Edisi 06/02 - 12/Apr/1997 |
Analisa & Peristiwa |
Wawancara Abdurrahman Wahid :
"Jangan Dikira Saya Sama dengan Mereka yang MengGolkarkan Rakyat"
Bukan Gus Dur namanya kalau tidak "nyeleneh". Dulu, menjelang terpilih kembali menjadi Ketua Umum PBNU di Muktamar Cipasung (1994), dia seperti dikucilkan pemerintah. Sehingga, jalan Gus Dur menuju kursi ketua umum NU sempat "seret" karena diganjal Abu Hasan yang konon didukung seorang pejabat tinggi pemerintah. Dugaan pengkucilan Gus Dur itu semakin tajam setelah Presiden Soeharto tak kunjung menerima audiensi kepengurusan Gus Dur. Toh rupanya angin cepat berbalik arah. Usai kerusuhan di Situbondo tahun lalu -- yang membuat posisi Gus Dur tersudut karena daerah itu adalah basis NU -- Gus Dur malah bertemu dan bersalaman dengan Pak Harto dan kemudian KSAD Jenderal Hartono yang dulu disebut-sebut pernah tak sepaham dengannya. Kini, hanya dua bulan menjelang Pemilu 1997, Gus Dur bergandengan dengan Mbak Tutut berkeliling ke pesantren-pesantren NU.
Sudah berubahkah pendiri Forum Demokrasi yang pernah sangat kritis pada pemerintah itu?
Pada Nong DM dan Ali Nur Yasin dari TEMPO Interaktif, Gus Dur menjelaskan bahwa ia hanya menyediakan panggung. Dan ingin memperkenalkan dan menampilkan Mbak Tutut, yang disebutnya "tokoh masa depan", kepada umatnya. Cucu pendiri NU ini juga tidak mau disamakan posisinya dengan Rhoma Irama atau Zainuddin MZ, yang jelas-jelas ingin menggolkarkan umat Islam. "Saya mengundang Mbak Tutut sebagai pribadi dan bukan atas nama Golkar," jelasnya.
Lepas dari itu, "pentas bareng" Gus Dur-Mbak Tutut ternyata membuat blingsatan Buya Ismail Hasam Metareum. Sebagai Ketua Umum PPP, Buya merasa bahwa Gus Dur secara terang-terangan telah menggembosi PPP. Bukanlah Gus Dur namanya kalau tak punya jawaban. Dia tangkas, cerdas, dan selalu bisa menjelaskan langkahnya. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di rumahnya di Ciganjur, dan dilanjutkan esok harinya, di mobil Gus Dur yang meluncur dari rumahnya menuju Kantor PBNU di Jalan Kramat Raya, Selasa pagi (7 April 1997)
Bagaimana Anda menanggapi pernyataan Buya Ismail bahwa manuver Anda menggandeng Mbak Tutut selama ini adalah usaha menggembosi PPP?Dia salah. Karena dia melihat bahwa apa yang menguntungkan Golkar itu merugikan dia juga. Dia tidak melihat bahwa apa saja yang kita lakukan itu menguntungkan Golkar kalau Golkar menggunakannya. Dan PPP bodoh karena tidak bisa menetralisirnya. Kalau PPP pintar melihat peluang-peluang, itu nggak ada masalah. Karena Golkar sendiri punya masalah-masalah intern cukup berat yang belum tentu memungkinkan Golkar memanfaatkan momentum perkenalan atau komunikasi antara Mbak Tutut dengan NU. Belum tentu Golkar bisa menerjemahkan lho, karena Golkar juga kaku.Maksudnya manuver Anda tidak begitu berpengaruh karena kondisi Golkar yang dilanda masalah intern berat itu?Ya, tergantung. Bisa berpengaruh, bisa juga tidak.Tapi bukankah pengaruh Anda sebagai Ketua PBNU sangat besar untuk dapat merekrut massa NU ke Golkar?Ya, tergantung, apakah Golkar mampu atau tidak. Kalau Golkar bisa mengidentifikasi diri dengan PBNU, katakanlah dengan orang seperti saya, mereka akan punya banyak pengaruh di bawah. PPP 'kan mestinya menetralisir dengan cara melakukan upaya ikut mengidentifikasi diri dengan orang-orang NU di bawah saya. Tapi mereka malah marah-marah, dan lari ke ke tokoh-tokoh masa lampau yang sudah nggak laku.Ada yang mengatakan manuver Anda itu karena dulu Anda kecewa karena orang NU tak mampu merebut jabatan Ketua Umum PPP?Apa urusannya. Kita dari awal sudah enggak perduli PPP mau dipegang oleh siapa.Selama ini apa yang dilakukan PPP untuk mendekati NU?Ya, dicari kyai-kyai NU yang nurut sama Buya. Susah kan.Buya Ismail bilang, bukti bahwa Anda menggembosi PPP adalah Anda membawa Tutut ke daerah-daerah NU yang merupakan basis kuat PPP?Yang dibilang basis kuat PPP itu daerah mana. Sidoarjo bukan basis PPP yang kuat, saya tahu persis. Buya Ismail itu 'kan cuma numpang. Yang dia bilang basis kuat PPP itu basisnya NU. Jadi terbalik. Jadi saya membawa Tutut ke basis NU. Saya tidak membawa Tutut ke Pasuruan, karena di sana warga NU-nya erat sekali dengan PPP. Tapi kalau Sidoarjo bukan basis PPP. Lihat saja hasil pemilu yang lalu. Saya 'kan kenal orang satu- persatu, Buya 'kan nggak kenal. Apakah dia kenal Shaleh Kosim, Rois Syuriah Sidoarjo, Haji Manap, atau ketua NU, pasti dia nggak kenal. Bahkan sampai ke tingkat bawahpun, saya kenal. Gus Ali Mashuri dari Tulangan, Kyai Mujib, dan banyak lagi. Enak saja Buya ngomong seperti itu. Itu semua kyai-kyai yang saya tahu sudah tidak lagi berpegang pada PPP. Mereka sudah memegang khittah, melepaskan diri dari PPP. Sebetulnya kyai-kyai yang masuk PPP atau masuk ke Golkar, itu masih khittah minus.Apa maksudnya?Ya, mereka itu sudah tahu, tetapi masih ngotot saja. Kayak Kyai Alawy (Muhammad dari Bangkalan yang sangat membela PPP) itu.Di kalangan NU, seberapa banyak kyai yang termasuk khittah minus itu?Jumlahnya tidak sebanyak yang sudah bebas (memegang khittah, Red.). Anda tahu, kyai yang datang ke Sidoarjo adalah Kyai Baqir Adlan, Rois Syuriah NU cabang Lamongan. Ia sangat fanatik terhadap PPP. Tapi karena ia kyai yang jujur dan khittahnya tidak minus, ia datang di Sidoarjo, dan mengikuti acara itu sampai akhir. Malah ia merasa, NU sangat dihargai karena kedatangan Mbak Tutut. Apalagi waktu itu Mbak Tutut berbicara, tidak mengatasnamakan Golkar. Tidak terang-terangan mengajak untuk mencoblos partainya. Kyai yang sangat fanatik PPP itu, malah senang. Jadi jangan mengira, kyai-kyai NU di PPP itu kayak Buya Ismail. Masih ada kyai-kyai seperti Kyai Mashuri, yang memimpin dan membuka istighasah di Semarang. Ia orang PPP dan wakil ketua NU di Jawa Tengah.Apakah kerusuhan di Pekalongan baru-baru ini tidak menjadi indikasi bahwa basis NU di PPP masih kuat?Tidak ada urusan dengan itu. Di Pekalongan itu ada kyai PPP yang ngomporin (membakar, Red.) orang banyak untuk ribut dengan Golkar. Lalu pemerintah daerah kurang antisipasi. Jadi meledak. Kalau dari awal PPP sudah dipesan tidak boleh pidato di Pekalongan, tidak akan ada apa-apa. Juga PPP sendiri tidak bisa mengontrol anak buahnya. Sudah begitu, Buya bilang enggak ada urusan dengan PPP. Itukan pernyataan yang gombal sekali. Namanya tidak punya tanggungjawab moral. Saya, walaupun di Situbondo orang NU melakukan kerusuhan itu bertentangan dengan program NU, bertentangan dengan jiwa NU, tapi saya bertanggung jawab moral. Itu tanggung jawab saya karena mereka warga NU. Harusnya 'kan begitu.Bagaimana dengan kyai dan warga NU yang tidak setuju dengan manuver Anda?Biarkan saja, walau orang nggak setuju. Mayoritas 'kan setuju, lantas mau apa. Kita tawarkan dan bebas-bebas saja. Kita tawarkan kepada NU Jawa Timur, mau bikin ini, dijawab iya. Yang menetapkan itu mereka bukan saya. Kemarin, kita juga dapat permintaan lagi dari pihak Mbak Tutut, jadi saya tawarkan bagaimana dengan Jawa Timur. Akhirnya akan diadakan di Madiun (pada 12 April ini). Jadi dengan kata lain, mereka bisa menerima secara sukarela. Saya hanya menawarkan saja. Nggak ada perintah-perintah itu. Daerah Yogya nggak mau, ya sudah.Buya Ismail menghimbau agar Anda menghentikan "pentas bareng" Mbak Tutut ini....Buya memangnya apa saya, kok berani merintah-merintah. Saya mengundang siapa, apa urusannya dengan dia. Ngempanin (memberi makan, Red.) saya juga dia nggak pernah, enak aja nyetop-nyetop. Seandainya saya jadi Buya Ismail, saya akan bilang, saya mendukung statement Gus Dur di Semarang. Terima kasih PPP masih dipercaya NU. Begitu dong. Ini malah marah-marah dan minta dihentikan. Kurang canggih dia main politiknya.Jadi anda akan jalan terus?Kata Kennedy, presiden Amerika, kemenangan memiliki seratus babak. Kekalahan adalah anak yatim. Kalau Buya karena ulahnya sendiri bikin PPP kalah, itu jangan minta orang menangis untuk dia.Apakah anda juga mengundang PPP dan PDI?PPP itu sudah memanfaatkan NU nggak tanggung-tanggung. Apa sih yang nggak (dimanfaatkan). Coba saja hitung, semua pengurus tarekat NU sudah diambil PPP. Mulai Kyai Idham Khalid sampai Pak Yusuf Hasyim sudah diambil PPP, begitu juga Kyai Maimun Zubair. Jadi kurang apa NU ini. Event-event NU semua sudah dipakai oleh PPP, seperti khaul, manaqib kubra, itu sudah diambil PPP. Begitu kok masih ngomel saja, itu berarti nggak bersyukur.Dalam wawancara dengan majalah Forum (edisi 21 April 1997) Anda bilang Anda ini hanya menyediakan panggung untuk Mbak Tutut. Terserah mereka mau memanfaatkannya atau tidak, apa maksudnya?Itu 'kan buat Mbak Tutut pribadi. Anda lihat sendiri, saya tidak mengundang pimpinan Golkar yang lain. Kecuali pengurus Golkar setempat.Tapi atribut dan simbol yang dipakai 'kan milik Golkar?Mana? (Gus Dur agak marah). Di panggung, nggak ada yang berbau Golkar. Yang ada cuma atribut NU. Yang pakai atribut Golkar itu acaranya Tutut dengan Rhoma Irama dan Zainuddin MZ. Lain dengan yang saya pakai. Majalah Forum telah keliru. Dikira saya sama dengan mereka (Rhoma dan Zainuddin, Red.) yang jelas-jelas mau mengGolkarkan masyarakat.Figur Mbak Tutut 'kan tidak bisa dipisahkan dari Golkar?Lha iya. Tapi kita bukan program Golkar. Kita itu mencoba memfasilitasi munculnya tokoh baru. Apakah ia nanti akan melejit di bidang politik, perusahaan, ekonomi atau kemanusiaan, itu tergantung dia. Mau jadi birokrat, menteri, tokoh nasional yang top atau wakil presiden, itu urusan dia. Bukan urusannya NU. Kami tidak mendukung atau menolak, itu urusan dia.Tapi mengapa harus Mbak Tutut?Gampang sekali jalan pikirannya. Pak Harto akan akan mengakhiri karir beliau, tentu ada yang ingin melanjutkan dari keluarganya. Ya kita sediakan panggung. Kalau meminjam istilah Jawa, pancatan atau batu pijakan. Terserah dia bisa memanfaatkan atau tidak. Nah, dengan demikian beliau menjadi lega. Leganya Pak Harto itu penting untuk stabilitas nasional pada saat-saat seperti ini, menjelang Pemilu dan sidang umum MPR. Jadi langkah ini jelas alasannya, terbuka, gamblang, rasional, dan bisa dimengerti semua orang. Bahwa apakah dengan itu