FREEPORT MENAMBANG MINERAL, RAKYAT PAPUA MENDULANG KEKERASAN

June 12, 2014


FREEPORT MENAMBANG MINERAL, RAKYAT PAPUA MENDULANG KEKERASAN – KEMATIAN JENDERAL KWALIK DAN JALAN PANJANG KETIDAKADILAN
Freeport, Pemerintah dan Aparat Keamanan: cuplikan fakta kejahatan dari tahun 1967-2006
Tuarek Natkime Dok: Titus Natkime
Tuarek Natkime Dok: Titus Natkime

Dalam buku “Moses Kilangin Uru Me Ki” diungkap bahwa masyarakat lembah Waa dan Banti di bawah pimpinan dua kepala sukunya, Tuarek dan Nigaki, sebenarnya telah melakukan protes kepada Freeport diawal explorasinya pada tahun 1967 sebab mereka menyadari bahwa Nemangkawi sebagai tempat keramat suku Amungme akan dirusak. Dan bersamaan dengan peristiwa itu, Uru Me Ki (Sang Guru Besar) Moses Kilangin yang waktu itu diminta pihak Freeport untuk membantu meyakinkan masyarakat, pernah berpesan kepada Jhon Currie – wakil pengawas senior Freeport saat itu. “Kalau kalian bikin begini nanti masyarakat bikin begitu. Nanti bermasalah terus menerus. Lebih baik kalian kerja jujur dan adil saja, sehingga kalian tidak diganggu terus. Kalau ada hasil, bicara baik-baik dengan masyarakat. Jangan meremehkan masyarakat. Perhatikan mereka punya pendidikan, kesehatan, perumahan yang baik, hak-hak masyarakat harus dihargai, dan hormati masyarakat Amungme sebagai penduduk asli sebagai manusia.”

Namun apa yang terjadi? Rezim Militeristik Orde Baru telah menjamin berjalannya investasi perusahaan ini, hampir tanpa protes yang berarti selama bertahun-tahun, meski perusahaan ini terindikasi melakukan kejahatan ekonomi, kejahatan kemanusiaan, perusakan lingkungan dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Kalaupun ada protes dari masyarakat, dengan cepat dan tanpa ampun tentara akan menghadapinya dengan pendekatan-pendekatan militer. Sebut saja “peristiwa 77” yakni sebuah protes masyarakat yang dilakukan pada tahun 1977 dengan mencoba memotong pipa aliran konsentrat di Tembagapura, telah berbuntut pada tindak kekerasan ABRI yang membekas di hati masyarakat hingga hari ini. Erstberg (Nemangkawi), Greesberg, dan gunung-gunung salju lainnya yang mengandung sejumlah besar mineral berharga bagi komoditi pasar dunia telah menjadi tujuan yang sangat penting bagi AS, blok modalnya, serta pemerintah Indonesia selama tanah ini masih dikuasai mereka. Untuk tujuan itu, hak-hak dasar orang Papua telah lama dikorbankan, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri. Kita harus mengakui dengan jujur bahwa inilah satu diantara sekian akar persoalan yang terus menghiasi gejolak perlawanan rakyat di Kota Timika juga di seluruh tanah Papua. Areal Konsensi PT Freeport dan Kota Timika adalah daerah yang tidak pernah luput dari drama kekerasan, sejak perusahaan tambang raksasa itu menancapkan cakarnya di tanah Amungsa puluhan tahun yang lalu.

Dalam policy paper Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI-Juli 2006), “Tentang Freeport dan Extraterritorial Obligation,” ditulis, Resim Militeristik Orde Baru mendukung upaya investasi Freeport di Papua melalui dua produk hukumnya yakni, Undang Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Inilah dasar bagi Kontrak Karya (KK) I, 5 April 1967 dan berlaku selama 30 tahun, terhitung sejak eksplorasi Erstberg, Desember. Namun, KK I ini ilegal, karena terjadi dua tahun sebelum Pepera dan PBB pun belum mengakui Papua sebagai wilayah Indonesia. “ Mohammad Sadly, salah satu anggota kabinet Soeharto menyebutkan, melalui ditandatanganinya persetujuan dengan Freeport, Jakarta berharap memperoleh dukungan militer dan ekonomi, serta kebijakan politik garansi dari penguasa ekonomi terbesar dan terkuat dunia, yaitu Amerika Serikat. Disamping penghargaan politik pragmatis, kepentingan ekonomi Orde Baru merupakan faktor terpenting pemicu pemberian jalan kepada Freeport untuk beroperasi di Papua Barat, padahal studi kelayakan proyek ini selesai dan disetujui pada bulan Desember 1969.” Saat ini, aktivitas eksploitasi dijalankan sesuai KK II yang ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991 untuk jangka waktu 30 tahun, dan dapat diperpanjang sebanyak dua kali, masing-masing 10 tahun. Namun KK II inipun mengandung unsur Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Sebab dilakukan 6 tahun sebelum KK I berakhir, sangat tertutup, dan tidak melalui konsultasi dengan komunitas masyarakat pemilik hak ulayat.
Presiden Soeharto bersama para pimpinan PT Freeport          Dok: Titus Natkime
Presiden Soeharto bersama para pimpinan PT Freeport Dok: Titus Natik.com 

Demi keamanan Freeport, James R Moffet tekun membina persahabatan dengan Soeharto dan kroninya – policy paper PBHI, merujuk laporan New York Times. “Freeport membayar ongkos-ongkos mereka berlibur, bahkan biaya kuliah anak-anak mereka, termasuk membuat kesepakatan-kesepakatan yang memberikan manfaat bagi kedua belah pihak.” Dimana antara 1998-2004, Freeport telah memberikan 30 juta dolar (sekitar Rp 274 miliar) kepa jenderal, kolonel, mayor, dan kapten tentara maupun polisi, dan unit-unit militer. “Dalam waktu singkat, Freeport menghabiskan 35 juta dolar untuk membangun infrastruktur militer…dan perusahaan juga memberikan para komandan 70 buah mobil jenis Land Rover dan Land Cruiser, yang diganti setiap beberapa tahun.” Anehnya, atas laporan New York Time yang membeberkan kerjasama aparat keamanan dan Freeport ini, Menteri Pertahanan Juwono Soedarsono justru berencana melegalkan pendapatan aparat keamanan dari perusahaan dengan melahirkan sebuah produk hukum. Mengecam langkah pemerintah tersebut, sejumlah NGO ( WALHI, JATAM, Imparsial, KontraS, ICW, Pro Patria, INFID, PBHI, Pokja-Papua, HRWG, PRAXIS) mengelar siaran pers bersama di Jakarta (20/02/06). Sebab, langkah itu bertentangan dengan amanat UU No 31/2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34/2004 tentang TNI, yang isinya melarang TNI menerima dana dari luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tentang kekerasan di sekitar areal Freeport, mantan Uskup Jayapura, Mgr. Herman Munninghof pernah melaporkan bahwa pertengahan 1994 telah terjadi pembunuhan, pembumihangusan kebun-kebun dan rumah-rumah masyarakat Amungme di Lembah Tsinga oleh tentara. Sebagai tanggapan atas protes damai masyarakat terhadap ketidakadilan Freeport. Dengan tuduhan sebagai anggota OPM, pada tanggal 9 Oktober 1994 terjadi lagi penangkapan dan penahanan sewenang-wenang serta penyiksaan oleh anggota Batalyon 752 terhadap Mathias Kelanangame, Yakobus Alomang, Nicolaus Magal, Yosepha Alomang (Mama Yosepha), dan Yuliana Magal. Kemudian, 25 Desember 1994, ketika sekitar 400 masyarakat Amungme merayakan natal dan mengibarkan bendera Bintang Kejora sebagai bentuk protes damai di pusat Tembagapura, tentara kembali melakukan penembakan terhadap kumpulan massa tersebut, dan mengenai Naranewilan Anggaibak. Naranewilan akhirnya meninggal setelah mengalami penganiayaan, namun hingga kini pihak keluarga tidak mengetahui jasadnya. Terkait dengan peristiwa ini, tentara bersama security Freeport melakukan penangkapan, penahanan, dan penyiksaan terhadap 20 orang masyarakat yang bermukim di perkampungan sekitar Tembagapura, yakni pada tanggal 26, 29, 31 Desember 1994 , dan berlanjut ke tanggal 1 dan 8 Januari 1995. Kemudian, 31 Mei 1995 terjadi penembakan terhadap masyarakat di Kampung Hoea yang saat itu sedang melakukan ibadah bersama, dimana 11 orang dinyatakan meninggal termasuk dua orang anak berumur 5 dan 6 tahun.

