Di dalamnya ada intimidasi, paksaan, manipulasi oleh RI agar Papua masuk menjadi bagian wilayahnya, demi kepentingan ekonomi. Kira-kira, begitulah dapat kita baca dari berbagai buku karangan para peneliti dan tokoh Papua.
Pendapat di atas tentu berbeda dengan yang kita pelajari di bangku sekolah, dari SD hingga perguruan tinggi di Indonesia.
Sejak Papua dipaksa bergabung dengan Indonesia, Papua memang jadi daerah konflik. Saat ini, media massa Indonesia heboh, lantaran TPN-OPM membunuh 8 anggota TNI dua tempat berbeda, Tingginambut dan Puncak Jaya. Banyak orang berkomentar, menganggapi berita tentang terbunuhnya 8 orang TNI itu.
TPN-OPM vs TNI
Seperti dimuat pada media ini, Andreas Harsono, konsultan Indonesia untuk Human Right Watch (HRW) mengatakan, pembunuhan yang terjadi terkait 8 anggota TNI yang dibunuh tersebut masuk pada kategori armed konflict.
"Bila TNI baku tembak dengan OPM, ia tak masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia, tapi masuk dalam kategori armed conflict. Mereka masing-masing adalah combatant. Mereka mengikuti hukum perang alias Geneva Convention," kata dia.
Menurutnya, pelanggaran hak asasi manusia adalah kriminalitas yang dilakukan oleh aktor-aktor negara. Kalau tentara pukul warga sipil, ia tentu pelanggaran. Juga, kalau ada gerilyawan OPM pukul warga sipil, entah asli atau pendatang, maka ia disebut pelanggaran hak asasi manusia. Kita bisa minta pemimpin OPM bertanggungjawab, sama dengan kita bisa minta panglima TNI bertanggung jawab, katanya pada media ini, Sabtu (23/1).
Sementara itu, Natalis Pigai, anak Papua yang bekerja di Komnas HAM Indonesia juga melontarkan hal yang senada dengan Andreas Harsono. Namun apa yang diterima? Ancaman! Ia diancam, dan dituntut meminta maaf atas perkataannya.
Menurut Ottis Simopiaref dalam tulisannya berjudul, Dasar-Dasar Perjuangan Kemerdekaan Papua, ia menjelaskan, setidaknya ada 4 hal yang mendasari orang Papua, termasuk TPN-OPM berjuang memisahkan diri dari NKRI.
Pertama, Hak. Kedua, Budaya. Ketiga, Realita Sejarah. Keempat, Realitas saat ini. Dalam tulisannya itu, ia menjelaskan, bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, dan oleh karenanya, penjajah Indonesia harus mengakui kedaulatan bangsa West Papua, sebagai sebuah bangsa yang berhak merdeka, menentukan nasib sendiri.
Separatis?
TPN-OPM dikenai label separatis. Bukan hanya mereka, masyarakat Papua pada umumnya yang berjuang menegakkan hak-hak dasarnya sebagai manusia sering dikenai label yang sama.
Instilah separatis adalah istilah yang dikenakan kepada kelompok yang oleh negara yang sah dianggap pemberontak, yang ingin memisahkan diri dari negara yang sah berdiri. Lantas, pantaskah ada label separatis untuk pejuang Papua? Pantas!
Indonesia merdeka tahun 1945. Pada 18 Agustus, ia menetapkan batas wilayah hanya dari Sabang sampai Ambonia tidak termasuk Papua. Baru 15 tahun kemudian, ketika Soekarno yang mengikuti leluhurnya, Gadjah mada yang ekspansionis dan imperialis, ia berniat menganeksasi Papua karena di Papua, ada kekayaan alam yang menjajikan.
Sebelumnya, di Papua, sejarah mencatat setidaknya ada 12 partai yang memperjuangkan kemerdekaan West Papua dari tangan Belanda. Sebuah bukti yang kuat, betapa keinginan bangsa Papua untuk bebas telah ada. Puncaknya, 1 Desember 1961, bendera Bintang kejora dikibarkan. Lagu Hai tanahku Papua dikumandangkan. Proklamasi tidak dibacakan, dengan alasan akan dibacakan ketika West Papua berdiri secara penuh dari Belanda.
