Konflik Papua Bukti Ketidak-konsistenan Pemerintah Pusat

June 12, 2014

Konflik Papua Bukti Ketidak-konsistenan Pemerintah Pusat

a_aada_diskusi_papua_di_padang
http://www.beritanda.com/nusantara/kolom-nusantara/sumatera-barat/2690-konflik-papua-bukti-ketidak-konsistenan-pemerintah-pusat.html

PADANG, BeritAnda - Penyelesaian konflik Papua harus melalui dialog damai dan bukan melalui pendekatan milteristik menjadi bahasan utama dalam dialog publik yang mengangkat tema ‘Mendorong Partisipasi Masyarakat Sipil untuk Menggagas Dialog Jakarta – Papua untuk Terwujudnya Papua Yang Damai’ yang diselenggarakan Pusat Kajian Sosio-Budaya dan Ekonomi Universitas Negeri Padang (UNP), Sabtu (1/10/2011) di Gedung Pasca Sarjana UNP.

Pada kesempatan ini para pembicara yang hadir diantaranya Paulus Yohanes Sumino (DPD RI dari Papua), I Nyoman Sudira (Peneliti Parahyangan Centre for International Studies), Otto Syamsudin Ishak (LSM Imparsial) dan Mestika Zed (Sejarawan UNP).

Perwakilan DPD RI dari Papua, Paulus Yohanes Sumino menegaskan bahwa konflik yang ada di tanah Papua merupakan permasalahan yang muncul akibat kesalahan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan kemudian terjadi pembiasan kesalahan yang dibuat oleh 2 Gubernur yang ada di tanah Papua yang saling bersaing bukan untuk kemajuan tanah Papua.

“PT. Freeport hanya satu bagian dari berbagai potensi SDA yang ada di Papua. Namun masalah yang ada di PT. Freeport lebih dikarenakan kurangnya pemanfaatan tenaga lokal untuk dipekerjakan disana. Sedangkan pengamanan perusahaan tersebut diambil dari pihak TNI meskipun hal tersebut dibenarkan oleh UU untuk mengamankan aset devisa Negara,“ ungkapnya.

Paulus mengatakan, DPD RI asal Papua telah merekomendasikan adanya sebuah dialog Papua dengan Jakarta untuk menegaskan akan penanganan damai dari berbagai konflik di Papua tanpa pendekatan keamanan. “Dialog publik di Padang ini pun sebagai dorongan masyarakat publik untuk mendukung terlaksananya dialog Papua dengan Jakarta,” terangnya

Sementara itu, pembicara lainnya, I Nyoman Sudira mengatakan, konflik di tanah Papua sebenarnya memiliki beraneka ragam bentuk serta penyebabnya antara lain persaingan memperebutkan sumber daya dan kekuasan yang sering diklaim sebagai konflik pemisahan diri. “Konflik antara OPM dan Pemerintah Indonesia hanya bagian dari generalisasi yang diasumsikan sebagai konflik,” tuturnya.
Nyoman yang juga pakar konflik lulusan Helsinki Finlandia menilai, bahwa dominasi pendatang dari kelompok Bugis, Buton dan Makasar yang semakin menguasai perekonomian, sementara penduduk asli Papua menganggap dirinya harus menjadi raja di tanah kelahiran telah menimbulkan protes karena masyarakat asli Papua mulai takut akan kehilangan penghidupan dan berkeyakinan bahwa perlahan mereka tidak akan lagi menjadi tuan rumah di tanah kelahirannya.

Selain itu, Operasi Koteka yang dilaksanakan di Wamena pada akhir tahun 1970-an yang memaksa penduduk asli meninggalkan nilai-nilai traditional dan mengadaptasi cara hidup modern adalah sebuah pemaksaan tanpa tujuan yang bermuara pada penghinaan indentitas masyarakat lokal. “Selain itu, agresi seperti kehadiran investasi ekonomi dari individu dan modal besar seperti PT. Freeport serta penitrasi kekuatan birokrasi kekuatan birokrasi yang dikuasai pihak pendatang semakin mempertajam rasa teralienasi dan minoritas masyarakat Papua,” paparnya.

