hal ini dikarenakan para petinggi militer telah menggunakan kekuatannya untuk mendominasi politik dan pemerintahan setempat.[14]
Pada prinsipnya, terdapat dua tipe operasi yang dilaksanakan TNI, yaitu Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Hal tersebut terinci dalam Pasal 7 ayat 2 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Kedua tipe operasi tersebut dibedakan menurut jenis ancaman yang dihadapi, OMP dikhususkan untuk menghadapi ancaman tradisional yang berupa kekuatan militer Negara lain, sedangkan OMSP dikhususkan sebagai operasi yang dapat bersifat mandiri maupun terpadu dengan instansi-instansi lain untuk menghadapi lawan yang berbentuk selain Negara.[15]
Pasca reformasi penempatan pasukan TNI di Papua masih dilakukan. Secara umum, gelar pasukan TNI di kawasan Papua bertujuan untuk menciptakan kondisi pertahanan terhadap daerah Timur Indonesia yang optimal.[16] Kebijakan operasi yang dilakukan oleh TNI di kawasan Papua telah mengalami perubahan. Upaya yang dilakukan oleh TNI bersifat pertahanan, berbeda dengan penekanan pada Orde Baru fungsi TNI di kawasan Papua dikhususkan untuk keamanan Internal.[17]
3.3.2. Pelanggaran HAM
Kehadiran Militer sebagai bagian dari upaya pengamanan setelah Papua menjadi bagian dari Indonesia tidak serta merta dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat Papua. Praktir-praktik kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan khususnya militer telah menimbulkan skeptisme dari masyaratkat terhadap institusi keamanan. Selama pelaksanaan Opersai yang dilakukan pada masa Orde Lama maupun Orde Baru, telah terjadi berbagai pelanggaran baik saat penangkapan, perlakukan terhadap tawanan maupun pelanggaran HAM lainnya. Berikut beberapa pelanggaran terhadap HAM yang pernah terjadi di Papua:[18]
- Pembunuhan Arnold Ap (1984) seorang antropolog pada masa Orde Baru. Dimana Arnold Ap diculik oleh tentara berpakaian preman dari kesatuan Kopassandha dengan mobil tanpa plat.[19]
- Pelanggaran HAM terhadap Suku Amungme di wilayah PT Freeport Indonesia oleh Militer Indonesia (1973-1995)
- Penyiksaan di Distrik Paniai dimana interograsi yang dilakukan oleh Militer terhadap warga Paniai dilakukan dengan tindakan kekerasan seperti merendam warga di parit atau menyiram dengan air dingin.
- Penembakan sewenang di Kemtuk-Sentani dan di Desa Madi. Penembakan tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap non kombatan.
- Pembunuhan ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay.
- Kasus Wamena. Kasus tersebut terjadi bermula dari pembobolan gudang senjata milik Markas Kodim 1702/Wamena, Jayawijaya pada 4 April 2003 oleh kelompok tak dikenal. Penyerangan tersebut menyebabkan dua orang tewas. Pihak kodim menduga penyerangan dilakukan oleh OPM di bawah pimpinan Yustinus Murib dari wilayah Kwiyawage, Distrik Tiom. Aparat TNI melakukan serangan balasan ke perkampungan dan pedesaan di Kabupaten Jayawijaya dimana terjadi perampasan benda seperti surat berharga, uang, anak panah, mesin ketik serta terjadi penangkapan, penyiksaan, penganiayaan, penembakan dan pembunuhan terhadap penduduk sipil.
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas baik mengenai Hukum Humaniter Internasional maupun Konflik RI-OPM maka penulis menyimpulkan beberapa point, antar lain:- Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata.
- Dalam konflik RI-OPM, Hukum Humaniter dapat diberlakukan karena OPM memiliki struktur Organisasi, atribut Keorganisasian, memiliki teritorial kekuasaan, memiliki kekuatan militer (walaupun kekuatan militer OPM tidak sebaik GAM).
- Konflik RI-OPM dilakukan oleh pihak Negara dengan organisasi yang memiliki struktur, kelengkapan militer, atribut organisasi, serta pembagian wilayah.
- Pada beberapa kasus dalam pelaksanaan operasi militer, militer Indonesia melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan pelaksanaan prinsip-prinsip Hukum Humantiter serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
- Penulis berpendapat antara RI dan OPM sebaiknya kedua pihak saling menghargai hak-hak penduduk sipil.
- Penyelesaian konflik RI-OPM yang berlarut-larut dapat saja terus menimbulkan pelanggaran-pelanggaran terhadap HAM.
Dalam hal ini, tidak semua konflik bisa diterapkan Hukum Humaniter Internasional. Hukum Humaniter Internasional dapat diterapkan apabila konflik yang terjadi dilakukan antaraNegara dengan Negara ataupu Negara dengan organisasi yang memiliki struktur serta atribut keorganisasian (militer, bendera, wilayah, dll).