Terkait dengan peristiwa penyanderaan di Mapnduma pada 8 Januari 1996, Els-HAM Papua dalam laporannya – mengacu pada laporan tiga gereja di Timika – mengatakan bahwa ABRI kembali melakukan serangkaian tindak kekerasan yang melanggar HAM antara Januari-Mei 1996 di Bela, Alama, Jila, dan Mapnduma, melalui sebuah operasi secara diam-diam silent operasi ketika saat yang sama pihak gereja, tokoh masyarakat, dan ICRC sedang dalam proses negosiasi dengan pihak TPN-OPM untuk pembebasan sandera secara damai. “Ada 7 perempuan diperkosa atau secara seksual dilecehkan (1 berumur 3 tahun dan 2 diantaranya berumur 11 tahun); 6 anak sekolah menjadi korban ledakan granat yang disimpan pasukan ABRI di sebuah rumah penduduk (3 diantaranya mati seketika, 2 meninggal dunia setelah dirawat dan 1 lainnya cacat seumur hidup); 4 orang dianiaya dan 2 orang lainnya ditembak dan diintimidasi.” Pasukan ABRI menduduki daerah perkampungan disekitar pegunungan tengah itu dan memusnahkan kebun dan ternak peliharaan masyarakat, sehingga mereka mengungsi ke hutan-hutan, dan akibatnya, sekitar 213 orang masyarakat meninggal dunia karena kekurangan bahan makanan dan sakit.

Tindakan sepihak ABRI ini telah menggagalkan upaya negosiasi, dan ICRC mundur secara diam-diam dari proses ini, kemudian yang terjadi adalah operasi militer pembebasan sandera. Operasi pembebasan sandera ini berlangsung dari tanggal 9-13 Mei 1996 di desa Ngeselema, yang melibatkan ABRI, 16 anggota pasukan elit Angkatan Udara Inggris (SAS), seorang anggota ICRC dan dengan menggunakan helikopter ICRC. Akibat operasi ini: 8 warga sipil terbunuh, 4 orang ditemukan telah menjadi mayat, 2 warga Indonesia yang disandera dibunuh, dan rumah serta harta benda masyarakat di desa Ngeselema, Uarem, Nolid, dan Yenggelo dibumihanguskan. Pasca pembebasan sandera, ”maka untuk membasmi OPM sekaligus melindungi proyek vital nasional PT. FI seluruh wilayah Pegunungan Tengah Irian Jaya mulai dari Timika, Tembagapura, Arwanop, Tsinga, Jila, Bela dan Alama sampai ke Mapnduma, Yigi, Mugi, Mbua, Keneyam dan Wosak dideklarasikan ABRI sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).”

Media Internasional dan nasional melaporkan bahwa Sabtu, 31 Agustus 2002 kira-kira pukul 12.40 WP telah terjadi penyerangan bersenjata diantara Mile 62-63 Tembagapura, yang mengakibatkan dua orang warga negara Amerika Serikat (AS) dan seorang yang WNI tewas terbunuh, serta sedikitnya 14 orang lainnya mengalami luka-luka. Dua warga AS yang menjadi korban yang tewas adalah Ted Burcon dan Rickey Spear, sedangkan warga Indonesia adalah Bambang Riwanto. Warga AS yang luka di antaranya Nancy Burgon, Patsy Pear, Sandra Hopkings, Teiya Hopkings, Lynn Ruston, Steven Emma, Francine Goofreen, Jim Burke, dan Kent Back, sedangkan tiga WNI yang luka, Johannes Bawan, Lodwijk Worotikan, dan Mastur. Meski menyesalkan insiden tersebut, James R Moffet optimis, aktivitas pertambangan tetap berjalan atas jaminan aparat keamanan Indonesia. “Pihak keamanan Indonesia telah menjamin keamanan di fasilitas pertambangan milik Freeport dan juga komunitas di sekitarnya. Karena itu, kegiatan pertambangan dan operasional tetap berjalan seperti biasa. Tak terpengaruh oleh insiden yang ada,” demikian statemen Presdir Freeport McMoran itu pada situs Freeport. “Sudah menjadi prioritas kami menjaga keamanan para pekerja dan keluarga mereka dari kemungkinan kecelakaan,” katanya.
Pdt. Ishak Onawame, dkk yang dituduh terlibat dalam peristiwa Mile 62-63 Dok: Andreas Harsono
Pdt. Ishak Onawame, dkk yang dituduh terlibat dalam peristiwa Mile 62-63 Dok: Andreas Harsono
Tanpa memperdulikan fakta-fakta lain, pihak Polri menetapkan Pdt. Ishak Onawame, Antonius Wamang dan sembilan orang lainnya atas sangkaan keterlibatan dalam peristiwa Mile 62-63 tersebut. Mereka ditangkap di Timika, 11 Januari 2006, melalui kerjasama Polri dan intelejen federal Amerika Serikat (FBI), dengan cara menipu. Setelah diperiksa di Polresta Mimika, 8 orang dinyatakan akan diproses lanjut, besoknya mereka dikirim ke Jayapura, dan diberangkatkan dari Jayapura ke Jakarta pada tanggal 14 Januari 2006 untuk diadili di sana. Sebulan kemudian, 21 Februari 2006, terjadi bentrokan antara security Freeport dan Brimob dengan masyarakat penambang tradisional Papua di Mile 72-74 , pinggiran Kali Kabur-Timika. Sembilan orang mengalami luka-luka dalam peristiwa itu, Enam orang masyarakat pendulang Papua dan tiga orang dari pihak security.

