TNI Bantai 4.000 Warga Papua
Jumat, 25 Oktober 2013 00:01Sejumlah laporan menyebut warga Papua dipaksa melakukan hubungan badan di depan umum. Tak hanya itu, lembaga tersebut juga mengabarkan militer saat itu menyiksa para perempuan dengan mengiris payudara mereka dan memenggal kepala para bocah yang tak berdosa.
Dari riset yang dilakukan AHCR dengan mewawancara para saksi, mengumpulkan bukti di lapangan dan mengkaji literatur sejarah, terungkap bahwa lebih dari 10.000 warga Papua tewas akibat penyiksaan, penyakit, dan kelaparan. “Ada 4.416 nama korban tewas yang berhasil diidentifikasi,” tulis dokumen laporan tersebut, seperti dilansir ABC News dan The Sydney Morning Herald.
Laporan ini juga menceritakan beberapa peristiwa mengerikan di pedalaman Papua yang dilakukan militer RI saat itu. Diceritakan dalam suatu waktu, penduduk desa di daerah Bolakme diberi tahu akan mendapat bantuan dari Australia yang dijatuhkan dari atas, tetapi justru kemudian dibom menggunakan pesawat dari Amerika.
Yang menyesakkan lagi, AHCR juga menyebut dalam laporannya tentang betapa menderitanya warga Papua saat itu yang secara sadis diperlakukan seperti binatang. Pasukan militer dengan tega membakar dan merebus mereka hidup-hidup. Operasi militer ini dilancarkan untuk membendung upaya kelompok separatis Papua mencari merdeka dari RI, khususnya setelah Pemilu RI tahun 1977.
Dalam laporan berjudul ‘The Neglected Genocide - Human Rights Abuses Against Papuans in the Central Highlands, 1977 – 1978’ (Pembantaian yang Terabaikan- Pelanggaran HAM terhadap Warga Papua di Daerah Pedalaman Tengah, 1977-1978) ini, AHCR menyebut sedikitnya 10 petinggi TNI saat itu ikut bertanggung jawab atas penyerangan dan tindakan brutal pasukannya di Papua. Mereka inilah yang telah memerintahkan atau tidak mencegah kekerasan yang dilakukan berbagai batalyon.
Sayangnya, AHCR belum menyebut eksplisit siapa 10 nama jenderal TNI yang dianggap bertanggung jawab dalam serangan di era orde baru itu. Direktur Kebijakan dan Program AHCR, Basil Fernando, hanya menyatakan bahwa sejumlah nama tersebut, beberapa di antaranya masih memegang jabatan penting militer Indonesia saat ini.
“Yang paling bertanggung jawab dan harus diadili pengadilan HAM adalah mantan Presiden Soeharto,” demikian Basil kepada ABC. Maklum, Soeharto kala itu menjabat sebagai Presiden RI merangkap Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia –sekarang TNI- dan Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhamkam).
Ia menyatakan, tindakan brutal pasukan TNI saat itu bisa digolongkan sebagai genosida. Genoside merupakan tindakan pembantaian besar-besaran secara sistematis untuk memusnahkan suatu suku bangsa atau kelompok.
Karenanya, AHCR menyerukan agar dunia tidak melupakan kekejaman militer terhadap warga di Bumi Cenderawasih yang terjadi puluhan tahun lalu. Mereka mendesak dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar masyarakat internasional meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua.
Siapa kira-kira yang harus bertanggungjawab? Penelusuran Berita Metro, mengungkap sederet nama yang menduduki jabatan penting di struktur TNI/Angkatan Bersenjata RI pada periode 1970-1980 kala itu. Mereka di antaranya, Jenderal TNI (Purn) Maraden Panggabean yang menjabat Panglima ABRI menggantikan Soeharto periode 1973-1978. Maraden diduga merupakan paman dari Ruhut Sitompul, politisi vokal dari Partai Demokrat.
Adapun Panglima Daerah Militer Cenderawasih dijabat Brigjen TNI (Purn) Acub Zaenal selama periode 1970-1973. Pencetus berdirinya klub sepakbola Arema Malang ini menggantikan Pangdam sebelumnya yang diduduki Brigjen TNI (Purn) Sarwo Edhie, mertua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang lengser dari jabatannya pada 2 Februari 1970. Lalu pada 2 Juni 1973, Brigjen TNI (Purn) Kisrad Soetrisno dilantik menggantikan posisi Acub Zainal.
Laporan AHCR ini langsung mendapat reaksi dari pihak Istana Negara. Staf Khusus Presiden bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah memang mengaku belum membaca laporan dari AHCR tersebut. Namun begitu, ia sudah meragukan laporan yang mendiskreditkan Pemerintah dan militer RI juga Australia dan AS itu.
Meski belum membaca isi laporan, Teuku sudah lebih dulu mempertanyakan pokok pikiran dan metodologi yang diterapkan AHCR dalam penelitiannya. “Saya juga belum membaca laporannya dan ada baiknya ini juga dikonfirmasi kepada pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI),” demikian disampaikan Faizasyah ketika dihubungi, Kamis (24/10).
Teuku menjelaskan, peristiwa yang terjadi pada tahun 1977 dan 1978 sudah sangat lama sehingga mengungkap kembali hal tersebut harus dengan cermat dan dilakukan dengan metode yang terukur. Hanya pemberitaan di media massa online menurutnya tidak cukup. “Mereka menjadikan sumbernya siapa kita belum tahu,” katanya lagi.
Selain Istana Negara, Pemerintah Asutralia selaku pihak yang ikut dicatut dalam laporan AHCR ikut angkat bicara. Satu hal yang ditanggapi serius Pemerintah negri jiran itu yakni terkait sokongan militer Australia berupa helikopter serbu yang diberikan kepada pasukan TNI untuk membasmi masyarakat di pedalaman Papua kala itu.
Dalam pernyataan tertulisnya yang dilansir ABC News, Departemen Pertahanan Australia menyatakan, militernya hanya membantu pasukan TNI dalam survei dan pemetaan wilayah Irian Jaya pada tahun 1976 hingga 1981.
Nah, Helikopter Iroquois, Caribou, Canberra serta Hercules C-130 Hercules Australia turut digunakan untuk melakukan operasi tersebut di Irian Jaya. "Markas besar operasi tersebut berlokasi di Bandara Udara Mokmer di Pulau Biak," demikian rilis Dephan Australia.
Selain itu, Departmen Pertahanan juga meminta AHCR dan pihak-pihak yang menyudutkan militer Australia dalam kasus di Papua itu agar membuktikan laporannya di Mahkamah Internasional. Juru bicara Dephan Australia bidang luar negeri dan perdagangan mengatakan mereka tidak dalam posisi untuk memberikan komentar mengenai situasi di Papua pada periode 35 tahun yang lalu.
Menurutnya, kebijakan Pemerintah Australia saat ini terhadap Papua sudah jelas yakni mengutuk semua kejahatan kemanusiaan terhadap warga sipil maupun kejahatan yang dilancarkan kepada personil keamanan.
”Situasi HAM saat ini di Propinsi Papua tidak seperti yang digambarkan didalam laporan AHRC. Permohonan apapun untuk mengakses catatan Departemen Pertahanan selama periode yang dimaksudkan harus ditujukan kepada Lembaga Arsip Nasional sesuai ketentuan arsip tahun 1983,” sebut Jubir Dephan Australia. (abc/smh/kc/arw/hab)
Sumber:
http://www.beritametro.co.id/nasional/tni-bantai-4000-warga-papua
EmoticonEmoticon