saya dianggap punya komitmen dengan si A atau si B, itu urusan yang menilai.Tapi pernyataan Anda bahwa Tutut adalah tokoh masa depan itu dianggap mendukung Tutut untuk menjadi wapres. Bagaimana menurut anda?Itu urusan proses politik. Kita bukan orang politik. Yang dilakukan NU itu kerja yang sifatnya pengembangan sistem politik yang ada, dengan memunculkan orang-orang. Itu harus selalu ada. Dulu, kita dukung juga Sarwono, Siswono, Akbar Tanjung, ya tokoh-tokoh muda semua. Urusan ia menjadi wapres atau tidak, bukan urusan NU. Kami hanya mengatakan bahwa mereka itu tokoh yang potensial, yang perlu diperkenalkan kepada warga NU guna memungkinkan Mbak Tutut mengetahui perasaan-perasaan masyarakat. Begitu juga masyarakat, khususnya warga NU harus tahu, apa sih pandangan para tokoh-tokoh di atas, seperti Mbak Tutut. Jadi wajar-wajar kok, cukup rasional dan terbuka seluruhnya.Apakah langkah Mbak Tutut menggandeng Anda bertujuan menaikkan suara di wilayah Golkar yang menjadi binaannya?Bisa saja motifnya begitu. Coba saja anda lihat sekarang. Undangan saya ini 'kan sudah dua tahun. Saya kemukakan di rapat-rapat NU. Sebab waktu itu kita melihat dengan dipasangnya Mbak Tutut sebagai salah seorang ketua DPP Golkar, dia akan ke "atas" larinya. Makanya kita undang. Itu waktunya bersamaan dengan Megawati juga, tapi Mbak Tutut menjawabnya sekarang. Itu artinya, undangan kita untuk momentum yang membawa keuntungan bagi Golkar. Yah, itu pintar-pintarnya dia. Jadi nggak boleh marah. Itu pintar-pintarnya dia.Apakah dekatnya anda dengan mbak Tutut sekarang, membawa pengaruh pada PBNU dan umat NU?PBNU sih enggak ada urusan. Kita kan hanya mengundang orang danorang itu mau, ya, sudah. Nggak ada pengaruh apa-apa.Tapi posisi Anda di mata pemerintah 'kan berubah, Anda dulu dianggap berlawanan dengan pemerintah.......Dulu yang menganggap saya oposan itu salah. Sekarang yang menganggap saya itu plin-plan juga salah. Saya tetap saya yang dulu. Nggak ada urusan. Ngomong saya juga masih seperti yang dulu.Apakah Anda masih dekat dengan kelompok pro demokrasi?Sampai sekarang saya masih tetap pejuang demokrasi dan masih ketua kelompok kerja Forum demokrasi. Kemarin saya diwawancarai radio Ramaco,"Kalau anda pro demokrasi berarti anda berjuang untuk hak asasi manusia?" Saya jawab, oh iya dong. Siapa sih yang secara konstan selalu meminta hak asasi manusia itu di hormati di Indonesia. Siapa sih yang secara konstan, teratur, dan sungguh-sungguh minta pemerintah ini memberikan pemerintahan yang jujur dan terbuka pada rakyat. Siapa yang secara konstan meminta supaya seluruh warga negara tidak ada pandang bulu terhadap agama, ras atau apanya, itu diberi status yang sama di muka hukum. Saya nggak galak-galak dan ngomongnya biasa-biasa aja. Kalau yang namanya gerakan demokrasi yang pintar begitu, tapi ada juga yang galak, dan yang lembut. Itu baru namanya perpaduan yang bagus.Bagaimana Forum Demokrasi menanggapi manuver Anda?Nggak ada masalah. Pada prinsipnya kita bertemu dua minggu sekali. Saya tetap beri penjelasan apa yang saya pikirkan dan apa yang saya kerjakan. Didiskusikan, kadang disetujui, kadang tidak. Tapi persetujuan atau tidak, itu tidak penting. Tidak mengikat saya sebagai ketua umum NU. Selaku ketua kelompok kerja Forum Demokrasi, mungkin ada pengaruh. Paling himbauan dan kritikan, dan itu saya perhatikan. Kalau forum suaranya sama, itu namanya paduan suara.Kelihatannya, akhir-akhir ini Anda hati-hati dan tidak begitu kritis lagi?Siapa bilang. Saya dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Sama saja ngomongnya. Ngomong seperti: di Golkar ada perpecahan intern, itu 'kan memang omongan "atas". Itu omongan yang apa adanya. Saya itu tidak mau melebih-lebihkan. Orang berharap saya mau galak, kalau nggak begitu dibilang saya berubah. Ya sudah. Ngeladenin orang memang susah. Yang penting saya damai dengan hati saya.Bagaimana Anda menanggapi pendapat orang bahwa Anda sekarang sudah berubah?Yang penting pendirian saya masih tetap seperti dulu. Kita tidak bisa biarkan negara ini menjadi negara kekuasaan. Ini harus menjadi negara hukum. Kedaulatan hukum harus ditegakkan. Saya, dari dulu sampai sekarang, tidak berubah. Apakah sekarang saya dianggap plin-plan, terserah. Saya damai dengan hati saya. Dan saya rasa, rakyat saya paham. Buktinya rakyat menyambut. Dan rakyat saya bukan rakyat NU saja, yang non muslim juga. Saya memperjuangkan segala-galanya untuk memperjuangkan mereka. Bahkan saya sampaikan bahwa pengertian mayoritas dan minoritas pengertiannya sudah nggak benar seperti yang kita pahami sekarang. Harus dirumuskan dalam bentuk yang lain. Jadi non muslim plus NU itu sudah ikut saya. Begitu juga orang Islam yang tidak termasuk gerakan Islam, misalnya, pengikut Kejawen. Mereka juga ikut saya. Karena yang mewakili Islam itu bukan gerakan Islam tapi asal orang beragama Islam. Jangan mempersoalkan Islamnya model ini atau itu.Jadi Anda sudah tidak mempersoalkan identitas lagi?Dari dulu saya begitu. Makanya saya tertawa ketika ABRI dan sipil dipertentangkan. Wong saya temannya ABRI semua.Apa yang ingin Anda capai dengan semua manuver ini?Pencerahan. Mengapa? Bangsa kita masih terkotak-kotak, masih menggunakan simbol-simbol usang dan feodal. Mana mungkin kita bisa maju? Mana mungkin kita sebagai bangsa bisa mengembangkan modernitas yang sesungguhnya? Bukan modernitas semu. Modernitas hamburger atau blue jeans. Tapi sikap hidup yang modern, dalam arti orang yang modern itu orang yang mampu memecahkan segala masalah dengan sumber-sumber daya yang kita miliki. Termasuk kerukunannya, persamaan haknya di muka hukum dan lain-lain. Jadi sekali lagi saya tidak berubah. Saya tetap sama seperti dulu. Tidak ada perubahan.Bagaimana anda menanggapi persepsi orang bahwa anda berubah?Saya tidak perduli, sebodo amat mau dianggap apa. Saya punya rakyat sendiri, rakyat NU. Dimana saya datang, mereka teriak-teriak "Gus Dur..... Gus Dur", mereka berebut salaman. Mereka pergi jauh, naik truk puluhan kilometer. Seperti kemarin di Malang, itu ada yang datangnya dari perbatasan Blitar yang jaraknya jauh sekitar 80 km. Saya jadi terharu melihat itu. Yang mereka perlukan itu jelas: kebebasan, hak-hak mereka dihormati sebagai warga negara dan dihormati pula hak mereka mau nyoblos yang mana. Saya jelaskan kepada mereka, kenapa saya mengundang Mbak Tutut. Saya jelaskan apa yang harus kita lakukan di depan bupati tanpa tedeng aling-aling. Nggak ada masalah. Saya sudah melakukan kerja saya. Makanya, kepada orang-orang yang selama ini ngeritik saya, saya katakan: kerja saja, jangan ribut-ribut. Kok sama teman sendiri saja ribut.
Copyright © PDAT |
Sumber: http://tempo.co.id/ang/min/02/06/utama1.htm |
EmoticonEmoticon