Penangkapan 8 orang yang dimaksud (yang melibatkan FBI) dan mengadili mereka di Jakarta – disusul dengan peristiwa bentrokan di Kali Kabur – memicu perlawanan luas terhadap Freeport, yakni dari masyarakat Papua maupun aktifis pro-demokrasi (misalnya PRD dan LMND) juga NGO HAM di Papua maupun di daerah Indonesia. Antara Januari sampai Maret 2006, demonstrasi terjadi di Nabire, Jayapura, Manado, Bali, Malang, Yogyakarta, dan Jakarta. Dimotori oleh Front Pepera, Parlemen Jalanan (Parjal), AMPTPI, FNMP, dan organisasi mahasiswa Papua. Sejumlah perlawanan terhadap Freport itu berbuntut pada apa yang kita kenang sebagai peristiwa ”bentrokan 16 Maret” di depan Universitas Cenderawasih (Uncen), Abepura-Jayapura. Dalam bentrok tersebut, sedikitnya 20 orang (mahasiswa) Papua mengalami luka-luka, tiga polisi dan satu intel AU tewas, sembilan anggota Brimob dan Dalmas mengalami luka-luka. ”Pasukan Brimob tanpa kendali melakukan penyisiran brutal, penangkapan sewenang-wenang, dan penganiayaan…,” laporan monitoring-investigasi PBHI, Juni 2007. Saat melakukan penyisiran brutal dan tak terkendali itu, sejumlah wartawan dipukul dan kameranya dirusak, sejumlah asrama mahasiswa dan fasilitasnya dirusak, termasuk gedung dan fasilitas Uncen juga dirusak. Ada 24 orang ditangkap sebagai tersangka, lalu 20 orang diantaranya disidangkan, sementara 10 orang lain lagi dinyatakan Reskrim Polda Papua sebagai DPO.

Aksi Penembakan Antara Juli 2009-Januari 2010: siapa pelaku dan apa motifnya?
Tanggal 8 Juli 2009 lalu, kira-kira pikul 13.31 WP, kami dikagetkan setelah mendapat sebuah pesan singkat (sms) yang berbunyi, “areal Freeport di Mile 68-74 sejak jam 4 sudah dikuasai, kereta gantung hancur dan terbakar, 3 bus hangus dalam terowongan di Mile 62. Aktivitas Freeport macet.” Setelah crosscheck ke Timika, ternyata beberapa sumber membenarkan bahwa di Tembagapura, persis di depan terowongan Zakam, Mile 71, ada sebuah mobil yang dibakar oleh orang yang belum diketahui identitasnya. Esoknya, Kapolda Papua Irjen Pol. Drs Fx. Bagus Ekodanto mengungkapkan bahwa pos satpam dan bus karyawan PTFI dibakar oleh sekelompok orang yang diduga sebelumnya hendak melakukan pemalangan di Mile 71. “ Setelah melakukan pembakaran, para pelaku langsung melarikan diri. Kemudian anggota mendatangi tempat kejadian dan melakukan pengejaran di sekitar TKP dan diketahui mereka melarikan diri ke arah hutan yang ada di jalur Mile 71 Timika yang menuju ke Tembagapura,” terang Ekodanto.

Dua hari kemudian, di Mile 52, Distrik Tembagapura, terjadi penembakan lagi. Insiden yang dilakukan oleh orang tak dikenal (OTK) ini mengakibatkan meninggalnya Drew Nicholas Grant (38), warga negara Australia akibat pendarahan hebat. Korban ditembak ketika sedang menumpang sebuah mobil Toyota Land Cruiser dengan nomor lambung 01-2578, bersama dengan Mr Lucan Jhon Biggs (pengemudi), Lia Mandandan (istri Mr Lucan), dan Maju Panjaitan (rekan kerja Drew). Pagi itu (pukul 05.00 WP), mereka melintasi jalan antar Distrik Tembagapura dan Kota Timika, hendak menuju Kuala Kencana di Mile 32. Korban mengalami dua luka di bagian leher, dua luka tembak di bagian dada, dan satu luka tembak di bagian perut. Saat itu korban dalam posisi duduk di belakang pengemudi, sementara pelaku diperkirakan melakukan penembakan dari arah ketinggian. Dalam konferensi pers di Timika (11/07), Kapolda Papua Irjen Pol. Drs Fx. Bagus Ekodanto mengatakan bahwa dari hasil olah TKP pihaknya telah menemukan dan mengamankan tiga selongsong peluru di bukit dekat tikungan di lokasi kejadian, dan tiga proyektil peluru berkode DJ 5,6 milimeter di mobil Polsek Tembagapura yang diparkir disekitar lokasi kejadian. “Jenis senjata itu standar, di Polri ada, di TNI ada, jenis senjata organik,” ungkapnya. Terkait peristiwa ini, kapolda telah meminta Mabes Polri untuk mengirim personil Puslabfor dan Densus 88 untuk proses olah TKP.

Minggu, 12 Juli 2009 sekitar 10.45 WIT, terjadi lagi penghadangan dan penembakan di Mile Post 51, Distrik Tembagapura. Insiden yang dilakukan juga oleh OTK ini mengakibatkan meninggalnya Markus Rante Allo, seorang security PT Freeport, yang mengalami luka tembak di punggung. Juga melukai dua orang anggota Densus 88 Mabes Polri, dan tiga security Freeport yang lain. Lima orang yang terluka itu adalah: Petrus Soba (security), dalam kondisi kritis; Edi Piter Bunga (security) luka tembak di bagian paha kanan; Dedi Jawaru (security) luka tembak di pipi kiri; Ipda Adam Heri Gunawan (Densus 88) tertembak dibagian kaki kanan; AKP Agung Tjahyono (Densus 88) mengalami cedera luka pada jari tangan. Mereka tertembak saat menumpang dua mobil milik PT FI, yakni jenis Ford Ranger open cup nomor lambung 01-3267 (mobil pertama, dikemudikan Edi Piter Bunga) dan jenis Toyota bernomor lambung 01-1652 (mobil kedua, dikemudikan Dedy Jawaro, ditumpangi Alm. Markus rente Allo). Dua kendaraan tersebut keluar dari Security Risk Managemet (SRM) sekitar Pkl.09.00 WIT, berjalan beriringan menuju Mile Post 53 dan Mile Post 71 untuk mengantar keperluan bagi aparat yang di pos pengamanan. Kemudian, 23 Oktober (sekitar pukul 09.00) seorang anggota Kopassus kembali menjadi korban penembakan OTK lagi. Dengan demikian sejak 11 Juli-23 Oktober 2009, rentetan aksi ini telah mengakibatkan empat orang tewas, dua diantaranya warga sipil, dan puluhan orang cedera (KOMPAS.com). Sedangkan SKH Cepos (17/12/09) memberitakan bahwa antara 8 Juli-November 2009 total korban meninggal sebanyak delapan orang, dan yang mengalami luka-luka sebanyak 37 orang.