Sayang. 18 Hari setelah itu, pada 19 Desember, Soekarno mengumandangkan Trikora. Ini menandai ekspansi militer, dan pelanggaran HAM besar-besaran yang sampai saat ini belum digali. Ketika itulah, sayap militer West Papua mengundurkan dir ke hutan, dan mulai melancarkan serangan-serangan.
Jelas bagi kita kini, bahwa TPN-OPM berjuang untuk eksistensi mereka yang diinjak-injak oleh Trikora, atas dasar sejarah yang ada. Apakah pantas mereka disebut Separatis di atas negeri mereka, negeri West Papua? Bila demikian, bukankah malah Indonesia yang harusnya malu, karena menjadi tamu tak diundang yang merampoki hak kemerdekaan orang Papua di atas tanah mereka? Mungkin kita memandangnya dari dua kacamata berbeda.
Akar Konflik: Betul Kesejahteraan?
Semua tahu nyanyian dan kicau pemerintah RI di Jakarta. Untuk menutupi realitas sejarah manipulatif yang kontraversial itu, mereka berargumen, bahwa Papua bergejolak karena kesejahteraan mereka belum diperhatikan.
Mereka berargumen, yang ingin Papua Merdeka itu hanya segelintir orang dengan segudang kepentingan mereka. Betul demikian? Mereka berargumen, bahwa kkonflik di Papua selesai ketika kesejahteraan ada di Papua.
Saya kira, semua tahu, dan sekarang bukan jamannya lagi untuk bertele-tele bahwa benar akar konflik di tanah Papua yang utama adalah masalah kontraversi sejarah. Masalah referendum (pepera) tahun 1969 yang tidak sesuai kode etik yang sesungguhnya. Mengenai pelaksanaan Pepera di bawah tekanan dan ancaman, hingga yang menjadi hasil Pepera tidak sesuai keinginan sebagian besar orang Papua.
***
Konflik seperti ini, antara TPN-OPM vs TNI akan tetap ada. Keamanan di Papua akan terus terganggu. Orang Papua yang terus dirugikan, karena akan tetap hidup dalam ketakutan dan kekuatiran di atas tanah mereka. Sementara TNI Polri cukup enak juga, karena uang keamanan mengalir deras dari waktu ke waktu ke kantong mereka.
Mengakhiri tulisan ini, kiranya beberap hal mestinya diperhatikan, yaitu: Pertama, Akses untuk jurnalis dan wartawan asing harus dibuka, agar semua yang terjadi di tanah Papua dapat diekspos. Ini penting, untuk menciptakan kontrol publik terhadap kinerja pemerintah dan aparat keamanan di Papua oleh publik.
Kedua, segera membuka ruang dialog antara Indonesia dan Papua. Dalamnya ada pembahasan mengenai kontraversi sejarah. Bila memungkinkan, gelar referendum ulang untuk orang Papua.
Ketiga, tuntaskan penanganan atas pelanggaran-pelanggaran HAM oleh RI terhadap orang Papua.
Bila tak ada langkah-langkah di atas ( setidaknya niat untuk dialog), maka secara sempit dapat dikira, RI sengaja menciptakan konfik (membuat kontraversi sejarah di masa lalu), menjadikan itu sebagai sumber konflik abadi (karena tak ada sikap dari RI untuk ingin menyelesaikannya, dari dahulu hingga kini.
Jangan bilang Otsus dan UP4B, karena itu produk Indonesia, bukan keinginan Orang Papua. Orang Papua ingin dialog pelurusan sejarah dan referendum ulang secara bermartabat) dan kemudian terus memeliharanya tanpa penyelesaian, sementara pengeksploitasian kekayaan alam Papua terus berjalan seiring waktu.
Bila demikian, jelas itu adalah situasi yang terus membuat orang Papua terpojok dan sulit berkembang di tengah penciptaan realita sosial politk yang carut marut, di atas realita ekspolitasi SDA.
Topilus B. Tebai adalah mahasiswa Papua, tinggal di Yogyakarta
Sumber:
http://majalahselangkah.com/content/mengerti-konflik-di-papua
EmoticonEmoticon