Nyoman pun menegaskan tuntutan referendum yang digalang oleh Forum Pemuda Mahasiswa Papua (FPMP) pada awal Maret tahun 2008 untuk menentukan status dan masa depan tanah papua dan perilaku heroik mereka dengan mengibatkan bendera Bintang Kejora hampir diseluruh tanah Papua adalah bukti nyata ungkapan ketidakpuasan rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia. “Namun respon Pemerintah terhadap konflik Papua kerap menggunakan sistem operasi jalan kekerasan yang hanya memperburuk suasana konflik antara lain Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bharatayudha (1967-1969), Operasi Tumpas (1983-1984),” terangnya.

Sedangkan, Otto Syamsudin Ishak menilai, permasalahan konflik di tanah Papua dari sisi sosiologis bahwasanya perlunya politisi secara sehat untuk penyelesaian konflik di Papua. “Situasi dan kondisi konflik di Papua berbeda jauh dengan konflik di Aceh,” jelasnya.

Gerakan separatis OPM di Papua, lanjutnya, tidak sebesar gerakan separatis GAM di Aceh dan SDM tidak sebanyak SDM di Aceh. Namun mengapa penyelesaian di Papua lamban dan tidak ada keseriusan oleh Pemerintah Pusat serta cenderung melalui pendekatan keamanan. “Pemerintah Pusat dalam penerapan kebijakan Otonomi Khusus tidak berjalan konsisten sehingga tujuan untuk mensejahterakan rakyat Papua pun tetap gagal,” ujarnya.

Menurut Otto, Papua terus dilanda konflik mulai awal integrasi hingga saat ini dan penggunaan pendekatan keamanan selama ini terbukti tidak menyelesaikan persoalan konflik bahkan mengakibatkan konflik di Papua kian mengakar dan berakibat pada pelanggaran HAM yang kerap dilakukan oleh aparat keamanan di Papua. “Sehingga untuk mewujudkan Papua tanah damai tidak diperlukan pendekatan milteristik,” tegas sosiolog asal aceh ini.

Sementara itu, Mestika Zed yang mengangkat tema Kasus Papua Belajarlah dari ‘Cara Baik Bung Hatta’ mengatakan, konflik Papua bagaimanapun adalah konflik dalam tubuh NKRI. Konflik tersebut awalnya merupakan bom waktu yang ditinggalkan Belanda setelah KMB tahun 1949. Pada 1960-an, konflik Indonesia-Belanda bergesar menjadi konflik pusat dan daerah (Papua). “Konflik tersebut ternyata menjadi semakin rumit dan berdimensi banyak,” tandasnya.

Dalam paparannya dijelaskan, apabila belajar dari peristiwa konflik internal yang terjadi di Sumatera pada perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, dimana Dwitunggal Soekarno Hatta menanggapi serius masalah tersebut dengan membagi tugas yakni Presiden Soekarno tetap di pusat Yogjakarta, sedangkan Wapres Hatta memilih tinggal di Sumatera (Bukittinggi).

Meskipun hubungan transportasi dan komunkasi pada saat itu masih amat sulit, namun Hatta melalui diskusi dengan pemimpin teras Sumatera dan mempertanyakan kemauan mereka. Hatta berhasil menyelesaikan friksi-friksi terhadap kebijakan pusat dan NKRI di Sumatera diterima sepenuh hati dengan dasar Negara telah hadir dalam sanubari rakyat.

“Konflik Papua pun dapat dituntaskan dengan dasar kesungguhan pusat untuk menyelesaikan konflik, apabila Wapres Boediono dapat melakukan hal serupa seperti Hatta dengan melakukan kebijakan langsung ke tanah Papua sehingga dipastikan akan muncul rasa NKRI yang demokratis dalam hati sanubari rakyat Papua,” pungkasnya. (FD)


Sumber:
http://www.imparsial.org/id/press-confrence/konflik-papua-bukti-ketidak-konsistenan-pemerintah-pusat.html

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »