Jumat, 28 Februari 1997
KARANGAN KHAS
Gus Dur-Abu Hasan Rujuk?
Oleh Zamhuri
KEMBALI Gus Dur melakukan manuver politik yang mencengangkan banyak
orang. Walaupun pertemuan dengan rivalnya, Abu Hasan, dalam rangka
silaturahmi, tak urung apa yang dilakukan oleh Gus Dur dan Abu
Hasan sarat muatan politis. Hal itu diakibatkan Abu Hasan selama
ini dikenal sebagai pesaing NU di bawah kepemimpinan Gus Dur. Sejak
Muktamar Cipasung, baru kali ini terjadi pertemuan antara Gus Dur
dan Abu Hasan.
Pertemuannya dengan Abu Hasan melengkapi serangkaian manuver Gus
Dur yang dilakukan sejak paro terakhir tahun 1996. Mulai dari
imbauan kepada Megawati untuk menghentikan tindakan konfrontasi
dengan Pemerintah, pertemuan dengan Pak Harto, pertemuan dengan
KSAD di Asembagus Situbondo, duduk satu majelis dengan Amien Rais
(Ketua PP Muhammadiyah), rencana rapat akbar bersama Mbak Tutut,
bahkan dia juga diam-diam melakukan pertemuan dengan Sekjen ICMI Dr
Adi Sasono (Suara Merdeka, 24/2).
Pertemuan Gus Dur-Abu Hasan merupakan berkah bagi nahdliyin. Betapa tidak, seusai Muktamar 1994, perseteruan antara Gus Dur dan Abu Hasan tak kunjung padam. Perseteruan itu tidak hanya membuahkan NU tandingan (KPPNU), tapi Abu Hasan juga menuntut Gus Dur ke Kepolisian, karena dianggap mencemarkan nama baiknya dalam rapat tim formatur. Sampai akhirnya nama KPPNU mulai meredup.
Apa yang dilakukan oleh Gus Dur belakangan ini memang berbeda dari
tindakan Gus Dur sejak terpilih lagi sebagai Ketua Tanfidiyah,
tahun 1994. Tindakan Gus Dur yang mulai menjauhi sikap konfrontatif
dinilai oleh Arbi Sanit sebagai sedang mendekati poros kekuasaan.
Lalu apa sasaran Gus Dur sebenarnya? Adakah kaitannya dengan
beberapa manuver Gus Dur yang dilakukan belakangan ini? Jika ada,
mengapa Gus Dur melakukan manuver politik yang cenderung melunak?
Target NU
Pertemuan Gus Dur dengan Abu Hasan tentu mempunyai implikasi
politik tertentu. Setidaknya, pertemuan tersebut memberikan
anggapan pertikaian Gus Dur-Abu Hasan mempunyai peluang untuk
diselesaikan. Sekaligus memberikan indikasi Gus Dur merupakan
pemimpin NU yang betul-betul mempunyai jiwa besar. Karena jarang
seorang pemimpin mau mengalah mengunjungi rivalnya untuk
silaturahmi, apalagi pemimpin partai politik.
Langkah Gus Dur yang mulai mendekati tokoh-tokoh kekuasaan bukan
berarti dia telah kehilangan kekritisannya terhadap penguasa.
Langkah tersebut sebetulnya hanya ingin menunjukkan bahwa Gus Dur
dan NU-nya bisa bekerja sama dengan siapa saja.
Sebagai jam'iyyah diniyyah yang banyak berada di lapisan bawah, Gus
Dur ingin menunjukkan NU mempunyai sikap dan karakter tersendiri
dalam berhubungan dengan kekuasaan. Bahkan, eksistensi NU yang tak
hanya berbasiskan masyarakat agama, tetapi juga sebagian besar
hidupnya masih terbelakang, harus diperjuangkan oleh para pemimpin
NU.
Karena memiliki massa yang relatif masih terbelakang, Gus Dur tidak
menginginkan umatnya hanya menjadi rebutan dari kepentingan politik
kelompok tertentu. Karena itu, dia mempunyai pola dan target
tertentu dalam memperjuangkan umatnya Sejak Khittah 1926, dalam
internal NU memang belum memiliki kesamaan pandangan. Itu karena
garis perjuangan NU selalu ditafsirkan kembali oleh setiap tokoh NU
dari waktu ke waktu.
Belum adanya kesamaan dalam menafsirkan hakikat khittah itu
menjadikan NU sering dilanda konflik-konflik internal. Hal itu
terutama terjadi karena di antara para tokoh NU terdapat tiga
kelompok, yaitu syuriah, cendekiawan, dan politikus. Kelompok
politikus yang mempunyai patron klien dengan kekuatan politik di
luar NU berusaha untuk menjadikan NU sebagai basis legitimasi
keberadaannya.
Tak jarang usaha kaum politikus NU yang berusaha menggiring warga
ke arah kepentingan politik tertentu akan menimbulkan konflik
dengan faksi lain di tubuh NU. Konflik antarfaksi itu menyebabkan
NU selalu menjadi tarikan antarkepentingan dan kelompok. Apalagi
jika kelompok tersebut mempunyai akar politik di luar NU.
Pada sisi lain, keberadaan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua
Tanfidiyah memiliki otoritas untuk menerjemahkan makna khittah itu.
Keberadaannya yang multikompleks, menyebabkan Gus Dur berjalan
bebas sendiri di masyarakat yang ma yoritas masih awam dengan
dinamika politik kontemporer. Langkah Gus Dur yang sebenarnya
biasa, bisa mengundang berbagai spekulasi dan banyak tanggapan.
Kebijakan para pemimpin NU yang didominasi oleh pemikiran kuat Gus
Dur, menyebabkan apa yang dilakukan oleh NU identik dengan tingkah
lakunya. Hal itu menyebabkan makin tidak jelas orientasi perjuangan
NU. Karena orang tidak bisa memahami ide dan pemikiran pemimpinnya.
Ada tiga kecenderungan gerakan yang dilakukan oleh para pendiri NU.
Pertama, berciri pada gerakan dan pemikiran (nahdhatul fikar).
Gerakan itu lebih menonjol di era kepemimpinan Gus Dur. Kedua,
gerakan pendidikan dan politik kebangsaan (nahdhatul wathon).
Ketiga, gerakan pemberdayaan ekonomi kerakyatan (nadhatul tujjar).
Namun tidak semuanya ketiga ciri gerakan NU tersebut menjadi harga
mati yang harus dilakukan oleh NU. Dalam rangka memperjuangkan
gerakan-gerakan tersebut, NU di bawah kepemimpinan Gus Dur
cenderung untuk mewujudkan ketiga ciri gerakan tersebut. Keberadaan
NU tidak bisa dilepaskan dari kebijakan utama (major decision)
politik penguasa. Sejak ICMI berdiri (8 Desember 1990), kebijakan
tersebut cenderung tersentral pada lobi-lobi politik yang dilakukan
oleh ICMI di bawah kepemimpinan Habibie.
Keberadaan ICMI yang mendominasi arus pemikiran penguasa itu
relatif menegasikan keberadaan kekuatan organisasi massa di luar
ICMI. Indikasi itu bisa kita amati dari struktur kekuasaan yang
didominasi oleh orang-orang yang mempunyai relasi dengan kekuatan
ICMI.
Begitu banyak orang ICMI yang menduduki pos-pos strategis dalam
struktur kekuasaan, makin membuat kekuatan organisasi lain
-termasuk NU- marjinal secara politik. Apalagi perkembangan
kepolitikan mutakhir, ICMI cenderung dijadikan sebagai "bus
politik'' untuk mengakses kepentingan politik tertentu. Walaupun
argumen itu selalu dibantah oleh ICMI, secara real ICMI tidak bisa
mengelak dari tuduhan tersebut.
Kehadiran ICMI yang tidak memiliki akar kuat ke bawah itu,
menyebabkan kebijakan Pemerintah kurang memiliki sandaran yang kuat
dalam masyarakat. Kebijakan politik Pemerintah kurang sempurna
dalam merepresentasikan kepentingan massa yang memang sangat
plural.Dalam kaitan menaikkan daya tawar NU, Gus Dur melihat
peluang tersebut. Bukan berarti dia ingin menandingi kekuatan ICMI
dalam memperebutkan jabatan politik. Itu karena orientasi
perjuangan Gus Dur tak pernah diarahkan untuk itu.
NU yang memiliki mayoritas massa lapisan bawah, hanya menunjukkan
identifikasi perjuangan NU yang sebenarnya. Bahwa NU merupakan
kekuatan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Sehingga dapat dipahami bila selama ini Gus Dur selalu kritis
terhadap pusat-pusat kekuasaan. Itu karena kecenderungan arah
kebijakan penguasa tidak memihak pada masyarakat. Konsistensi Gus
Dur dalam memegangi sikap kritisnya rupanya menimbulkan resistensi
dengan penguasa. Itu dibarengi dengan kemampuan NU era Gus Dur
dalam melewati berbagai rintangan dan kendala, baik dari internal
maupun eksternal. Mulai NU tandingan sampai aksi kerusuhan di
Situbondo dan Tasikmalaya.
Resistensi itu dibarengi dengan bentuk kesadaran baru dari arah
kebijakan politik penguasa belakangan ini. Indikasi tersebut
terekam dengan jelas makin mengendur dukungan penguasa kepada ICMI.
Perbelokan arah itu bisa dilihat dari dinamikan internal ICMI yang
tidak lagi toleran pada kelompok kritis di tubuh.
Makna Pertemuan
Arah dan kebijakan Gus Dur yang selalu komitmen pada usaha-usaha
untuk memberdayakan masyarakat tidaklah mudah. Selain itu,
perjuangannya dalam melakukan demokratisasi dari bawah juga akan
mendapatkan tantangan politik mainstream top down. Usaha-usaha Gus
Dur pada pemberdayaan masyarakat itu relatif berbenturan dengan
kepentingan "arus atas''. Benturan kepentingan tersebut menyebabkan
kehadiran Gus Dur yang berkesan oposan menjadi bumerang bagi NU.
Sepak-terjang Gus Dur dalam memimpin NU penuh dengan intrik-intrik
politik yang bisa mengancam kedudukan posisinya sebagai pemimpin
NU.Dalam perputaran arus kekuasaan, Abu Hasan sebetulnya tidak
diperhitungkan lagi oleh kekuatan ekternal yang menjadi patronnya.
Hal itu terasumsi dari kekuatan KPPNU bikinan Abu Hasan tidak mampu
menggoyang kepemimpinan Gus Dur.
Namun karena kemurahan hati Gus Dur, pertemuannya dengan Abu Hasan
bisa terjadi. Langkah Gus Dur itu sekaligus menggugurkan banyak
spekulasi ketidakdemokratisannya dalam mengakomodasi Abu Hasan. Di
samping itu, menandakan dalam tubuh NU sebenarnya tidak pernah
terjadi dualisme kepemimpinan. Karena legitimasi kepemimpinan dalam
tubuh ormas itu tidak ditentukan oleh penguasa, tetapi legitimasi
dari umat dan mendapatkan restu dari para kiai (sesepuh). Kekuatan
massa itu yang acapkali juga mudah untuk dimobilisasi untuk
kepentingan politik tertentu.
Namun bukan berarti Abu Hasan tidak memiliki kekuatan sama sekali.
Penguasaan aset ekonomi Abu Hasan merupakan potensi yang besar bagi
NU. Potensi itulah yang dapat dioptimalkan untuk mengangkat derajat
ekonomi jamiyyah nahdhliyyah. Pertemuan antara Gus Dur dan Abu
Hasan membuka peluang untuk mengakhiri konflik di tubuh NU,
sekaligus menggalang dan merapatkan barisan agar solid. Apakah
pertemuan itu sebagai pertanda rujuk? Tampaknya perlu untuk diuji
pada tindakan yang lebih lanjut dan nyata. Sebab, bagaimanapun Abu
Hasan merupakan aset NU.(18a)
-Zamhuri, staf pada Lembaga Studi Agama dan Pembangunan, kini
sedang menyelesaikan karya tulis tentang NU.
Sumber:
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/03/07/0142.html
EmoticonEmoticon