DAFTAR PUSTAKA
Al Araf dkk, Sekuritisasi Papua: Implikasi Pendekatan Keamanan terhadap Kondisi HAM di Papua, Jakarta: Imparsial, 2011.AK, Syahmin, Hukum Internasional Humaniter 1, Bandung: Armico Bandung, 1985.
Donald, Horowitz L. Ethnic Group in Conflict. University of California Press Berkeley and Los Angeles, Califonia. University of Califonia Press.
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC,1999.
Kusumaatmadja, Mochtar, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bandung: Alumni, 2002.
Lund, Michael S., “Early Warning and Preventive Diplomacy,” dalam Chester A. Crocker. Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict (Washington, D.C : USIP Press, 1996).
Muscat, Robert J, Investing in Peace, How Development Aid Can Prevent or Promote Conflict, New York: ME Sharpe Inc, 2002.
Osbern, Robin, Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di Papua Barat, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2001.
Sagiman, Wahyu, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Lembaga Studi dan Advikasi Masyarakat, 2005.
Widjojo, Muridan S, Papua Road MAP: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future, Jakarta: LIPI, Yayasan Tifa, dan Yayasan Obor Indonesia, 2009.
Wonda, Sendius, Jeritan Bangsa, Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan, Yogyakarta: Galangpress, 2009.
Jurnal
Alhumami, Amich, The Political of Identity in Papua Secession Movement, The Indonesia Quarterly, Vol. 34 No. 2, Second Quarter, 2006.
Dixon, William J. “Third Party Techniques for Preventing Conflict Escalation and Promoting Peaceful Settlement”, International Organization, Vol. 50, Autumn, 1995.
Pedersen, Morten B. “The Crisis in Burma/Myanmar: Foreign Aid as a Tool for Democratization”, NBR Analysis, Vol. 15, 2004.
[1] Wahyu Sagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia, Jakarta: Lembaga Studi dan Advikasi Masyarakat, 2005. Hlm. 4
[2] Syahmin AK, Hukum Internasional Humaniter 1, Bandung: Armico Bandung, 1985. Hlm. 12
[3] Wahyu Sagiman,, Ibid, Hlm. 7
[4] Syahmin AK,, Ibid, hlm. 24-28
[5] Wahyu Sagiman,, Ibid, Hlm. 7-10
[6] Horowitz, Donald L. Ethnic Group in Conflict. University of California Press Berkeley and Los Angeles, Califonia. University of Califonia Press, Ltd. Hlm 95.
[7] Michael S. Lund, “Early Warning and Preventive Diplomacy,” dalam Chester A. Crocker. Managing Global Chaos: Sources of and Responses to International Conflict (Washington, D.C : USIP Press, 1996), hlm 384-385.
[8]Robert J Muscat, Investing in Peace, How Development Aid Can Prevent or Promote Conflict, New York: ME Sharpe Inc, 2002, hlm 139.
[9] William J. Dixon, “Third Party Techniques for Preventing Conflict Escalation and Promoting Peaceful Settlement”, International Organization, Vol. 50, Autumn, 1995, hlm. 655.
[10] Morten B. Pedersen, “The Crisis in Burma/Myanmar: Foreign Aid as a Tool for Democratization”, NBR Analysis, Vol. 15, 2004, hlm. 94.
[11] Amich Alhumami, The Political of Identity in Papua Secession Movement, The Indonesia Quarterly, Vol. 34 No. 2, Second Quarter, 2006, hlm. 102.
[12] Muridan S Widjojo, Papua Road MAP: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future, Jakarta: LIPI, Yayasan Tifa, dan Yayasan Obor Indonesia, hlm. 7-41.
[13] Muridan S Widjojo, Op. Cit., hlm 23-25.
[14] Sendius Wonda, Jeritan Bangsa, Rakyat Papua Barat Mencari Keadilan, Yogyakarta: Galangpress, 2009, hlm 108.
[15] Al Araf dkk, Sekuritisasi Papua: Implikasi Pendekatan Keamanan terhadap Kondisi HAM di Papua, Jakarta: Imparsial, 2011, hlm 99
[16] Al Araf dkk, OP. Cit., hlm 103.
[17] Al Araf dkk, OP. Cit., hlm 118.
[18] Al Araf dkk, Op. Cit., hlm. 145-161.
[19] Robin Osbern, Kibaran Sampari: Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di Papua Barat, Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2001, hlm. 319.
Sumber:
http://gumilaradinata13.blog.com/2012/01/30/konflik-ri-opm-dalam-perspektif-hukum-humaniter-internasional/
Sumber:
http://gumilaradinata13.blog.com/2012/01/30/konflik-ri-opm-dalam-perspektif-hukum-humaniter-internasional/
EmoticonEmoticon