Banyak kalangan menilai kepolisian sangat lamban mengungkap kebenaran dari kasus ini, sementara masyarakat sipil di Timika terus berada dalam suasana ketakutan karena operasi penyisiran. Atas penilaian itu, Kapolda berjanji akan terus berupaya mengungkap pelaku, jaringan, dan latar belakangnya. ”Kami tidak tinggal diam. Kami berupaya mengungkap kasus ini pelan-pelan. Mudah-mudahan pelakunya dapat tertangkap, dan saat ini kami masih berupaya melakukan pengejaran terhadap pelaku,” jelasnya. Dan pihaknya telah menetapkan Daftar Pencarian Orang terhadap beberapa nama yang diduga sebagai pelaku. Dikatakan bahwa penjagaan dan pengamanan ketat telah diberlakukan di Mile 53 ke atas, namun kemungkinan pelaku menghindari anggota saat patroli dilakukan. Selain itu, Kapolda mengatakan bahwa anak buahnya setiap hari harus mengawal 106 kontainer siang maupun malam, juga mengawal bus karyawan Freeport. “Itu kita kawal di depan, tengah dan belakang. Hanya saja, sarana kita terbatas sehingga kendaraan harus gantian. Selain dibantu TNI, Polri sudah membuat pos-pos pengamanan dimana setiap pos ditempati 6 – 8 personel, namun mereka melakukan penembakan sekitar 60 – 80 meter dengan kondisi alam yang curam sehingga menyulitkan pengejaran,” jelasnya. Sementara itu, Mabes Polri telah mengirim tiga unit tim khusus ke Timika dengan target para pelaku tertangkap dan peristiwa yang terjadi tak terulang. ”Targetnya harus terungkap. Tidak boleh tidak,” kata Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri.

Disisi lain, menyadari penyisiran berjalan tanpa hasil, pertengahan Oktober 2009 Kapolda Papua Irjen Bagus Ekodanto akhirnya mengutus anak buahnya menemui Jenderal Kwalik, memastikan benar tidaknya anak buah Kwalik adalah pelaku rangkaian peristiwa itu. Ternyata dalam pertemuan itu, Jenderal Kwalik tetap tegas bahwa pihaknya bukan pelaku rangkaian teror dimaksud, dan Kapolda mengumumkan hal ini ke publik. Anehnya, meski belum ada data valid dari institusi kepolisian sebagai pihak yang paling berkompeten, sejumlah pejabat TNI di Papua terkesan berupaya terus membentuk opini publik bahwa TPN dan pihak Jenderal Kwalik adalah pelaku dari rangkain kekerasan ini. Misalnya, Kepala Dinas Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letkol Inf Susilo mengatakan, meminta agar semua pihak harus waspada dan mencermati adanya pemutarbalikan fakta dari TPN/OPM. “Sebab selama ini kelompok TPN/OPM selalu memfitnah TNI dan aparat keamanan kita yang merekayasa tindak kekerasan,” tandasnya. Sebaliknya, meski gencar menuding TPN/OPM dan Jenderal Kwalik, pimpinan tentara sangat reaktif menaggapi hasil olah TKP, dimana ditemukan bukti-bukti berupa sejumlah selongsong peluruh buatan pabrik senjata milik Angkatan Darat (Pindad).
Penangkapan terhadap beberapa orang yang dituduh terlibat dalam penyerangan di Mile 52 Dok: Detik.com
Penangkapan terhadap beberapa orang yang dituduh terlibat dalam penyerangan di Mile 52 Dok: Detik.com

Menyikapi situasi Timika dan Papua (pra dan pasca Pemilu), di Jakarta (14/07/09), Imparsial menyerukan dukungan atas langkah tegas aparat kepolisian demi penyelesaian kasus secara hukum, agar masyarakat Timika dan rakyat Papua dapat hidup dengan aman. Pemerintah sipil di Papua didesak agar aktif menjamin rasa aman bagi masyarakat di Papua, khususnya di Timika. Juga mendesak Presiden SBY untuk mengevaluasi kinerja aparat keamanan dalam menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat Papua terkait dengan aksi teror dan kekerasan yang terjadi di Papua. Poengky Indarti – Direktur Hubungan Eksternal Imparisial – dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa Imparsial menilai aksi teror dan kekerasan di Timika sarat dengan muatan politis dan bertujuan agar Papua tetap dalam kondisi tidak aman dan agar dilihat sebagai daerah rawan konflik. Lembaga yang konsent dengan isu reformasi keamanan itu juga meminta aparat keamanan supaya tidak semudah itu menuding TPN/OPM sebagai pelaku sebelum proses hukum yang benar dijalankan. Sebab menurut analisa Imparsial, minimal ada empat kemungkinan penyebab rangkaian kekeran itu: efek dari persaingan politik kekuasaan di Jakarta; pertarungan bisnis jasa keamanan, apalagi kini keamanan Freeport dipegang oleh security PT. FI dan aparat Kepolisian; Dugaan serangan TPN/OPM: dan lemahnya kontrol terhadap pergerakan pasukan di Papua.

Senada dengan itu, gabungan LSM (Kontras, Foker LSM Papua, PBHI, Imparsial, Perkumpulan Praxis, Eksnas WALHI, JATAM) dan Persekutuan Gereja Indonesia juga mengeluarkan empat butir pernyataan sikap di Jakarta (15/0709) menyangkut situasi di Timika dan Papua. ”Kepada TNI dan kalangan pemerintah agar menghentikan pernyataan-pernyataan provokatif atas berbagai insiden kekerasan yang terjadi di Papua, sepenuhnya menyerahkan kepada pihak kepolisian dalam rangka penyelidikan-penyidikan secara profesional dan terbuka; Kepada pihak kepolisian agar tetap menjaga independensi dari intervensi pihak lain dalam pengungkapan motif dan pelaku kekerasan; Kepada semua pihak untuk menghentikan stigmatisasi separatisme bagi rakyat Papua dan memulai merumuskan solusi bersama dari ketidakadilan yang terjadi melalui dialog damai; Kepada DPR RI 2004-2009 untuk segera mengumumkan kepada publik hasil Panitia Khusus untuk kasus PT Freeport yang dibentuk tahun 2006.”

Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut yang sebelumnya telah mendapatkan informasi dari Dr S Kirksey, antropolog dari Universitas California, menilai bahwa rangkaian peristiwa teror ini bukan dilakukan oleh OPM asli. Ini merupakan skenario untuk mencapai target tertentu, bahkan merupakan perang terbuka antara TNI-Polri dalam memperebutkan dolar dari Freeport. ”Tahun 2002 saat pembunuhan WNA Amerika Serikat. Kalau OPM yang dituduh, dimana mereka dapat senjata? Lalu bagaimana mereka masuk lokasi pertambangan yang dijaga ketat oleh aparat keamanan Indonesia? Saya mendapat pesan ini dari Dr. Eben.” Ia mengatakan, masyarakat adat tidak bodoh sehingga menodai perjuangan murni untuk memperoleh hak-hak yang selama ini diabaikan dan ditindas. Rekayasa ini untuk membungkam dan membunuh masyarakat adat Papua baik secara fisik maupun psikologi. ”Freeport tidak boleh lepas tangan kepada mereka yang kena musibah dan korban, juga kepada keluarga mereka. Freeport adalah penyebab masalah ini,” tegasnya.

Dalam sebuah pertemuan malam (27/07) dengan Gubernur Papua Barnabas Suebu, dan petinggi TNI-Polri, masyarakat Timika terus mendesak kepolisian untuk menangkap pelaku penembakan yang sebenarnya dan tidak mengorbankan warga sipil. Salah satu tokoh masyarakat Kwamki Lama, Yacobus Kogoya, dalam forum itu menyatakan bahwa pelaku penembakan bukan anggota OPM. ”OPM tidak lagi. Di Timika tidak ada OPM, dan yang melakukan penembakan bukan OPM.” Sementara, Hans Magal dari YAHAMAK mengatakan bahwa rentetan peristiwa itu telah menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama terkait penyisiran dan penangkapan yang dilakukan pihak polisi terhadap masyarakat sipil. Padahal menurutnya, jika merujuk pada tempat penemuan selongsong peluru yang dijadikan barang bukti, lokasinya jauh dari pemukiman masyarakat dan bukan tertangkap tangan. ”Apakah barang bukti (peluru) ditemukan bersama masyarakat (warga sipil yang ditangkap)?” Hans Magal menegaskan bahwa beberapakali kasus kekerasan terjadi di Timika oleh kelompok-kelompok kepentingan, dan masyarakat selalu dijadikan korban.

Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Tanah Papua (PGGP) Pdt. Lipyus Biniluk STh, dalamseruan moral danmeminta kepada semuapihak agar menghentikan semua aksi kekerasan yang terjadi, termasuk penangkapandan intimidasi yang dilakukan pihak kepolisian kepada masyarakat sipil diTimika. Sebab kekerasan yang terjadi di Freeport sangat menyengsarakan banyakmasyarakat Papua yang tak bersalah, terutama yang berada di sekitar lokasiFreeport.Segera hentikanintimidasi, teror dan penangkapan yang sedang terjadi atas warga sipil yangtidak bersalah dan stop kekerasan terhadap masyarakat asli Papua diTimika,ujarnya. Dan meminta kepada pihak berwajib untuk mengungkappelaku dibalik peristiwa ini. ”Segera ungkap siapa aktor intelektual dibaliksemua peristiwa kekerasan yang terjadi di tanah Papua,” tegasnya. Selain itu,pimpinan gereja juga menyerukan kepada pemerintah pusat segera melaksanakandialog dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah Papuasecara bermartabat, adil dan manusiawi yang di mediasi pihak ketiga yang lebihnetral. Markus Haluk dalam laporannya, Tragedi Berdarah Warga Sipil Di Areal PT. Freeport Indonesia Timika – Papua (Tragedi 11 Juli – 29 Oktober 2009), menyebutkan bahwa tujuh orang warga sipil asal suku Amungme yang bermukim di Kota Timika (Kwamki Baru dan Kwamki Lama), juga di sekitar Tembagapura ditangkap ditangkap pada 20 Juli 2009. Tanggal 23 Juli 2009 terjadi lagi penangkapan terhadap tujuh orang warga sipil asal Amungme yang bermukim di Jalan Baru, Distrik Kwamki Baru. Sekitar 25 orang sipil telah di tangkap dan sejumlah orang telah di panggil oleh pihak kepolisian untuk di mintai keterangan. Dari jumlah tersebut, pertengahan Oktober telah ditetapkan tujuh orang tersangka, yang waktu itu ditahan di Tahanan Polres Mimika di Mile 32, Timika. Ada hal yang ganjil dalam rangkaian peristiwa ini, pasalnya ada 1.500 pasukan keamanan (termasuk Densus 88) yang disiagakan, juga tujuh orang yang dituduh sebagai pelaku telah ditahan, namun peristiwa penembakan masih saja terjadi. “Ironis lagi sementara ke tujuh orang masih dalam tahanan Polres Mimika, berulang kali penembakan masih terus terjadi di areal perusahaan dan telah melukai bahkan merengut korban warga sipil. Peristiwa terbaru adalah penembakan terjadi pada tanggal 19 Oktober 2009 di mile 42 daerah dataran rendah yang mudah terjangkau dan masih dalam status siaga satu bagi aparat Keamanan di areal tersebut,” tulis Haluk dalam laporannya.

Edel Kiwak (satu diantara ketujuh orang yang ditangkap 20 Juli 2009) diproses lanjut, dan kini sedang disidangkan di Makasar. Jenderal Kelly Kwalik pun telah ditembak mati. Lalu, siapa yang melakukan penembakan pada tanggal 24 Januari 2010?
Membunuh Jenderal Kwalik Tidak Mengakhiri Konflik
Pihak Mabes Polri sedang melakukan konferensi pers pasca pembunuhan terhadap Kelly Kwalik oleh Densus 88 Dok: Media Indonesia
Pihak Mabes Polri sedang melakukan konferensi pers pasca pembunuhan terhadap Kelly Kwalik oleh Densus 88 Dok: Media Indonesia

Mabes Polri mengumumkan (16/12/09) bahwa Panglima Kodap III TPNPB Jenderal Umeki Kelly Kwalik tewas dalam operasi penyergapan di sebuah rumah di RT 2, RW 1, Jalan Freeport Lama, Kompleks Gorong-gorong, Timika. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Nanan Soekarna mengatakan, Jenderal Kwalik terpaksa ditembak karena berusaha melawan. “KK tewas setelah terkena tembakan di pinggang kiri dan tembus ke pangkal paha bagian belakang,” kata Kabid Humas Polda Papua Agus Rianto. Dalam operasi itu, polisi menangkap lima warga sipil, yaitu Jeep Murip (24), Noni Senawatme (35), Martimus Katagame (21), Yosep Kwantik (60), dan Yorni Murip (10). Kelima orang itu dibawa ke Polres Mimika untuk diperiksa, besoknya mereka dibebaskan. SKH Cepos (17/12/09) membeberkan kronologis penyergapan sebagai berikut: 16 Desember, pukul 02.00 WP, tim mendekati sebuah rumah di area Mile 26 Timika; pukul 02.50 WP, penghuni diminta menyerah dengan tangan terbuka. Penghuni menolak; pukul 02.55 WP, Kelly Kwalik berusaha lari melalui pintu belakang. Tapi, dia kembali dalam rumah dan menodongkan revolver ke petugas; pukul 03.00 WP, Tim Densus 88 terpaksa melumpuhkan Kelly Kwalik; pukul 04.00 WP, tim khusus melarikan korban ke RS Kuala Kencana, Timika; pukul 08.00 WP, Kelly dinyatakan meninggal di RS. Kapolres Mimika AKBP Moch. Sagi mengatakan bahwa penyergapan itu sudah sesuai protap, yaitu dengan melumpuhkan dan berharap korban tetap selamat. ”Namun dikarenakan pendarahan hebat, sehingga orang yang diduga Kelly Kwalik meninggal,” kata Kapolres. Sedangkan barang bukti di TKP, di, satu pucuk senjata diduga pistol revolver merek S&W caliber 0,38 milimeter, amunisi aktif caliber 5,56 sebanyak 2 butir, proyektil 1 butir serta dokumen-dokumen OPM.

Kencana Lestari adalah nama sandi operasi penyisiran dan penyergapan tersebut, dan kesatuan yang ikut serta dalam operasi ini terdiri dari Brimob Polri, Detasemen Khusus 88 Antiteror, Badan Intelijen Polri, dan jajaran Polda Papua, yang langsung dikoordinasikan dengan Deputi Operasi Mabes Polri. Pihak Polri dan Polda Papua menegaskan bahwa sesuai laporan polisi tanggal 31 Agustus 2002, Jenderal Kwalik merupakan Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam kasus mile 62-63, yang menewaskan Ricky Lyne Spier dan Edwin Leon Murgon (warga Amerika) dan FX Bambang Riyanto. Dari peristiwa ini Jenderal Kwalik diburu dengan jeratan ”pasal 340 KUHP jo pasal 55 dan atau pasal 56 KUHP dan atau pasal 338 KUHP jo pasal 55 dan atau pasal 56 KUHP dan pasal 351 ayat 1 dan  2 jo pasal 55 dan atau pasal 56 KUHP dan pasal 1 Undang-undang Darurat RI No 12 Tahun 1951 jo pasal 55 dan atau pasal 56 KUHP.” Bahkan menurut pihak Polda Papua, siapa saja yang dapat memberikan informasi keberadaan Jenderal Kwalik hingga tertangkap, akan diberi imbalan Rp 10 juta. ”Kelly buronan yang sudah lama sekali, lebih dari 10 tahun,” demikian kata Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Tito Karavian.
Uskup Timika, Mgr John Philip Saklil Pr akan memimpin misa Reguem untuk pemakaman jenasah Kelly Kwalik Dok: Antara
Uskup Timika, Mgr John Philip Saklil Pr akan memimpin misa Reguem untuk pemakaman jenasah Kelly Kwalik Dok: Antara  

Meski pihak kepolisian mengatakan tidak bermaksud membunuh Jenderal Kwalik, pembenaran polisi tetap masih memiliki celah. Beny Pakage, aktifis HAM di Timika, justru melihat tidak ada tindakan serius dari polisi untuk penyelamatan. Pakage mempertanyakan, kenapa justru Jenderal Kwalik di bawa ke klinik di Kuala Kencana Yang jaraknya jauh, padahal ada RSUD Timika yang dekat, bahkan banyak klinik 24 jam lainnya yang lebih dekat. ”Sebenarnya ada klinik Harapan, klinik Trikora dan klinik lainnya di sekitar Gorong-gorong dan Kota Timika, tapi kenapa justru dibawa ke Kuala Kencana? Kan ada juga Rumah Sakit Karitas dan Rumah Sakit Umum Daerah, Karitas kira-kira berjarak 20 menit dari TKP, sedangkan RSUD kira-kira 10 menit,” kata Pakage. Terbakarnya Pasar Timika, satu jam sebelum eksekusi Tuan Kwalik juga dilihat Beny sebagai bentuk pengalihan perhatian yang disengaja.

Jika eksekusi Densus 88 atas dasar kasus Mile 62-63 tahun 2002, justru sejak awal, banyak kalangan meragukan bahwa Jenderal Kwalik terlibat dalam kasus tersebut. Investigasi Elsham Papua malah menemukan sejumlah hal yang mengarah pada dugaan ketelibatan anggota tentara, meski tentara mengelak dan Pangdam Papua (saat itu) sampai mensomasi Elsham dengan tuduhan pencemaran nama baik. Kemudian, dugaan itu dikuatkan oleh S. Eben Kirksey dan Andreas Harsono melalui sebuah hasil penelitian yang disajikan dalam makalah berjudul Criminal Collaborations? Antonius Wamang and the Indonesian Military in Timika. Dimana berita tentang hasil penelitian dimaksud dimuat di situs harian Kompas, Koran Tempo, AFP, Channel Nine, BB Indonesia, Radio Hilversum, harian Belanda AD, Radio Australia, dan harian The Age (Melbourne). ”Dalam makalah, kami menyebut lebih dari selusin nama – tentara, polisi, maupun politisi – yang disebut-sebut dalam keterangan saksi-saksi maupun dalam sidang pengadilan. Namun pengadilan negeri Jakarta Pusat tak memanggil orang-orang itu,” kata Harsono dalam sebuah wawancara. Kesan Harsono dan Eben, kasus ini secara tergesa-gesa ditutup karena pemerintah AS ingin secepatnya bekerjasama dengan Indonesia dalam bidang militer, setelah pernah terhenti pasca referendum Timtim 1999. Hubungan kedua negara kembali cair pasca teroris menghancurkan menara WTC di AS, peristiwa Bom Bali I, dan pasca keputusan penjara seumur hidup terhadap Antonius Wamang.

”Kerjasama militer ini menghabiskan jumlah dolar yang besar, dan bahkan Indonesia adalah penerima bantuan program anti terorisme terbesar di dunia, lebih tinggi dari Yordania, dan Pakistan. Data Pentagon menyebutkan Indonesia menerima dana sebesar US$6,2 juta, sejak 2002 hingga 2005. Yang terbaru di tahun 2007, Amerika memberikan bantuan US$18,4 juta. Selang beberapa jam setelah Wamang diputus hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pentagon menyebutkan era baru kerja sama militer kedua negara dimulai.” Penggantian Kapolda Papua maupun Kapolres Mimika yang berasal dari Densus 88 sebenarnya sudah menunjukan bahwa pemakaian pendekatan polisi akan berbeda dengan yang sebelumnya, sebagaimana penilaian Sem Rumbrar dari Elsham Papua. Pegiat HAM ini juga membantah jika pihak kepolisian mengatakan bahwa Jenderal Kwalik akhirnya ditembak setelah diberikan peringatan namun mencoba melawan. ”Setelah mereka datang, langsung kepung, setelah kepung mereka langsung menembak, tidak memberikan peringatan tiga kali untuk menyerahkan diri, karena dia sudah dikepung di tempat persembunyiannya,” katanya. Rumbrar menjelaskan bahwa setelah mengepung, almarhum langsung ditembak dari jendela, mengenai bagian pinggang dan tembus ke bawa, lalu pintu didobrak, dan mereka menyeretnya keluar. Karena itu, ia menilai pembunuhan Jenderal Kwalik terjadi diluar proses hukum (extra judicial killing) juga melanggar hak sipil-politik sesuai Konvenan Internasional Sipil-Politik. ”Tokoh ini yang diajak untuk berdamai, kalau dia di bunuh, siapa yang mereka ajak untuk berdamai, ini justru membangkitkan konflik yang sangat berkepanjangan,”ungkapnya menyayangkan tindakan kepolisian. Selanjutnya, mantan pegawai negeri ini mengatakan bahwa komflik di Papua sering dijadikan proyek oleh aparat keamanan demi biaya-biaya tambahan operasional mereka. Karena itu ada dugaan, jika Jenderal Kwalik dibiarkan hidup dan bersaksi di pengadilan, akan membangun opini, dukungam massa yang semakin besar, sehingga akhirnya mereka akan menghabiskan biaya, waktu dan mereka akan kehilangan keuntungan.

Menurut sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola – Koran Jakarta (17/12/09) – selama masih ada perasaan ketidakadilan dan kesenjangan, aksi-aksi separatis akan muncul kembali. ”Pengikut Kwalik akan melanjutkan perjuangan OPM,” katanya. Senada dengan itu, Sekjen Indonesia Human Right Commitee for Social Justice (ICHCS), Gunawan, memprediksi bahwa situasi keamanan di Papua tidak akan banyak berubah pasca tewasnya Jenderal Kwalik, sebab akan muncul pemimpin baru. ”Orang Papua secara sistematis dan meluas ditindas, dimiskinkan, dan dibodohkan. Bukti-bukti sangat kasat mata, sangat jelas,” kata Gunawan. Sama halnya dengan Aryo Wisanggeni Genthong yang mengatakan (http://kompas.com) bahwa menuding Jenderal Kwalik memang jalan yang mudah, namun perlu direnungkan, Jenderal Kwalik bukan penyebab dari konflik berkepanjangan di Papua. ”Apa mau dikata, menuding Kelly Kwalik memang jalan termudah menjelaskan carut-marut konflik Papua. Tentu saja penyerangan terhadap warga sipil, jika memang benar pelakunya Kelly Kwalik, ataupun penyanderaan warga sipil sebagaimana kasus Mapenduma bukanlah tindakan yang bisa dibenarkan. Namun, Kelly Kwalik bukan satu-satunya aktor kekerasan berlatar belakang politik di Papua. Muridan S Widjojo dan kawan-kawan dalam buku mereka, Papua Road Map, mengingatkan, kekerasan politik di Papua sudah dimulai sejak 1962. Kala itu Kwalik belum lagi lulus SD. Kelly Kwalik telah berpulang dengan segala kekurangan dan kelebihannya yang bisa diperdebatkan. Namun, ada persoalan yang juga penting untuk direnungkan, yaitu kekerasan di Papua yang tak kunjung berakhir meski daerah operasi militer dicabut sejak 1998.”
Jenasah Kelly Kwalik sedang di turunkan ke dalam liang lahatnya. Dok.Arky
Jenasah Kelly Kwalik sedang di turunkan ke dalam liang lahatnya.

Jenderal Kwalik akhirnya dimakamkan di lapangan Timika Indah, Senin (21/12/09) setelah perayaan misa requem dipimpin Uskup Timika, Mgr John Philip Saklil Pr di halaman Kantor DPRD Mimika, yang dimulai sekitar pukul 14.00 WP. Dalam khotbahnya Uskup Timika menyebut Jenderal Kwalik sebagi ”tokoh besar” bagi tanah Papua. Diakuinya bahwa perjuangan dan komitmen Jenderal Kwalik selama ini didasari atas ketidakadilan, masalah perampasan hak dengan dalil untuk kepentingan negara. Dan mengajak semua komponen di Papua bersama memperjuangkan keadilan, menghapus segala bentuk pembodohan serta upaya penghancuran manusia Papua. Masyarakat Papua merespon kematian Sang Pemimpin dengan protes. Uskup juga meminta semua pihak meninggalkan segala kebencian dan kegembiraan atas kematian Jenderal Kwalik. Dalam kesedihan mendalam bercampur marah, ratusan orang turut serta dalam upacara pemakaman Tuan Jenderal Kwalik di Timika. Masyarakat Papua tetap berkeyakinan bahwa Freeport bertanggung jawab atas kematian Kelly Kwalik, karena itu Freeport harus ditutup. ”Mereka menuduh polisi Indonesia membunuh Kwalik untuk mendapatkan lebih banyak uang dari Freeport,” tulis Radio Netherland. Tanggal 1 Maret 2010, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menggelar konferensi pers di Jayapura untuk mendesak pertanggungjawaban pemerintah Indonesia atas kematian Jenderal Kwalik.

Sementara pada hari yang sama, KNPB Wilayah Timika memotori sekitar 1000 orang berdemonstrasi damai di DPRD Timika, dan menyatakan: tutup Freeport; tarik pasukan militer (organik dan non organik); menolak dialog Jakarta-Papua; gelar referendum sebagai solusi yang konprehensif dan bermartabat, dan negara bertanggungjawab atas kematian Jenderal Kwalik. *** (Kahar)
                                                             ************************************************
                                                                     
 Eksekusi Mati Diluar Kategori Hukum
Dari sejumlah keterangan, Jenderal Kwalik dieksekusi dalam keadaan tidur di rumahnya, saat operasi penyergapan dini hari (16/12/09). Ini indikasi bahwa Densus 88 telah menjustifikasi Jenderal Kwalik lah pelaku rangkaian peristiwa kekerasan di Tembagapura (2009). Walau demikian, masih banyak pertanyaan khalayak umum seputar pelaku dan motifnya dari rangkaian peristiwa dimaksud. Lagi pula, sampai sekarang (medio Maret 2010) belum ada hasil investigasi yang obyektif, tak berpihak, dan terbuka terhadap rentetan peristiwa kekerasan yang dituduhkan pada Jenderal Kwalik serta anak buahnya itu. Seiring dengan itu, seorang pengacara independen, Gustab Kawer menilai bahwa eksekusi mati terhadap Jenderal Kwalik berjalan di luar koridur hukum. Untuk mengetahui pandangan dari lulusan pascasarjana Resolusi Koflik UGM (2005-2007), wartawan kami, Saren, melakukan wawancara esklusif (Februari 2010) dengan Kawer yang juga aktif di LBH Papua selama 2002-2005.

Apakah menurut Anda pembunuhan Tuan Kwalik sudah sesuai prosedur hukum?
Acuan untuk aparat melakukan penangkapan, penahanan dan penyitaan, itu sebenarnya berdasarkan undang-undang No. 8 1981 namanya KUHAP Hukum pidana. Standar ini kalau dikenakan ke Kelly, seharusnya waktu polisi melakukan pendekatan pertama, mereka sudah melakukan pengepungan dengan perlengkapan yang lengkap, Densus 88, tim khusus dari Mabes Polri dengan peralatan yang cukup canggih dan berhadapan dengan seorang yang dalam keadaan tidur di tengah malam. Seharusnya polisi harus melakukan pendekatan, pertama, mereka harus menujukkan surat tugas tentang siapa-siapa yang melakukan penangkapan. Kedua, harus menunjukan surat perintah penangkapan. Ketiga, kalau ditahan, diikuti dengan surat tahanan. Kemudian kalau Kelly menggunakan senjata tajam ditunjukan lagi dengan surat penyitaan. Dalam proses penembakan Kelly Kwalik yang saya lihat, prosedur KUHAP sama sekali tidak disentuh oleh aparat penegak hukum dalam hal ini tim Densus 88

Apa karena Tuan Kwalik dianggap pelaku kejahatan atau melawan Negara, sehingga penembakannya tidak sesuai prosedur hukum?
Kalau dibilang dia itu pelaku penyanderaan di Mapnduma, penembakan di areal Freeport, itukan perlu tuntut dia di pengadilan. Proses pembuktian di pengadilan perlu waktu yang cukup panjang. Yang bersangkutan harus ditangkap dengan prosedur yang tadi, kemudian ada sidangnya. Disidanglah baru kita uji, apakah yang bersangkutan ini benar-benar terlibat dalam kasus-kasus terdahulu yang katanya menurut mereka dia pelakunya. Apakah terbukti atau tidak, kalau tidak, yang bersangkutan harus bebas. Itu baru kita bisa bilang dia ini pelakunya. Proses hukum itu asas praduga bukan dituduh langsung. Di KUHAP itu semua ada, semua aparat itu harus tahu asas praduga tidak bersalah, orang tidak bisa dinyatakan bersalah sebelum putusan pengadilan. Masih awal sekali, masih ditingkat penangkapan saja langsung dicap dengan pelaku penembakan di areal Freeport dan penyanderaan di Mapnduma. Saya pikir ini aparat penegak hukum yang terlalu prematur, terlalu cepat untuk stigma orang, dan saya bisa ambil satu kesimpulan bahwa mereka melakukan pelanggaran terhadap prosedur hukum di negeri ini. Jadi Kalau mau bilang KUHAP, KUHAP dilanggar. Protap, protap juga dilanggar. Acuan diskrisi (polisi dibolehkan keluar dari acuan untuk menghadapi massa), juga tidak ada.

Apa yang di maksud dengan acuan Diskrisi?
Acuan diskrisi itukan harus dengan moral dan logika. Kalau moral, masa orang lagi tidur ditembak. Kalau logika, masa dia sendiri dengan kekuatan yang sedikit, dengan pasukan dengan kekuatan yang lengkap masa tidak bisa hadapi. Saya pikir polisi sudah latihan karate, masah tidak bisa hadapi dengan cara-cara yang manusiawi dari pada ditembak. Jadi ukuran diskrisi juga tidak ada. Ada satu ukuran internasional, yang namanya code of fundak law envorcement (aturan internasional tentang pengunaan senjata tajam bagi aparat keamanan). Standar itu juga jelas bahwa aparat melakukan penangkapan dengan mengunakan senjata api ada prosedurnya. Ada tembakan peringatan berapa kali, dan kalau memang tidak ada kata menyerah lalu ditembak. Dalam hal ini tidak ada alasan untuk polisi menghilangkan dia dan ini termasuk pembunuhan diluar kategori hukum.

Lalu bagimana dengan Otopsi, jika tidak melibatkan keluarga juga diluar KUHAP?
Otopsi hasus seijin keluarga, dalam hal ini ada ijin dari keluarga, polisi langsung melakukan otopsi, ini juga cara-cara diluar prosedur KUHAP tadi. Kalau dirumah sakit biasanya kalau orang meninggal, ada surat kematian dari rumah sakit. Bukan saja untuk keluarga Kelly tapi juga catatan sipil. Pada saat penyerahan jenazah di Timika juga tidak langsung kepada masyarakat tetapi kepada DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Timika. Jadi tidak ada cara-cara yang mau bilang sesuai dengan aturan, tidak ada aturan. Standar moral, moral juga tidak ada. Mo bilang logika, logika juga tidak ada. Mau pake standar apa? Jadi hukum sudah dilanggar, kalau mereka tahu etika, orang sudah mati, kembalikan ke keluarga dengan baik-baik itukan etika toh. DPRD yang dianggap mewakili rakyat, terus keluarganya dimana? Pemerintah dan aktifis mahasiswa pada prinsip kompromi, terima saja kematian Kelly, dan tidak ungkapkan kebijakan aparat keamanan dalam proses ini.

Dari Keluarga ada peluang untuk proses hukum?
Ini kan termasuk kategori pelanggaran HAM, jadi bisa laporkan ke Komnas HAM RI yang punya kapasitas untuk penyelidikan. Tidak bisa oleh komnas HAM Papua karena fungsinya hanya memantau, penelitian, dan monitoring. Inikan untuk level dalam sini, sedangkan untuk yang keluar, bagaimana kita mempressure ini, teman-teman bisa ajukan ini, kaitannya dengan pembunuhan orang secara paksa. Itu cara-cara yang keluarga bisa pakai.

Usaha dari keluarga untuk menempu jalur hukum sedang dikerjakan atau tidak?
Saya lihat bahwa setelah pemakaman, teman-teman dari adat dan mahasiswa mengatakan bahwa bulan ini (Februari 2010) Freeport tidak harus ditutup, tapi ada dialog dan proses hukum terhadap pelaku tetapi, sampai sekarang belum jelas apa yang mereka sudah kerjakan.
Mereka janji bulan Februari ada prosedur hukum, Freeport tutup, sekarang pertanyaan kita, sudah sampai dimana tindaklanjut janji-janji tersebut? Jangan hanya buat pernyataan-pernyataan yang keras untuk meredahkan masyarakat, lalu tidak ada kerja, itu persoalan. Lebih baik mereka harus melakukan sesuatu, kalau diam ini ada pertanyaan besar, ada apa dibalik mereka diam.

Fungsi Densus 88 yang sebenarnya memberantas teroris tetapi mereka membunuh Kelly, apakah Kelly dianggap teroris?
Desus 88 dibetuk untuk teroris global, termasuk Negara kita ini dikatakan mayoritas teroris, bukan mayoritas Islam, itu yang dipahami oleh densus 88 di Indonesia. Berkaitan dengan banyak kejadian, sebenarnya di Jawa dan Bali tetapi jadi pertanyaan Densus 88 ini bisa berada di Papua untuk menghambat gerakan-gerakan yang berkaitannya dengan tuntutan demokrasi, ini sesuatu yang beda. Masa orang berjuang soal demokrasi, HAM, keadilan dan hak-haknya dirampas tetapi kemudian diredam dengan kehadiran densus 88. Jadi bagi saya densus 88 itu harus ditarik dari Papua dan biarkan lokasi Freeport dijaga oleh security Freeport yang lebih memberdayakan masyarakat local dari pada Densus 88 atau militer. Polisi setiap saat ada tapi sampai sekarang, penembakan terus terjadi, ini menjadi pertanyaan, kehadiran militer untuk meredam menyelesaikan persoalan atau menambah persoalan. Perlu ada gerakan-gerakan untuk mereka ditarik kembali, kalau dibiarkan, mereka akan menutup ruang-ruang demokrasi dan HAM yang membuat orang takut untuk melakukan perlawanan.


Sumber:
http://nycixyance777.files.wordpress.com

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »